LXXI. | Pulau Penjara Norma, bagian kelima
Hari telah berganti, walau tengah malam belum berhenti menjelang.
Ann mengambil kaleidoskop yang dibawanya dari depot barang dan kembali ke arah klinik. Ia melangkah perlahan menuju arah tempat tidur Fiore, mendengar sayup-sayup dua orang tengah berbicara. Salah satunya adalah Muriel, yang tampaknya menawarkan diri untuk menyuapi Fiore sambil bercanda, sementara Fiore yang dengan pasti menolak tawaran Muriel yang sudah membuatnya malu dengan gendongan tadi.
"Muriel, aku bisa makan sendiri."
"Kamu udah gapapa, Fio?"
"Tenang saja, cuma energi sihirku yang habis."
"Itu bukan 'cuma', Fio," sambut Muriel, ada nada khawatir di sana. "Kalau ada apa-apa terjadi padamu, kita semua juga akan sedih."
Fiore terdiam. Langkah Ann terhenti. Ann seketika berpikir, apa mereka pun akan sedih andaikan Ann memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sebagai Progenitor yang bahkan tidak bisa disebut kehidupan. Ann sudah 'berfungsi' dan mungkin 'melaksanakan tugas', walau ia memiliki kesadaran sendiri dan tidak ada sangkut-pautnya dengan rencana besar Bluebeard.
Sebentar lagi, mungkin kekosongan memorinya akan terisi dan ia mengetahui kebenaran mengenai laboratorium itu dan alasan mengapa dirinya ini 'ada'.
"Fio, kamu harus menjaga dirimu baik-baik, ya. Tenang saja, kami semua akan membantumu kalau kamu kerepotan," ucap Muriel. "Kamu juga sama 'kan, Ann?"
"Eh? Riel, kenapa kamu bisa tahu aku ada di sini?" pekik Ann di balik tirai.
"Insting?" ucap Muriel ringan.
Ann pun akhirnya menampakkan diri. Ia melambai ke arah Fiore yang sedang menghabiskan supnya. Fiore menarik kursi yang didudukinya untuk Ann, sementara ia melenggang pergi.
"Aku mau ambilkan Fiore air, kamu di sini dulu."
"Riel, tung-"
"Aku nggak lama-lama~" oke, dia bohong. Insting Muriel terlalu kuat untuk itu.
Muriel meninggalkan Ann dan Fiore, yang masing-masing diam. Fiore fokus ke supnya, sementara Ann bingung mau mulai menjelaskan dari mana.
Kenyataan bahwa dirinya adalah homunculus. Kenyataan bahwa sirkuit sihirnya berubah menjadi 'azoth'. Kelereng mata kaleidoskop yang bisa menunjukkan sisa masa lalunya yang menjadi ganjalan pikirannya.
"Apa, Ann?"
"Hah?"
Fiore meletakkan mangkuk sup yang sudah kosong di samping tempat tidurnya. "Kamu kayaknya mau ngomong sesuatu tapi bingung."
"Emang sih," Ann terkekeh. "Aku payah sekali, ya."
"Ya, kamu sangat payah."
"Fio jahat, ih."
"Apaan sih kamu," cibir Fiore balik.
Mereka berdua kembali terdiam, sebelum akhirnya Fiore mengerang panjang dan menjentikkan jarinya. Ann tidak paham maksud gestur itu apa.
"Ya sudah, aku dulu," ucap Fiore. "Keturunan Titania ditugaskan untuk melenyapkan Progenitor karena Progenitor akan menyebabkan kekacauan di Angia. Tetua akan membaca garis ley dan mencari keberadaan Progenitor aktif, itu yang membawaku ke Dresden."
Ann tertegun, "Tapi sekarang, ada dua jenis Progenitor ..."
"Itu yang aku tidak mengerti, seharusnya Progenitor adalah satu entitas tapi sepertinya apa yang dipercayai Klan Titania sudah salah. Sihir dan teknologi terus berkembang, apa yang terjadi di Bluebeard di luar pembacaan kami."
"Lalu, kalau aku?" Ann menunjuk dirinya sendiri.
"Kamu ..." Fiore melipat tangannya, menyandarkan dirinya ke dinding. Ia menatap Ann lurus. "Kamu adalah Progenitor yang jadi tugasku, tapi kamu tidak menimbulkan kerusakan, kamu malah memiliki kesadaran sendiri."
"Fiore, kamu menganggapku benda?"
Fiore terdiam sejenak, sebelum ia mengangkat kepalanya, "Tidak," ucapnya jelas. "Kamu Ann Knightley."
Jawaban itu entah kenapa membuat dirinya lega. Seperti sebuah beban baru saja terangkat. "Padahal lebih bagus kamu menganggapku benda."
"Kenapa, memangnya? Agar menghabisimu lebih mudah?" Fiore membalas. "Aku tidak sekejam itu menghabisi nyawa orang yang tidak tahu apa-apa, Ann."
"Tapi Fio, aku tidak punya nyawa."
Fiore mengerjap, "Maksudmu, kamu sadar kalau kamu ternyata 'benda'?"
"Aku adalah manusia buatan, homunculus," Ann menjelaskan. "Tadi Bu Guru melakukan pemeriksaan padaku lagi dan menemukan aku tidak punya sirkuit sihir, namun dalam darah yang ada di dalam diriku ini ada sebuah elemen bernama azoth."
Sunyi merebak, membungkus tegang di antara mereka semakin parah.
"... Homunculus," Fiore merapal nama itu pelan, tampak ia tidak familier dengan istilah tersebut. "Tapi, kamu punya kesadaran, Ann. Kamu tetaplah kamu. Atau, terserahlah kalau kamu masih menganggap dirimu sendiri benda."
"... Fio jahat, ih."
Geram, Fiore menarik kerah Ann.
"Kamu ini! Jangan bikin orang yang baru bangun naik darah, deh!"
"Tapi ... makasih," ucap Ann dengan senyum. "Aku yakin kalau bicara pertama kali denganmu, kamu pasti akan bilang seperti itu. Kamu akan bilang aku masih manusia."
Wajah Fiore memerah, ia melepas kerah Ann dan berdeham keras-keras alih-alih menyembunyikan malu.
"Jadi, apa kamu ... menemukan hal lain selain soal azoth dan homunculus?"
Ann merogoh kantung kemejanya, mengeluarkan kelereng yang didapatnya dari Instruktur Bathory dan kaleidoskop milik sang kakak yang dibawanya, satu-satunya barang yang melekat padanya saat mereka kabur dari Baldwin selain senjata dan cincin perinya. Fiore mengambil kelereng itu, dan seperti Instruktur Bathory, melihatnya di sorotan cahaya, menemukan kelereng merah itu transparan.
"Kata Instruktur, ini mata kaleidoskop yang ia ekstraksi dari anomali di dalam azoth," Ann menyodorkan kaleidoskop memori kakaknya. "Jadi kalau kita melihat kelereng itu dengan bantuan kaleidoskop sihir, kita bisa mengetahui isinya."
"Apa ini akan menjadi jawaban, atau sekedar sebuah pepesan kosong?" ujar Fiore. "Tapi yah, kurasa ... ini bukan sekedar mata kaleidoskop tidak bermakna."
Fiore mengganti selongsong kaleidoskop itu dengan kelereng merah, menutupnya kembali dan memastikan segalanya dalam posisi sempurna dan tertutup.
"Bisa-bisanya kamu menyuruh orang yang tadi kehabisan sihir untuk ini," ejeknya. Fiore tertawa kering.
Ann menggembungkan pipi, "Habisnya. Aku belum siap memberitahukan ini ke orang lain."
"Karena kamu merasa ada yang kurang?"
"Iya."
Fiore mendecak, "Baiklah," ia menaruh kaleidoskop itu di tangan kanannya, menengadahkannya ke arah Ann. "Sini, pegang tanganku."
Mereka pun melompat masuk ke 'dunia memori' di dalam kelereng merah, kembali pada waktu sebelum seluruh kekacauan terjadi.
-
Kepala Sipir menyalakan batang ketiga rokoknya, yang kedua baru saja habis setelah mendengarkan Instruktur Bathory berbicara mengenai pengalamannya semester ini sebagai seorang pengajar.
"Ya, kamu memang tidak bisa melindungi murid selamanya, Claud," ucap Helga enteng. "Apalagi kalau murid-muridnya kasus spesial begini semua."
Instruktur Claudia Ars Bathory memijit batang hidungnya. Ia melihat asap yang muncul di ruangan timbul dan menghilang. Semua orang di kehidupannya datang dan pergi dengan cepat, seperti asap, namun mereka meninggalkan bekas yang mendalam.
"Apa ini yang dinamakan takdir yang disebutkan di Kitab Para Peri."
"Maaf, aku tidak terlalu peduli dengan ajaran Norma," Helga angkat tangan, ia menyeringai. "Tapi kalau memang ini dapat disebut takdir yang harus kamu hadapi, anggap saja demikian. Kadang tidak semua kebetulan bisa terus disebut sebagai 'kebetulan'."
"Guru, kenapa kamu tidak tetap di militer dan tetap jadi Instruktur sih? Kamu terlalu bijak untuk jadi kepala sipir penjara."
Helga menurunkan sedikit topinya, sebelum ia tertawa lantang. "Bisa aja, kamu," sergahnya. "Aku sudah terlalu bangkotan untuk mengayomi bocah-bocah."
Instruktur Bathory menghela napas panjang. Hari sudah berganti, dan mereka harus segera bergerak sebelum segalanya menjadi tidak terkendali. Lagi, kapan panggilan dari Dresden akan datang? Atau mereka harus bergerak sendiri, tanpa bantuan atau sangkut-paut dari instansi sekolah, berlagak seperti pahlawan kesiangan?
Menunggu benar-benar bukanlah hal yang disukai Claudia Ars Bathory, si tidak sabaran yang selalu ingin saja maju - pantas saja Leiria sering menyuruhnya untuk duduk dan menenangkan diri.
"Yuri sekarang jadi Diakon, dan Leiri ... ah, sori, Claud, bukan maksudku."
"Tidak apa-apa, guru. Wajar saja guru tidak tahu karena guru ada jauh dari Norma dan Bluebeard. Tidak ada juga yang mengenang jasa Leiria selain kami yang jadi anggota peletonnya."
Instruktur Bathory berdiri dari kursinya, merasa sedikit lega sudah bercerita pada mantan gurunya ketika masih jadi sekedar 'bocah'. Kini, ia harus menunggu dan beristirahat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro