Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

V. | Golem Penjaga

Ann, Fiore dan Lucia terus menyusuri jalan hingga mereka sampai ke sebuah ruang besar yang di ujungnya terdapat pintu elevator turun.

Selepas melewati robot zirah, ada satu kendala lagi untuk mereka lalui. Namun, berbeda dengan bola besi pertama, musuh yang ketiga benar-benar bergerak mengincar mereka. Robot itu berbentuk tabung melayang dengan empat tangan, masing-masing tangan mengeluarkan jenis sihir berbentuk lemparan benda yang berbeda elemen.

"Mundur, Pendek, Florence."

"Tidak perlu kamu katakan juga aku akan mundur!"

Fiore akan segera mengeluarkan panah, sementara Ann mulai mengintervensi dengan tombaknya. Lucia akan mengikuti mereka, tapi tidak menyerang. Ia akan mengayunkan tongkatnya untuk membentuk sedikit perisai sihir, yang pada saat pertama kali tidak tembus ketika robot lawan melempar batu berelemen api, tapi tembus ketika kali kedua robot lawan melempar batu berelemen es.

Untungnya, Fiore cepat menembak robot dengan panahnya, memukul mundur robot tersebut. Kalau tidak, Ann yang kewalahan mungkin akan terpental atau terluka.

"Ah! Maafkan aku, Ann!"

"Tidak masalah!"

Ann kembali maju, kini dengan serangan tombak yang memutar dibandingkan menusuk. Mereka berhasil mengurangi frekuensi robot tersebut untuk menyerang balik, dan pembukaan itu dimanfaatkan Fiore untuk memanah engsel kanan atas. Panah itu melesat cepat membelah angin, melayangkan elemen api yang dipadukan Fiore dan memutus engsel, membuat robot goyah beberapa saat.

Ann memutar badan tombak, mendorong mundur robot sekali lagi, dan Fiore menghabisi dengan serangan panah berikutnya. Besi-besi itu akhirnya roboh ke lantai dengan suara derik yang cukup keras, menjadi onggokan tak berguna.

Fiore menghela nafas panjang dan menurunkan dawai panah. Ann menuju ke arah rongsokan itu untuk memeriksa.

"Ann, kamu terluka. Biar kutangani." Lucia muncul di belakang Ann, menangkap lengan kirinya yang tergesek es barusan, baret kecil yang menembus seragam.

"Kamu bisa sihir penyembuh?" tanya Fiore.

"Sedikit." jawaban yang kurang lebih sama. "Ah tapi kalau kamu ingin diobati nanti oleh orang yang lebih ahli, tidak apa-apa."

Ann menelengkan kepala menanggapi interjeksi itu, ia sekonyong-konyong menyodorkan lengan. "Kamu saja, Florence."

Fiore memperhatikan saat Lucia mulai berkonsentrasi. Sinar hangat berpendar biru kehijauan muncul dari telapak tangan Lucia, berkumpul ke garis luka yang dituju. Ann menahan lengannya naik, menunggu sinar tersebut pudar. Luka itu sempurna tertutup, tidak ada lagi darah maupun sisa guratan apa-apa.

Si pirang berdengung, "Lumayan."

"Memang kamu bisa sihir penyembuh, Pendek?"

Fiore menggeleng, "Maaf, aku lebih jago merusak."

"Ah. Sesuai dengan sikapmu." Ann berkomentar dan melengos pergi, mengabaikan Fiore yang segera menyalak.

"Sudah, sudah, Fiore, Ann. Ayo kita lanjut?"

Dan kini, mereka sudah ada di depan elevator yang hanya punya satu tombol panah ke bawah untuk ditekan.

"Kira-kira, apa yang akan menunggu kita di bawah?" Fiore mendadak bertanya ketika mereka sudah masuk ke dalam elevator.

"Mengingat apa yang kita sudah lalui mungkin ... soal pamungkas?" celetuk Lucia. Ann sekedar mendengarkan mereka berspekulasi, hanya menatap ke arah sepatunya.

Soal pamungkas, ada benarnya juga berpikir demikian. Tidak mungkin mereka akan dengan mudah keluar dari sana walau telah melewati tiga musuh dengan tiga masalah tertentu. Atau, mungkin akan ada evaluasi yang dibeberkan oleh calon guru mereka, instruktur Kelas Sembilan yang sedari tadi pastinya memperhatikan gerak-gerik mereka. Tak ada jeda berarti yang akan memberinya santai.

Elevator itu berhenti dengan bunyi ding keras, pintu otomatis terbuka ke sebuah ruangan berbentuk lingkaran. Ada pilar-pilar besar tampak menyangga atap ruang besar tersebut, walau hanya ada lantai besi kosong dengan empat elevator dengan jalan setapak yang semuanya bermuara ke tengah-tengah ruangan.

Bersamaan dengan mereka sampai ke tengah, tiga elevator lain berbunyi. Ann mengedarkan pandangan lamat-lamat. Arah mereka datang adalah 'timur', artinya murid-murid lain kemungkinan datang dari 'utara', 'barat' dan 'selatan', walau dirinya bisa saja salah menyimpulkan.

Tiga pintu terbuka, dan murid-murid yang ada di dalamnya menghambur ke luar dengan siaga, senjata mereka masing-masing di depan muka.

Ann menghitung dalam pikiran: masing-masing pintu diisi oleh 3 siswi, sehingga total mereka semua ada 12. Dua belas siswi ini adalah anggota Kelas Sembilan yang akan bersama selama satu tahun masa pengajaran. Sebelas wajah dengan latar belakang berbeda dan mungkin terlampau asing bagi Ann. Mereka semua berdasi merah, ada yang terlihat lelah, ada juga yang terlihat kusam - entah mereka terkena ledakan di mana hingga ujung seragam mereka menghitam. Ada yang bertubuh tinggi. Ada juga yang sependek Fiore. Ada yang menggunakan pedang. Ada juga yang menggunakan tombak walau tidak semirip dengan apa yang Ann gunakan sekarang.

Ia sejenak bertemu pandang dengan Karen Ray, si siswi perwakilan murid baru tadi pagi, sebuah perangkat berbentuk inti bola melayang dengan semacam mekanisme pelindung berbentuk cangkang melingkar di tangannya.

"Astrolabe," Fiore berbisik. "Jarang sekali aku melihat penyihir menggunakan itu."

"... Astro ...?"

"Oh iya, kamu bukan penyihir, mana tahu kamu soal Astrolabe." dengus Fiore. "Lupakan saja."

Merasa tidak ada keanehan di ruangan tersebut, beberapa dari mereka mulai mengobrol. Si besar berkulit gelap dengan kapak yang besar dan mengerikan tampak bercanda dengan gadis-gadis pengguna pedang di arah barat. Pirang di antara mereka hanya memperhatikan dua temannya berbicara dengan si besar.

Ann memilih diam ketika Fiore dan Lucia mendiskusikan sesuatu di belakangnya, tombaknya ia pegang dengan lunglai. Apakah mereka harus menunggu guru Kelas Sembilan datang, atau bagaimana?

Pertanyaan Ann segera terjawab sesaat getar menguasai ruangan, sesuatu - atau apalah itu - muncul begitu saja dari lantai atas tempat mereka berdiri. BRAK! Debu menguasai ruangan sebelum mereka bisa melihat dengan jelas sesosok - seonggok mesin - berukuran besar di hadapan mereka.

Berbeda dengan apa yang telah mereka hadapi sebelumnya, mesin ini berukuran lebih dari dua meter, memiliki bola yang bersinar merah terang di dalam sangkarnya yang terdiri atas besi-besi melingkar yang tampak rumit namun berbentuk selayak torso yang humanoid. Selain bola bersinar yang mungkin akan mengeluarkan laser, benda itu juga melayang dan memiliki empat tangan. Seperti gabungan tiga soal yang mereka hadapi di lorong-lorong sempit tadi.

Mendadak, bola itu menyala lebih intens, alih-alih mengisyaratkan bahaya yang hendak terjadi.

Oh, tentu saja mereka tidak akan keluar dari sana tanpa menghadapi soal pamungkas, bodohnya ia berharap sang guru akan datang dan mereka selesai begitu saja.

"Mundur!"

"Kamu nggak perlu bilang juga aku akan mundur--kyah!"

Terlambat. Pancaran sinar itu menyorot dan mengikis lantai besi, bergerak konkaf dari timur ke barat. Ann sempat melompat mundur, tetapi sinar itu mengenai sepatunya, cukup nyeri. Lucia yang lebih telat bergerak melindungi wajahnya dengan kedua lengan seraya melangkah menghindar, sementara Fiore merunduk, panahnya menjadi perisai kepalanya.

"Tunggu tunggu, bagaimana kita bisa melawan robot sebesar itu, melayang lagi!?" pekik si rambut kehijauan berkuncir satu dari sisi barat, walau ia menyeringai lebar.

"Hilde, lompat dan incar lengan kanannya, aku akan ke kiri."

"Baik." gadis berambut hitam yang bernama Hilde segera mengeluarkan bilah pedangnya.

"Oi, oi! Tunggu aku Tuan Putri!"

Seakan tidak mau kalah, sisi utara ikut menyalak. Si pirang pendek melonjak kegirangan, ia menunjuk-nunjuk objek musuh itu dengan mata berkilat-kilat. Tanpa rasa takut.

"Karen, Gloria, kita ikutan yuk?"

"Kamu saja, Hana. Aku akan menembaknya dari sini." ujar Karen.

"Boleh tidak aku melihat engsel robot itu dari dekat?" gadis berambut merah itu ikut girang. "Sepertinya ini golem jenis baru, apakah ini buatan orang dalam akademi?"

Karen meliriknya dengan tatapan tajam, dilengkapi juga dengan desah panjang, "... Gloria, kita bisa mati kalau kamu tidak serius."

"Gloria, Gloria! Ayo lihat robot itu lebih dekat! Yuk! Yuk!" si pirang kecil mulai menarik-narik ujung seragam si rambut merah.

"Oke, oke~"

Sementara di sisi selatan, si kacamata berambut hitam tampak histeris. Ia segera bersembunyi di balik si besar yang sudah menaikkan kapaknya lagi, ditemani oleh si kecil berambut coklat dengan kapaknya yang tidak kalah besar.

"Tenang saja, Val, robot itu tidak menggigit kok." ucap si besar.

"Memang dia tidak menggigit tapi dia menembak laser!" jawabnya cepat. "Mana bisa aku menembaknya dari sini!?"

"Mungkin kalau tangannya kita belah dua, keseimbangannya akan hilang?" si kecil menaikkan alis. "Tapi ... tangan yang mana, ya?"

"Sebaiknya kita bantu saja mereka yang sudah maju, gimana?" usul si besar.

Ann melirik Lucia yang tampak tidak terluka saat menghindari sinar barusan, ia tengah menyembuhkan Fiore dari sedikit baret di pipinya, walau tidak sempurna menutup. Fiore kembali berdiri dengan panahnya terangkat pasti, mencoba membidik ke arah inti bola ketika robot itu tengah terperangah diberondong dari berbagai sisi. Lucia turut di belakangnya.

"Tunggu." pinta Ann.

"Kenapa? Robot itu tidak akan sadar kalau aku menembaknya dari sini kok."

"Diam saja dulu."

Walau robot itu bergeming atas serangan banyak orang, dengan mudah menggunakan empat tangan, ia menepis mereka semua mundur. Para pengguna pedang telah mencoba mengincar engsel-engsel besar antara empat tangan itu, tetapi tidak ada serangan yang mampu menebas engsel-ensel tersebut. Serangan sihir dari Astrolabe milik Karen, yang tampak memiliki kekuatan sihir cukup besar dengan elemen api yang berdaya hancur tinggi, tidak juga membuat si robot goyah. Inti bola itu kembali menyala merah, membuat para pengguna senjata jarak dekat mencari tempat aman dari serangan laser. Motif serangan laser yang sama kembali terlihat: membusur ke segala sisi, memutar dan tidak membiarkan siapapun mendekat.

Sesaat robot bertangan empat itu kembali statis selepas menembakkan laser, mereka menyerang lagi dengan pola yang mirip juga.

"Semudah itu?" pekik Fiore. "Artinya kita harus menyerangnya dari jauh?"

"Sihir dari Astrolabe itu tampak kurang efektif," imbuh Lucia. "Apa ada sisi yang menjadi titik lemahnya?"

"Ah." Ann menjentikkan jari. Sejenak kemudian ia maju, tidak mengindahkan Fiore yang berteriak menyuruhnya kembali.

"Hei, kalian yang melawan robot soal kedua tadi, kalian tahu titik lemahnya di mana?"

Sekejap semua konsentrasi mereka tertuju pada Ann, sampai-sampai si kacamata yang semula bergetar hebat kini melongo statis.

"Erm ... di mana tadi, Blair? Bukannya tadi kamu sekali tebas habis?" tanya si besar ke si pendek di sampingnya.

"Oh, oh!" ia menaikkan tangan. "Di ruas badannya!"

Sejurus kemudian, para pengguna pedang yang mendengar hal tersebut segera menusuk ke arah ruas badan. Robot itu sejenak bergeming, sebelum akhirnya jatuh ke tanah, inti bola di atas tubuhnya meremang. Pengguna pedang terbelalak, tidak berkedip, begitu juga dua pengguna kapak yang menjawab pertanyaan Ann barusan.

"Jangan bilang habis ini harus kuserang inti bola itu dengan sihir air, seperti soal pertama?" sahut Fiore, setengah tertegun.

"Pintar juga kamu, Pendek."

"Aku ini siswi--argh! Sudahlah! Lucia!"

"Baik, Fiore."

Pengguna Astrolabe Karen dan si pemegang pistol mengikuti aba-aba mereka berdua. Sihir air dengan berbagai volume mengalir dengan sinkron menuju inti bola hingga merah menyala itu sempurna padam. Para pemakai senjata jarak pendek menjauh, berpikir kalau saja robot itu akan meledak atau mengelak tiba-tiba dari serangan mereka.

Tidak ada keanehan yang terjadi, setelah merah itu mati, tangan yang terkulai itu satu-persatu jatuh, suara kelotak bising mengisi ruangan hingga asap mulai muncul dari tubuh si robot. Mereka menunggu dengan siaga, sampai akhirnya beberapa detik terlewati dengan diam yang menyiksa.

Si pemilik rambut kehijauan bersiul, mengakhiri keheningan. Beberapa mulai menghela nafas lega dan menurunkan senjata mereka masing-masing.

Fiore mendecih, "Kamu benar lagi."

"Cuma polanya saja kok."

Belum sempat mereka menuai kelegaan lebih lama, sebuah suara mengisi ruangan, suara pemberitahuan.

"Siswi-siswi Kelas Sembilan, kembali ke elevator kalian dan segera naik; akan ada evaluasi setelah ini." [ ]

---

Bila anda memiliki kesan dan pesan namun tidak punya akun Wattpad/ingin anonim, bisa disampaikan melalui bit.ly/poisontravelerbox

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro