Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

L. | Belajar Kelompok, bagian keempat

Ann bermimpi malam itu, kembali ke ruangan tempat ia menemui 'Nina', namun ruangan itu tidak luluh lantak dan hancur.

Laboratorium itu tertata rapi dengan seluruh tabung berderet di ruangan menyala dan terisi oleh sesuatu yang melayang-layang di dalam cairan, sebuah bongkahan merah.

Melihat gedung yang rapi dan bersih itu, Ann bisa mengamati langit-langit dan dinding yang menyusun laboratorium itu tampak tidak biasa. Citra laboratorium umumnya adalah wilayah serba putih, serba logam, atau serba steril. Akan tetapi, laboratorium itu memiliki dinding berupa relief dengan gambar-gambar sejarah. Sepertinya siapa pun yang menggunakan tempat itu mengubah sebuah situs sejarah menjadi tempat uji.

Tempat duduk yang sempat ditiduri Ann saat pertama kali bertemu Nina terpisah dari laboratorium utama dengan sebuah kaca tipis, di dalam sana ada seseorang berpakaian putih tengah mengambil sampel dari sebuah bongkahan batu.

Ann tidak dapat mendengar suara apa-apa, bahkan ketika orang itu bergumam. Wanita itu berambut coklat dan mengenakan kacamata berbentuk goggle tebal dan masker untuk menutup sebagian mukanya. Setelah puas dengan sampel yang diambilnya, ia keluar ruangan kaca, lalu ada seseorang lain datang ke laboratorium itu, tapi tidak berpakaian seperti seorang peneliti.

Orang yang datang adalah pria tegap dan kekar yang mengenakan jaket serba hitam. Ia menurunkan topi fedora-nya untuk memberi salam hormat ke sang peneliti.

"Sudah berapa persen perkembangannya?" suara serak pria itu menggema di ruangan yang cukup lapang.

"Gagal lagi, Komandan," wanita itu tidak menanggalkan kacamata dan maskernya. Sampel batu merah di tangannya ia tunjukkan ke udara untuk sang pria tadi - Komandan - amati. "Ini adalah batu dengan tingkat kemurnian tertinggi yang bisa kami dapatkan. Saya tidak yakin batch ini akan berhasil, tapi ada beberapa dari timku membuat mesin lain dengan pendekatan lain."

"Boleh saya catat itu untuk laporan ke atasan?"

"Silakan saja."

Pria besar itu mengeluarkan sebuah buku dengan sampul kulit yang sudah lusuh. Ia membuka halaman-halamannya dengan hati-hati, mencari tempat kosong untuk mulai mencatat. Pria itu memiliki Cincin Peri melingkar di jarinya, tapi ia memilih untuk menggunakan cara konvensional untuk merekam pembicaraan mereka.

Obrolan mereka berlanjut untuk masalah teknis yang Ann sama sekali tidak mengerti atau dapat menarik kesimpulan. Ia mencoba berjalan melalui mereka, memeriksa tabung-tabung yang ada. Semuanya berisi sama: segenggam merah melayang di dalam cairan.

Tunggu, kenapa ia punya memori ini? Dan kenapa bisa sejelas ini?

"Apa kamu sudah ingat betul tugasmu?" keberadaan 'Nina' di belakangnya membuat Ann segera memutar badan, terkesiap. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya. "... Ah, sepertinya belum. Padahal kamu sudah ingat soal 'Master'."

'Nina' menunjuk sang peneliti yang masih sibuk memberikan keterangan pada si pria besar. Pria besar itu mencatat tanpa banyak menginterupsi, hanya kadang meminta si peneliti untuk mengulang karena ia berucap terlalu cepat.

"... Apakah sudah ada perkiraan proyek ini dapat berjalan?"

Peneliti itu mendengung lama, "Saya rasa sih ... satu dekade lagi?"

"Selama itu?" pria itu tercenung. "Atasan saya kurang sabaran mengenai perkiraan-perkiraan ini."

"Mungkin lucu juga kalau nanti anda sudah naik pangkat jadi Jendral, Komandan," si peneliti melucu. "Tapi begitulah adanya, Komandan, kami para peneliti tidak bisa diburu-buru, ini adalah proses yang membutuhkan ketelitian dan kami berusaha untuk tidak membuat kesalahan dengan pengorbanan seminimal mungkin."

Sang Komandan menghela napas panjang, ia mengacak rambut pirangnya yang dipotong cepak ala militer gusar. "... Lalu? Apa kamu butuh hal-hal lain dari sana?"

"Sekarang sudah cukup," ucap si peneliti. "Terlalu lama, nanti bisa-bisa kita menginjak ranjau yang dinamakan hukum diplomatik."

'Nina' melangkah di depannya, duduk di kaki salah satu tabung. Kakinya mengayun-ayun santai. Gadis kecil itu mulai bersiul, entah lagu apa yang dilantunkannya tapi Ann tidak merasa nada itu asing.

"... Terima kasih atas kerja sama anda, saya akan membawa laporan ini kembali ke atasan."

"Beri kami penjelasan yang baik ya, Komandan, biar kami dapat ekstra dana penelitian!"

"Halah, bercanda kamu," Komandan mengibas pernyataan itu. Ia memakai fedora-nya lagi dan berjalan ke arah luar dari laboratorium. "Tempat ini memang belum cukup sebagai bayaran yang sempurna?"

"Yahh ... bagaimana ya," sang peneliti memandang sekelilingnya. "Atasan anda sepertinya sangat fanatik, menjadikan Lahan Suci sebagai tempat kegiatan tidak suci."

Komandan itu terlihat bergidik, sebelum ia memutuskan untuk angkat kaki dari sana, tidak mengomentari kalimat terakhir dari si peneliti.

Sementara, 'Nina' belum berhenti bersenandung, selayaknya menyajikan Ann sebuah lagu tidur.

.

"... Ann, Ann! Jawab! Siapa yang benar, aku atau Hana?"

"Hana yang benar! Hana yang benar!"

Ann kembali ke ruang belajar asrama, sebelas pasang mata menatapnya yang berdiri bersandar di papan tulis. Di dekatnya, Blair dan Hana tengah mencoret-coret peta soal yang tadi digambarnya sebagai ilustrasi.

Strategi Militer menurut Ann adalah sebuah hal yang biasa. Terlatih mendengar dan memperhatikan situasi di barak Kota Nelayan membuat segala taktik dasar tertanam pada dirinya secara alamiah. Mereka tengah membahas studi kasus pertarungan di pegunungan, dengan kondisi musuh berada dalam jumlah banyak dan menyerang dari kaki gunung.

Strategi Militer berbeda dengan Ekonomi yang mengharuskan ada jawaban yang pasti benar. Strategi Militer berbeda dengan Sejarah yang selalu mengingatkan bahwa ada fakta yang tidak dapat dipatahkan. Strategi Militer adalah cara untuk menyelesaikan sesuatu yang dibarengi dengan alasan logis. Kadet harus tahu kondisi medan dan lawan, dan memutuskan arah agar pasukan bisa menjawab tantangan. Kabur bahkan bisa menjadi sebuah pilihan. Melawan pasukan secara heroik dengan membabi-buta hanyalah romantisasi militer.

Ann menghela napas panjang, mengingat jawaban Blair dan Hana. Mereka berdua yang paling lama berkutat di soal ini.

Mengenyampingkan memori barusan, Ann mulai menggambar di papan tulis dengan kapur berwarna berbeda.

Jawaban Hana ada di kapur warna kuning. Dia menuliskan untuk mengirim pasukan gerilya untuk mengetahui lawan di kaki gunung, lalu pasukan utama akan menyerang si pasukan lawan.

Jawaban Blair ada di kapur warna biru. Dia menuliskan untuk membagi pasukan sehingga mereka bisa menyerang dalam formasi melingkar dan tidak memberi pasukan lawan ruang untuk kabur.

Jawaban mereka memiliki kebenaran yang bisa dijelaskan dengan logika, tapi jawaban mereka memiliki kelemahan.

Ann menulis dengan kapur merah, ia tidak menjelaskan sampai ia selesai menggambar.

"Bertahan di gunung?" Hana mengulang. "Kita tidak menyerang sama sekali?"

"Pasukan kita sedikit, kita tidak bisa membagi pasukan begitu saja, kita bisa kalah jumlah," ucap Ann, ia melingkari daerah puncak. "Kalau kita mengirim pasukan gerilya atau memecah jumlah, kita bisa berada di posisi di mana kita harus mengorbankan salah satu pasukan agar kita bisa melawan. Belum lagi kalau ternyata ada faktor lain dari si lawan."

Ann melingkari daerah puncak lagi, "Akan tetapi, kita punya kelebihan karena kita berada di puncak gunung."

Blair menjentikkan jari, "Oh! Maksudmu kita bisa menyerang mereka dari atas gunung karena kita mudah melihat pergerakan mereka?"

"Nah," Ann membenarkan. "Dari puncak juga, kita bisa memberikan serangan diversif sehingga lawan mengira kita berjumlah banyak. Toh mungkin tentara yang berpengalaman tidak akan turun moral, namun taktik ini masih bisa dibilang cukup efektif."

"Wah, menarik sekali, Hana ingin mencoba!"

"Kita tidak tinggal di gunung sekarang, Hana." balas Blair. Sisa kelas yang memerhatikan anekdot mereka turut tertawa. "Baik, jadi ..."

Ann mengiyakan Blair yang menarik kesimpulan soal strategi ini, dan mereka berdua tampak puas dengan apa yang dijelaskannya. Kelas kembali sibuk mengerjakan soal berikutnya dan Ann pun mengambil waktu untuk duduk di salah satu kursi, membaca buku ajar.

Yang ia tidak sadari, Fiore datang di sampingnya, ia menunduk sedikit.

"Mukamu pucat," bisiknya. "Kamu sakit?"

Ann ingat soal Gloria yang menyatakan kemarin malam kalau Fiore mengkhawatirkannya.

"Hanya banyak pikiran."

"Aku tidak percaya orang sepertimu bisa bilang kamu sedang banyak pikiran, tapi baiklah," Fiore menarik kursi untuk duduk dekat dengannya. "Kamu masih bingung soal surat ke kakakmu?"

"Belum ada jawaban, sih," Ann mengedikkan bahu. "Mungkin ... mungkin itu yang membuatku jadi bingung."

Fiore menatapnya lama, simpatik. Mata kirmizinya mengilat sejenak, namun tidak menyiratkan kegalakannya yang biasa saat menghardiknya atau siapa saja yang bercanda.

"Maaf, aku pasti terdengar cerewet, ya?"

"Memang." Ann menjawab dengan senyum simpul.

Fiore berekspresi kecut. Ia mendecih. "Sudah salah aku mencoba bicara sama kamu."

Suasana kelas yang ramai membuat segalanya menjadi ringan. Ann seperti merasa kegaduhan itu sangat nyaman, dibandingkan sepi yang menjalar di laboratorium di mimpinya. Ia berada jauh dari Caelia, namun orang-orang ini - teman-teman barunya ini - ternyata sudah menjadi sosok yang merupakan bagian dari hidupnya.

Benar kata Gloria, ia sudah tidak lagi menjadi 'Ann si tak acuh'.

Ia sudah berusaha untuk mencoba mengerti apa yang orang lain pikirkan.

"Makasih sudah mengkhawatirkanku," Ann menggenggam tangan kecil itu. "Ini pertama kalinya ada yang sangat peduli padaku selain kakakku, jadi aku tidak tahu bagaimana caranya merespon."

Fiore membuka mulut, semburat merah muncul di pipinya, tapi ia dengan segera membalas, "O-Oh."

Mereka balas bertatapan dalam kurun waktu yang lama, dalam keheningan yang nyaman dan realisasi yang berimbang, hingga Ann yang memulai, "Selesai ujian, gimana kalau kita jalan bersama ke arah Kota?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro