Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

LVI. | Polarisasi

Berbeda dengan mimpinya di mana ia bisa bergerak, 'dunia' di dalam kaleidoskop itu seperti sebuah adegan sinematik. Sebuah film tengah berputar di hadapan mereka, sebuah kehidupan lama tengah diputar ulang dan tidak dapat disentuh atau dipercepat.

Julia Knightley muda tengah membetulkan seragamnya sebelum masuk ke salah satu pintu menjawab panggilan atasannya. Saat itu, sang kakak masih lebih kurus, walau otot-ototnya sudah terbentuk karena latihan keras kemiliteran. Rambutnya yang sekarang panjang saat itu dipotong pendek, mungkin untuk memudahkan kegiatan.

Setelah merasa dirinya rapi, ia mengetuk pintu itu. Pintu besar ganda itu bertuliskan 'Komandan Batalion Tingkat Empat, Bluebeard Timur', sesuatu yang membuat Ann terperanjat.

"Komandan Reinford, saya Julia Knightley, hadir memenuhi panggilan anda."

Sigiswald Reinford. Seorang yang tidak asing bagi Ann saat ini, tengah menghadap rak buku di belakangnya, tampak mengamati sesuatu. Saat Julia masuk ke ruangan dan memberi tanda hormat, Sigiswald memutar badan dan berulas senyum menghadapi bawahannya itu. Sebuah buku yang terlihat sangat familier ada di tangannya, buku catatan dengan sampul kulit lusuh. Sang Komandan, akan tetapi, tidak membuka buku itu, menaruhnya kembali ke rak buku.

Barang-barang di kantor itu separuhnya sudah dipindahkan ke dalam kotak-kotak yang sudah disegel. Sepertinya Sigiswald hendak pergi dari sana secepatnya.

Sigiswald Reinford berbeda dengan bagaimana ia datang ke laboratorium si peneliti. Luka di wajahnya bertambah, ada sebuah garis melintang dari dahi hingga pipinya, menggores mata kirinya. Sosoknya yang kekar kini berbalut seragam Bluebeard dengan insignia berwarna hijau botol. Tanda bintang pangkat dan beberapa penghargaan melekat di seragamnya, menandakan piawainya sebagai seorang Komandan di garda depan.

"Kamu jadi kaku banget, Jules," pungkas Sigiswald. "Kamu ajudan saya, lho? Biasanya kamu bakal masuk ruangan tanpa permisi."

"Ko-Komandan! Se, sekarang anda 'kan sudah masuk jadi calon Jendral! Ma-masa saya berlaku seperti anda masih, masih-"

Ini untuk pertama kalinya Ann melihat kakaknya gelagapan. Ia masih mengumbar tanda hormat dengan tangan lurus, mengundang tawa lepas dari sang Komandan. Kakaknya pun mengenakan insignia hijau botol. Julia tidak pernah memberitahukan kalau ia bagian dari militer Bluebeard sebelumnya, hal itu bahkan tidak terpikirkan oleh Ann.

"Duduklah, Jules," Sigiswald mempersilakan si ajudan ke arah kursi yang ada di depannya. "Ini akan menjadi tugas terakhirmu sebelum kamu dipindahkan ke kampungmu."

Julia terbelalak, "Maksud anda, Batalion Tingkat Empat akan dibubarkan?"

Sigiswald tersenyum dan mengangguk.

"Kenapa dibubarkan? Bu, bukannya daerah timur masih perlu ...?"

"Tugas utama kami sudah selesai," jelas pria itu. "Maaf tapi karena keterbatasan, kamu tidak bisa memakai gelar dan pangkatmu di Caelia, jadi mungkin kamu harus mulai ulang menjadi seorang perwira."

"Itu bukan masalah, Komandan. Tapi, Batalion Empat ...!"

"Saya paham perasaanmu, Jules," Sigiswald menatapnya lembut. "Kita sudah berusaha keras, kita juga sudah kehilangan banyak, belum lagi kita sudah seperti keluarga. Wajar saja kamu sedih."

Julia muda tampak bergetar, menyembunyikan banyak perasaan dalam dirinya. Geram, gundah, kesal - ia sangat tidak ingin 'rumah' yang sudah membesarkannya sebagai seorang tentara pupus begitu saja dan dia dikembalikan ke Caelia. Sang Komandan, tampak mengerti apa yang bawahannya rasakan, turut melihatnya iba.

Seingat Ann, Julia memungutnya saat ia berumur delapan belas tahun, usia yang sangat muda. Kalau ia lulus dari Akademi Nix di umur lima belas tahun, itu artinya karir militernya sudah berjalan tiga tahun di saat ini.

"Baik, untuk tugasmu ..."

Sigiswald menarik sebuah kertas dari lacinya. Sebuah peta yang menunjukkan bagian Caelia selatan. Di peta itu, terdapat tiga tanda silang yang sudah dibubuhkan dengan tinta merah.

"Sebagai tugas akhirmu, saya minta kamu mencari sesuatu di sekitaran tempat yang sudah diberi tanda."

"Sesuatu? Barang penting? Bom?"

"Kamu ini, Jules, biarkan aku menjelaskannya sampai selesai," Sigiswald tergelak. "Benda ini ... sebenarnya aku tidak tahu ini benda seperti apa, namun benda ini akan menimbulkan reaksi tertentu bila berada dengan bloodcalyx murni."

Sejurus kemudian, Sigiswald memberikan sebuah cincin pada Julia. Cincin Peri.

"Cincin Peri ini berbeda dengan yang biasa kita gunakan. Cincin ini nantinya bila diarahkan ke benda itu, benda itu akan memprogram dengan sendirinya untuk berubah ke bentuk yang tidak berbahaya."

Julia, selayaknya ajudan yang patuh, mencatat langkah demi langkah tugas tanpa disuruh. Sigiswald mengulangnya sekali lagi, sebelum melanjutkan ke langkah berikutnya.

"Setelah benda ini berubah bentuk," Sigiswald berpikir sejenak. "Bawa benda ini ke otoritas Pulau Penjara."

"Pulau Penjara?" Julia mengernyit. "Di penjara, mereka menyimpan barang-barang juga, Komandan?"

Sigiswald tidak menjawab itu, ia mengalihkan topik. Ekspresinya menajam. "Ini misi rahasia dan kamu harus bergerak sendiri. Saya harap kamu paham pentingnya tugas ini, Jules."

-

Mencari sebuah benda bukan hal baru bagi tentara, terutama militer Batalion Empat yang kerap dekat dengan desa-desa satelit dan kota kecil di sekitaran jalur perbatasan antara pegunungan Caelia dan Bluebeard. Sebagai ajudan yang setia pada tugas, Julia tidak banyak mempertanyakan keputusan sang atasan dan misi yang diberikan. Sigiswald nantinya hanya akan tahu tugas itu diselesaikan dengan sempurna.

Caelia bagi Julia adalah sebuah lahan permainan. Sepanjang tugasnya saat di Akademi Maritim dan dipindahkannya ke Bluebeard membuatnya menguasai medan seakan perpanjangan tangannya. Ia melangkah dengan hati-hati, bergerilya di daerah yang lebih banyak diabaikan ketimbang hidup. Hutan belantara Caelia selatan dan tenggara tidak seberbahaya hutan yang menjorok ke arah Leanan, sehingga Julia merasa tugasnya akan berjalan cepat.

Tidak hingga ia mencapai titik kedua, keadaan di sana membuatnya tertegun.

Bagian Caelia yang dulu dikenalnya sebagai hutan dengan vegetasi beragam kini sudah rata dengan tanah, meninggalkan tanah lapang dengan sedikit pohon. Ada sebuah fasilitas yang sudah dibiarkan ditumbuhi semak belukar dan tanaman merambat di sana, separuhnya habis karena ledakan, membuatnya seperti gedung usang tanpa atap.

Julia memeriksa gedung itu, mengamati strukturnya yang seperti marbel. Gedung bangsawan, pikirnya, tapi itu tidak menjelaskan bekas ledakan yang aneh dan sebagian lahan yang berubah menjadi tanah rata.

Seingatnya, ada sebuah ledakan dikabarkan terjadi di tenggara Caelia saat itu, tapi saat itu Julia tengah ditugaskan di Swanson dan hanya Komandan-nya sendiri dan batalionnya yang menjawab panggilan tersebut. Apa jangan-jangan ini semua berkaitan? Pikirnya lagi.

Di saat itu, mendadak Cincin Peri khusus yang dibawanya menyala terang. Terkesiap, Julia mengarahkan cincin itu ke seluruh area gedung runtuh itu, merasa si benda sudah dekat.

Yang ia temukan selanjutnya adalah tidak sesuai apa yang ada di benaknya saat ia menerima misi ini.

Seorang anak yang masih sangat kecil berada di timbunan reruntuhan, tampak tidak bergerak sama sekali. Rambutnya coklat dan urakan, kulitnya sangat pucat, ada jejak darah di sekitarnya. Julia mengira ia sudah mati, namun cincin di tangannya masih terus berdenyut. Julia pun mendekat, berusaha menarik anak itu dari reruntuhan.

Anak itu dingin sekali dan kaku, tapi tidak ada bau tengik mayat atau pun luka. Anak itu bahkan masih bernapas. Julia memeriksa denyut nadi anak itu, menemukan sebuah gelang di tangannya yang sudah sedikit memudar.

PROGENITOR, A/N

Cincin itu kemudian bersinar saat Julia membawa si anak ke pangkuannya di tengah reruntuhan. Julia tidak tahu bagaimana sihir bekerja, tapi cincin itu seperti memiliki kesadaran sendiri. Ada sebuah rentetan data mengalir di layar yang terkembang di sana, dan mendadak anak itu membuka matanya.

Ini adalah 'benda' yang diminta Komandannya ambil dan taruh di Pulau Penjara. Benda ini adalah seorang anak kecil. Tugas kacau apa yang sebenarnya ia terima dari atasannya yang sangat ia kagumi dan percayai? Ini terlalu-

Anak itu tidak berkata apa-apa, tangannya bergetar hebat hanya untuk sekedar memegang lengan Julia dengan lemah. Anak itu tersenyum sebelum akhirnya kembali menutup mata. 'Program' Cincin tampak sudah selesai bekerja dan Cincin Peri itu kembali ke tangan Julia selayaknya Cincin Peri pada umumnya.

Progenitor, lagi, sebuah istilah yang tidak asing.

Namun, memori di kaleidoskop itu berakhir di sana, seperti dengan paksa ia ditarik setelah tenggelam jauh dari permukaan, oleh Fiore sendiri yang membalas tatapannya dengan geram.

Ann tidak mengerti kemarahan apa yang berkelebat di gadis berambut pirang itu. Tapi gelora itu nyata, lebih parah dibandingkan bagaimana Fiore akan mendengus setelah Ann mengejeknya. Giginya bergemeletuk, sementara ia memanggil panahnya dan mengarahkannya pada Ann yang hanya bisa menatapnya dengan mata membulat.

"Kamu? Kamu adalah si Progenitor, Ann?" sahutnya, suaranya bergetar menggelegar. Sejentik saja, ia bisa melepaskan panahnya. "Kamu-!"

"Tunggu, Fiore. Aku ... aku juga tidak tahu apa yang terjadi. Aku ..." Ann menaikkan kedua tangannya tanda menyerah, ia mundur teratur. "Serius, Fiore. Aku tidak bercanda! Aku benar-benar masih tidak mengerti-"

Fiore menurunkan panahnya, walau ia masih terlihat kembang kempis dalam kemurkaan. Air mata mengalir dari mata birunya, dan ia mengembalikan busurnya. Hati Ann mencelos melihatnya. Tangan Fiore mengepal kuat-kuat tanda putus asa.

"Tetua memberitahukan misiku adalah untuk mencegah hal buruk menimpa Angia," ucapnya sembari menundukkan kepala. "Sebagai anggota klan Titania dan pengemban wasiat Sylph, sudah tugasku membersihkan tanah para peri dan aku tidak akan berhenti hingga aku meregang nyawa."

Fiore pada akhirnya menatap Ann, pandangan itu miris dan penuh kesedihan. "Kamu adalah racun yang harus dihilangkan, Ann. Kamu harus mati di tanganku."

Gadis itu meninggalkannya di ruang belajar seorang diri, tidak lagi menoleh ke arahnya, sementara Ann tersungkur berlutut. Kaleidoskop itu meluncur dari tangannya seakan tidak lagi berguna.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro