LXVIII. | Pulau Penjara Norma, bagian kedua
Setelah sedikit banyak kericuhan (baca: kericuhan ala Kelas Sembilan dengan segala keributan dan anekdot masing-masing), mereka akhirnya sudah lebih tenang.
Helga memberi mereka ruangan C yang cukup luas untuk beristirahat. Ruangan klinik itu sejenak terlihat kosong selain mereka yang memenuhi ruangan C, tetapi Helga sempat bilang kalau kebanyakan narapidana memilih diam di sel mereka terkecuali butuh penanganan khusus klinik.
Staf berseragam putih selain penyembuh yang terlihat hanya berjaga di bagian depan turut mendorong tempat tidur dari ruangan lain agar mereka semua bisa kebagian duduk atau berbaring. Butuh sedikit waktu untuk mereka mempersiapkan dan mengondisikan ruangan, tetapi mereka profesional dan terlatih. Adanya kejadian luar biasa seperti ini tidak menyurutkan semangat mereka dan mengurangi efisiensi dalam menangani setiap pasien. Mereka juga tidak bertanya-tanya alasan mereka yang tiba-tiba datang, mereka segera melaksanakan tugas dari Kepala Sipir dan menjaga keadaan berlangsung kondusif.
Staf penyembuh membantu memeriksa luka yang mereka derita dan juga memberi saran mengenai apa yang mereka butuhkan, seperti sihir putih penyembuh, eliksir yang membantu percepatan penyembuhan dan vitalisasi energi, suntikan vitamin, atau kantong infus.
"Vitamin? Infus? Kayaknya kita tidak sampai se ... parah itu?" Eris mengimbuh, ia menoleh ke arah teman-teman di belakangnya yang bergantian disemprot cairan antiseptik di luka baret mereka. Hana minta disemprot dua kali, yang tentunya mendapat cibiran dari staf yang menangani.
"Iya, tapi dari pemeriksaan, ada dari kalian yang kekurangan cairan," staf itu menjelaskan, ia menunjukkan jarum infus. "Ditusuk tidak sakit, kok. Rasanya beda dengan kalau digores pedang!"
Eris bergidik, mundur beberapa langkah dari sang staf yang kemudian memohon maaf.
"Bahkan staf di sini pun bercandanya mirip ya, dengan Kepala Sipir ..." Blair berbisik.
"Apa, Nak? Kamu ada butuh apa denganku?" Kepala Sipir menjulurkan kepalanya dari balik pintu ruangan, nyengir.
"Hah? Ng-nggak kok, Kepala Sipir! Aman terkendali, ma'am! Kondisi hijau, ma'am!"
"Tenang saja, Blair! Beliau tidak gigit, kok!" ucap Alicia seraya menertawakan Blair yang merah padam.
Di antara mereka semua, Ann yang menderita luka fisik paling banyak, membuat Val makin kocar-kacir. Punggungnya diperiksa, jadi tirai di tempat tidur yang dihuni Ann ditutup. Luka gores dari tombak sang Jenderal pun dibersihkan dan diganti lagi perbannya. Staf penyembuh hanya menyuruhnya banyak duduk dibandingkan tidur, dan juga banyak minum.
"Ada yang sudah menyembuhkan punggungmu, ya? Terlihat bekas patahannya tapi sekarang sudah mulai menutup. Tinggal penyembuhan saja, nanti saya bantu dengan eliksir." ucapnya sambil mencatat, lalu melanjutkan untuk menutup bagian punggung atas dengan perban dan plester yang sudah disterilkan dan diampu dengan sihir.
Ann mengingat Fiore saat menyembuhkannya bilang kalau energi sihirnya sudah habis untuk menyembuhkan Ann dan ia hanya akan menyembuhkannya separuh jalan, tapi Fiore benar-benar memperbaiki patah tulangnya secara menyeluruh. Belum lagi, ia memusatkan energi untuk memacu Warden hitam, wajar saja dia bilang kalau dia tidak bisa berdiri sama sekali dari kokpit.
Warden hitam itu kini ada di lantai di bawah Layer B, katanya sedikit diperbaiki oleh insinyur internal Pulau Penjara. Gloria yang otaknya melulu soal Warden tadi sempat berkata kalau ia ingin menyusup ke bawah, tapi ia dihentikan oleh Karen.
Berbeda dengan pengguna sihir, yang Gloria lakukan adalah murni kerja otak. Ia sebenarnya pasti kelelahan, tapi ia berusaha untuk tidak memperlihatkannya.
Setelah beres dengan perban Ann, staf itu lalu melihat Val. "Kamu yang di sana ... ketua kelas, ya? Tenanglah, dia baik-baik saja kok."
Val menghela napas panjang penuh kelegaan, "Oke, sekarang aku ke Fio."
Ann melambai melihat ketua kelas pergi, menyibak tirai terbuka. Ann sedari tadi hanya mendengarkan yang lain mengaduh kesakitan ketika diobati atau mengobrol santai. Ann memakai kembali kemeja dan seragamnya, duduk sesuai anjuran agar Val tidak merasa kerepotan. Dari sini, ia bisa melihat teman-teman sekelasnya berlalu-lalang atau mendekat ke arah tempat Ann, suara mereka terdengar dekat sekaligus jauh.
Mereka lolos dengan sedikit pengorbanan, paling tidak. Tidak ada yang sampai terluka parah seperti Hana di Redcrosse, walau pengguna sihir mereka harus istirahat total sementara karena menggunakan sihir mendekati batas. Instruktur Bathory tampak masih mencoba menghubungi pihak Dresden dari sana, walau untuk saat ini belum ada jawaban yang masuk.
Beberapa saat kemudian, Muriel datang ke arah tempat tidur Ann, ia membawa benang dan jarum jahit.
"Ann, mau seragam-mu kujahit dulu?" tawarnya.
"Ah, blazernya saja, mungkin?" Ann menarik blazer miliknya. "Kemejanya tidak usah."
"Laksanakan~" Muriel mengambil blazer Ann dan duduk di kursi yang ada. Ia segera bekerja, dengan terampil memasukkan benang ke dalam jarum dan mulai menjahit. "Tak kusangka keahlian begini akan terpakai di sekolah militer."
Ann terkekeh, "Kamu apa sih yang nggak bisa?"
"Hmm, kalau kamu bertanya begitu, aku juga bingung," Muriel tampak berpikir, tapi ia tidak menghentikan gerak tangannya. "Oh, mungkin aku tidak bisa pakai tombak?"
"Rasanya seram membayangkan kamu melempar tombak, berbahaya."
Mereka berdua tertawa membayangkan skenario yang akan terjadi bila Muriel mencoba melempar tombak kuat-kuat, mungkin tombaknya hancur duluan sebelum sempat mengenai musuh dengan akurat.
"Fiore tidak apa-apa?" tanyanya mendadak.
"Hmm, dia sih sedang tidur. Sama dengan Karen." Muriel menjawab. "Jangan diganggu, Ann."
"Nggak bakalan. Lagian aku se-iseng apa, sih, gangguin orang capek yang lagi tidur?"
"Aku bercanda, Ann. Aku bercanda."
Mereka melanjutkan pembicaraan ke ranah yang lebih ringan, dan pastinya bukan tentang Fiore. Kelompok akhir yang merupakan pelindung cukup kelimpungan tadi saat ada serangan mendadak tentara besi. Untung saja mereka menempatkan beberapa petarung yang kuat di sana sehingga mereka yang baru saja kembali hanya cukup membantu sedikit.
Kalau Fiore tidak menyembuhkannya, apa jadinya dia? Dia tidak suka menjadi sekedar penonton ketika orang lain kesulitan.
"Oh iya, jam berapa sekarang?" tanya Ann.
"1800? Tadi aku baru saja tanya. Tidak terasa ya," ucap Muriel. Di sana tampak tidak ada jam dinding atau penanda waktu lain. "Ada apa, kamu lapar, Ann?"
Mereka sampai di Pulau Penjara ketika matahari masih tinggi, dan sekarang matahari sudah terbenam. Hari akan segera berganti dan mereka butuh jeda untuk pulih. Mereka yang mengetahui kebenaran dipacu oleh waktu. Apakah pasukan Bluebeard sudah mengumpulkan tenaga lain? Apa mereka sudah menuju Caelia? Apakah perang merebak ke seluruh Angia? Mereka tidak akan bisa tahu untuk saat ini.
"Ngg, nggak terlalu, sih. Aku cuma ... kepikiran sesuatu."
Utamanya soal Progenitor. Dan bagaimana ia mendadak 'menghentikan' serangan sang Jenderal Besar. Ann tidak ingat melakukan apa-apa saat itu. Belum lagi, Jenderal Besar merapal nama itu - nama 'Tiana' yang masih menuai banyak tanya.
Kemana gerangan si peneliti yang menjadi perpanjangan tangan Proyek Progenitor? Apa ia benar-benar mati dalam ledakan itu?
Muriel menelengkan kepalanya, "Kamu bisa cerita padaku, lho?"
"Ah, err," Ann memutar bola matanya. "Kayaknya aku akan tunggu yang lain siap mendengar juga."
"Baiklah," Muriel mengangguk-angguk tanda paham. Tangannya belum juga berhenti menjahit.
Muriel, bagian dari kelompok akhir yang menjaga Gloria dan Instruktur Bathory, tangannya tidak luput dari lecet dan memar. Akan tetapi, ia terus menjahit, seakan tidak merasakan apa-apa, bersiul kadang seakan menikmati pekerjaannya.
"Kamu ... nggak capek, Muriel?"
"Capek sih, ya, capek." Muriel menjawab. "Tapi dibanding yang lain, aku masih bisa melakukan sesuatu, misal membawakan air, atau seperti ini, menjahitkan baju. Aku bisa beristirahat nanti setelah segalanya selesai."
Memang, mereka lolos dengan pengorbanan sedikit, tapi bukan berarti mereka lolos sempurna. Perang ini kemungkinan akan membawa kerusakan besar di Angia, juga nyawa mereka akan dipertaruhkan.
Semua adalah akibat karena Progenitor - racun yang mengakar - seperti kata Para Peri yang memutuskan untuk pergi, 'mereka tidak akan menarik kata-kata mereka lagi'. Kekacauan akan terus ada di tangan manusia yang kerap gelap mata akan takhta dan kuasa, seakan perselisihan yang timbul selalu akan menumpahkan darah satu dan lainnya.
Ini salahnya - salahnya yang sudah 'hadir' di dunia.
"Nih, Ann, sudah~"
"Wow, cepatnya ..." Ann membentangkan bagian lengan yang tadi robek, kini sudah tersambung dengan rapi.
"Aku akan bertanya pada Kepala Sipir kalau aku boleh pinjam dapur atau tidak. Istirahatlah yang banyak, Ann."
Terdengar sayup-sayup suara Muriel bertanya ke Kepala Sipir yang berdiri di luar ruangan. Kepala Sipir bilang kalau mereka adalah tamu dan tidak perlu repot-repot membantu, tapi Muriel memaksa untuk membantu. Hana pun turut, bilang dengan bangganya kalau dia jagonya memotong sayur. Suara Muriel dan Hana pun menghilang, bersamaan dengan derap langkah sang Kepala Sipir, mungkin mengarahkan mereka ke arah dapur. Ruangan itu perlahan sunyi, hanya sedikit suara timbul dari langkah kaki staf penyembuh yang rutin memeriksa keadaan mereka, troli obat-obatan dan air minum, juga kasak-kusuk suara Val yang berbicara dengan Alicia.
"Sayap Peri. Ketua kelas, duduk! Kamu dari tadi mondar-mandir kayak setrikaan!"
"Kamu juga duduk, Alicia Curtis. Dan suruh Blair juga berhenti mondar-mandir."
"Tunggu, ketua kelas, eliksir ini terlihat menarik! Mereka bikinnya dari tumbuh-tumbuhan-"
"Oi, kalian, jangan berisik!" Eris berseru dari bilik lain, menuai gelak tawa Ann.
Paling tidak, mereka yang enerjik akan tetap enerjik, menjadi penawar bagi kondisi yang menegangkan.
"... Ann? Kamu tidak berbaring?"
"Tadi kata staf penyembuh sih aku duduk saja dulu, Lucia."
Lucia kini yang datang ke tempat tidurnya, ia menenteng botol besar berisi air dan bertanya apa Ann ingin minum. Ann menggeleng cepat, Lucia pun menaruh kembali botol besar di tengah-tengah ruangan.
"Kamu nggak ikut Hana dan Muriel?"
"Saya disini membantu ketua kelas dan memeriksa Karen, Fiore, dan Instruktur Bathory," jelasnya. "Seperti yang kamu dengar barusan, ketua kelas butuh ekstra kepala agar kepalanya sendiri tidak melepuh."
"Aku dengar itu, Lucia Florence!"
"Ketua kelas bawel, ah! Mereka bercanda doang kok!"
Dibanding yang lainnya, Lucia termasuk yang terluka paling sedikit, walau seragamnya tercabik di bagian kedua lengan. Ia meminta untuk duduk di samping Ann, Ann pun menepuk sisi kasur itu dan mempersilakan Lucia duduk. Lucia merenggangkan badan, entah kenapa melihat pedangnya absen karena disita terasa lain. Ann kurang bisa melihat Lucia tanpa tongkat itu bersamanya.
"Situasi seperti ini membuat kita semua kalut, ya," ucap Lucia. "Rasanya seperti, kita bisa berlaku lebih untuk ini, tapi tidak ada yang bisa kita lakukan ketika ada yang terluka atau kelelahan."
Ann mengangguk pelan.
"Harusnya saya ikut melindungi Fiore, ya, dia sampai memaksakan dirinya begitu," Lucia menundukkan kepalanya. "Tapi, melindungi Instruktur dan Gloria juga penting."
"Oh iya, Fiore masih jadi guru sihirmu, ya. Pendapatmu melihat bagaimana sihirnya bekerja, gimana?" Ann mencoba mengalihkan pembicaraan ke ranah yang lebih ringan. Ia tidak ingin terlalu sibuk menghawatirkan Fiore. Atau ya, sudah terlambat. Terutama sejak staf penyembuh mengatakan kalau lukanya disembuhkan penuh oleh orang yang menyuplai sihir untuk satu kelas.
"Dia ..." Lucia terlihat terkesima, bergetar karena sulit mendeskripsikan. "Ah, sepertinya kata-kata tidak bisa menggambarkannya. Jadi selama ini yang kita lihat di kelas itu versi minimal. Sejujurnya saya tidak terlalu mengetahui potensi sihir tapi apa yang dilakukannya itu sangat ... hebat? Tidak, hebat rasanya juga kurang pas ..."
Ann juga tidak tahu dan tidak paham dengan kerja sihir. Ralat, Ann tidak menyukai belajar sihir walau belum seperti versi Blair, tapi mereka melihat sendiri bagaimana keajaiban itu tercipta.
Seperti melihat berkat dari Para Peri.
"Setelah kita tahu dia keturunan Titania, rasanya dia jadi yang paling gila di antara kita semua, ya? Eh, tapi kamu termasuk juga, sih, Lucia."
Lucia menunjuk dirinya. "Saya gila?"
"Oh, bukan maksudku bilang kamu itu seram ..." Ann membenarkan. "Kemampuan berpedangmu sangat membantu kami. Kalau tidak ada kamu, yang lain pasti kewalahan dan akan lebih banyak lagi korban luka."
"Terima kasih kamu sudah berucap demikian." Lucia tersenyum tulus. "Saya rasa ilmu yang saya punya tidak seberapa dengan yang lainnya, tapi saya senang bisa menggunakan ilmu ini untuk melindungi kalian semua."
"Ehh? Yang seberapa tuh berapa, dong? Kamu bisa tiga pedang sekaligus, 'kan? Ayo kamu jadi kayak Hana sedikit dan membusungkan dada." Ann menggodanya, ia nyengir.
"Hana bahkan kill count-nya lebih banyak, lho, dari kita semua."
"Hah? Itu yang jadi tolok ukurmu?" Ann menggeleng-geleng. "Jadi harusnya aku dapat medali karena bisa selamat dari Jenderal Besar."
Lucia tampak menggebu-gebu, "Benar juga!"
"Ngg, tunggu, aku bercanda, Lucia."
"Artinya kita semua hebat, bukan?"
Ann menunjuk dahi Lucia, "Kamu juga harusnya bilang itu ke dirimu sendiri."
Lucia menopang dagunya, berpikir sejenak, "Akan saya pikirkan kalau saya bisa lebih percaya diri seperti Hana."
"Err, tolok ukurmu itu salah, deh. Serius"
Staf penyembuh yang mengobati Ann kembali datang, kali ini membawa botol berisi eliksir berwarna biru terang. Lucia membantu mengambilkan Ann air dan menyemangati Ann untuk meminum eliksir itu hingga habis. Akhirnya, dia diperbolehkan berbaring, dan Lucia pun pamit untuk membiarkan Ann beristirahat lebih baik.
Apa yang bisa mereka lakukan, di saat-saat kritis seperti ini? Apakah mereka bisa melihat perang ini berakhir? Apakah mereka bisa menghentikan Progenitor?
Ann memejamkan matanya, meminta otaknya sendiri diam sejenak agar ia bisa tidur - paling tidak sedikit jeda sebelum ia terlalu terjaga.
Ah, hidupnya sudah terlalu merepotkan untuk dia sekedar menjadi pengamat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro