Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

LXXII. | Pulau Penjara Norma, bagian keenam

Sang tentara yang hanya tahu bertarung, membunuh dan dibunuh sama sekali tidak mengerti apa itu sains dan apa yang melebihinya. Di kesempatan lain, ia mungkin akan berpikir bahwa wanita di hadapannya itu gila - atau dirinya sendiri-lah yang sudah gila dan segala yang dilakukan wanita itu adalah normal.

Pantas saja para petinggi yang memberikan misi serbarahasia padanya terus-menerus mengingatkan untuk jangan mengetahui sesuatu lebih dari apa yang perlu diketahui. Ternyata memang benar, ketidaktahuan adalah sebuah kemaslahatan - anda tidak perlu peduli atau mencari sesuatu yang tidak pernah kamu lihat, tidak pernah kamu rasakan, atau tidak pernah kamu dengar.

Di hadapannya kini ada dua tabung yang menyala. Seperti kata sang peneliti di hari sebelumnya, akan ada 'keajaiban' yang terjadi. Tiana yang mengaku seorang peneliti kini terlihat di matanya layaknya seorang penyihir yang tertawa lantang di depan kuali, ketika ia menggabungkan dua entitas yang disebutnya sebagai 'benda' menjadi sesuatu yang 'hidup'.

"Lihat, Komandan," ucapnya dengan senyum lebar. "Apa yang ada di depan anda adalah mimpi dari seluruh alkimiawan di dunia, Homunculus."

Ia menatap tabung ketiga, setelah mengamati penggabungan yang ada di luar nalar barusan tanpa mengedip. Sesosok berbentuk manusia ada dalam tabung, tersambung dengannya berbagai kabel-kabel yang masing-masing menampilkan informasi ke layar. Manusia di dalam tabung itu terlihat seperti anak kecil, mungkin sekitar umur sepuluh tahunan. Ia memiliki warna rambut yang mirip seperti Tiana.

"Oh, aku sengaja menggunakan DNA-ku untuk menjadi sumbernya, jadi Komandan bisa anggap dia ini klon diriku."

"Itu ... bukan lelucon, 'kan? Saya tidak seharusnya tertawa, 'kan?"

"Kamu lucu sekali, Komandan." si peneliti terbahak. "Kamu sudah melihat keajaiban, buah mimpi semua orang Chevalier, mengapa sekarang kamu kayak mau lari tunggang-langgang begitu, hm?"

"Chevalier ...?"

"Ya, alasan mereka memilihku sebagai peneliti utama bukan hanya karena aku sembarang peneliti. Aku juga masuk sebagai garis keturunan darah alkemis di Angia yang dibilang sudah punah!" si peneliti membusungkan dada. "Ironis, bukan? Padahal semua ketakutan dengan senjata yang dibuat untuk melawan Para Peri, tapi akhirnya mereka gelap mata dan memanfaatkannya!"

Ia menunjuk tabung itu. "Anak ini ... senjata?"

"Hmm, harusnya iya. Menurut pemimpin proyek sih begitu," si peneliti mengedikkan bahu. "Sayang sekali anak ini akan dipakai nanti sebagai alasan membunuh orang, rasanya aku ingin pura-pura melenyapkannya agar dia tidak dipakai."

Sang Komandan terperangah, "... Eh? Kamu tidak setuju?"

"Mana ada orang yang suka karya emasnya dipakai untuk perang? Belum lagi, bukannya tadi aku sudah bilang kalau ini dari DNA-ku, Komandan? Dia ini seperti anakku!" ia menunjuk tabung itu kemudian beralih pada si Komandan yang mulai berkeringat dingin. "Kondisi optimal ini tidak bisa dicapai dengan mudah, makanya kusebut kalau masa inkubasinya bisa sampai sepuluh tahun! Dasar kalian ini otaknya di otot semua, ya?"

Komandan yang tercengang kini tercenung. Si peneliti memang mood-nya suka berubah-ubah cepat seiring berjalannya waktu. Sang Komandan tidak tahu beliau menyerocos apa-apa lagi soal bahan penelitiannya, ia hanya menatap tabung ketiga berisi 'manusia' itu dengan tatapan nanar.

Penelitian ini - senjata yang dibuat si peneliti ini - sebuah manusia yang dibentuk dengan sains, alkemi dan mungkin sihir, nantinya akan menjadi penentu nasib seseorang akan hidup atau mati?

Si peneliti menepuk-nepuk pundak lebar sang Komandan, ia tersenyum lembut, "Tidak usah terlalu dipikirkan, Komandan. Bukan anda yang tangannya kotor dengan segala eksperimen ini, tugas anda hanyalah mencatat, bukan?"

Sang Komandan menelan ludah, ia melihat pena dan buku catatan bersampul kulitnya yang terbuka tidak terisi di tangannya. Si peneliti hanya tersenyum simpul ketika Komandan yang tangannya mulai mendingin itu akhirnya mulai mencatat laporannya untuk hari itu.

-

"Tidak biasanya kamu bawa orang, mau jadi penonton gratisan?"

'Nina' yang sudah lama tidak ditemui Ann menyambut kedatangan mereka berdua ke sana dengan ketus. Fiore, yang emosinya mudah tersulut, sudah seperti hendak melayangkan tinju, Ann menahannya dari mendekati 'Nina'.

"Fio, dia ini ..." Ann melirik ke arah 'Nina'. "Anggap saja dia sebagai pemandu."

"Hee, apa ingatanmu sudah kembali soal Master?" 'Nina' mengerling ke arah Ann penuh harap.

"Belum, tapi aku bisa menduga apa yang terjadi," jawab Ann. "Aku di sini untuk memastikan."

'Nina' berkacak pinggang, tampak kurang puas dengan jawaban Ann tapi ia mengalah. "Lalu, untuk apa penonton gratisan ini? Tameng?"

"Aku bukan penonton gratisan, bocah tengik!"

"Fio," Ann mendorong Fiore mundur. "Simpan omelanmu ketika kita sudah keluar dari sini."

Di sisi lain ruangan, di hadapan tabung kaca yang berisi homunculus, sang peneliti dan sang Komandan telah selesai bercakap-cakap. Komandan itu tidak banyak bicara setelah si peneliti memperlihatkan 'kengerian' berupa 'manusia buatan'. Si peneliti tidak menginginkan gubahannya dijadikan sebagai alat, tapi ia terlihat bukan seperti seorang yang peduli dengan nasib khalayak banyak. Ia seperti kebanyakan peneliti yang sekedar peduli dengan hasil ciptaannya sendiri.

Komandan itu memakai fedora-nya lagi dan pergi, meninggalkan Lahan Suci dan si peneliti itu sendiri. Senyumnya yang ada selama berbicara dengan si Komandan pudar, ia lalu menurunkan goggle yang selalu digunakannya dan melepas maskernya.

Bahkan Fiore pun turut tersentak melihat sang peneliti Tiana, yang tidak ada bedanya dengan Ann sekarang. Rambut coklatnya yang panjang sekitar punggung, matanya yang keunguan, hingga ekspresinya yang terlihat malas-malasan. Memang, sesuai kata-katanya tadi, sang manusia buatan bersumber dari DNA beliau, tapi tidak mungkin semuanya bisa sama persis, 'kan? Belum lagi saat di Baldwin, Jenderal Sigiswald sampai salah menyebut Ann sebagai 'Tiana'.

"Semua tentara sama saja, mereka ketakutan melihat sesuatu yang lebih berbahaya dari mereka sendiri," si peneliti mengacak rambutnya. "Kukira kamu berbeda, Komandan."

Ia melempar sembarang masker dan kacamata pelindung itu ke arah belakang. Tiana kemudian menempelkan wajahnya ke arah tabung.

"Progenitor, A/N," ucapnya. "Tidak akan kubiarkan kamu jatuh ke tangan mereka yang rakus."

Mereka menatap sang peneliti yang kemudian melakukan pengecekan rutin terhadap tabung, dan 'Nina' bersiul, "Master baik sekali, 'kan?"

"Sulit dipercaya," Fiore angkat bicara. "Kamu dan peneliti itu benar-benar mirip."

"Ya, dan si bodoh ini tidak tahu berterima kasih dengan melupakan Master," 'Nina' menginjak kaki Ann. "Ah, tapi, kalian belum sampai di bagian terbaiknya."

"... Bagian terbaik?" tukas Ann, sementara senyum Nina menyeringai tajam. "Maksudmu, saat tempat ini hancur? Peneliti berhasil menghancurkannya?"

"Hmm, jawabanmu benar, tapi juga salah," 'Nina' membalasnya. "Kalian saksikan saja penderitaan ini hingga habis."

-

Hari demi hari berganti di laboratorium itu dan sang Komandan kembali datang untuk meminta laporan. Saat itu, tabung tidak lagi berisi apa-apa dan sang peneliti mengajak si anak buatan duduk di pangkuannya sembari sang Komandan bertandang. Pakaian yang dikenakan gadis kecil itu sama dengan apa yang digunakan 'Nina', sebuah baju terusan putih polos.

Homunculus itu melirik ke arah Komandan dan melambaikan tangan. Sosok kecilnya itu bak pinang dibelah dua dengan sang pembuat.

"Bagaimana, lucu 'kan, dia ini?" ucap si peneliti yang kini kembali memakai perlengkapan keselamatan lengkap itu. "Tapi dia tidak bisa bicara."

"Tidak bisa bicara?"

"Ada sesuatu yang kurang lengkap, atau mungkin karena Progenitor ditanam padanya, fungsi manusiawi-nya berkurang. Sangat menyedihkan!" si peneliti menaikkan tangannya dengan dramatis. "Dia masih akan aku observasi lebih lanjut. Mungkin pelan-pelan dengan berbagai administrasi cairan lanjut, kemampuan berbicaranya akan muncul dan dia jadi lebih ekspresif!"

"Tapi, Nona Tiana, atasan sudah meminta prototipe-"

"Prototipe!" ia mendecak. "Prototipe apa? A/N hanya ada satu! Kalau dia mau ambil sampel, ambil saja salah satu batu di kotak itu."

Komandan menghela napas panjang, "... Serius? Nanti aku dimarahi, lho?"

"Biar saja, sudah tugasmu sebagai bawahan tentara adalah dimarahi atasan!"

"Kejam sekali anda!" pekik sang Komandan. Ia menggeleng-gelengkan kepala keheranan.

Pada akhirnya ia mencari di kotak yang ditunjuk si peneliti dan mengambil bongkahan batu terbesar dan termerah yang bisa ia temukan. Sementara, sang peneliti asyik mencubit-cubit anak kecil di pangkuannya seperti seorang kakak yang sedang main dengan adiknya ketimbang seorang ibu yang sedang mencoba berkomunikasi dengan anaknya.

"Jadi, anda sudah punya rencana untuk meloloskan anak itu dari sini?"

Peneliti berpikir sejenak, "Rasanya aku ingin menaruh dia di sebuah tempat jauh yang aman. Tadinya aku berpikir Spriggan, tapi katanya Spriggan mau diserang Norma, ya?"

"Kamu tahu soal itu? Itu, 'kan, rencana rahasia."

"Oh, tapi aku bagian dari rencana rahasia mereka juga, Komandan," peneliti itu bergestur pada Lahan Suci yang ia tempati dan anak buatan di pangkuannya. "Toh para prajurit tamak itu kalau sudah besar mulut semua rencananya juga akan ketahuan."

Komandan tampak menggeram, tapi ia tidak bisa berdalih. "Lalu, di mana tempat jauh itu?"

"Kontinen lain rasanya kejauhan, jadi mungkin ke Pulau Penjara? Kudengar di sana benar-benar netral, dia bisa saja hidup di situ dengan tenang."

"Di ... penjara?" Komandan kembali menggeleng-gelengkan kepala. "Idemu ini ada-ada saja."

"Hei, aku ini benar, lho. Tidak ada tempat aman di Angia bagi anak ini, dia adalah Progenitor yang dapat mengguncang sejarah," si peneliti mengacak rambut sang anak. "Kalau sampai orang luar rencana tahu, mereka pasti akan menilik soal Prasasti dan Lukisan Pertama dan menganggap anak ini bencana. Padahal lihat, ia sama sekali tidak merusak, 'kan?"

Komandan pun disodorkan anak buatan yang menatap sang komandan dengan polos dan datar, Komandan melangkah mundur.

"Memangnya Progenitor ini ... apa sih?"

Si peneliti menopang dagunya, "Benar-benar, otak kalian ini di otot," cibirnya. "Baik, kujelaskan secara singkat biar orang sepertimu bisa paham. Intinya, Progenitor ini jadi kunci serbaguna yang bisa digunakan untuk mengontrol seluruh orang di Angia yang menggunakan Bloodcalyx dalam rasio tertentu."

"Wow, jadi seperti ... pemaksaan?"

"Cuci otak, Komandan. Cuci otak. Tolong istilahnya dipakai." bantah si peneliti. "Aku tidak akan bercerita panjang lebar soal sejarah Bloodcalyx padamu, cari sendiri kalau penasaran. Intinya, Progenitor bisa melakukan itu, tapi, A/N lebih spesial karena dia ada dalam wujud manusia!"

Komandan terlihat penasaran. Ia menurunkan catatannya dan menyandarkan diri di salah satu dinding, "Lebih spesial kenapa? Bukan cuma karena beda bentuk, 'kan?"

"Karena dia punya kesadaran sendiri, A/N bisa menetralkan efek Progenitor. Kalau semua bilang Progenitor racun, A/N adalah detoksnya."

Mata sang Komandan membulat, "Sekedar membuatnya ke 'manusia' bisa mengubah efek rusaknya? Kok begitu?"

"Sederhananya, coba kuibaratkan Progenitor ini seperti air."

Sang peneliti mengambil segelas air dari meja yang ada di sampingnya. Ia lalu menunjukkan gelas itu pada sang Komandan yang memerhatikan.

"Kalau ada air saja, anda pasti berpikir untuk menggunakan air untuk minum, atau mungkin mandi, sesuatu yang sederhana," si peneliti lalu menaruh gelas itu di atas meja lagi. "Tapi misalkan aku kumpulkan banyak sekali air dan aku gunakan kumpulan air itu sebagai pembangkit tenaga air."

"Intinya ... kamu mencoba mengumpulkan kekuatan dalam satu aplikator dan mengaplikasikannya untuk fungsi lain?"

Si peneliti menjentikkan jari, "Ah! Pintar, Komandan, tumben sekali! Maaf aku tidak bisa menghadiahimu permen, jadi kuberi saja segelas air ini, ya?"

Komandan berekspresi hambar, namun ia menerima gelas air itu dan meminum isinya.

"Cara kerja A/N sendiri, bagaimana?"

"Itu rahasia pabrik, Komandan."

"Ehh? Kamu sudah memberitahukan panjang lebar begitu dan sekarang sisanya rahasia!?" pekik si Komandan, merasa tertipu.

Si peneliti hanya menjulurkan lidah, ia kemudian kembali asyik bermain dengan homunculus miliknya.

Di lain sisi, Ann mengamati pembicaraan dengan saksama. Fiore di sampingnya menelengkan kepala, berpikir.

"Kamu bisa menetralkan Progenitor, tapi sepertinya kamu belum ingat apa-apa hingga sekarang?" imbuh Fiore.

"... Maaf, belum."

"Yah, turuti saja apa kata anak itu dan melihat memori ini sampai habis." Fiore mencari anak itu, 'Nina', yang seharusnya berdiri di dekatnya, namun ia tidak menemukan siapa-siapa selain mereka berdua. "Lho? Kemana bocah itu?"

Ann mengerjap, ia mengedarkan pandangan turut mencari. 'Nina' tidak ada di sekitar mereka. Tidak juga terlihat di ruangan itu. 'Nina' menghilang bagai asap, dan seharusnya ia tiba-tiba akan muncul lagi seperti biasa, tapi ia juga tidak terlihat lagi bahkan setelah si komandan dan si peneliti berpisah jalan untuk kesekian kalinya.

.

Memori yang mereka amati berikutnya adalah sebuah ledakan yang menghapus segalanya - ruangan itu, juga seluruh jerih payah dari penelitian sang 'Tiana'.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro