LXVII. | Pulau Penjara Norma, bagian pertama
Pulau Penjara Norma, pulau yang benar-benar hanya berisi bangunan penjara yang dikepung oleh laut sejauh mata memandang. Tidak ada rumah penduduk, tidak ada pernak-pernik yang mencirikan kota atau desa pinggiran. Hanya ada bangunan itu, dengan bentuk kastil tinggi menjulang dengan pagar besi berduri yang sama tingginya. Semakin mereka mendekati penjara, semakin terasa kalau bangunan itu sangat mengintimidasi.
Namun demikian, itu adalah tujuan mereka - satu-satunya suaka di kala dunia sudah menggila, juga rumah bagi Alicia Curtis sang narapidana.
Alicia memimpin barisan, tampak sama sekali tidak gentar atau menyuarakan ketakutan dengan gedung megah berisi para kriminal dari seluruh Angia itu. Mereka disuruh Alicia untuk berhenti ketika sampai ke pintu besar nan tebal yang terbuat dari besi. Jelas tertulis larangan di pintu: DILARANG MASUK KECUALI YANG BERKEPENTINGAN, dan tulisan berikutnya: PULAU PENJARA NORMA.
Pagar besi berduri yang melingkupi sekitaran gedung ditulis dengan berbagai peringatan, salah satunya mengenai tajamnya pagar dan kalau pagar itu dialiri listrik. Blair segera menarik Hana agar tidak iseng menyentuh pagar.
Empat pasang kamera yang ada di atas pintu besar itu bergerak menyorot Alicia yang maju menuju sebuah kotak tanda berwarna kuning, ia melambaikan tangan ke kamera.
"Oi, buka pintunya!"
Separuh kelas berusaha untuk tidak tertawa terbahak-bahak.
Sebuah suara muncul, kemungkinan dari salah satu pengeras suara yang bentuknya seperti corong yang terletak di samping kamera sebelah kanan.
"Bocah," ucap suara pria yang serak. "Kamu ngapain di sini? Bukannya sekolah yang benar."
"Ini penting! Tolong buka dan bilang ke Kepala Sipir kalau tamu penting sudah datang! Sayap Peri, kalian tidak tahu apa situasinya sedang genting!?"
Lagi, mereka mencoba untuk tidak tertawa. Penjara ini sekilas seperti taman bermain anak-anak jadinya, dengan si anak yang paling kasar, urakan, dan tidak tahu diri memaksa membukakan pintu menuju wahana permainan.
Pria itu mendecak keras, sebelum tertawa kering. "Baiklah. Jangan lupa-"
"Lewati pintu pengaman? Iya, iya! Tenang saja, tidak ada orang ilegal di sini, mereka semua punya kartu identitas!"
"Sebentar, jadi kamu pernah menyelundupkan orang, Alicia Curtis?"
Alicia tidak menjawab pertanyaan Val, sekedar mengedikkan bahu sebagai tanda ia pura-pura tidak tahu. Val mendecih.
Mereka menunggu hingga pintu besar itu terbuka sedikit untuk mereka semua masuk, satu persatu. Mereka disambut dengan lorong panjang berupa jembatan yang terdiri dari jalur gravel dan bebatuan. Jembatan itu satu-satunya jalan yang ada, karena jauh di bawah sana, lautan dan karang tajam akan menyapa siapa pun yang mencoba melompat.
Di ujung jembatan, terdapat sebuah tenda yang tampaknya adalah pos pengamanan pertama.
"Pernah ada tahanan baru yang mencoba kabur dengan melompat dari jembatan ini," Alicia mengimbuh. "Untung dia masih hidup setelah kepalanya membentur karang."
"Trivia yang sangat menarik," Gloria terkekeh. "Ada lagi?"
"Di Spriggan penjaranya tidak seperti ini, kah?"
"Oh! Oh! Hana pernah dikurung di penjara Spriggan!" Hana mengacungkan tangan. "Penjaranya tinggi sekali! Lalu orang-orang itu dikurung dalam sangkar yang melayang seperti burung hias!"
Sebagian kelas mengernyitkan dahi, berusaha tidak memikirkan. Ternyata penjara yang ada di hadapan mereka ini bisa dibilang normal.
"Muriel, apa kamu mau menurunkanku sekarang?" Fiore bertanya ke Muriel yang masih menggendongnya, Muriel tersenyum lebar.
"Coba kutanya, apa kamu bisa jalan?"
Fiore menarik pandangannya, "Ng, nggak, sih."
"Tuh, kamu tahu."
"Tapi ini memalukan." Fiore merajuk, mengecilkan volume suaranya.
"Mau kugendong di punggung seperti adik kecil? Aku ingat sekali mengurus anak-anak di panti-"
"... Ti, tidak, terima kasih."
Ann tertawa di belakang Muriel, Fiore meliriknya tajam.
"Kalian jangan bertengkar atau salah satu dari kalian akan jatuh~"
Fiore melihat ke arah karang dan lautan di bawah jembatan. "Riel, tolong, jangan bercanda."
"Anak-anak ini masih bisa saja bercanda, ya," Instruktur berkomentar. "Saya merasa seperti sudah tua sekali di sini."
"Tiba-tiba merasa jompo, Bu Guru?" Blair terkekeh.
"Chevalier, jangan begitu. Coba ini di kelas, sudah saya kurangi nilaimu."
Mereka sampai di tenda, dan sesuai apa yang Alicia bilang pada suara penjaga tadi, mereka diharuskan melewati sebuah kotak transparan yang ada di tenda penjagaan. Satu penjaga di sana datang untuk memeriksa barang bawaan dan senjata mereka masing-masing dan menaruhnya di sebuah troli yang sudah disiapkan dan diberi label 'barang sitaan'. Penjaga yang ada mengenakan topi dengan emblem berupa logo penjara berwarna keemasan dan seragam serba hitam yang terdiri dari banyak sekali kantung. Petugas ini memiliki transceiver yang dipasangnya di ikat pinggang, bersamaan dengan tongkat panjang. Sebuah ban lengan berwarna merah yang menunjukkan bagian kerja mereka terpasang di lengan sebelah kanan.
Tidak boleh ada senjata dalam bentuk apa pun, tajam maupun tumpul, masuk ke dalam lingkup utama penjara, namun Cincin Peri diperbolehkan untuk tetap dibawa.
Di kotak transparan, sebuah pemindai berwarna hijau memeriksa mereka secara vertikal dan horizontal. Setelah kotak itu berpendar hijau, mereka diperbolehkan keluar dan orang berikutnya masuk ke dalam kotak.
"Bila ada barang yang ingin kalian ambil, silakan hubungi petugas terdekat, nanti kalian akan dibawa menuju depo pengambilan barang." ucap sang penjaga.
Setelah semua selesai diperiksa tanpa kurang satu orang pun. Penjaga itu memberikan mereka sebuah stempel yang dicap di punggung tangan mereka.
"Apa ini taman bermain?" seru Ann.
"Tidak, tidak. Ini stempel khusus untuk pengunjung. Tanda ini tidak akan hilang sampai kalian keluar dari lingkungan penjara," jelas Alicia. "Pengunjung artinya kalian boleh kemana saja. Beberapa kelas kriminal tidak diperbolehkan menggunakan ruangan bersama."
"Hoo," Val mengangguk-angguk. "Jadi kamu tidak dapat stempel, begitu?"
"Betul sekali, ketua kelas!" Alicia mengacungkan jempol. "Dan aku paling tidak bisa melepas ban besi ini kalau di sini."
Alicia meminta sang penjaga yang membuka penanda lengan itu untuk mematikan sensor dan sihirnya. Si pirang itu dengan bahagia mengusap-usap lengannya.
"Yah, bukan berarti aku bebas, sih ..." tambah Alicia lagi. "Lebih tepatnya aku sudah kembali ke penjara, itu saja."
"Tragis."
"Ketua kelas, ngomongnya yang tulus dikit kenapa?"
Setelah melalui pemeriksaan, mereka menuju lobi utama. Lagi-lagi mereka dipertemukan dengan pintu besar, kali ini berbahan kayu besi yang berat. Lobi utama penjara tidak bedanya dengan ruang administrasi Dresden, walau resepsionis yang ada di sana menghuni bagian tengah ruangan dengan meja melingkar.
Lantai lobi memiliki aksen kotak-kotak hitam putih, entah untuk bagian estetika atau sebagai pemanis dari seluruh bagian gedung yang menyuarakan 'tempat tahanan'. Kursi-kursi panjang yang terletak di sebelah barat adalah tempat tunggu. Terdapat papan besar dan layar interaktif di dekat kursi tunggu yang memperlihatkan informasi pengunjung, peraturan umum penjara, dan waktu besuk. Penunjuk jalan berbahan kayu yang terpampang dekat dengan resepsionis menunjukkan tiga tempat: TOILET UMUM, ELEVATOR UMUM, dan TAMAN.
Resepsionis lobi mempersilakan mereka menunggu di kursi sembari menunggu Kepala Sipir. Fiore akhirnya diperbolehkan Muriel untuk turun dan duduk normal di kursi, bukan di pangkuan Muriel.
"Di sini ada taman?" Karen mengimbuh.
"Aviari milik Pulau Penjara. Kurang lebih seperti wilayah hijau buatan yang tertutup," jelas Alicia. "Burung-burung di sini dirawat oleh para tahanan, satu dari banyak kegiatan yang boleh dilakukan."
"Boleh kita lihat-lihat?" Hana antusias mengidekan.
"Nanti, Hana. Kita ketemu Kepala Sipir dulu–oh, itu dia."
Kepala Sipir, menurut Eris adalah 'orang tua angkat' dari Alicia. Kepala Sipir adalah ketua yang mengayomi Pulau Penjara Norma. Tidak ada pangkat yang lebih tinggi atau ada badan lain yang menaungi Kepala Sipir. Yurisdiksi Penjara tidak terikat pada Norma maupun Bluebeard, walau mereka perlu melapor pada pemerintahan setempat bila memindahkan narapidana khusus dari satu provinsi Angia menuju Pulau Penjara.
Deskripsi yang begitu hebat membuat Ann membayangkan orang yang sangat hebat dan menakutkan ... dan ternyata ia tidak salah.
Wanita paruh baya yang tinggi, besar, dan kekar berkulit legam melebihi gagahnya Instruktur Faye ketika memakai cuirass muncul dengan derap langkah menggema di lorong lobi. Seragam petugas penjara yang terlihat polos di penjaga tadi terlihat ketat di tubuh Kepala Sipir, menonjolkan otot bisep yang sebagian tertutup plat decker hitam yang melindungi lengan atasnya. Seragam itu dilengkapi dengan pelindung dada dan berbagai bagian samping yang berisi tabung mirip granat ketua kelas. Tongkat panjang tersemat di ikat pinggangnya, bersama dengan pistol yang siap ditarik kapan saja di belakangnya. Sebuah alat komunikasi berupa transceiver tertempel di pundak kanan, kabel penghubung terlihat tersambung ke telinganya. Sebuah tanda pengenal tersemat di sebelah kiri beserta barcode dan foto yang terlihat lebih muda dan rapi ketimbang penampilannya sekarang. Sepatu boots yang menjadi sumber suara langkahnya terlihat mengilap tertimpa cahaya lampu ruang lobi.
Rambutnya pirang platina, diikat konde dan dimasukkan ke dalam topi, ia menurunkan kacamata hitamnya melihat kerumunan mereka, menampilkan mata sebelah kirinya yang tertutup oleh bekas luka melintang.
Ekspresinya yang semula kaku mulai menampilkan senyum, terutama ketika ia bertemu pandang dengan Alicia. Alicia segera berlari menghampirinya, dan wanita itu segera memeluknya erat - erat sekali sampai Fiore tertegun. Val turut berbisik mengenai pelukan beruang itu menghancurkan tulang atau tidak.
"Kudengar ada tamu penting, eh ternyata cuma kamu, bocah," wanita itu tertawa terbahak-bahak, melepas Alicia dari peluknya. "Kukira ada kunjungan mendadak dari Bluebeard!"
Eris menunjuk dirinya sendiri, "Saya dari Bluebeard, lho, Kepala Sipir?"
"Simpan bicaramu, Putri Kecil, aku bercanda kok." beliau mengibaskan tangannya.
Citra yang semula menyeramkan nan menakutkan hilang dengan gelak tawa sang Kepala Sipir yang tampaknya senang dengan candaannya sendiri.
"Namaku Helga, Helga Ainswald Curtis. Terserah kalian mau memanggil saya dengan Kepala Sipir, atau sekedar nama," beliau memperkenalkan diri. "Entah bocah sudah bilang atau belum, tapi dia kupungut dari dalam sel, jadi aku bukan ibu aslinya, oke?"
Alicia mengerucutkan bibir, "Pungut. Sedih amat."
"Memang kenyataannya begitu 'kan? Ah, kamu ini."
Melihat interaksi mereka, tampaknya sudah jelas mulut kasar dan selera humor Alicia bersumber dari mana.
Wanita itu kemudian mengedarkan mata jingga-nya ke teman-teman Alicia, ia lalu berhenti di Instruktur Bathory. "Oh, jadi si nakal Claud jadi gurumu toh?"
Semua mata kembali tertuju pada Instruktur mereka yang mendesah panjang, "Guru, saya sudah tidak nakal lagi."
"Dan aku juga bukan gurumu lagi, nak Claud!" sambutnya dengan tawa lengking. Kerut-kerut di pinggir matanya terlihat. "Sudah berapa lama aku pensiun dari Dresden? Hah! Apa Yuri dan Leiria masih hidup?"
"Yuri jadi Diakon sekarang, kalau Leiri ..." Instruktur Bathory memasang senyum datar. "Dia gugur di Spriggan."
"Ahh," mendapati ekspresi itu, Kepala Sipir menundukkan kepala. "Sayang sekali. Maaf aku sudah lancang, Claud."
Ia kemudian berdehem, ekspresinya berubah serius.
"Ada wangsit dari mana mendadak pulang ke rumah, hm, Alicia? Bawa orang banyak, pula. Ini bukan tempat wisata, tauk."
"Andai aku kesini untuk wisata, Kepala Sipir," Alicia mendecak. "Dari bagaimana kacaunya kami, anda sudah bisa membayangkan, 'kan?"
Kepala Sipir melipat tangannya, memerhatikan mereka semua dengan tatapan yang perlahan berubah nanar. Kemungkinan beliau sudah tahu sejak awal melihat mereka, sudah bisa membayangkan apa yang terjadi, walau belum sempurna kebenarannya.
Wanita itu menghela napas, sebelum ia menepuk punggung Alicia kuat-kuat.
"Kamu nggak ada sopan santun," ucapnya. "Kenapa tidak bilang dari awal di depan atau segera bawa yang terluka ke Layer B?"
"O-Oww, sakit! Ha-Habisnya gimana!? Aku juga panik!"
"Kita akan bicarakan ini setelah kalian beristirahat, tolong ikuti aku ke elevator utama."
Muriel kembali menggendong Fiore, yang meronta-ronta dan tidak Muriel turunkan lagi. Mereka menuju lorong yang berlawanan dengan arah daerah umum, menuju sebuah boks besar tanpa sekat dengan tuas kendali. Elevator yang dimaksudkan sang Kepala Sipir tampak bisa memuat ratusan orang sekaligus, saking besarnya. Kepala Sipir memastikan boks itu tersegel saat semua telah naik. Roda-roda penggerak dan tali mulai bergerak turun seiring sang sipir yang menarik tuas.
Pemandangan yang semula cukup remang-remang dengan sedikit lampu di dinding, berubah terang setelah mereka melewati rintangan pertama, terlihat di bawah mereka dengan jelas petak-petak ruangan yang tampak seperti rumah sakit namun dengan skala lebih kecil. Kotak elevator itu pun berhenti di tempat itu, 'Layer B', menurut sang Kepala Sipir.
"Ini lantai basement utama, pembatas antara lobi dan ruang bawah tanah yang berisi ... tahanan penting." Alicia menjelaskan. "Jadi, Kepala Sipir, tidak apa-apa kami memakai fasilitas ini?"
Helga membuka segel boks elevator dan mendahului mereka untuk memberitahu petugas kesehatan di sana yang berseragam sipir namun berwarna putih.
"Kosongkan ruangan C. Kalau sampai kulihat ada yang berleha-leha memakai tempat tidur, kutendang." suara menggelegar sang Kepala Sipir menggema di lorong hijau itu, dan para staf berhambur sesuai permintaan.
Ia lalu menoleh ke arah mereka, tertawa lepas. "Kalian ini perlu istirahat. Mikir yang lainnya nanti saja."
Ketua kelas lalu mengambil alih, membagi mereka yang membutuhkan perawatan lebih, yang butuh istirahat saja, dan mereka yang hanya mengalami lecet-lecet. Val segera melirik ke arah Ann, menariknya menuju ke staf yang ditunjuk membantu mereka.
"Kamu lupa ya kamu patah tulang punggung, Ann Knightley? Aku tadi pas lihat kamu datang membantu kami jadi was-was sendiri."
"Eh? Aku gapapa kok, ketua-"
"Nggak! Pokoknya kamu harus istirahat banyak," serunya. "Fiore Angelica Alba juga! Aku serahkan dia padamu, Muriel. Karen Ray Spriggan, jangan biarkan Gloria dan Hana kemana-mana dulu!"
Wah, wah, tampaknya ketua kelas tidak akan tinggal diam sampai semuanya baik-baik saja. Klasik ketua kelas.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro