Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

LI. | Ujian Tengah Semester

September menjelang ke Angia, menghantarkan angin musim gugur yang kaya akan panen dan keberkahan.

Semangat musim gugur sudah mulai kentara di sekitaran kota, dengan frekuensi daun-daun yang berguguran mengotori setapak gravel di seluruh bagian kota, membuat kota tersihir seperti bersemu merah, pemandangan yang baru bagi wajah kota yang selalu damai dan temaram. Para murid kerap diminta membantu membersihkan dedaunan, yang Matron Thalia anjurkan untuk segera dilakukan.

Selain pemandangan kota yang berubah, Folia juga mulai semarak dengan panen besar-besaran apel, asrama dan sekolah kebanjiran apel hadiah dari warga dan dapur pun mulai membuat kudapan seputar apel. Muriel dan tim memasak entah kenapa sangat kreatif memasukkan menu apel untuk sarapan dan makan malam, sampai-sampai mereka tidak bosan makan apel hampir setiap hari.

Ujian Tengah Semester berlangsung selama seminggu penuh di pertengahan bulan September yang untungnya sudah tidak sepanas penghujung bulan Agustus. Cuaca yang cukup bersahabat dengan banyak berawan dan sedikit hujan membuat suhu lebih nyaman untuk beraktivitas dan tidur nyenyak.

Dengan delapan mata pelajaran, waktu seminggu ujian itu dibagi-bagi dengan salah satu hari memuat dua ujian sekaligus. Linguistik menjadi mata ujian pertama, sesuatu yang Ann syukuri karena dengan itu ia bisa jauh-jauh dari pelajaran soal bahasa dan kebahasaan. Jadwal berlanjut dengan Persenjataan di hari kedua. Hari ketiga adalah hari kesukaan Ann karena Seni Militer menjadi bahan ujian. Akan tetapi, keberadaan Aplikasi Sihir di hari berikutnya membuat mood-nya seketika surut. Ekonomi Militer digabung dengan Sejarah, kombinasi yang berjejal dan tidak menyenangkan, tetapi Ann lebih memilih gabungan itu ketimbang Sejarah dengan salah satu musuh bebuyutannya, Linguistik atau Aplikasi Sihir. Seni Terapan menjadi penutup minggu ujian yang melelahkan, dan di hari berikutnya, mereka diharuskan menulis esai tentang Ekskursi Daerah yang mereka alami.

Memang, jadwal itu membuat semua kelabakan, namun Ann termasuk satu di antara siswi-siswi yang setengah masa bodoh soal nilai. Ya, ia berusaha untuk tidak mengecewakan ketua kelas dengan nilai rata-rata nantinya, tapi ia tidak serta-merta membenamkan diri dalam buku-buku pelajaran.

Seperti saat ini, jam istirahat antara ujian Ekonomi Militer dan Sejarah, Ann memilih duduk di salah satu kursi panjang yang menghadap ke arena karena gedung sekolah terasa penuh berisi murid-murid yang mencoba tetap belajar, memasukkan paksa ingatan paragraf demi paragraf Sejarah di waktu yang sudah tenggat. Wilayah ini sepi karena tidak ada ekstrakurikuler atau kegiatan berkebun sekolah, jadi Ann sering ada di sana untuk menyendiri hingga waktu ujian berikutnya. Ia membawa roti yang dibelinya di kantin, bersama susu kotak rasa kopi yang tidak sengaja ia pencet dari mesin minuman.

Satu hal yang tidak ia sukai ketika ia menyendiri adalah pikirannya yang semula penuh dengan bahan ujian menjadi penuh dengan realisasi-realisasi memori dan mimpinya. Ia hampir kesulitan membedakan yang mana mimpi dan yang mana kenyataan setelah mendapati laboratorium utuh dan si peneliti bersama si pria besar. Gloria dan Fiore juga kerap menanyakan dirinya saat ia terbengong-bengong. Walau Ann sudah bilang pada Gloria dan Fiore untuk tidak terlalu mengkhawatirkannya dan menunggu sampai ia siap bicara, mereka berdua orangnya terlalu baik.

Saking baiknya sampai Ann merasa bersalah tidak bisa berterus terang pada mereka berdua.

Ann menangkap suara langkah mendekat di antara sayup-sayup angin sejuk musim gugur. Pelataran sekolah pun subur dengan tumpukan daun-daun dari pohon yang meranggas, sepertinya tukang kebun sekolah bekerja ekstra agar tidak ada daun yang mengotori jalan utama.

Ann menoleh mendapati seorang yang tidak asing datang. Sama sepertinya yang ditemani roti dan susu kotak, Lucia juga membawa buku sejarah yang ia buka dan baca sambil berjalan. Tongkat - yang ternyata sebuah bilah pedang - tetap setia terikat di pinggangnya layaknya perpanjangan tangan.

Lucia melambaikan tangan ketika pandangan mereka bertemu.

"Boleh saya duduk bersama anda, Ann?"

"Lucia? Kenapa kamu di sini?" Ann menggeser duduknya di kursi panjang itu dan mempersilakan Lucia turut dengannya. "Kamu tidak sama Hana?"

"Hari ini Hana terapi, jadi sejak pagi dia sudah dijemput oleh Matron Thalia," pungkasnya. "Saya biasa latihan setiap pagi di sekitar sini, jadi saya selalu ke sekitaran sini kalau ingin duduk tenang."

Lucia menunjuk tanah lapang di depan arena, Ann mengangguk-angguk. "Setiap pagi? Kamu latihan sihir sama si pendek 'kan ya?"

"Ah, sebenarnya saya bangun pagi sekali sehingga sempat berlatih pedang sebelum Fiore datang ..." ungkapnya sambil tersipu. Ann tidak habis pikir dalam hati kalau ada yang lebih monster bangun paginya dari Muriel.

"Intinya kamu ... sangat-sangat rajin, ya, Lucia? Melebihi tingkat rajin Eris memoles pedang?"

Lucia berpikir sejenak, "Saya rasa itu karena saya sudah terbiasa. Rasanya aneh kalau sehari tidak mengayunkan pedang."

Ann mengingat saat Lucia menyelamatkan mereka dari Rook dan mengungkap bahwa ia adalah yang tersisa dari pembantaian keluarga Leanan. Eris mengaguminya sebagai seorang master pedang ... yang bahkan 'master' terdengar kurang pantas baginya yang bisa memakai dua pedang sekaligus dengan kecepatan bak kilat.

Apa yang Ann bisa tangkap dari Lucia setelah itu, Lucia menjadi lebih terbuka, lebih bebas. Ia tidak lagi menyembunyikan identitasnya karena seluruh anggota Kelas Sembilan menerimanya dengan tangan terbuka. Lucia kerap menyuarakan kalau ia takut dengan kekuatannya sendiri, atau ia takut melukai orang lain. Kini, ia dianggap sebagai guru berpedang secara tidak resmi oleh tiga pengguna pedang di kelas, soal sihir yang merupakan kelemahan dan sesuatu yang ingin ia pelajari lebih dalam tidak lagi diungkit-ungkit oleh orang lain.

"Saya malah yang tidak biasa melihatmu di sini, apa kamu sedang bertapa?"

Ann mengernyitkan dahi, "Nggak bertapa juga, sih."

Lucia menutup bukunya, menaruhnya di antara mereka bersama dengan bungkus roti. "Sedang ingin menyendiri, ya. Saya paham."

Ann melirik ke arah Lucia dengan tatapan sangsi. Lucia, akan tetapi, tidak berkata apa-apa setelahnya. Ia menusuk kotak susu dengan sedotan dengan anggun, tidak membiarkan ada suara ketika minum, sebuah gambaran bangsawan yang biasa terpatri dari penjelasan kebanyakan orang.

"Ann mau susu saya?"

"Ah, nggak, bukan," Ann menggeleng. Tawanya hambar. Akhir-akhir ini ia sudah banyak menyuarakan penolakan, menjauhkan dirinya sendiri dari teman sekelasnya.

"Kalau kamu tidak mau bercerita pada saya, saya tidak keberatan," imbuh gadis berambut hitam itu. "Tapi saya hanya ingin mengingatkan kalau komunikasi dan kejujuran itu adalah hal yang sangat berharga."

Ann membeliak. Lucia seperti telah membaca dirinya seperti buku sejarah.

"Saya datang ke sekolah ini tanpa harapan apa-apa. Saya hanya ingin berguna dan tidak cuma bisa membunuh orang," Lucia memulai. Senyumnya lembut merekah, alih-alih ia membicarakan kisah yang sudah jauh sekali terjadi. "Namun apa yang ternyata saya dapat? Pedang saya bisa berguna untuk orang lain, dan saya kini memiliki sahabat yang mau mendengarkan dan membantu saya."

Ann mendengarkan, hampir tidak berkedip. Lucia tampak seperti sosok yang jauh, sosok yang lain.

"Mungkin kalau saya tidak bertemu kalian, tidak bertemu Hana, tidak mengenal Fiore dan Eris ... saya akan terus menghukum diri saya sendiri," ucapnya penuh kelegaan.

"Saya terus terang masih belajar untuk mengutarakan apa yang saya rasakan pada orang lain karena dulu saya hanya tahu caranya bertarung, tapi saya yakin kalian pasti menerima saya apa adanya."

Ah.

Jadi seperti itu.

Rasa percaya dan rasa tenggang rasa adalah hal yang saling timbal balik.

Fiore dan Gloria percaya padanya, apa Ann juga bisa percaya pada mereka?

"Maaf saya jadi nyerocos panjang lebar, Ann." Lucia menandaskan susu kotaknya. Wajahnya bersemu merah seakan ia habis menyuarakan pengakuan.

"Malah aku yang harus berterima kasih padamu, Lucia."

"Eh?"

Ann menyandarkan punggungnya lebih rileks di kursi panjang, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, menarik napas panjang sebelum membuangnya teratur.

Yang ia takutkan adalah penolakan. Yang ia takutkan adalah hal yang belum terjadi. Yang ia takutkan adalah dirinya sendiri.

Bila semua yang ia takutkan ternyata tidak ada, apa artinya ia bisa menerima dirinya sendiri dan orang lain ke dunianya sendiri?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro