Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Intermission 024: Malam Dalam

Di satu-satunya bar di Kota Folia, malam musim panas yang mulai mendingin seiring musim gugur yang semakin mendekat.

Konter itu sudah 'disewa' oleh seorang Instruktur militer yang mengampu mata pelajaran Linguistik dan Aplikasi Sihir, menyisakan empat kursi kosong di sampingnya yang tengah memesan segelas besar bir. Alkohol bukanlah alasan dirinya datang menyambangi bar, melainkan undangannya pada keempat orang yang ia kira tidak akan menepati janji mereka tepat waktu.

Claudia Ars Bathory melihat ke arah jam besar yang ada di belakangnya. Jam malam asrama sudah berkumandang, bar mulai dipenuhi oleh para penduduk yang ingin berpesta pora hingga mabuk dan beberapa pendatang yang ingin bersantai. Minuman pesanan Claudia sudah datang, bir berukuran besar yang dibuat secara lokal di Folia yang cukup terkenal karena kesegaran dan kualitasnya yang terjaga.

Paling tidak, segelas besar bir itu akan menjadi temannya menunggu, sebentar lagi.

Instruktur Helena Faye abstain dari pertemuan itu karena ia dipanggil oleh para pemilik kepentingan di Caelia untuk alasan yang tidak diberitahukannya. Sepertinya sebuah hal darurat, mengingat urgensi yang terlihat di gelagatnya saat menolak undangan Claudia. Helena dikabarkan akan kembali secepatnya ke Folia untuk menuntaskan perihal Ujian Tengah Semester yang akan berlangsung.

Di lain pihak, Estefania Durandal, sang kepala sekolah yang Claudia sangat kenali sebagai penikmat utama bir khas Folia, tidak dapat hadir karena memenuhi panggilan di Bluebeard. Dua panggilan khusus ke daerah mereka masing-masing adalah sebuah sinyal aneh bagi Claudia, mengingat dirinya tidak punya panggilan khusus ke Norma, kampung halamannya dan tempat ia bertugas sebagai bagian dari militer.

"Hee, aku duluan? Kukira aku paling telat."

Pemilik rambut coklat pendek itu terlihat linglung memasuki bar, menghindari pria-pria bertubuh besar yang mulai menguasai jukebox bar dan menyetel lagu-lagu yang Claudia tidak familier nadanya. Morgana Lysander sedikit mengerutkan dahi melihat keramaian, atau mungkin ia keheranan melihat Claudia dengan gelas besar birnya.

"Instruktur Lysander, selamat malam."

"Oh, Morgana saja, Claud. Ini bukan pertemuan formal." kekehnya. "Tak kusangka kamu penggemar alkohol. Apa jangan-jangan kamu cuma ingin mengajak kami mabuk-mabukan?"

Claudia menyipitkan mata, Morgana duduk di sisi kanannya. Ia melihat ke arah rak minuman sebelum memesan segelas brandy dingin, dengan instruksi khusus 'diaduk bukan dikocok'.

"Apa alkohol di sini terlalu murah untuk penguasa pasar Warden se-Endia?"

"Claud, jangan balik mengejek," Morgana mendecak. "Lagian, muridmu yang punya lebih banyak porsi pasar, bukan aku."

"Pria-pria yang menari di belakang itu mungkin akan mulai menggodamu untuk uang bila mereka tahu kamu seorang Lysander."

"Claud, sudahlah. Kamu belum mabuk, 'kan?" Morgana menyenggol lengannya.

"Segini sih belum."

"Wah, wah. Kalian sudah mulai minum-minum tanpa saya."

Undangan terakhir yang dipenuhi adalah seorang yang juga berasal dari luar Angia. Matron Thalia berasal dari Pusara, sebuah kontinen jauh yang Claudia juga sejujurnya masih asing.

"Sibuk jam malam, Matron? Kukira kamu tidak akan datang." tukas Claudia. Separuh gelas bir itu sudah tandas sekarang. "Oh, apa kamu minum alkohol? Maaf tapi tidak ada tempat lain untuk kita bisa berbicara."

"Tenang saja, Nona Claudia." ia tersenyum lebar. "Saya yakin kalau kita mengalihkan fokus kita ke kontes minum-minum, yang akan kalah duluan pasti Nona Lysander."

Matron Thalia tapi memesan jus jeruk, kontradiktif dengan ucapannya barusan. Claudia terkikik dalam hati. Ia berusaha tidak berkomentar.

"Thalia, tolong jangan panggil aku dengan nama keluargaku di sini~" Morgana merajuk.

Sebagai kolega, perbedaan umur mereka bukan menjadi masalah yang mengurangi rasa hormat di antara para staf Sekolah Militer Dresden. Claudia memang yang paling muda dibandingkan guru-guru yang mengajar, namun mereka lebih sering mengaitkan dirinya dengan titelnya sebagai Sang Pemersatu.

Sebuah titel yang hanya berfungsi sebagai pepesan kosong, menurutnya.

"Kami tahu, kok, alasanmu memilih bar dan bukan asrama atau lingkup gedung sekolah," ucap Thalia. "Ini soal murid-muridmu, bukan, Nona Claudia?"

"Dan soal E8." Morgana mengimbuh. "Kuyakin kamu seratus persen tidak ingin mereka menguping, terutama cucu si Spriggan itu."

Saat Morgana menyebut 'Spriggan', salah satu titel lain yang ada bersama namanya muncul ke permukaan dan membuatnya mual: 'Penyihir Masyhur'.

"Memang, murid-murid Kelas Sembilan tahun ini sangat menarik, tapi sekarang aku tidak yakin mereka akan terhindar dari bahaya," jelasnya. Gelas bir itu ia putar-putar, sejenak gusar.

Dua belas nama yang ada di buku absensinya tidak pernah luput dari pikirannya. Dua belas murid dengan latar belakang mereka yang unik melebihi sekedar anak tuan tanah setempat, keturunan bangsawan yang dituakan, atau penerus nasib rantai perusahaan lokal. Ada dari mereka perlambang Kota Suci. Ada dari mereka putri pewaris perusahaan multi kontinen. Ada dari mereka yang nantinya akan didaulat menjadi ratu. Ada dari mereka yang merupakan perwakilan diplomatik daerah yang baru saja ditaklukan Angia.

Sebagai Instruktur yang ditunjuk mengampu kelas sebagai wali, Claudia paham betul kalau mereka semua adalah tanggung jawab dirinya dan hanya ia seorang. Lagi, ia sudah meremehkan berat tanggung jawab tersebut.

Sebagai seorang Instruktur, sudah sepantasnya ia mengarahkan calon kadet sebenar-benarnya dengan disiplin militer tinggi. Ia yakin, karena pengalamannya yang kental di kancah kemiliteran, ia sudah memenuhi tahap disiplin yang seharusnya.

Akan tetapi, sebagai seorang guru, ia gagal memberikan ilmu-ilmu yang sepantasnya diajarkan. Sebagai seorang guru, ia belum mampu memberikan muridnya rasa aman dan percaya.

Ini adalah pertama kalinya di karir mengajarnya yang masih seumur jagung, ia dihadapkan dengan masalah besar yang membuatnya mempertanyakan caranya mengajar.

"Ada yang aneh semenjak Ekskursi Pertama, dan entah kenapa ketakutanku semakin lama malah semakin terjawab."

"Apa semua itu tertulis di Kitab?" tanya Morgana. "Kamu nggak seperti Faye atau Bu Kepsek yang patuh dengan kalkulasi."

Claudia mengangguk. Kitab Kejayaan Hampa, sama seperti tiga kitab lain yang ada di Endia, menggambarkan keadaan masa depan. Sebuah proyeksi yang masih dapat berubah, sehingga halaman-halaman itu kosong bagi mereka yang tidak diberi kemampuan mengindera.

Ekskursi Pertama Kelas Sembilan membawa mereka ke sebuah anomali yang terjadi di Leanan. Kunjungan ke sebuah mansion yang sudah terlupakan oleh sejarah dan penemuan kejanggalan dalam artefak berupa orgel tua hanyalah awal dari segala awal.

Ekskursi Daerah Kedua ditutup dengan kejadian yang bisa dianggap luar biasa. Saat mereka memburu anomali di Redcrosse, sebagian anggota kelas dijebak oleh pihak ketiga yang mengaku sebagai E8. Korban luka tidak terelakkan di pertikaian ini dan Claudia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri atas kesalahannya dalam bertindak.

"Sayangnya, kita tidak bisa melakukan apa-apa soal E8, ya." Claudia menghela nafas panjang.

"Biar kuingatkan lagi, apa pun yang ingin kamu gugat ke E8, kamu tidak bisa melakukannya, Claud. E8 itu kongsi dagang resmi di Kaldera," Morgana menyela. "E8 itu bagian dari kongsi dagang yang dikenal sebagai Weiss Schach."

Setelah pelaporan oleh anggota kelas, Claudia menelusuri asal-usul E8 dengan bantuan jejaring luas Morgana Lysander. E8 ternyata ada di bawah naungan sebuah kongsi dagang internasional yang dikenal di Kaldera sebagai 'Weiss Schach'. Kongsi dagang dengan bentukan itu tidak bisa dengan mudah dikenai hukum, terkecuali menyangkut hubungan diplomasi antara dua kontinen.

Kejanggalan berikutnya yang Claudia lihat adalah anggota E8 tidak kemudian memburu anak-anak Kelas Sembilan ke Folia, menandakan kemunculan mereka di Redcrosse selayaknya angin lalu. Badai yang sudah usai.

Lalu, apa yang akan menantinya - menanti mereka - di masa-masa ke depan? Anomali apa lagi yang akan mereka hadapi?

"Ada ungkapan di Pusara yang mungkin menggambarkan situasi ini," ucap Thalia. "Mungkin hanya Ibu Peri yang tahu."

"Godmother, maksudmu?" Claudia menggeleng-geleng kepala, nadanya naik. "Angia tidak lagi memiliki perlindungan Sylph."

"Pusara juga tidak seperti Aira yang masih dinaungi oleh Nymph, Nona Claudia. Ibu Peri berbicara pada kami melalui Keturunan Penjaga Makam." jelas sang Matron. "Saya rasa aliran kepercayaan yang ada dan berkembang di Pusara membuat kami merasa selalu aman."

Claudia menyesap birnya perlahan, ia terdiam.

Claudia mengingat kembali soal kampung halamannya, Norma. Sebelum Norma menjadi Kota Suci yang merupakan bagian dari Bluebeard, Norma berdiri sendiri dengan bentuk teokrasi. Dia sendiri pun didoktrin dalam kepercayaan Rumah Ibadah Norma, sesuatu yang sudah mendarah daging.

Akan tetapi, ia tidak bisa menyerahkan problema ini dan menunggu waktu menghapus keraguannya.

"Menurutku pribadi, tidak semuanya harus menunggu kehendak Yang Punya Kuasa," Morgana berkomentar. "Kalian pasti tahu apa yang terjadi pada Kaldera dan bagaimana wilayah kami kini dikenal sebagai 'Tanah Yang Dilupakan Tuhan'."

Matron Thalia menopang dagunya, raut wajahnya penuh kelembutan menanggapi perbedaan pendapat mereka, yang tampak disambutnya dengan lapang dada.

"Memang kamu khawatir karena anak-anak itu masih terlalu hijau untuk menyikapi apa yang telah dan akan terjadi, tapi kamu tidak bisa melindungi mereka selamanya, Claud," lanjut Morgana. "Ada saatnya kamu tahu kapan melepas mereka - membiarkan mereka tahu apa yang mereka hadapi dibanding menutup-nutupi dengan kata-kata manis."

"Saya tidak menyangka orang yang suka malas-malasan mengajar seperti anda punya petuah yang menarik, Nona Lysander."

"Thalia, jangan merusak suasana, ah."

Claudia termenung, menyikapi nasihat dari kedua orang asing bagi Angia itu lamat-lamat. Ia mencoba mengurutkan secara runut apa yang telah terjadi dan apa yang mereka telah dapatkan dari peristiwa-peristiwa yang sudah lalu.

Claudia mendatangkan Kitab Kejayaan Hampa di tangannya, membukanya di atas meja, juga dua artefak yang berhasil mereka restorasi dari penemuan Kelas Sembilan, sebuah orgel tua, sebuah kalung bermata merah, dan sebuah sampel 'hati' dari Warden Titania yang didapatnya dari Desa Wisata Redcrosse.

Ketiga benda itu memiliki satu kesamaan, ketiganya memiliki atau tersusun dari Bloodcalyx. Baik orgel dan kalung dianggap sebagai sumber anomali karena setelah diambil dari sumbernya, anomali yang terjadi berhenti.

"Ada apa, Claud? Ada yang janggal dari benda-benda yang sudah berulang kali kita periksa itu?"

Claudia menilik 'hati' Warden Titania lebih lekat, alih-alih menemukan sesuatu.

"Morgana," pintanya. "Apa kamu bisa membantuku untuk menilik asal-usul Bloodcalyx di Angia?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro