LXIV. | Titik Nol
Mereka tidak punya banyak pilihan selain berlari dan terus berlari. Tatapan mereka lurus ke depan, mencari celah dan arah. Mereka mengikuti jalur utama yang sudah diberikan oleh kelompok akhir. Darah dan adrenalin terasa menggelora mengisi seluruh tubuh, bersikeras untuk memacu kaki sekuat-kuatnya.
Satu saja tertangkap, semua akan usai.
Gang demi gang, jalanan besar demi jalanan besar, kini sudah dipenuhi oleh tentara milik provinsi monarki Bluebeard; mereka dengan tubuh tegap, seragam abu-abu tanpa jeda dan topeng besi berwarna hitam. Seperti yang diagungkan Kanselir, semua orang di Bluebeard, provinsi besar yang mencakup mungkin setengah Angia, telah terlacak oleh sistem mereka dan mematuhi segala perintah, tidak ada yang bisa kabur dari mata kami dan perintah kami, seperti itulah Kanselir yang memegang tongkat itu angkat bicara.
Kalau mereka berlama-lama disana sebentar lagi, mereka juga akan terkena dampaknya. Tidak hanya tentara saja yang mencari mereka, melainkan penduduk sipil. Melukai prajurit mungkin masih bisa dibenarkan, tapi kalau mereka sampai melukai penduduk sipil? Itu adalah pelanggaran yang dirasa cukup besar.
Jangankan bisa selamat ke Pulau Penjara sesuai perkiraan. Bisa saja mereka benar-benar tidak bisa kembali ke Akademi Militer Dresden bila begini jadinya. Mereka bisa saja meregang nyawa percuma.
Sinyal peringatan berbunyi di telinga mereka, menandakan mereka nyaris terkepung.
"Sial, di jalur 5A juga sudah ada Tentara Besi!" seru Val. "Kita ke area B! Kelompok pengamat sudah sampai ke area D!"
"Hei hei ketua kelas, jangan mengumpat. Kamu mulai ketularan Alicia deh." si kecil di antara mereka berdua berceletuk.
"Habisnya! Aku tak menyangka ini benar-benar sesuai dengan skenario Karen!"
Karen terus mengingatkan bila mereka hendak terpojok, segera abaikan jalur utama dan ambil jalur lain secepatnya. Nantinya di kelompok akhir, data itu akan dimuat ulang dan mereka akan mengarahkan kelompok yang bermasalah ke jalan baru.
"Kalian berdua, bicara nanti saja. Sebentar lagi kita sampai ke titik C. Nanti kita lewat selatan." sergah gadis berambut coklat yang menjadi pemimpin pelarian mereka itu. Ann mengulurkan tangan kepada ketua kelas, menarik lengan itu dan memintanya untuk mempercepat kakinya.
Mereka berhenti di belakang kotak-kotak kayu sebelum empat simpang jalan bertemu. Sang pemimpin memberi gestur untuk mereka bertiga berjinjit pelan, menunduk di antara kotak. Suara langkah berat yang dihasilkan sepatu zirah milik tentara dapat terdengar mengetuk-ngetuk tanah gravel di pelataran itu. Mereka berhenti sejenak untuk mencari, sebelum akhirnya tentara besi itu memutuskan berpencar dan pergi.
Ann menyipitkan mata, berusaha memutar otaknya di antara gumam.
Berbeda dengan Karen yang bisa mengatur siasat dan menyusun strategi, Ann lebih senang membalikkan keadaan di lapangan. Mungkin karena itu juga, Instruktur menyuruhnya untuk memimpin kelompok, sebuah hal yang mungkin Ann dulu bilang merepotkan. Sekarang juga masih merepotkan, sih, tukasnya dalam hati, tapi ini tidak seberapa dibandingkan keberadaannya yang sudah membahayakan yang lain sebagai Progenitor.
Kalau dipikir-pikir, anak Kelas Sembilan itu mudah sekali menerima perbedaan. Atau mungkin karena Ann pun sendiri tidak tahu apa yang bisa ia lakukan sebagai 'Progenitor'.
Walau lain halnya dengan Fiore yang ... punya kasus tersendiri, terutama dengan misi pribadinya. Wajar saja kalau memang mereka tidak akan bisa bekerja sama seperti biasanya.
"Hana, lari ke kanan dan umpankan mereka ke utara." ucap Ann setelah mengamati keadaan. Ia tidak menghiraukan ketua kelas yang menarik lengannya untuk interupsi. "Aku dan ketua akan bertemu lagi denganmu di percabangan titik B."
"Siap kapten!" sambar Hana semangat dengan lagak hormat. Hana memanjangkan switch axe miliknya dan mulai maju. Sejurus dengan Hana dengan gesitnya membelah kerumunan tentara, si pemimpin kembali menarik ketua kelas untuk berlari melawan arah.
"Tidak apa-apa mengumpan Hana?" Ketua kelas mendecak khawatir. Memang, Hana belum sembuh benar setelah apa yang terjadi beberapa bulan silam, tapi Ann tidak mengambil keputusan cepat tanpa alasan.
"Dia yang paling cepat di antara kita, tidak apa-apa," jawabnya seraya terus berlari. "Kita pasti akan bisa sampai ke titik kumpul."
Titik kumpul, Ann mengernyitkan dahi; masih ada sekitar setengah kilometer sebelum mereka sampai ke titik kumpul yang sudah ditentukan. Mereka masih harus berkutat dengan gang-gang kecil dan menghindari tentara dengan grup besar yang lewat.
"Apa kita sudah bisa memakai Cincin Peri sekarang? Rasanya kita butuh mempercepat informasi juga." Val berseru.
"Gunakan milikmu, ketua kelas. Terlalu banyak nanti kita bisa mengirim sinyal ke prajurit yang mencari kita."
"Baiklah."
Jejaring informasi yang mereka ngiangkan dengan bantuan tenaga sihir Fiore dan modifikasi dari Cincin Peri di jari manis mereka terus memberitahukan bahwa hampir semua jalanan sudah terisi tentara, baik itu tentara besi milik sang jenderal, maupun polisi militer dan warga sipil. Kelompok Pengamat sebentar lagi akan mencapai zona aman, sementara mereka yang berasal dari kelompok utama terpecah masing-masing. Titik berupa Hana masih terus bergerak, tampak ia membelah kerumunan pengejar dan tentara-tentara tanpa henti, sementara dua titik berupa Ann dan Val berada di sisi yang berseberangan.
Rencana cadangan berikutnya: diperbolehkan bertarung untuk keluar paksa dari kepungan, namun diusahakan tidak lebih dari lima menit.
Pada akhirnya, mereka tidak akan bisa kabur tanpa menumbangkan satu atau dua peleton. Pemindaian area memberitahukan bahwa ada sekelompok tentara yang akan bersinggungan dengan mereka sebentar lagi.
"Siapkan granatmu, ketua kelas. Dua puluh meter lagi kita akan bertemu satu grup."
"Oke."
Ketua kelas selalu menarik tiga jenis granat dari gespernya, Ann selalu menghitung: yang pertama berupa granat asap, biasanya akan ketua kelas lempar paling dulu karena musuh akan menembak granat itu lebih dahulu. Yang kedua adalah granat yang memiliki daya ledak kecil, berfungsi untuk mengacaukan keseimbangan musuh yang kelabakan karena granat asap pertama. Dan yang ketiga adalah granat yang 'asli' untuk mencoba melukai dan menjegal; granat yang telah dipadu oleh ketua kelas dengan sihir berupa elemen api atau air.
Setelah mengamati bagaimana musuh merespon, giliran Ann untuk maju, membuyarkan formasi mereka dengan tusukan tombaknya. Lalu, ketua kelas segera mengambil posisi di belakangnya dengan senapan miliknya teracung tinggi dengan maksud menghardik.
"Biarkan kami lewat atau akan ada yang terluka." ucap ketua kelas, maniknya memicing dengan galaknya.
Tiga dari lima prajurit yang masih bisa berdiri setelah serangan itu segera menyerang maju. Geliat tombak dengan cepat mengantisipasi mereka yang bersenjata pedang, memutar badan tombak untuk melucuti tiga pedang sangat mudah dilakukan di kondisi pertarungan jarak dekat. Sementara, ketua kelas terus membayanginya sambil melayangkan tembakan peringatan ke arah kaki prajurit lawan.
Mereka sebagai seorang murid di sekolah militer diajarkan untuk tidak membunuh kecuali situasi darurat, apalagi ketika saat ini mereka melawan anggota militer milik provinsi Bluebeard yang masih merupakan bagian dari Angia. Walau militer Bluebeard sudah sangat jelas hendak merusak kedamaian Angia dengan menabuh genderang perang, mereka sebagai kadet-kadet hijau tetaplah hanya sebagai murid.
Ann kembali berhasil melumpuhkan satu prajurit. Satu prajurit lain segera mundur setelah mendapati tembakan beruntun ketua kelas. Mereka cukup melumpuhkan satu lagi sebelum akhirnya mereka bisa berlari kabur.
Ya, itu adalah rencana awalnya.
"Sepertinya kita dapat jackpot, ketua kelas."
"Jackpot?"
Usai mereka melumpuhkan anggota terakhir, dari gang sebelah utara berderak deru suara tapal kuda. Mereka berdua terkesiap saat seorang jenderal berjubah emas yang tadi mereka lihat di sebelah mimbar Kanselir dengan tombak panjangnya siap di genggaman. Dilihat dari postur dan gelagatnya, Jenderal Besar sama sekali tidak menyuarakan belas kasihan ketika pandang mata mereka bertemu, terutama setelah melihat gelimang prajurit yang berserak tidak jauh dari kaki mereka berdua.
Mereka sudah tidak bisa kabur.
Mungkin, kalau mereka berdua yang kabur, itu mustahil.
"Lari, ketua kelas! Aku akan menghadapi Jenderal Besar!" pekik Ann, mendorong si pemilik kacamata itu menjauh.
"Knightley, jangan-"
"LARI!"
Ann tidak memerhatikan ketua kelas lagi, menunggu hingga suara langkahnya menghilang dengan sendirinya. Fokusnya kini terpusat pada sang Jenderal.
Ia mengambil posisi kuda-kuda siaga dengan badan tombak mengarah ke depan di hadapan Jenderal Besar yang turun dari kudanya. Tampak beliau ingin bertempur dengan level yang sama, bukan antara infanteri dan kavaleri. Suara debam ketika zirah emas itu menginjak bumi sudah jelas menggambarkan betapa berat dan tebalnya seragam tersebut. Mata tombaknya mungkin tidak akan bisa menggores lapisan itu sebagaimana pun dirinya berusaha, tapi paling tidak ia bisa memberi ketua kelas waktu untuk kabur.
"Sebuah kehormatan bisa bertarung melawan anda, Jenderal." ucapnya, meredakan hatinya sendiri yang mencelos. Jenderal di hadapannya bergeming menanggapi kalimat sapaan darinya, kemudian dengan satu tangan, ia mengarahkan tombaknya naik mengancam.
Pertaruhan pun dimulai.
.
.
.
Dan kita kembali ke chapter pertama (lho)
Kebetulan juga ini di total 100 parts haha, sebuah kejadian aneh.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro