Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

VIII. | Kelas Sembilan

1 Juli, Y.1340, tahun ajaran baru Sekolah Militer Dresden telah dimulai.

Sekolah Militer ternyata berbeda dengan anggapan Ann yang tumbuh akrab dengan barak tentara dan gudang persenjataan Caelia.

Ann paham akan jadwal dan keteraturan karena barak tentara memiliki pola tersebut, misalkan lari pagi setelah apel pagi setiap harinya, latihan-latihan umum maupun khusus yang dijatah jam, juga evaluasi harian setiap petang. Ann sekedar tidak menyangka sekolah akan melakukan lebih dari itu.

Hari orientasi serasa seperti mimpi setelah ia terjun di hari-hari awal membiasakan diri.

Senin diawali oleh apel pagi yang dihadiri seluruh kelas dan jajaran staf pengajar maupun non pengajar, kemudian setelah berlari paling kurang lima putaran lapangan, mereka akan digiring ke kelas untuk pelajaran pertama di hari Senin, Linguistik, yang kebetulan diampu oleh wali kelas mereka, Instruktur Bathory.

Instruktur Bathory, setegas dari apa yang ia perlihatkan di awal perkenalan, tidak membiarkan satu orang pun bengong atau setengah terlelap dengan bantuan sebuah riding crop saat dia melantunkan bait-bait panjang lagu tidur - ah, tidak, maksudnya, Pengantar Linguistik.

Pelajaran kedua hari itu meliputi kelas bela diri bebas yang diawasi oleh wali kelas dan kepala sekolah. Lalu istirahat makan siang. Dan kelas sore adalah kelas gabungan di lapangan yang meliputi perkenalan instrumen militer.

Di hari Senin saja, Ann merasa tubuhnya sudah lebih remuk dari hari orientasi yang berjejal namun singkat. Hampir saja ia berpikir untuk segera tidur dan tidak mandi, Gloria bisa saja memandangnya jorok.

Selasa bergulir tanpa apel dan lari pagi, namun pelajaran-pelajaran yang bervariasi.

Setelah dipikir-pikir, Kelas Sembilan memang tidak memiliki kekhususan dari nama dan sub nama mereka, tapi Ann baru tahu kemudian kalau mereka akan belajar semua mata pelajaran di sana secara umum, berbeda dengan Kelas Enam atau Kelas Tiga yang menitikberatkan pada sub nama kelas mereka.

Kelas Ekonomi Militer itu digabung dengan Kelas Enam di hari Selasa, sehingga mereka datang menyambangi ruangan kelas yang terlihat lebih ramai tersebut. Lima belas dibanding dua belas orang, ketua kelas mereka mempersilahkan anak-anak Kelas Sembilan untuk memilih tempat duduk sesuka hati. Yang supel seperti Alicia atau Muriel sudah mulai bercakap lanjut dengan anak kelas lain. Pembicaraan di ruangan penuh terasa seperti dengung yang bertalu-talu di telinga, Ann sekedar mengambil kursi paling pojok di belakang ruangan, melipat kedua tangan di meja dan menopang kepalanya, bermaksud tidur.

"Oke, oke, diam semuanya. Kelas akan dimulai!"

Suara ketukan tongkat di papan tulis mengejutkan Ann, ia segera terkesiap. Instruktur wali Kelas Enam dengan surai coklatnya yang bergelombang sebahu sudah tampak lelah di penghujung pagi menatap mata lima belas ditambah dua belas murid di depannya. Berbeda dengan Instruktur Bathory, jas biru Instruktur yang dikenakannya berkancing sempurna, dengan cravat putih menyembul di bawah leher, tersemat di sana lencana biru penanda cabang kelas Ekonomi Militer.

Ann sampai lupa kalau di sebelahnya tengah duduk teman sekamarnya Gloria Wiseman, hingga dia tampak berdiri dengan tegap sambil menaikkan tangan, setengah melompat dari kursinya. Ann pikir, hanya Hana Albertine yang bisa segirang itu di seantero Dresden.

"Instruktur Lysander!" pekiknya. Ia tidak menunggu si Instruktur membalas sepatah kata, mata hijaunya hanya membulat penuh kekagetan. Segelintir anak-anak Kelas Enam mulai cekikan memerhatikan keanehan itu. "Apa kita akan belajar Warden hari ini!?"

"... Ah, anda, Kadet Wiseman?" sama seperti kejadian di perkenalan Kelas Sembilan, warga Kelas Enam seperti takjub mendengar nama Gloria. Yang tertawa segera berhenti tertawa. "Anda tahu ini kelas Ekonomi, 'kan? Dan pasti anda lebih tahu kalau saya ini lebih cakap di bidang Ekonomi juga, 'kan?"

"Tapi, Warden lebih penting, Instruktur!"

Ann melirik menangkap Karen yang ada jauh di kursi depan, menggeleng-geleng menatap Gloria. Karen kemudian mengalihkan kontak dari Gloria ke Ann, seperti menyiratkan SOS.

Ann mencoba menarik lengan Gloria agar dia duduk. "Nanti saja kalau kelas sudah selesai." imbuhnya.

"Ahh, baiklah... Oke..."

Mata Gloria tidak berhenti berbinar sepanjang hari, memandangi si Instruktur yang merupakan wali dari Kelas Enam, walau tidak mencatat sama sekali teori Ekonomi Liberal yang jadi bahasan hari ini. Ann cuma bisa menyimpulkan kalau Lysander ini seorang insinyur terkenal atau apalah otak fanatiknya itu bicara.

Tunggu, insinyur mana yang bisa mengajarkan Ekonomi?

"Hah, kamu nggak tahu Perusahaan Lysander!? Itu manufaktur Warden terkenal dari Kaldera!"

Kemarin Wiseman, sekarang Lysander. Ah, mungkin sudah waktunya Ann mencatat atau Gloria akan menatapnya seperti sekarang ketika Ann dengan bodohnya memilih untuk bertanya ketika mereka hendak kembali ke ruang kelas untuk pelajaran berikutnya: kedua alis naik dan kedua mata berapi-api. Intinya, Wiseman dan Kaldera itu saingan bisnis, tapi Gloria tampak terkagum-kagum dengan perusahaan lawan, itu yang perlu Ann pahami.

Ann memilih duduk agak jauh dari Gloria untuk pelajaran Seni Militer, sebelum ia akan diceramahi panjang lebar tentang Perusahaan Lysander sebelum Kepala Sekolah yang mengampu mata pelajaran itu datang.

Mungkin lebih baik lagi kalau ia meminta Karen untuk duduk dengan Gloria saja setiap pelajaran Ekonomi Militer. Gadis berambut keperakan itu sepertinya lebih paham soal si nona kaya ini dibandingkan dengan dia yang sekedar kebetulan menjadi teman sekamarnya.

Hampir genap seminggu ketika Ann terbangun lebih cepat dari biasanya, mendapati dirinya masih bisa berleha-leha untuk sarapan di ruang makan asrama. Oh, jadi dia sudah biasa bangun pagi sekarang, gumamnya, walau matanya terkatup-katup sendiri dan linu-linu segera naik memaksa ia untuk meregangkan badan.

"Oh, sudah bangun? Tumben."

Teman sekamarnya itu menaikkan kepala dari kesibukannya di meja belajarnya. Disorot sebuah lampu yang merunduk nyaris total, tangannya tidak diam memutar sekrup dan baut. Ann masih mengucek-ucek matanya, belum bisa membalas sapaan itu.

Ann melihat lingkaran hitam di bawah mata Gloria, tertegun. "Tunggu, kamu nggak tidur semalaman?"

"Jamku rusak. Saat kuperbaiki, malah keasyikan sampai akhirnya aku membongkar semuanya," ungkapnya dengan tawa. "Tenang saja, aku akan ke kelas kok. Tenang."

Ann mengerutkan dahi, namun mengangguk saja. Setelah mengenakan seragam dan menyisir rambut, Ann sempurna bangkit.

"Aku duluan ya."

"Bagus deh Riel nggak perlu masak telor ceplok lagi buat kamu yang bangun kesiangan?"

"Benar juga."

'Riel' adalah panggilan akrab Muriel, siswi paling bongsor di Kelas Sembilan yang selalu membantu di dapur asrama setiap paginya. Di antara murid-murid yang berkulit pucat hingga kuning langsat, Muriel yang memiliki warna kulit yang lebih eksotis terlampau mencolok di antara ramai siswi-siswi yang tengah menikmati santap pagi mereka. Dengan perangainya yang ramah dan bagaimana ia mampu mengetahui keinginan seseorang tanpa banyak bertanya-tanya, semua tampak mengenalnya sebagai sosok yang keibuan.

Walau, mungkin anak-anak kelas lain belum melihat kekuatannya ketika mengayunkan kapak. Instruktur Bathory pernah bilang kalau Muriel terlihat mengayun kapak tanpa tenaga tapi manekin besi terberat di ruang latihan bisa terbelah dua.

Sarapan memang bukan keharusan, tapi setelah mencicip makanan dari Ibu Asrama Thalia ataupun Muriel dan teman-temannya di dapur, rasanya sayang melewatkan satu dari dua jam makan di asrama. Membantu Ibu Asrama Thalia juga bukan sebuah keharusan, tetapi mereka tampak senang dapat bebas melakukan apa saja yang mereka mau. Atau, sudah kebiasaan mereka di rumah untuk memasak.

Muriel mengantar sepiring hangat roti sebelum matanya menangkap keberadaan Ann di ambang pintu.

"Ann! Tumben sudah bangun."

Fiore yang tengah mengunyah roti di beberapa meter dekat pintu masuk tersendak.

"Apa, Pendek? Asrama ini milik bersama, lho. Kamu tidak mau melihatku disini?" sergahnya, setengah menghakimi.

Fiore menjangkau gelas berisi air di dekatnya dan meminumnya habis. "Bukan, bukan itu! Aku cuma tersendak!"

"Sudah, sudah kalian," Muriel mendamaikan mereka. "Kamu mau sarapan apa, Ann? Hari ini pilihannya roti bakar dan nasi kornet. Aku akan ikut denganmu makan."

"Apa saja lah." sebutnya.

"Oke, sama susu hangat, ya?"

"Terserah."

Muriel, dengan senyumnya yang lebar, segera bertolak ke arah dapur. Melihat tidak ada lagi tempat duduk di sana, Ann melirik meja Fiore.

"Karena ada Muriel, kamu boleh ikut duduk," sambarnya galak. "Karena ada Muriel."

"Iya, iya."

Tidak biasa dirinya melihat ruang makan yang penuh orang di pagi hari - yah, salahkan dirinya yang selalu senang terlelap. Pemandangan yang ada kini tidak terasa asing dibandingkan awal minggu, padahal belum genap seminggu penuh lewat dari hari pertama sekolah. Ia kini bisa membedakan murid-murid kelas lain bukan hanya dari warna dasi mereka. Ann juga (akhirnya) sudah hafal nama-nama anak sekelasnya, walau ia tetap memanggil Fiore dengan sebutan yang sama.

"Heran kalau pagi ramai? Makanya bangun pagi." imbuh Fiore seraya memalingkan muka.

"Diam, Pendek."

Tak lama, Muriel datang dengan dua piring roti bakar dan dua gelas susu hangat di atas nampan. Roti bakar itu memiliki punggung kecoklatan dengan harum merekah mentega. Ada telur dan kornet matang yang tampak digoreng renyah terselip di antara dua potong roti, membuatnya bertingkat dan terlihat penuh. Muriel lalu duduk di seberang Ann dan Fiore, meminum susu terlebih dahulu.

"Gloria masih di kamar?" tanyanya. Muriel menggigit bagian rotinya sedikit-sedikit, berbeda dengan Ann yang melahap banyak-banyak. Masakan Muriel memang sangat enak, walau sekedar telur ceplok dadakan yang dimasaknya untuk Ann ketika ia bangun kesiangan.

"Ya," Ann sibuk mengunyah. "Nggak tidur dia semalaman."

"Oh? Ada sesuatu?"

"Jamnya rusak."

Fiore menyela, "Hah? Kukira dia ... tulis catatan atau apa gitu."

"Kurasa memang Gloria seunik itu." Muriel menyambut dengan ungkapan positif. "Perlu kubawakan dia sarapan?"

"Katanya dia mau segera turun." Ann mengedikkan bahu.

Ann mengedarkan pandang ke ruang makan itu lagi. Selain mereka bertiga, tidak ada lagi anak Kelas Sembilan yang tampak.

"Memangnya sepagi ini anak-anak kelas kita sudah tidak di asrama?" tanya Ann.

"Hmm ... Alicia, Eris dan Hilde biasanya datang sebelum atau sesudah mereka latihan, biasanya saat-saat itu aku masih sibuk di dapur," Muriel masih tampak berpikir. Yang dimaksud latihan di asrama adalah menggunakan ruang latihan yang ada di dekat lobi. Seperti kata Ibu Asrama Thalia, ruangan itu boleh dipakai siapa saja dan kapan saja.

"Hana ... dia tidak terlalu suka makan di sini. Biasanya dia akan makan di lobi sambil menyapa siapa saja yang lewat. Kalau Karen, kadang Blair meminta jatahnya dan Karen untuk dibawa ke kamar. Val ... dia selalu minta untuk makanannya dibawa sambil dia baca buku. Dan Lucia, aku belum pernah lihat Lucia di ruang makan selain jam makan malam."

Fiore memerhatikan dengan dahi berkerut. Si pirang itu sudah lebih cepat selesai makan tapi ia masih duduk di sana, mendengarkan Muriel dengan seksama.

Sikap antusias Hana Albertine dan Blair Chevalier menambah warna cerah di Kelas Sembilan dengan minat mereka yang begitu tinggi akan sesuatu. Gloria Wiseman merupakan irisan dari dua sikap mereka, tapi hampir samar sifat nona besarnya kalau dia sudah berkutat dengan Warden dan segala turunannya. Di sisi lain, ada Alena Valerian yang super serius, bersanding dengan Pendek Alba di sebelahnya dalam hal akademik.

Ketiga gadis berpedang, Alicia Curtis, Eris Malvin dan Hildegard Norma, mereka selalu terlihat bersama, dengan paling tidak ada Eris atau Hilde bersama Alicia. Alicia seperti menganggap status narapidananya guyonan, tapi Eris mengiyakan dan mengingatkan kalau Alicia tidak boleh kemana-mana selain sekolah atau asrama. Mereka paling sering menggunakan ruang latihan, pagi atau malam, Eris sangat rajin berlatih.

Karen Ray Spriggan dan Lucia Florence menjadi dua yang paling misterius, berada di orbit mereka masing-masing dan tidak mengganggu, walau menimbulkan banyak pertanyaan tersendiri.

Kurang lebih, itulah Kelas Sembilan di minggu pertama yang belum genap seminggu itu, selayaknya banyak warna dalam sebuat palet lukisan.

"Harusnya aku tidak heran lagi tapi kelas kita anak-anaknya memang aneh."

"Ya kamu juga salah satunya, Pendek."

"Aku tidak minta pendapatmu!"

"Sudah, sudah kalian~"

Jumat mungkin penghujung minggu padat, namun tidak berarti hari berlalu dengan mudah dan singkat. Diawali dengan kegiatan uji stamina di lapangan hingga tengah hari, mereka melanjutkan kelas di dalam ruangan sebelum kembali digiring ke lapangan untuk pengenalan alat-alat perang skala sedang di pelajaran Strategi Militer.

Mereka kembali ke kelas di penghujung hari untuk menghadiri penutup oleh wali kelas dengan punggung terasa terbakar oleh panas siang menuju sore, sementara Instruktur Bathory menyambut dengan cengiran dan sapaan: "Bagaimana, sudah terbiasa dengan kehidupan di Dresden?"

Satu kelas satu suara dengan lenguh panjang, tawa Instruktur Bathory yang ada hanya makin kencang, makin puas.

"Madam, pelajarannya terlalu banyak, otak Hana mau pecah." imbuh si juru girang Kelas Sembilan, yang segera disambut oleh kekehan anak-anak sekelas.

"Tenang saja, saya yakin pengalaman-pengalaman ini akan membuat kalian makin kuat dan disiplin," ungkap Instruktur berambut pirang itu. "Kalian belum sampai ke bagian terbaik menjadi Kelas Sembilan, jadi saya harap kalian matang-matang dipersiapkan untuk itu."

Perhatian segera tertuju lurus ke Instruktur dan kalimat pancingannya. Pancingan itu ampuh membuat semburat lesu menjadi buncah ingin tahu.

"Sebelum kita sampai di hal istimewa itu di pertengahan bulan Juli ini," Instruktur Bathory berujar. "Kalian akan menikmati Battle Royale yang kami telah siapkan esok hari di Arena Dresden."

Antusiasme naik perlahan menyusuri kelas. Ann bertopang dagu memangku kepalanya yang setengah mengantuk. Instruktur Bathory mulai menulis dengan kapur di papan tulis hitam di belakangnya, 'Battle Royale', dengan huruf cetak yang kentara. Lalu dilengkapi dengan garis-garis bagan.

"Garis besarnya, kalian akan berduel dengan anak Kelas Tiga, Sains Militer. Tiga petarung akan dipilih secara acak pada hari yang sama, begitu juga tema duelnya," Instruktur Bathory mengerling. "Poin 3 kalau menang, 2 kalau seri, dan 1 kalau kalah. Kelas yang mendapat poin terendah akan dihukum!"

Paduan suara 'eeeeh' segera menghiasi kelas.

"Tunggu, Instruktur, bukannya tidak adil kalau kita dan lawan kita tidak sepadan? Mereka lebih kuat, misalnya." Alena Valerian - Val, nama akrabnya - menginterjeksi.

"Itulah tantangannya, jadi saya harap kalian semua besok siap." sang guru mengedipkan sebelah mata, disusul Val yang tersungkur di kursi.

Baru saja melewati orientasi merepotkan, kelas-kelas merepotkan; setelah ia merasa sudah terbiasa, sekarang ada Battle Royale merepotkan? Ann menatap papan tulis dengan datar.

Sepertinya, memang tidak ada masa rehat sempurna di kehidupan sekolahnya Dresden, tidak sama sekali. [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro