Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

LXXXV. | Malam Terlama di Dunia

Selepas Alicia menyuarakan ide itu, Ann tidak mengerti apa yang terjadi selanjutnya. Mereka membawa Ann kembali ke asrama dan menyuruhnya mandi dan berbenah diri. Ia pokoknya dilarang menoleh sembarangan di sekitaran lobi, atau nantinya ia akan diomeli habis-habisan oleh Val. Angkara murka ketua kelas mereka kini ada di level lebih tinggi dari Fiore, dan Ann berulang kali diperingatkan.

Setelah mandi, ia lalu disuruh menunggu di ruang makan, yang sepertinya sudah 'disewa' khusus oleh Kelas Sembilan untuk malam itu. Muriel menjadi seksi sibuk di dapur bersama Blair dan Hilde, Ann hanya diperbolehkan duduk dengan Alicia yang menjaga. Anggota kelas lain tidak terlihat di sekitaran ruang makan.

"Kamu tuh ya ... kapan sih nggak bikin orang lain ketar-ketir?" Alicia menepuk punggungnya kuat-kuat sampai Ann menunduk terbatuk. "Kamu yang kadang bilang kalau kita harus terus sekelas, dan sekarang kamu seenaknya melenggang pergi dan sok menyelamatkan dunia, hah?"

Ann sejujurnya tidak bisa membalas karena apa yang diucapkan Alicia terlalu berbobot. Alicia kemudian bersandar lebih dalam di kursinya sementara ia menggelengkan kepala.

"Jadi kamu akan menjadi, apalah itu, 'penjaga racun' untuk selamanya? Kamu tidak akan kembali lagi ke kelas?" suara Alicia bergetar. "Sayap Peri, kamu menyuruh kami lulus dari Kelas Sembilan tanpamu?"

Ann menelan ludah. Kata 'maaf' rasanya tidak akan bisa menjadi sebuah hal yang melegakan, baik dirinya maupun untuk Alicia.

"Riel, kalau sudah selesai langsung bawa saja kemari makanannya." seru Alicia.

Muriel, Hilde dan Blair muncul dari dapur membawa piring dan nampan berisi makanan untuk mereka berlima. Ann kemudian tertegun karena anggota lengkap kelas tidak makan bersama untuk malam terakhir.

"Salahmu membuat anak orang menangis," seru Blair. "Kalau kamu menanyakan dimana Eris, dia sedang bersama Lucia yang tidak bisa berhenti menangis. Hana nangisnya udah kayak bayi jadi perlu dua ibunya buat menghentikannya."

"Sejak kapan mereka jadi ibunya Hana?"

"Aduh, maksudku itu bukan bercandaan tapi ya sudahlah, tertawa saja kalian!" sergah Blair, melirik arah Alicia dan Hilde yang berusaha menahan gelak tawa. "Ann, sebenarnya aku sangat kesal, tapi aku harus melepasmu pergi jadi aku memberanikan diri ada di sini."

Hilde menghela napas panjang, "Kamu dan idemu yang sudah mempersatukan kelas, dan kini kamu tidak akan ada lagi. Kekosongan yang luar biasa tidak bisa digantikan begitu saja."

Muriel menatapnya lembut, "Aku setuju dengan Hilde dan Blair," di sirat pandangannya itu, ada sedikit rasa kalut, rasa kehilangan. "Kenapa kamu tidak bilang sejak awal? Memang, tidak akan ada yang berubah karena memang ini keputusanmu, tapi paling tidak, kami sudah mempersiapkan diri ... untuk berusaha kehilanganmu, Ann."

Ah.

Mungkin ini yang ia hindari.

Perasaan yang sulit ia beri nama ini, ingin segera ia lenyapkan dan tidak ingin lagi ia anggap ada.

Pintu ruang makan mengayun terbuka, Eris dan Lucia datang, Lucia matanya sembab dan ia masih terisak. Tak lama, Gloria, Karen dan Hana yang mengusap ingus masuk ke ruang makan. Val menutup pintu, menaikkan kacamatanya dan berusaha tidak menampilkan kekesalannya. Alicia memberi kode untuk mereka yang baru datang mengambil sendiri piring dan ikut duduk seperti biasa.

Tidak ada tanda-tanda gadis pirang berekspresi masam itu datang ke ruang makan.

Tapi sebelum Ann menyendok nasi karenya di suapan terakhir, kerah kemejanya diangkat oleh Lucia yang segera menamparnya. Separuh kelas berteriak kaget. Tidak ada angin, tidak ada badai, orang terlembut di kelas mereka memutuskan untuk menghajar Ann!

Ann mengelus pipinya yang berdenyut, ia akhirnya menatap Lucia yang matanya benar-benar kemerahan karena menangis.

"Maafkan saya, tapi saya ..."

"Tidak apa-apa, Lucia." ucap Ann.

"Oh, ide bagus, bagaimana kalau kita hajar saja dia sekarang?" Val mulai mengepalkan tinju.

"Ketua kelas! Kamu jangan ikut ambil jalur kekerasan dong!" seru Eris.

"Tapi aku ingin menghabisinya sampai ia tidak bisa berjalan, Eris!" imbuh Gloria dari arah dapur. Ann hanya bisa tertawa kering.

"Nanti kita disetrap gimana? Santailah sedikit." Eris mengingatkan.

Sepuluh anggota kini sudah duduk di meja, tapi hanya ada dentingan sendok dan piring yang paling banyak terdengar. Gloria duduk di kursi sebelah Ann, sementara Hana sudah menarik kursi untuk bergelayutan di lengan Ann.

"Ann! Jangan pergi! Hana nanti kesepian!" rasanya ada ingus yang menempel ke kemejanya, tapi biarlah.

Karen menatap makanannya tidak berselera, mata merahnya menatap lurus Ann sembari dia menopang dagunya dengan kedua punggung tangan, jarinya bersilangan. "Kamu maunya apa, sih, Knightley?"

"Wow, kasar." bisik Blair. Alicia menyikutnya agar dia diam.

"Aku sudah bilang di kelas kalau aku-"

"-mau menyelamatkan kami? Kami tidak perlu diselamatkan." sambar Gloria congkak. Ia menggebrak meja. "Ann. Aku sudah mengatakan berulang kali untuk berbicara padaku - pada kami, kenapa kamu malah ...?"

Lucia yang duduk disamping Gloria menahan tangan yang bergetar hebat itu.

"Tadi pertanyaanku belum kamu jawab, Ann," seru Alicia. "Apa kamu selamanya akan menjadi 'penjaga'? Tidak ada caramu untuk kembali?"

Ann menerawang menatap sepuluh pasang mata itu. Diakon Yuri tidak memberitahukan batas tertentu atau adanya keleluasaan setelah ia ditempatkan di Norma. "Aku tidak tahu apakah ada cara untuk kembali. Rasanya tidak mungkin mensubtitusi darahku ini, kecuali ada sebuah instrumen yang bisa menggantikan fungsi itu."

Sunyi kembali merebak, dengan mereka mencoba mencari secercah harap, yang tentunya Ann tidak bisa juga temukan. Ia sudah menyerahkan segalanya pada takdir - dirinya yang tidak terbunuh karena masih memiliki arti, ia sudah memasrahkan segalanya.

Ia berpikir demikian, tapi, ia sama sekali tidak bisa menghapus memorinya bersama Kelas Sembilan begitu saja. Akan tetapi, menyuarakan kalau ia pastinya akan kangen dan merindukan mereka mungkin akan membuat segalanya lebih sulit.

"Ini mungkin telat, tapi bagaimana kalau habis ini kita foto? Sekali saja untuk kenang-kenangan," imbuh Blair. "Kalau tidak salah Matron Thalia punya polaroid, nanti filmnya bisa dicetak untuk dibagikan, dan datanya bisa disimpan di Cincin Peri."

"Ide bagus, Blair-ku sayang!" sambut Alicia. "Oh tapi ... di mana Fio?"

Muriel tampak sudah bangkit dari kursinya hendak mencari teman sekamarnya itu, tapi Ann meminta Muriel tetap duduk. "Biar aku saja. Kalian ... kalian bisa mempersiapkan untuk foto, ini tidak akan lama."

Entah kenapa, tanpa Muriel beritahukan, Ann tahu di mana gerangan Fiore berada sekarang.

Perpustakaan asrama.

-

Ann mengintip dari sela-sela pintu yang terbuka, mendapati gadis berambut pirang yang duduk memunggungi arah pintu. Dari sana, ia bisa melihat gadis itu tengah memainkan kepang rambutnya, sambil sesekali memainkan kalung berbentuk kupu-kupu yang tidak dikenakannya pada hari itu.

Ann berusaha membuka pintu tanpa suara, namun ia gagal. Segeralah disambut Fiore dengan galak.

"Riel, aku nggak mau datang ke–" suara lengkingnya terhenti. Ann melambai ke arahnya canggung. Fiore menepuk dahinya. "Cih."

"Kasar sekali, pendek."

"Kamu yang-" Fiore telah berdiri dari kursinya, ia kembali mengepalkan tangannya di depan Ann dengan geram, tapi akhirnya ia menurunkan tangan dengan lunglai. Kalung berupa kupu-kupu itu ada di tangan kirinya. "Kenapa sih kamu itu nyebelinnya setengah mati?"

"Oh, tapi kamu waktu itu berusaha membunuhku."

"Ann, itu bukan bercandaan."

"Aku sedang tidak bercanda, Fiore."

"Lalu kenapa kamu memilih untuk mengorbankan dirimu sendiri? Sudah sok jagoan sekarang karena jadi Progenitor versi lebih baik yang jadi incaran semua orang?"

Kalimat itu getir dan menusuk kalbu. Kemarahan seperti mantel yang dikenakan Fiore untuk menyuarakan apa yang ada di pikirannya, di hatinya; dan ketika kemarahan itu sirna, Fiore meringis.

Sama seperti Alicia yang tadi sudah mengatakannya mewakili yang lain.

Sama seperti Muriel yang sudah mengkhawatirkannya.

Sama seperti Lucia yang menamparnya.

Sama seperti Gloria yang bahkan tidak mampu lagi berkata-kata.

Mereka semua merasa Ann adalah bagian mereka dan perpisahan ini adalah sebuah fase yang tidak terelakkan. Pilihan yang Ann lakukan untuk menghentikan segala kebodohan yang mungkin terjadi di masa depan. Menolong mereka yang memang membutuhkan.

Fiore menerjangnya, memeluknya lebih erat dibandingkan saat ia mencoba menenangkan Ann ketika Ann mengetahui kebenaran di balik memori dan identitasnya. Pelukan itu sangat kuat, lagi Ann tidak mampu bergerak untuk membalas. Yang bisa ia bisikkan adalah kata-kata maaf yang berulang, bagaikan kaset rusak yang terus-menerus diputar.

"Dasar bodoh." rutuk Fiore untuk Ann dengar.

-

Dengan sedikit bujukan, Fiore setuju untuk ikut dalam kegiatan foto itu. Matron Thalia yang membantu mengatur posisi mereka dan mengambil foto berlatarkan ruang lobi asrama. Matron mengambil tiga kali foto untuk memastikan mereka sudah puas, sebelum akhirnya Matron membubarkan mereka karena jam malam sudah berbunyi.

Roll call dilakukan oleh Val seorang diri, yang masih menatap tajam Ann namun pada akhirnya ia meminta maaf karena sudah lancang. Ann mengatakan kalau ia pantas menerima itu, dan ketua kelas pun melepasnya dengan senyum lebar.

Gloria duduk di sisi kasurnya, menatap Ann yang duduk di seberangnya. Gloria sesekali memainkan buku-buku jarinya, pandangannya mengedar di kamar yang mereka bagi bersama sepanjang masa ajar.

Nona kaya eksentrik yang selalu berkutat dengan mekanika dan mesin. Sosok aneh yang tidak suka dipandang sebagai seorang Wiseman, tetapi sebagai 'Gloria'. Gadis yang menyembunyikan sifat kasihnya di balik wajah eksentrik nan banyak omong.

"Mungkin kamu sudah menebak, tapi aku tidak suka perpisahan, Ann."

"Iya, aku tahu."

"Yang kamu bilang tadi, kalau saja ada instrumen yang bisa menggantikanmu, apa mungkin kamu bisa kembali?"

"Sekarang tapi tidak ada, 'kan?"

"Ah kamu yang positif sedikit kenapa!"

"Aku ini realistis."

"Realistis apanya!"

Gloria melemparnya dengan bantal. Ann menangkapnya dengan kedua tangan. Gloria tertawa lepas, dan ia kembali diam, memainkan buku-buku jarinya lagi dengan resah.

"Masa agresi ini akan berlanjut dan setelah lulus, kemungkinan kami semua akan ditugaskan di ranah lokal," ucap Gloria. "Misalnya, di luar Angia ini ada jawaban mengenai instrumen yang bisa menggantikanmu, apa kamu akan bertaruh dan mengambil risiko?"

"Risiko?" Ann mengerjap. "Aku tidak akan bisa kemana-mana, tapi mungkin aku tidak bisa menghentikan kalian ..."

"Heh, memangnya kamu mau kita bebaskan nanti? Atas dasar apa? Menurutmu juga tidak ada instrumen yang bisa menggantikanmu. Mimpi sana. Katamu tadi jadi orang harus realistis!"

"Habisnya," Ann menggaruk pipinya. "Aku ... aku pasti akan merindukan kalian."

Kalimat itu meluncur juga dalam obrolan sengit mereka dan mata Gloria mulai berair. Ann merasa wajahnya menghangat, ia pun menundukkan kepala.

"Sini bantalku, aku mau mewek."

"Baik, kutunggu."

Malam itu benar-benar merupakan malam terlama di dunia, pikir Ann.

-

Pagi sekali, sebelum Gloria sempat terbangun dari obrolan tengah malam mereka, Ann sudah menenteng bawaanya keluar kamar.

Lorong itu sangat sepi di pagi hari. Ann tidak ingat pernah bangun sepagi ini setelah membiasakan diri di asrama. Apel pagi di barak Kota Nelayan berlangsung pagi sekali dan siapa saja yang telat datang akan diminta dua ratus kali push-up dan lari sepanjang garis pantai tanpa alas kaki.

Ann mengulas senyum kecil seraya ia menutup pintu. Cincin Peri miliknya sengaja ia tinggalkan di atas meja belajar. Ia lalu melintasi lorong dengan langkah-langkah kecil, menuruni tangga tanpa derit hingga ia mencapai lobi, dan-

"Mau sarapan apa, Ann?"

Ann terkesiap Muriel menyambutnya di lobi, sudah mengenakan seragam dan celemek. Ann pun segera melihat ke arah sekeliling, tidak ada seorang pun anggota kelas di sana.

"Boleh aku menolak?"

"Roti panggang dan susu, baik," Muriel segera menuju ruang makan. "Instruktur Bathory masih mengurus keberangkatanmu jadi sebaiknya kamu menunggu dulu sambil isi perut."

Melihat dirinya tidak bisa menolak, Ann pun menurut. Ia menunggu di salah satu meja hingga Muriel datang dengan dua piring roti panggang. Ann mendahului Muriel untuk mengambil susu di konter sehingga dia tidak perlu bolak-balik.

"Apa kamu mau aku bilang sesuatu agar kamu berpikir kembali soal keputusanmu?"

Ann sedikit tersedak, ia pun menggeleng.

"Hah, memang ya kalau sudah satu ya satu." Muriel mendesah, menikmati rotinya dengan khidmat. "Kamu sudah mengucapkan perpisahan yang benar pada Fio dan Gloria?"

"Su-sudah kok."

"Bagus," Muriel tersenyum. "Semoga nantinya kita bisa kembali bersama lagi, berdua belas sebagai anggota Kelas Sembilan, Ann."

Ann tidak tahu rotinya yang asin atau memang ia sudah meneguk air matanya sendiri sampai Muriel membawakannya sapu tangan.

-

Di sisi lapang Sekolah Militer Dresden, ada seorang gadis yang tengah mengayunkan pedangnya teratur, saking tegak dan teraturnya, bilah pedang itu tidak terlihat. Ia selalu memulai pagi dengan dua ratus kali ayunan, sama seperti dengan apa yang sudah diajarkan pendahulu dan guru-gurunya atau nanti ia akan dihukum.

Namun, di ayunannya yang keseratus, gadis itu mendengar suara sayup-sayup nyanyian. Ia menurunkan pedangnya dan mencari asal suara, petikan dawai dan bisikan lirih berupa lagu yang syahdu.

Biasanya, guru sihirnya akan datang lima belas menit setelah ia menyelesaikan rutinitas berpedang pagi, lagi musik itu terdengar sudah berbunyi entah sejak kapan. Seorang gadis berambut pirang panjang duduk di salah satu bangku yang menghadap taman sekolah, panah yang biasa ia gunakan untuk melawan musuh kini menjadi instrumen musiknya, dan ia tidak berhenti bernyanyi hingga lagu yang dibawakannya selesai.

Tanpa terasa, air mata jatuh dari sang gadis pembawa pedang, ia sampai lupa bertepuk tangan saat lagu itu mencapai akhir.

.

"Lagu apa itu?"

"Sebuah elegi," ucapnya sambil menaruh dawainya, mata kirmizinya menatap langit yang tak berbatas. "Elegi untuk seseorang yang tidak akan kembali."


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro