Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

XVI. | Kelompok Barat

Belum satu menit mereka berjalan dari barak sementara menuju ke arah kota, mereka harus menjaga Hana agar tidak ngeloyor pergi dari barisan. Si pirang pendek satu itu sangat pecicilan, tidak bisa diam dan tidak tahu kapan energinya akan habis. Kalau Blair masih tahu tata krama, Hana ini benar-benar lepas, seperti anak kecil yang disodorkan belasan mainan kesukaannya. Memang mereka masih di bawah umur dewasa, tapi melihat Hana yang hiperaktif, rasanya ada jurang tidak tampak antara generasi mereka berdua.

"Gimana kalau kita ikat saja dia?"

"Fiore, tenang." sambut Muriel, yang akhirnya menjadi orang yang terus menggenggam tangan Hana agar dia tidak buru-buru berlari pergi. Lucia turut di belakang Hana agar Hana tidak berputar dan lari.

Kelompok Barat, kiamat kecil bagi mereka yang mengetahui, terdiri dari Ann Knightley, Fiore Angelica Alba, Muriel, Eris Malvin, Hana Albertine dan Lucia Florence; tiga orang waras, satu orang malas dan satu bom waktu - bom waktu yang sulit dijaga tiga orang. Mereka baru saja berpisah dengan Kelompok Timur yang mengambil belokan ke kanan bawah dari pertigaan menuju Kota Barrows.

Berjalan kaki satu kilometer dari barak cukup untuk meregangkan tubuh selepas satu hari perjalanan kereta, mereka juga dapat melihat-lihat apakah di jalan sekitar kota terdapat gangguan tertentu atau tidak.

Ada monster-monster kecil binatang pengerat, slime, tapi tidak ada keanehan berarti.

Jalanan setapak berupa tanah berpasir itu tampak tidak dilalui oleh kendaraan apapun karena tidak ada jejak roda atau tapak kuda. Status AWA mungkin membuat para penduduk kota untuk lebih banyak di rumah dibandingkan melakukan kegiatan ke luar kota.

Sebuah penanda di pertigaan itu tampak baru dan mengkilap, terbuat dari besi yang di cat hitam dengan tulisan cetak yang jelas. Kanan, bertuliskan Reservoir, ke kiri, Pasar Rakyat, dan dari arah mereka datang ditulis Menuju Mansion Leanan.

"Oh? Jadi kalau kita lurus dari arah barak, ke hutan-hutan kering itu, kita akan ke Mansion yang disebut Val?" tanya Muriel.

"Sepertinya begitu," Eris melirik ke arah Lucia. "Apa kamu tahu tentang daerah sekitar sini? Fiore tampaknya bukan orang sini."

Lucia menoleh ke arah kota yang menjadi tujuan mereka. Ada sedikit keengganan di wajahnya. "Mungkin, kurang lebih."

"Kalian yang bertanya-tanya ya, aku ngekor saja."

"Ann." Muriel berseru, mengingatkannya dengan senyum dan aksentuasi nama yang tegas.


Arsitektur Kota Barrows tidak jauh berbeda dengan Kota Folia dengan jalanan paving block warna-warni sihirnya dan rumah-rumah dengan bangunan utama kayu dibandingkan beton, tapi terdapat banyak sekali undakan tangga kayu yang membuat kota terkesan bervolume, meningkat hingga terlihat sebuah rumah ibadah dan kantor walikota di level teratas.

Pasar Rakyat yang mereka masuki sudah berbentuk kios-kios kubik beton dengan jalanan rapat. Etalase mereka ada yang terbuka atau tertutup, dengan penanda kios berupa plang kayu tergantung di atas masing-masing kios. Di bagian depan toko terdapat pot berisi sebuket atau setangkai bunga berwarna putih. Pasar itu cukup ramai di pagi menuju siang, walau jalanan terasa lengang. Hana keburu menarik Muriel pergi menuju toko roti yang ada di sisi kiri mereka, sementara Fiore mengikuti mereka dengan geram sambil meneriaki Hana.

"Anyelir putih," Lucia berucap. "Bunga itu melambangkan kesedihan yang mendalam."

"Yang melambangkan kesedihan hanya anyelir?" tanya Ann.

"Anyelir adalah bunga yang populer di Leanan," jelas Lucia lagi. "Katanya dulu istri pemimpin Leanan yang terakhir sangat suka dengan anyelir."

"Kamu cukup banyak tahu banyak tentang Leanan juga ternyata," imbuh Eris. Lucia mengerjap. "Apa kamu tahu soal nasib sekolah berpedang yang dulu ada di sini?"

"Setelah para praktisinya sudah tiada karena pembantaian, seingat saya tidak ada yang mampu meneruskan ilmu pedang Leanan," Lucia menjawab. "Mungkin Pak Walikota akan tahu lebih banyak soal itu, kita bisa kesana bukan, untuk bertanya-tanya?"

Eris mengangguk-angguk, "Benar juga. Aku penasaran kenapa mereka membiarkan seni pedang itu hilang begitu saja selain tidak adanya penerus."

Fiore kembali dengan Muriel yang tergopoh-gopoh membawa Hana, kini bukan dengan sekedar genggaman tangan, tetapi digendong bridal style. Hana meronta, tapi setelah Fiore marahi sekali lagi, Hana pun manut diam.

"Jadi, enaknya bagaimana, apa kita harus bagi-bagi kelompok kecil untuk menghemat waktu?" Eris mengusulkan, tampak iba melihat Fiore yang kembang-kempis.

"Ide bagus," sambut Fiore. "Tapi, Muriel, kamu saja yang jaga Hana."

Muriel, yang juga terlihat iba, segera mengiyakan.


Pembagian kelompok kecil itu ditentukan dengan permainan gunting-batu-kertas, tapi sepertinya ledakan amarah Fiore tidak berhenti di situ saja. Eris beregu dengan Lucia dari hasil, sehingga menyisakan mereka berdua - Ann dan Fiore. Mereka berdua mendapat area pasar karena Hana harus dijauhkan dari gemerlap pasar. Sementara, Eris ingin bertanya ke Pak Walikota seputar ilmu pedang Leanan, jadi Eris dan Lucia menuju undakan atas.

"Kenapa harus kamu!?" Fiore menyalak.

"Kamu mau kalau sama Hana?"

Fiore menghela nafas panjang. "Oke. Kita mulai bertanya ke para pedagang."

Ann mengedikkan bahu, "Jalan saja duluan, nanti aku ikut."

"Kamu juga harus ikut bertanya!" alis Fiore sempurna naik. Keramaian mereka berdua tampaknya juga mulai mengundang orang yang lewat untuk menonton karena penasaran. Fiore menggembungkan pipi, ia akhirnya menarik pergelangan tangan Ann. "Ayo, kamu mau cepat-cepat kelar, 'kan?"

"Tidak usah menarikku." Ann terkekeh.

"Nanti kamu malah malas-malasan."

"Iya, iya."


Mereka berkelana dari toko ke toko, dimulai dari memperkenalkan diri dan maksud kedatangan mereka, hingga menanyakan beberapa pertanyaan. Hampir Fiore yang selalu memulai, atau akhirnya Ann, dengan sedikit pukulan di punggung dari Fiore. Seluruh toko memiliki bunga anyelir, tidak hanya dalam pot, ada juga yang menghias toko mereka dengan banyak anyelir putih.

Beberapa ibu-ibu melihat mereka lucu. Ada bapak-bapak yang segera menyuruh mereka pergi begitu tahu mereka dari sekolah militer. Ada wanita muda yang memberikan Fiore permen dan Ann tidak bisa menahan tertawanya karena dia diperlakukan seperti anak kecil. Mereka berkeliling kurang lebih satu jam dan akhirnya mereka berhenti ketika terdengar suara bel dari kejauhan.

Ann dan Fiore menepi di salah satu rumah yang dibiarkan kosong, pintu dan jendelanya dipaku erat oleh papan kayu tebal. Ibu-ibu separuh baya di toko terakhir memberi mereka sebotol air dingin, pelipur lara di kala terik matahari yang ada di atas kepala.

"Sudah siang, ya? Tapi sepertinya yang lain belum kembali."

"Dan kita juga tidak dapat apa-apa kok, semuanya damai." pungkas Ann.

"Polisi militer juga katanya sering berpatroli," Fiore menengadah, mengingat-ingat kalau saja mereka melewatkan detail penting. "Di jalan tadi juga, paling hanya ada slime."

"Baguslah, berarti laporan kita akan santai dan besok kita akan bersenang-senang."

"Mana ada senang-senang, kita di sini bukan untuk karya wisata, bodoh." Fiore menyenggol lengan Ann.

"Positif sedikit kenapa, sih. Bersyukur kalau tidak ada masalah daripada cari-cari masalah."

Di tengah obrolan mereka yang sengit, mereka mendengar tangis anak kecil dari gang di dekat mereka. Seorang anak perempuan berambut hitam ikal dengan gaun musim panas berwarna krem dan topi jerami, matanya sembab dan lututnya tampak kotor. Ia memanggil-manggil ibunya, lagi tidak ada keramaian terdekat yang menjawab.

Anak kecil itu menuju ke arah mereka, tangisnya makin kencang.

Ah, baru saja mereka bilang soal masalah.


Permen yang diberikan pemilik toko yang lalu kini menemukan tempatnya. Sebuah permen lolipop merah tua, anak itu segera diam sementara Fiore menuntunnya untuk berjalan pelan. Mereka kembali menuju pusat keramaian pasar, tempat kios-kios terbuka menjajakan sayur-mayur dan buah-buahan.

"Kamu tidak pernah menenangkan anak kecil sebelumnya?"

Ann berjalan dengan kedua tangan di belakang kepala, "Aku belum pernah punya anak."

"Argh! Bukan itu maksudku!" sambar Fiore galak. "Ah, sudahlah. Coba kamu tanya-tanya ada yang kehilangan anaknya atau tidak."

Ann mulai bertanya dari pedagang buah jeruk, terus hingga seluruh pedagang buah mereka tanya. Mereka terus berkeliling, untungnya anak kecil itu diam selama mereka berjalan menembus orang-orang di pasar.

Pada akhirnya, mereka kembali menepi di rumah kosong yang tadi mereka singgahi karena kegerahan. Anak kecil itu tidak rewel setelah permennya habis, turut duduk bersama mereka di tangga rumah kosong.

"Terakhir kamu sama ibumu di mana?" tanya Ann.

"Di pasar." jawabnya singkat. Oh, tentu sangat tidak membantu.

"Kamu tinggal di sini?" Fiore menepuk topi anak itu. Anak itu mengangguk.

"Ingat dimana arah rumahmu?"

Anak itu menggeleng dan mereka berdua tak pelak tertunduk lemas. Pasar itu bagaikan neraka di siang bolong karena padat, tapi mereka tidak mungkin menunggu yang lain kembali untuk meminta bantuan.

"Jadi kita kembali lagi?" tanya Ann sambil mengelap keringat di dahinya.

"Kita tidak punya pilihan lain."



Satu putaran mengelilingi kios, mereka kembali menuju toko-toko dengan etalase tertutup, berpikir (dan berharap besar) mungkin ibu sang anak ada di dalam salah satu toko.

Mereka memulai dari toko roti yang tadi dikunjungi Hana saat mereka pertama kali sampai di kota Barrows. Wangi harum roti yang dipanggang datang dari toko itu tidak berubah, terus menggoda orang datang untuk kemudian pulang dengan satu kotak hangat roti tawar atau baguette panjang renyah. Seingat Ann, toko itu dimiliki oleh seorang ibu berumur sekitar empat puluh tahunan dengan anak laki-lakinya yang baru berumur sepuluh tahun. Bunga-bunga anyelir putih menyisip di tiap rak-rak roti, menambah cerah citra toko ketika mereka masuk. Toko sedang kosong, tidak ada calon pembeli yang lalu-lalang di hamparan toko roti tersebut.

"Kalian kembali, kalian tidak mau beli roti?" anak laki-laki berambut coklat urakan itu menyapa mereka dari balik meja kasir.

"Apa tadi di sini ada yang tengah mencari anaknya yang hilang?" tanya Ann segera, mengabaikan pertanyaan itu.

"Anak kecil hilang? Oh," anak laki-laki itu bangkit dari kursinya dan menuju daun pintu yang tertutup tirai. "Mama? Ma? Bisa ke depan sebentar? Dua anak-anak militer itu datang lagi."

Anak-anak militer, Ann menahan tawa.

Ibu dengan rambut coklat pudar segera muncul menyibak tirai, bagian celemek yang digunakannya penuh tepung. Ia melepas masker yang sengaja digunakan selama mengulen adonan, senyumnya ramah seperti saat Ann dan Fiore pertama kali datang "Ada apa?"

"Tadi apa ada orang yang mencari anaknya datang ke sini?" Fiore menarik anak kecil itu dari mencengkram bagian kakinya, anak itu sekedar menaikkan topinya, memperlihatkan mukanya beberapa saat, dan kembali bersembunyi di belakang Fiore.

Ibu pemilik toko roti itu matanya membulat, "Bukannya itu anak Bu Palmer?"

"Bu Palmer tukang tepung, ma?" anak laki-lakinya menimpali.

"Nak, kalian titip saja anak itu di sini, biar ibu yang hubungi Bu Palmer, ya? Kalian kembalilah ke tugas kalian."

"Tidak apa-apa, bu?"

"Tidak apa-apa, tenang saja," ibu itu terkekeh. "Terima kasih, ya."

Memang, pemilik toko roti itu bukanlah orang tua dari anak ini. Paling tidak, senyum tulus itu telah terasa membayar kerja keras mereka berkeliling pasar dan bertanya kesana dan kemari.


Tidak terasa sudah pukul empat sore. Ann dan Fiore telah ditunggu oleh empat orang lainnya di titik kumpul yang mereka tentukan, di dekat jalan tempat mereka masuk ke kota.

"Kemana saja kalian? Apa kalian bersenang-senang tanpa Hana?" Hana bertanya duluan, berkacak pinggang di depan Fiore.

"Senang-senang apanya! Tadi kami mencari-cari orang tua anak yang hilang!" kemarahan Fiore mulai bervolume tinggi, Hana sampai mundur sedikit.

"Tidak ada berita keributan atau masalah di kota, berarti?" lanjut Lucia, melirik ke arah Ann.

"Hmm, hampir semuanya tenang. Mereka malah sering mengobrolkan tetangga mereka," Ann menelengkan kepala. "Kalian?"

Muriel yang menuju daerah pemukiman memulai, "Ada beberapa pemburu yang kesulitan menuju hutan karena kabut yang cukup tebal. Mereka telah meminta bantuan kacamata fog vision ke kantor walikota atau penyelidikan soal cuaca dan leyline sihir."

Eris melanjutkan, "Aku melihat pengumuman serupa di dekat kantor walikota barusan. Banyak masalah timbul karena kabut tebal yang katanya 'tidak seperti biasanya'. Asalnya ya dari hutan itu."

Hutan yang dimaksud adalah arah menuju Mansion lama Leanan yang ditinggalkan setelah pembantaian.

"Jadi benar ya kalau tempat itu angker, sepertinya menarik! Hana mau ke sana!"

"Nanti, Hana. Kita harus bilang ke Instruktur Bathory dulu." seru Muriel.

Mungkin mereka perlu berkonsultasi lebih lanjut dengan Kelompok Timur sebelum melaporkan hal ini ke Instruktur Bathory. [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro