LVIII. | Kopi Dingin Musim Gugur
Di hari keberangkatan, 12 September, seperti biasa mereka dikumpulkan untuk apel yang dipimpin oleh Kepala Sekolah, dilanjutkan mereka menghitung perbekalan dan memasukkan perlengkapan berikut Warden ke dalam gerbong belakang.
Menuju Norma memerlukan waktu yang lebih singkat ketimbang ke selatan Caelia atau saat ke Barrows, Leanan. Instruktur Bathory memberitahukan perkiraan perjalanan kurang lebih setengah hari dengan kemungkinan keterlambatan satu jam bila mereka berhenti sejenak untuk perpindahan jalur antara kereta lokal dari arah Bluebeard atau menuju Bluebeard. Mereka tidak akan singgah di stasiun transit dan segera menuju perhentian di stasiun Kota Suci.
Pertemuan dengan Uskup Agung dijadwalkan di hari berikutnya, 13 September, disarankan bagi mereka cukup beristirahat selama perjalanan dan ketika nanti sampai karena setelahnya kemungkinan agenda mereka akan penuh.
Karena waktu perjalanan yang singkat pula, tidak ada kegiatan belajar seperti yang Instruktur Bathory lakukan saat menuju Caelia selatan. Ann yang dulu mungkin akan senang, karena itu artinya ia bisa menghabiskan waktu untuk tidur-tiduran atau bersantai entah di pojok gerbong mana.
Kali ini, dengan situasi yang berbeda dan segala implikasinya, Ann duduk di gerbong makan dengan isi kepala terasa penuh. Ia melempar pandangannya ke arah jendela, melihat perlahan pemandangan Kota Folia menjauh, digantikan pepohonan yang sedikit banyak sudah kehilangan separuh pucuk daunnya dan tanah-tanah berbatu.
Pemandangan itu mengingatkan Ann pada perjalanan panjangnya dari Caelia menuju Leanan, ke sekolah yang memboyongnya dengan beasiswa yang menjanjikan kehidupan dan suasana berbeda dibandingkan Kota Nelayan. Perubahan drastis dari kenormalan yang seharusnya sejak awal ia tolak.
Mengingat seluruh hal itu - yang bahkan belum setahun lamanya terjadi - membuat Ann ingin kembali saja pulang, ke Kota Nelayan di mana semuanya terasa polos dan pasti. Ia tidak keberatan menjadi tukang bersih-bersih barak bila disuruh kakaknya, atau masuk Akademi Maritim.
"Kamu mau minum kopi dingin, Ann?"
Datang suara Muriel di belakangnya, Ann melirik dari pantulan kaca bahwa tidak ada orang lain di gerbong makan, hanya si gadis bongsor berkulit gelap dengan celemek gerbong makan di atas seragamnya.
"Tidak mau."
"Baik, satu kopi dingin untukmu dan satu untukku," Muriel menunduk dengan senyum. "Ditunggu ya."
Ann akhirnya menoleh, mendapati Muriel bersiul seraya mendekati konter dan mulai meracik kopi.
Sedari tadi suara-suara teman-temannya yang lewat ke gerbong lain dapat didengar, namun Ann tetap ada di tempat duduknya, bergeming.
Ia bisa mendengar Eris, Lucia, dan Alicia disuruh Instruktur untuk merapikan gudang dan sick bay. Obrolan mereka tidak jauh-jauh dari perpedangan, juga Alicia yang terus menawarkan tur Pulau Penjara, yang disambut Eris dengan cibiran.
Lalu, Val mengekori Hana yang jadi bagian tanggung jawabnya. Hana tampak ingin berjalan-jalan di dalam kereta. Val terus bertanya kebenaran kalau Matron Thalia sudah memperbolehkannya memegang senjata. Hana sudah bisa berlari sekarang, namun sepertinya ia banyak menahan diri karena Matron Thalia ternyata lebih seram kalau sedang mengingatkan orang yang baru pulih. Hilde mencoba membantu Val yang kelimpungan, tapi sepertinya dua orang tidak cukup menghadapi satu (1) Hana yang bahkan ada dalam Safe Mode.
Gloria berjalan mantap menggebu-gebu ingin melihat-lihat Warden yang mereka bawa. Karen dan Blair entah kenapa mengikutinya, sesuatu tentang menyusun peti perkakas, atau apalah itu.
Ia tidak mendengar Fiore berjalan melewati gerbong makan, atau memang ia lewat dan Ann kebetulan tidak mendengarnya.
"Yak, dua kopi dingin."
Muriel duduk di seberangnya, membawa dua kopi itu ke atas meja. Ia sudah menanggalkan celemeknya di bagian dapur. Muriel menyodorkan kopi milik Ann dengan senyum lembut, Ann menerimanya dengan anggukan kecil.
"Apa kamu hendak menceramahiku soal Fiore?"
Muriel menelengkan kepala, alih-alih tidak tahu apa yang Ann bicarakan, "Kamu ingin aku melakukan itu?"
"Ngg, nggak, sih ..." Ann menarik pandangannya sekali lagi ke arah luar jendela. "Aku cuma ingin tenang."
Seperti menjawab keinginannya, Muriel tidak berkata apa-apa lagi. Ia menikmati kopinya sendiri perlahan-lahan, kopi yang sepertinya lebih manis dari milik Ann karena ada endapan krim dan susu di sana.
Ann menyandarkan kepalanya di jendela, menutup matanya. Sayup-sayup suara kereta yang melewati lintasan besi terdengar lebih kencang sekarang, bersama dengan suara ketukan di jendela seiring kereta cepat itu melaju. Aroma kopi yang dibuat Muriel sangat menyenangkan dan menenangkan, walau kepalanya masih saja sibuk sendiri dengan berbagai tanya dan lainnya. Penuh berjejal. Rasanya ia mungkin tidak akan bisa tidur malam nanti.
"Atau kamu dipinta Fiore untuk datang padaku?"
"Kamu ingin aku mengiyakan itu?" muncul reaksi yang sama. Muriel tapi tampak terlalu tenang, terlalu jujur untuk berbohong. "Aku hanya ingin berbagi kopi denganmu. Biji kopi terenak di Leanan sedang turun harga."
Hening lagi mengisi di antara mereka, Muriel menatapnya sambil senyumnya terus berkembang.
"Kamu khawatir soal Fiore, atau kamu ingin Fiore mengkhawatirkanmu?"
"Hah? Pertanyaan macam apa itu?"
"Habisnya~" Muriel terkekeh. "Kamu tidak bertanya soal aku yang ada jelas di depanmu, kamu malah bertanya soal Fiore yang menghindarimu."
Ann menyipitkan matanya, ingin rasanya ia berkelit, tapi sulit rasanya beralasan di depan seorang Muriel. Tidak ada yang ingin menjadi musuh orang yang sangat penuh kasih, terutama bila orang itu menyerangmu dengan penuh kasih.
Eh, sebentar, itu kata kontradiktif, ya? Tapi, Muriel bisa saja menunjukkan kasih sayang dengan ayunan kapak, sepertinya.
"Riel," ia mendecak. "Aku tidak tahu harus berbuat apa soal ini."
"Aku tahu, kok. Kalau kalian sama-sama tahu, mungkin, hmm, Blair bilang ini perang dingin, ya? Ah, 'perang dingin' ini tidak akan terjadi."
Satu lagi tembakan yang tepat mengarah menusuk dirinya. Strike Two.
"Apa kamu punya pilihan, misal kalau kamu sudah menyia-nyiakan kepercayaannya, bisakah kamu memenangkan kepercayaannya lagi, Ann?" tanya Muriel.
Ann membayangkan soal memori sang kakak. 'Progenitor'. 'Racun'. Rasanya tidak mungkin ia bisa menghapus identitas yang melekat pada dirinya.
Atau mungkin, melenyapkan dirinya sendiri akan lebih mudah sebagai solusi.
"Saranku, sih, jangan terburu-buru mengambil keputusan," pungkas Muriel menambahkan, seperti ia telah melihatnya kebingungan dengan cukup. "Tidak ada yang baik bila kamu terburu-buru."
Ann menatap Muriel sangsi, tapi nasihat itu sangat masuk akal.
Walau, kalau boleh jujur, rasanya jawaban yang 'benar' atas masalah yang ada di antara mereka berdua tidak akan pernah ada.
"Terima kasih kopinya, aku akan ke arah gerbong depan."
"Sama-sama, Ann."
Muriel terus melambai ke arahnya hingga ia menghilang di ambang pintu otomatis, mencari tempat yang mungkin lebih sepi untuk berpikir.
.
.
.
Kopi itu hanya dihabiskan setengah jalan, tapi Muriel tidak berkomentar dan melepas Ann pergi. Sementara, ia menghabiskan kopi miliknya sendiri lalu hendak membereskan gelas-gelas mereka berdua dan mengelap meja.
"Jadi, apa yang masih kamu risaukan, Fio?"
Fiore Angelica Alba, teman sekamar Muriel dan pihak yang sedari tadi jadi topik obrolan antara Muriel dan Ann, duduk di salah satu kursi yang menghadap ke arah gerbong belakang. Saking fokus dan bimbangnya Ann bahkan ia tidak menyadari bahwa sejak awal sudah ada tiga penikmat kopi di gerbong makan.
"Aku tidak sedang menguping, aku cuma duduk di sini dan ... ya mungkin aku terlalu pendek sehingga ia tidak melihat."
"... Fio."
Ya, memang Fiore tidak menguping. Dia sejak tadi ada di sana sampai Ann datang dan duduk dalam diam. Secara kebetulan saja obrolan antara Ann dan Muriel berkenaan dengan topik yang ... tidak diindahkan baik Ann sendiri maupun Fiore.
"Aku tidak tahu apa yang dialami kalian berdua, aku hanya bisa berharap kalian bisa berbaikan, itu saja."
Muriel membalas tatapan tajam Fiore dengan senyum. Ia turut membereskan gelas milik Fiore dan kembali ke arah konter.
"Kalau ..." Fiore angkat bicara. "Kalau tidak ada cara untuk kita kembali seperti 'biasa', apa kamu akan memarahiku?"
Muriel membalikkan badannya ke arah wastafel dapur, suara keran air menjadi lebih deras ketimbang implikasi dari apa yang diucapkan Fiore.
"Itu di luar kehendakku, bukan?" jawabnya. "Aku hanya ingin teman-teman sekelasku yang kusayangi baik-baik saja."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro