IV. | Dresden Arena
Yang Ann bisa bayangkan ketika mendengar kata 'arena' adalah lahan di lepas pantai Kota Nelayan tempat para tentara melatih kuda-kuda mereka berlari di atas pasir. Awalnya, Ann merasa kegiatan itu tidak berguna; kuda-kuda itu mengalami kesulitan terutama ketika pasir yang mereka jejak cukup dalam, prajurit terkadang ada yang terlempar dari kuda mereka dan tersungkur. Tetapi, setelah diperhatikan lamat-lamat, latihan itu dikhususkan tidak hanya untuk kuda, namun juga untuk para prajurit. Mereka harus mampu bergerak cepat di kondisi ekstrim, juga harus bisa berpikir tangkas ketika dihadapi sebuah rintangan.
Arena yang sekarang ada di hadapan Ann bukanlah sebuah pantai berpasir, namun sebuah bangunan berbentuk kubah jaring yang tampak transparan dari luar. Ketika Ann masuk dari satu-satunya pintu di sana, ia dihadapkan pada sebuah lorong utama yang sempit. Hanya ada sebuah pintu aluminium di seberangnya, mungkin adalah sebuah lift, lalu ada meja dengan berbagai perangkat elektronik dengan layar besar di samping kanannya.
Tepat di depan pintu aluminium, ada sosok wanita berambut pirang dengan jaket biru tengah bermain-main dengan sebuah benda dari telapak tangannya. Ia menyeringai melihat Ann.
Kalau Ann tidak salah ingat, wanita ini ada di podium dekat dengan kepala sekolah saat perkenalan staf pengajar.
"Hampir telat, Calon Kadet Knightley, teman-temanmu sudah menunggu di bawah," wanita itu melempar benda yang dipegangnya ke arah Ann. Ann menangkap objek bundar itu, Cincin Peri dengan namanya terukir jelas di bagian dalam lingkaran. "Senjatamu juga sudah siap di lantai bawah."
Ann mengangguk, ia memperhatikan wanita itu bergeser, mempersilahkan Ann mengakses lift.
"Teman-teman?" ulang Ann.
"Tentu, calon kadet lain di Kelas Sembilan," tukasnya. "Masa orientasi akan segera dimulai."
Senyum sang staf pengajar terlewat misterius, tetapi ini bukan saatnya Ann berlarut dalam tanya. Segalanya mungkin akan dijelaskan nanti, yang terpenting sekarang adalah dirinya yang hampir telat dan mungkin merepotkan orang lain. Ann memang berjalan sesuai iramanya sendiri, tapi bukan berarti ia mau menjadi beban.
Guru berambut pirang itu melambaikan tangan selepas Ann mengakses lift hingga pintu itu tertutup. Sayang, perjalanan lift untuk turun terlalu singkat bagi Ann untuk melihat apa yang baru dari Cincin Peri yang sudah dimodifikasi oleh Dresden.
Lift terbuka pada sebuah lorong sempit dengan lantai berupa besi. Tiap langkah Ann menggema sedari ia keluar dari lift. Sebuah tulisan melayang sejenak di atas kepalanya sebelum menghilang bagai asap:
AREA TIMUR.
Sesuai kata-kata sang pengajar, sebuah tombak yang familier ada di dinding sebelah kiri tempatnya berdiri, disandarkan begitu saja seperti tahu akan ada yang mengambil.
Jalan lorong sempit tersebut hanya satu, Ann tidak punya pilihan lain selain mengikuti ke arah kanan dari tempatnya memulai. Jalan itu bermuara ke sebuah tangga turun yang mengantarkan Ann ke sebuah daerah yang lapang dengan dua siswi telah hadir lebih dulu dari dirinya.
Ann mengerjap sekali. Ia bahkan telah kenal dengan keduanya.
Mungkin karena mendengar bunyi langkahnya dari gema lantai besi yang berisik itu, keduanya menoleh. Yang satu segera mengeluarkan tatapan kecut, sementara si rambut hitam menunduk dengan sopan. Ann melihat keberadaan panah besar di tangan si pirang, sementara si pemilik surai hitam memegang tongkat panjang dengan kedua tangannya yang berbalut sarung tangan putih. Ann hanya dapat berpikir kalau itu adalah tongkat untuk membantu penggunaan sihir.
"Kamu!? Kamu juga anggota Kelas Sembilan?" hardik si pirang pendek yang Ann temui belum lama baru saja.
Ann menoleh ke arah Lucia. Firasatnya benar soal mereka akan sekelas. "Oh. Hai, Florence."
"Hei! Jangan abaikan aku!" si pendek menjejak ke lantai keras-keras. Telunjuknya mulai naik lurus mengarah ke arah Ann. "Kenapa, kenapa kamu bisa jadi anggota Kelas Sembilan?"
Ann tak kuasa menaikkan alis. Apakah selain kurikulum kelas yang patut dipertanyakan, Kelas Sembilan ini adalah kelas khusus tertentu?
"Mana kutahu, pendek."
"Aku punya nama. Namaku Fiore."
Ann menahan diri untuk tidak menyeringai terlalu lebar. "Ya, pendek."
Fiore menggeram, tatapannya nyalang. Ia mungkin saja hendak maju dan akan menggigit lengan Ann sebelum akhirnya Lucia ada di tengah-tengah mereka, menginterupsi.
"Sudah sudah, kalian berdua," lerainya. "Ayo kita mulai jalan?"
Ann melihat ke arah lorong panjang di hadapan mereka. Entah apa yang akan menunggu mereka ketika mereka menuruni jalanan sempit ini. Namun yang pasti, dengan keberadaan senjata dan Cincin Peri, mereka akan menemui entitas musuh, walau mereka tidak tahu dalam bentuk apa musuh itu akan ada.
✾
Suara-suara yang mengisi perjalanan mereka menyusuri setapak lorong itu hanya gema dari besi di tiap-tiap derap langkah, lantai itu begitu berisik untuk sepatu mereka pijaki. Walau tidak ada bahaya berarti, lantai besi ini bisa saja jadi bumerang bagi mereka karena keberadaan mereka dapat diketahui musuh.
Ann mengambil langkah lebih dahulu, Lucia mengikuti di belakangnya dan Fiore yang memegang panah menjadi buntut barisan. Ann sadar langkahnya paling berisik dibandingkan Fiore yang memiliki ukuran kaki kecil dan Lucia yang menapak begitu halus, jadi ia berusaha berjalan pelan.
Tidak banyak persimpangan berarti maupun jebakan yang menanti sesaat mereka melewati sebuah pintu besi otomatis menuju sebuah badan jalan yang lebih besar, kembali menuruni tangga besi hingga akhirnya ada sebuah ruangan dengan tembok berwarna berbeda dengan sebuah bola besi melayang di hadapan mereka. Gurat-gurat merah menyala di badan bola besi itu, alih-alih menandakan bahwa bola besi itu 'aktif'.
Di ujung utara ruangan setelah bola tersebut terdapat sebuah pintu, mungkin mereka harus mengalahkan bola itu sebelum bisa lanjut. - Ya, kurang lebih pikiran Ann berkata demikian. Dia bisa saja salah.
"Robot itu tidak menyerang?" tanya Lucia kepada Ann yang segera berhenti tepat di depan ruangan.
"Kalau begitu, serang saja duluan," Ann mengedikkan bahu. "Pendek, tembak bola itu."
Fiore mendengus, "Bisa tolong lebih sopan lagi kalau sedang meminta?"
Ann hanya menatapnya datar, "Oke, pendek. Tolong tembak bola itu dengan panahmu. Satu anak panah saja, oke? Tanpa sihir. Bisa dimengerti?"
Pemilik surai pirang itu mendecih, tapi ia melakukan sesuai permintaan Ann. Berbeda dengan perangainya yang meledak-ledak (walau itu mungkin salah Ann), panah yang meluncur dari dawai besarnya itu cenderung elegan; lurus dengan hampir tanpa suara. Bola tersebut bergeming, tapi panah itu segera memantul dari badan bola, tergeletak hangus di lantai.
"Bola itu menolak serangan panah?" Lucia kembali bertanya.
"Bukan, lebih tepatnya bola itu mungkin memiliki perisai api," Ann menyiapkan tombaknya. "Florence, kamu bisa sihir air?"
Lucia mengerutkan dahi, berpikir. Ia menaikkan tongkatnya, "Se-sedikit sepertinya bisa."
Fiore turut menaikkan dawai panahnya lagi. "Nanti kubantu kalau kamu kurang yakin."
Gadis berambut hitam itu mengangguk, ia maju bersamaan dengan Ann yang menunggu. Tongkatnya itu menyala dalam genggamannya, bibirnya tampak membisikkan mantra sihir. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya beberapa gelembung kecil muncul di dekat tongkatnya, dan dilayangkan ke arah bola tersebut. Suara ledakan-ledakan kecil muncul sesaat sihir tersebut mengenai bola yang tetap diam, sekedar mengeluarkan asap.
Ann mengerjap, tidak ada perubahan berarti. Ia menahan tombak, melirik ke arah Fiore yang sama bingungnya. "Segitu saja?"
"I-Iya." Lucia mengangguk. "Perlu sekali lagi?"
"Bersamaan dengan panahku, Lucia." Fiore mengusulkan.
Panah itu diselubunginya dengan sihir air yang lebih sempurna dengan energi yang jelas lebih besar, sementara Lucia kembali mengeluarkan gelembung-gelembung kecil. Panah dan gelembung melesak memadamkan perisai api seketika. Setelah badan bola tersebut tidak lagi menyala, giliran Ann untuk menghujam mata tombaknya, membelah bola itu segera.
Sesuai dugaannya, pintu segera terbuka setelah mereka mengalahkan bola itu.
"Kamu bangsawan yang pernah belajar sihir?" Fiore sekejap bertanya kepada Lucia, yang tampak tergagu.
"Terlalu lemah, kah?"
"Err, kalau dibilang lemah sih ..." Fiore menggaruk pipinya, melempar pandang ke Ann yang memilih diam. "Sudahlah, ayo kita lanjut."
Mereka kembali berjalan menyusuri lajur yang ada, di lorong sempit yang bisa dilalui satu orang dalam diam, tidak mencoba-coba untuk mengomentari soal sihir milik Lucia.
Sepertinya, Fiore memiliki kecurigaan yang sama terhadap Lucia yang tampak seorang bangsawan namun tidak memiliki kemampuan sihir yang bisa dibilang 'hebat'. Umumnya di Angia, hanya orang tertentu yang mempunyai pendidikan sihir sejak dini, salah satunya adalah orang yang digadang-gadang sebagai turunan bangsawan.
"Ah, ada ruangan itu lagi, apa akan ada monster lagi seperti tadi?"
Fiore menunjuk sebuah ruangan yang dipisahkan oleh jalan utama dengan sebuah tembok kaca. Berbeda dengan ruangan dengan bola barusan, kaca itu tidak menunjukkan adanya pintu, tetapi ada robot berbentuk seperti baju zirah berjalan dengan pedang dan perisai besi di dalamnya.
"Masih ada jalan lain, sebaiknya kita abaikan saja." tukas Ann. Lucia sekedar mengangguk mengikuti suara terbanyak.
Fiore mengiyakan dengan menurunkan panahnya, "Baiklah. Jangan sampai kita tertangkap radarnya, kalau begitu."
Mereka pun mencoba melewati ruangan ketika robot zirah itu tengah menoleh ke sisi barat ruangan, secepat mungkin mereka berlari tanpa terlalu lama terekspos di antara kaca. Sekali lagi, ada tangga turun menyapa mereka, dan lagi-lagi lorong sempit seakan-akan mereka diarahkan untuk terus maju dan tidak menoleh ke belakang.
"Orientasi yang unik," ucap Lucia. "Saya kira kita hanya akan berkumpul dan diberikan pengarahan."
"Harapanku juga awalnya begitu," balas Fiore, ia memutar bola matanya. "Yah, memang harus bertemu orang menyebalkan, tapi kuakui dia cepat tanggap sekali."
"Benar juga. Arahannya tepat dan masuk akal," Lucia menambahkan. "Dia yang mengantarku ketika tersesat sebelum sampai ke Asrama."
"Hee? Jadi ternyata dia orang baik?" si pirang tak kuasa menaikkan alis. "Tidak bisa dipercaya, tapi oke kalau kamu bilang begitu, Lucia."
Diam, suara ketukan kaki dan besi mengisi sunyi lagi, sebelum akhirnya Ann menoleh.
"Eh? Kalian membicarakanku?"
"... Lupakan saja. Susah ngomong sama orang susah."
Fiore hanya bisa memijat keningnya gusar, sementara Lucia tertawa kosong.
✾
"Tim Timur sudah sampai di titik C, sebentar lagi keempat tim akan bertemu di lantai dasar."
Instruktur Kelas Sembilan, Claudia Ars Bathory, membaca peta yang terbentang di ruang kendali yang ada di lantai utama Dresden Arena. Kepala Sekolah ada disampingnya, turut mengamati status pertarungan yang terus diperbaharui seiring dengan perkembangan yang dilakukan empat tim dalam menjalankan tugas yang diberikan secara spontan.
"Bagaimana, menarik 'kan, Bu Kepsek Durandal?"
Claudia berujar, senyumnya naik sempurna melihat hasil terkini yang ada. Sementara, Kepala Sekolah bersurai keperakan itu menyaksikan layar interaktif dengan bertopang dagu.
Ada empat tim yang dibagi sesuai region dungeon yang dibuat sedemikian rupa agar empat tim itu tidak bertemu di tengah jalan: utara, timur, barat dan selatan. Mereka nantinya akan bertemu pada akhirnya di lantai dasar, di mana soal pamungkas yang harus mereka selesaikan menanti.
"Tim Timur statistiknya rendah, ya, tapi mereka yang paling cepat menyelesaikan soal yang ada." Kepala Sekolah mengetuk layar. "Mereka bahkan tidak melawan nomor 02, berbeda dengan tim selatan yang ..."
Claudia tergelak, mengingat tim yang meledakkan kaca dan menumpas habis robot zirah hingga berkeping-keping. "Tenang saja, Bu Kepsek, nanti saya rapikan kekacauan itu."
Paling tidak, Claudia tidak salah untuk menakar bahwa siswi-siswi Kelas Sembilan tahun ini terlampau unik, mulai dari kemampuan dan latar belakang mereka. Memang, seluruh siswi datang dari provinsi yang beragam, tapi baru kali ini mereka menerima murid dari provinsi baru Spriggan, juga siswi yang datang dengan latar yang patut dipertanyakan.
Tahun ini akan menjadi tahun yang sangat menarik bagi Akademi Dresden, Claudia sudah tidak sabar untuk menggali potensi anak-anak ini. [ ]
---
Bila anda memiliki kesan dan pesan namun tidak punya akun Wattpad/ingin anonim, bisa disampaikan melalui bit.ly/poisontravelerbox
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro