Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Intermission 026: Pengorbanan

Di luar, hujan semakin deras dan malam semakin dalam. Sementara, Hildegard Norma masih terjaga dengan hal-hal yang memenuhi pikirannya.

Pertama, Uskup Agung yang memberi tugas ke Sekolah Militer Dresden tanpa sepengetahuan Hilde. Memang, Uskup Agung tidak perlu repot-repot meminta pendapat seorang Misionaris untuk melakukan sesuatu, tapi mereka secara internal sudah menyepakati kalau semuanya akan dilakukan secara kekeluargaan, atau paling tidak itu yang Hilde percaya.

Kedua, tugasnya sebagai Misionaris yang tidak menemukan titik temu. Menyesuaikan diri dengan kehidupan sekolah membuatnya takut akan kehilangan timing yang tepat.

Dan yang ketiga-

"Hildegard."

Teman sekamarnya, Alena Valerian, seperti biasa belajar hingga larut. Ia memutar badan dan kursinya sehingga ia menatap serong Hilde yang duduk di kasurnya. Hilde sedari tadi mungkin terlihat tidak selesai-selesai melipat bajunya, atau ia yang tidak kunjung terlelap padahal biasanya ia akan tidur saja dan tidak menunggu ketua kelas yang rajin itu berusaha mengejar ketertinggalannya di kelas.

Val pernah mengaku dirinya tidak sepintar yang lain, jadi ia rajin sekali belajar. Selain itu, ia juga sangat perhatian dengan Kelas Sembilan sebagai seorang ketua kelas. Ia tidak pernah meninggalkan siapa saja yang memerlukan bantuan, atau pergi menghindari tanggung jawab ketika ada yang membuat masalah. Val bisa dibilang adalah sebuah model ketua kelas yang baik, dan sepertinya Val hendak menanyakan apa yang mengganggu Hilde sekarang.

Val menaikkan kacamatanya, ia berulas senyum, "Kamu kayaknya tahu apa yang akan aku tanyakan."

"Ah," Hilde mengerjap. "Begitu, ya."

"Apa kamu mau cerita? Aku bisa jadi pendengar," Val membereskan perlengkapan belajarnya. "Atau ... kalau kamu tidak mau cerita juga tidak apa-apa. Aku cuma ingin bilang aku tidak keberatan kalau kamu merasa aku terganggu."

Ya, Val sangat perhatian. Berbeda dengan bagaimana keibuan Muriel, Val menempatkan diri sebagai seorang kakak yang umurnya tidak terpaut jauh dan masih juga belajar menyikapi dirinya, namun sudah lebih berpengalaman dalam menghadapi sebuah peristiwa.

"Apa kamu akan kesal bila tidak bisa menyelesaikan sebuah tugas?" tanya Hilde dengan gamblang. Pertanyaan dengan kalimat umum, menyembunyikan kegundahan yang sempurna menguasai dirinya.

Val tertegun, ia berpikir sambil menyelesaikan beres-beres bukunya. Val lalu duduk di kasurnya, menghadap Hilde dengan tatapan lurus.

"Biar kuambil contoh yang sekarang-sekarang ini, ya," Val memulai. "Aku dan Lucia Florence, Blair Chevalier dan Fiore Alba disuruh Matron Thalia mengawasi Hana Albertine dan kursi rodanya."

Hilde memerhatikan tanpa mengedip.

"Kamu tahu seberapa hiperaktif Hana, bukan sekali dia jatuh dari kursi rodanya dan tertawa saja. Lucia Florence, Blair Chevalier dan Fiore Alba kadang tidak ada di sekitarnya, jadi aku yang banyak membantunya. Tapi ya, tetap saja Hana Albertine sering jatuh."

Hilde kali ini mengerjap, ia menelengkan kepala tanda tanya antara korelasi kasus ini dengan pertanyaannya. Val tersenyum lebar.

"Apa aku sudah gagal? Tidak. Aku membantu Hana Albertine berdiri dan duduk lagi. Kalau ia jatuh lagi, aku tidak memarahinya dan membantunya. Memang, mungkin tidak sempurna, tapi tugas utamanya terlaksanakan, bukan? Aku sudah mengawasi Hana Albertine."

Hilde menangkap penjelasan itu dengan perasaan setengah kagum dan setengah tertegun. Yang penting bukan bagaimana ia melaksanakan tugas, tapi pada akhirnya ia bisa menyelesaikan tugas. Bagaimana pun caranya.

Hal simpel itu, akan tetapi, tidak bisa menjawab keraguannya di poin kedua yang ia tengah pikirkan. Lagi, Hilde menerima eksposisi itu sebagai salah satu dari banyak penjelasan yang mampu digunakannya suatu hari nanti bila ia terbuka pada pilihan.

Pilihan yang mungkin tidak ada karena ia berada di jalan buntu.

Soal Uskup Agung, seperti kata Bu Kepsek, ia hanya bisa menunggu hingga mereka datang ke Norma dan menerima tugas itu dari bibir sang Uskup sendiri. Nasi telah menjadi bubur. Hilde pun belum tentu bisa mengembalikan soal masalah ini ke pihak berwenang karena keterbatasan waktu. Walau demikian, mungkin orang tuanya sudah mencoba menyelidiki soal Uskup entah sejak kapan.

Lalu, untuk hal ketiga yang menjadi sumber kekhawatirannya-

"Ketua kelas, menurutmu Eris itu orang seperti apa?"

Val menaikkan kacamatanya lagi yang sempat melorot. "Wow, pertanyaan yang tidak kuduga akan kamu tanyakan."

"Eh? Seaneh itu kah?"

"Bukan, bukan! Maksudku, kamu tidak biasa bertanya soal Eris Malvin ke orang lain," pungkasnya. "Itu bukan hal buruk kok, Hildegard, tenang saja. Aku akan menjawab sejujurnya."

Val kemudian bergumam nama Eris, ia melipat kedua tangannya sambil matanya mengedar ke arah kamar mereka.

"Eris Malvin itu maniak pedang."

Kemudian mereka disambut hening lama.

"I, itu saja?"

"Apa lagi, ya, untuk bagaimana dia bisa menyeimbangkan kegiatan kelas dan jadwal berpedangnya, kamu pasti tahu lebih baik daripadaku, Hildegard?" Val terkekeh. "Mungkin bisa dibilang, aku respek dengan sikap terbukanya? Dia juga bukan tipe bangsawan yang akan membandingkan pencapaian orang, dia mudah sekali memuji bakat dan kebisaan orang lain."

Menerima dengan lapang dada segala perbedaan, ya, itulah Eris yang Hilde kenal. Bahkan saat pertama kali mereka bertemu, Eris memperlakukannya sebagai teman, tidak seperti kebanyakan orang Bluebeard yang melihat orang Norma inferior karena hubungan sejarah mereka yang cukup kurang baik. Semua juga memandang Eris aneh dengannya yang mudah akrab dengan semua orang, baik itu tukang kebun kerajaan, penjaga gerbang, hingga ia mengambil narapidana aktif untuk ikut dengannya bersekolah di Dresden.

Mengetahui hal itu selalu membuat Hilde berharap.

Berharap bahwa Eris bisa menerima kenyataan yang disimpan Hilde sebagai seorang Misionaris Norma.

"Bagaimana, sudah lebih lega?" tanya Val. "Kalau belum, boleh kok kita ngobrol sampai pagi."

"Jangan, ketua kelas. Bisa-bisa kamu nanti tidak terbangun."

"Haha, kamu bisa bercanda juga, Hildegard."

Mereka kemudian berbicara mengenai Kelas Sembilan dan anekdotnya sebelum memutuskan untuk tidur sebelum terlalu larut.

-

Hilde bermimpi kembali ke hari itu, di mana ia selesai melakukan upacara yang dipimpin oleh Uskup Agung. Menerima pedang suci berarti melaksanakan misi suci, dan misi suci itu harus segera dilakukan ketika saatnya yang tepat telah tiba.

Pedang suci yang dipegang Hilde adalah sebuah pedang yang terus ditempa setiap pedang itu berpindah tangan. Sebagai perlambang kota suci di masa kini, ia tahu apa yang terjadi pada Misionaris sebelumnya dan bagaimana Norma masih juga gagal melaksanakan tugas yang diemban selama lebih dari dua abad semenjak Norma menyerah pada Bluebeard.

Hilde kembali ke kastil utama Bluebeard setelah upacara itu dilaksanakan. Kini pedang suci yang tersemat di pinggangnya membuat semua orang menatapnya berbeda. Para bangsawan tidak lagi menatapnya seperti gadis kumal yang muncul entah dari mana. Para petugas resmi kerajaan tidak lagi menatapnya sinis, terutama ketika ia mencoba berjalan di pelataran kastil.

Akan tetapi, satu orang menatapnya selalu, selalu sama.

Hari itu adalah hari yang cerah di penghujung musim panas, suasana yang bagus untuk berlatih pedang di luar ruangan.

Kala itu, Hilde melihat dari kejauhan sesosok mungil di antara pria-pria yang dua kali lipat darinya menebas pedang melawan kerumunan. Dengan mudah, lawan-lawannya itu tumbang, seperti dedaunan yang memeluk musim gugur. Tepuk tangan riuh mengisi lapangan, mereka yang berjongkok di luar arena asyik menonton sambil mengelu-elukan nama-nama mereka yang dikalahkan gadis yang lebih kecil dan lebih lincah dari mereka.

Sang guru kemudian berteriak memarahi mereka, sang guru mewanti-wanti mereka tidak akan bisa masuk ujian tingkat menengah kalau mereka belum bisa minimal seri melawan si gadis bertubuh kecil itu.

Sementara, gadis itu menoleh melihatnya datang ke arah lapangan, senyumnya merekah.

"Hilde! Kamu akhirnya kembali!" ia menghampiri Hilde, menyarungkan pedangnya dan menangkup kedua pundak gadis berambut hitam itu. "Sudah selesai urusannya di Norma?"

Hilde mengangguk, gadis di depannya lalu menyadari pedang yang tersemat di pinggangnya.

Bukannya merasa gentar seperti para orang dewasa, atau merasa takut seperti para penduduk Norma setelah melihatnya diberi tugas, Eris Malvin meraih tangannya dengan gegap gempita.

"Selamat, kamu sekarang sudah resmi jadi Misionaris, ya?" ucap Eris riang. Saking riangnya, Hilde tak kuasa menahan decak kekagetan. "Berarti sekarang aku bisa berduel melawan Pedang Suci, dong?"

"E, Eris." ia segera menarik tangannya, menemukan kenyamanan untuk memegang pedangnya sendiri. "Tidak boleh, katanya Pedang Suci tidak boleh dipakai sembarangan."

"Ehhh," Eris merajuk, tapi dengan cepat ia kembali ceria. "Ya sudahlah. Ayo kalo begitu ikut aku istirahat. Capek sekali disuruh Guru untuk membantu latihan murid-muridnya yang kebanyakan sok jago."

Hilde tak pelak ikut tertawa, terutama mengingat bagaimana pria-pria itu berterbangan seperti bulu terbawa angin.

Akan tetapi, mengingat statusnya sekarang, senyum Hilde perlahan memudar.

Uskup Agung bilang, misi suci Norma hanya diketahui oleh orang-orang Norma dan Bluebeard hanya mengetahui kalau Misionaris harus turut dengan bangsawan pewaris takhta Bluebeard sebagai bagian pakta perjanjian yang berumur dua abad itu.

Mereka tidak tahu bahwa tugas Misionaris Norma adalah membenarkan sejarah, sesuatu yang selalu dipanjatkannya dalam doa-doa yang tidak lagi terbilang jumlahnya.

Untuk mereka yang telah tiada. Untuk mereka yang berada di jalan-Nya. Untuk mereka yang gugur bersama tugas dari-Nya.

Merdekakan tanah Norma dari darah-darah yang angkuh nan kejam, dari Kejayaan Palsu yang menggerogoti Tanah Para Peri.

"... Darah harus dibayar darah."

"Ada apa, Hilde?"

"Tidak, tidak apa-apa, kok, Eris."

Misionaris sebelumnya mati karena ia sudah gagal menjalankan tugas di waktu yang ditentukan. Seluruh Misionaris yang tidak mampu akan dimusnahkan dan diganti oleh Misionaris baru, begitulah siklus yang sudah berjalan selama dua ratus tahun.

Pertanyaannya sekarang: apakah ia mampu mengambil kepala teman kecilnya sendiri, seorang penerus darah angkuh yang sudah menumpahkan darah di tanah suci, sebelum dirinya sendiri yang harus menjawab dengan nyawanya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro