Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

IX. | Battle Royale, Mulai

Battle Royale, istilah yang asing menurut Ann, tetapi ia segera mengerti setelah Instruktur mereka menjelaskan secara singkat di penghujung hari Jumat itu.

Sebenarnya, istilah yang digunakan bisa jadi apa saja, hanya Instruktur Bathory dan Instruktur Faye, wali kelas untuk Kelas Tiga, yang memilih istilah tersebut untuk digunakan pada acara duel yang diselenggarakan pada Sabtu itu.

Acara duel ini tidak resmi, ungkap Instruktur Bathory, usai membuat mereka panik setelah memberitahukan bahwa akan ada sesi hukuman. Battle Royale ini adalah ajang untuk memperlihatkan kemampuan kalian setelah satu minggu pengajaran.

Memang, satu minggu bisa dibilang waktu yang terlampau singkat. Akan tetapi, satu minggu ini mereka telah lolos beradaptasi dengan segala kepadatan yang menjadikan mereka Kelas Sembilan. Mereka telah belajar dari orientasi yang telah usai. Seminggu bukan berarti apa yang telah mereka lalui itu sia-sia.

Battle Royale ini terdiri dari tiga pertandingan duel. Tema dan orang yang terpilih menjadi wakil kelas dalam pertandingan akan diacak pada saat Sabtu nanti. Mereka diharuskan sudah siap di Arena pagi sekali, mengikuti arahan singkat dari Instruktur masing-masing sebelum Battle Royale akan dimulai.

"Oh ya omong-omong," Instruktur Bathory mengetuk mejanya sekali ketika siswi-siswi mulai berisik. "Kita belum punya ketua kelas, 'kan?"

Senyap. Dua belas murid segera duduk dengan punggung lurus. Tegang dan tercengang.

Melihat itu, Instruktur Bathory bukan main senangnya, senyumnya lebih mirip penyihir jahat di kisah-kisah pengantar tidur anak-anak kecil. Mata birunya melempar pandang luas ke arah ruangan, melihat satu persatu gelagat muridnya yang entah mencoba tidak memandang sang guru atau pura-pura menatap lurus. Jemarinya ia ketuk-ketuk di dagu, dehem panjangnya mengisi ruangan yang menghangat karena tensi.

"Absen 1, Alena Valerian," si rambut hitam bermata empat terkesiap di kursinya. "Mulai sekarang, kamu jadi ketua kelas."

Antiklimaks, tepuk tangan ringan pun menyusul agak lama kemudian. Val kembali tampak menciut di kursinya, tapi ia kemudian berdiri dan memberi tanda hormat kepada sang Instruktur.

"Baik, saya sudahi kelas hari ini. Siap-siap untuk besok, ya!"

.

Kurang lebih, itulah yang terjadi petang hari kemarin. Tentu tidak banyak yang bisa mereka siapkan dalam jangka waktu sekian jam selain tidur cukup dan berusaha tidak memikirkan soal Battle Royale dan kemungkinan terburuk.

"Senjata kalian ada 'kan? Tidak ada yang sakit, 'kan?"

"Seperti tamasya saja, Ketua Kelas~" imbuh Alicia, diselingi tawa Hana dan sanggahan Muriel melihat mereka berdua begitu hiperaktif.

"Aku serius, Alicia Curtis." hardiknya, alisnya naik tajam. "Ya sudah, intinya kalian sudah siap ya."

"Yaaaa!"

Sorak-sorai itu memang lebih membuat mereka terlihat tengah sibuk menuju acara tamasya dibandingkan Batlle Royale, apalagi yang serba serius memilih diam.

Ann melihat Val lebih kaku dua kali lipat dari biasanya, ia yang menyiapkan barisan dan mengabsen yang lain di depan pintu masuk Arena. Yang lain tampak santai, kecuali mereka yang benar-benar serius. Dan ada juga Lucia, yang berbaris di samping Ann dengan air muka yang terlampau netral.

"Tidak gugup?" tanya Ann.

"Gugup sih tidak," Lucia menjawab. "Saya yakin Instruktur Bathory tidak akan memilih saya walaupun hasil kocokan mengatakan demikian. Kita akan otomatis kalah."

Mendengar itu, Ann bingung menyuarakan pendapatnya, selain menepuk bahu Lucia sekali. Masih segar di benaknya ketika Instruktur Bathory begitu keras dengan kemampuan Lucia yang bahkan Ann dan Fiore tidak dapat sampaikan.

Kemampuan sihir nol. Nihil. Dan lebih menyakitkan lagi, itu dikatakan dengan jelas oleh guru yang ahli sihir dan mengampu mata pelajaran Teori dan Aplikasi Sihir, wali kelas mereka sendiri.



Arena telah disulap menjadi wilayah luas dengan undakan naik yang menandakan tempat duduk penonton, sementara bagian landai dengan posisi agak di bawah menjadi wahana utama. Instruktur Bathory ada di tengah-tengah Arena bersama dengan Instruktur Faye, seorang tegap berambut coklat muda diikat poni dengan seragam Instruktur berdasar putih terkancing sempurna, layaknya punggawa Militer kelas menengah dengan topi, namun Instruktur Faye memiliki raut wajah lembut. Kelas Tiga dengan dasi hijau mereka turut datang dari arah selatan, sementara Kelas Sembilan datang dari pintu utara.

Ini bukan kali pertama Ann melihat anak-anak Kelas Tiga karena pelajaran Sains Militer mereka di hari Kamis digabung, tapi mereka tampak jauh lebih tinggi dari rata-rata anak Kelas Sembilan.

Masing-masing mereka bertukar hormat sebagai simbolis, dan Instruktur Faye yang membuka acara tersebut dengan ketukan sepatu beratnya. Instruktur Bathory memunculkan dua layar besar untuk mereka semua perhatikan seksama. Layar pertama di sebelah kiri mengacak tema duel, sementara layar kedua di sebelah kanan mengacak nama siswi Kelas Tiga dan Kelas Sembilan yang akan berpartisipasi.

"Tema pertama," Suara Instruktur Bathory menggema di Arena. Ann dapat merasakan hawa perlahan-lahan menjadi panas, entah karena ketegangan tidak mau dipilih atau tidak ingin menjadi beban kelas, atau keduanya. "Tema pertama adalah pertarungan pedang klasik."

Ann melirik tiga pengguna pedang di sebelah kanannya; Eris tampak sedikit membuka mulut, Hilde menunduk, sementara Alicia menahan cengiran.

"Kelas Tiga, Galenia," Instruktur Bathory menjeda. "Kelas Sembilan, Alicia Curtis."

Alicia sempurna tergelak, Blair yang berdiri di samping dirinya menampar punggungnya, mendorongnya maju. Eris melipat tangan, menggelengkan kepala.

"Jangan sampai kamu mempermalukanku." ucap Eris pendek.

"Tuan putri~ kamu kasar sekali hari ini~"

"Sudah cepat sana."

Berbeda dengan Alicia yang urakan, Galenia bertubuh tinggi dan besar. Rambut hitamnya diikat poni, dan sikap istirahatnya selurus busur tubuh Instruktur Faye. Pedang yang digunakan siswi kelas Tiga itu memiliki ukiran pelindung tangan di pegangannya, terlihat cemerlang. Alicia mengeluarkan pedang yang berukuran sedang dengan tangan kirinya, memperlihatkan tidak ada kecurangan yang ia sembunyikan di sarung maupun badan pedang.

Siswi-siswi lain menaiki undakan dan duduk di sana untuk menonton, ada batas jelas antara kubu Kelas Tiga dan Kelas Sembilan. Lantai landai itu terlihat jelas dari atas, perbandingan tinggi Galenia dan Alicia kentara. Galenia memegang pedangnya dengan satu tangan, sementara Alicia menggunakan kedua tangannya yang bersarung hitam fingerless, kuda-kudanya membuatnya membuka kaki dan menaikkan bahu, mata pedang menukik dari atas ke bawah.

"Duel berlangsung tiga menit, siapa yang mampu melucuti pedang lawan dia yang menang," jelas Instruktur Faye. "Mulai!"

CLANG.

Kontak pertama mereka berlangsung cepat, nyaris tak tertangkap oleh mata. Ann yang duduk di undakan teratas mengerjap. Kedua pihak mundur dari kontak pertama, menjaga jarak dengan baik sambil terus memerhatikan pergerakan lawan. Alicia menopang berat tubuhnya dengan kedua kakinya, menggunakan gaya pegas untuk melentingkan tubuhnya menuju arah Galenia. Suara desing logam beradu sengit, genggaman mereka masing-masing erat di ruas senjata, tidak ada yang mau mengalah.

Lucia yang turut duduk di samping Ann tengah menyipitkan mata, berdengung dalam geming.

"Kenapa? Pertandingan pedang terlalu cepat untukmu?"

"Tidak, bukan itu," Lucia terdiam sejenak. "Alicia ternyata ... sangat fleksibel."

Ann tidak paham apa maksudnya, "Fleksibel?"

Lucia menunjuk teratur pola pertandingan itu, yang semakin lama semakin seru hingga mengundang sorakan dari kedua pihak kelas. Ann tidak terlalu pandai mengikuti, tapi ayunan jari Lucia seperti mengisyaratkan bahwa mudah untuk mengikuti alur pertandingan jarak dekat tersebut.

"Kamu bisa lihat?" Lucia menurunkan tangannya. "Alicia tampak digiring oleh Galenia karena Galenia memiliki kekuatan lebih besar untuk mendorong, padahal yang terjadi sebaliknya."

Lucia membiarkan Ann menonton alur sekali lagi, menangkap pola di sana: Alicia di sisi utara terus menangkis hujam pedang dari selatan. Dengan lincah ia terus berpindah posisi, kakinya berputar hingga kini punggungnya ada di arah selatan, sebelum akhirnya ia mencoba menarik diri dari kontak pedang terlalu lama.

"Sudah paham?" ulang Lucia.

"Jadi sebenarnya," Ann mencoba menjawab. "Selama ini Alicia tidak berada dalam kesulitan?"

"Lebih tepatnya, dia mencoba mengetes stamina Galenia," Lucia membenarkan. "Tubuh besar memang berarti tenaga yang lebih besar, tapi itu berbanding terbalik dengan kelincahan dan kelentukan."

"Kamu cukup mengerti soal pedang, hm, Florence?"

Di luar dugaan, satu suara yang tidak disangka akan ikut dalam pembicaraan, mengimbuh dari undakan di bawah mereka.

Eris Malvin, yang dikira Ann akan duduk di undakan terbawah, menatap mereka dengan penuh penasaran.

Kelas Sembilan memang punya stok gadis pirang dan kecil yang banyak, tetapi Eris hampir tidak bisa dikategorikan seperti Hana atau Fiore karena pembawaannya yang lebih karismatik. Seperti perkenalannya, ia adalah nona besar, tapi bukan nona besar dengan piawai selayaknya Gloria yang unik atau Lucia yang bertutur halus. Mungkin kalau Ann akan bandingkan dengan sesuatu, Eris seperti bangsawan-bangsawan yang ada di film dokumenter Angia yang kerap diputar di hari jadi Provinsi Caelia: berkulit putih, berambut pirang lurus terawat, pakaian apa saja yang melekat di tubuhnya akan terlihat sopan dengan sendirinya, dan wangi.

Lucia menggeleng cepat, "Sa-saya sekedar sering mendengarnya dari kakakku, dia pandai sekali berpedang," Eris masih menatapnya. "A, ada yang bisa saya bantu, Eris?"

"Begitu," Eris berpikir sejenak. "Kakakmu adalah praktisi pedang aliran apa?"

Ann dapat melihat Lucia memucat, entah kenapa.

"Dia ... sudah lama meninggal."

Jawaban yang berat dan konklusif, baik Eris maupun Ann tak kuasa membelalakkan mata.

"Ah, maaf aku sudah lancang bertanya," ucap Eris. "Aku penasaran ada seni berpedang apa saja di luar aliran Malvin."

CLANG! Suara logam yang keras mengaburkan konsentrasi mereka pada pembicaraan.

Pedang milik Galenia melayang di udara dengan hentakan membusur dari dalam oleh pedang Alicia, terlepas sempurna dari pegangan. Alicia kembali dengan seringainya, ia melangkah mundur, menyarungkan kembali pedangnya.

"Pemenang, Kelas Sembilan!"

Tentu, sorakan Hana dan Blair menjadi yang termeriah di sana, Val dan Karen tak kuasa menutup telinga, sementara Fiore mengungsi ke sisi lain undakan tempatnya duduk.

Eris menanggapi kemenangan Alicia dengan decak, sebelum ia ikut turun mengikuti Hilde yang menjabat selamat si pemilik rambut kehijauan itu.

Ann mencuri lirik, mendapati Lucia yang setengah memeluk lututnya, matanya menatap arah kakinya dengan nanar.

"Pertandingan berikutnya!" sambut Instruktur Bathory, tidak mengindahkan sorak-sorai yang terjadi di undakan penonton. "Tema duel ini adalah penggunaan sihir!"

Ann dan Lucia saling berpandangan. [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro