Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Intermission 019: Delirium

Ketika kakeknya memberitahukan bahwa hidupnya adalah sebuah kesalahan, ia tahu kalau mencari teman bukanlah tujuannya sebagai seorang anak kecil. Tubuhnya yang lemah juga tidak mengizinkannya untuk pergi keluar rumah terlalu sering, hanya berkutat di wilayah kerja sang kakek dan kamarnya yang sempit.

Saat itu, sang kakek jarang sekali pulang ke rumah. Sebagai seorang anak yang diberkahi kemampuan paham, ia mengerti bahwa Spriggan sangat membutuhkan kakeknya. Lebih butuh ketimbang kedua orang dewasa yang mengaku sebagai 'orang tua' darinya yang selalu mengekor ke mana saja kakek pergi dengan urusannya.

Hari itu adalah penghujung musim panas dengan kelembapan luar biasa. Sakit yang dideritanya menusuk ke tulang. Ia sudah tidak bisa lagi duduk untuk membaca buku dan keluar kasur untuk mengambil segelas air. Ia mengatakan pada sang kakek kalau ia bisa mandiri, ia bisa ditinggal lebih lama dan sakitnya tidak separah dulu. Akan tetapi, tubuhnya tidak pernah berbohong.

Pandangannya samar, yang ia inginkan hanya tidur dan mungkin menemukan secercah kekuatan untuk bangun dan makan sup dingin yang kakek tinggalkan pagi tadi atau paling tidak terjaga cukup untuk melakukan hal lain. Tidak, ia tidak bisa melakukan apa-apa hari ini.

Kala itu, ia mendengar sayup-sayup suara langkah di teras rumah kayu milik sang kakek. Ada suara-suara aneh yang tak bisa ia deskripsikan mengikuti, sebelum pintu utama terbuka. Saat itu, kakek sengaja membuatnya tidur di sofa ruang depan agar sang kakek bisa mengurusnya lebih cepat ketika sampai di rumah.

Itu pertama kalinya ia melihat mata merah yang sama namun dalam sosok yang lebih kecil, lebih muda. Seorang gadis datang entah dari mana ke rumahnya, alih-alih mengendap untuk mencuri. Pandangannya yang tidak fokus kurang menangkap apa yang terjadi di sekelilingnya, namun ia tahu gadis itu duduk di lantai tepat di samping sofa tempatnya terkulai, wajahnya mendekat.

"Kamu butuh minum?"

Ia mengangguk. Gadis itu mengambil gelas yang ada di dekatnya, diisinya setengah penuh dengan air. Gadis asing itu membantunya minum.

Ia lalu akhirnya bisa lebih tenang memejamkan mata, berharap saat ia membuka mata, akan ada kakeknya di sana dan angan kalau ada pencuri di rumah adalah sebuah mimpi.

Kelahirannya adalah sebuah kesalahan. Segala konvergensi sihir di dalam tubuhnya mungkin adalah salah satu ganjarannya.

Ia pernah mendengar kakek berbicara soal itu entah dengan siapa saat tengah berkumpul di teras depan. Ia merasa tidak patut hadir. Ia merasa hanya ada sebagai beban.

Ia tak sepantasnya memiliki teman.

Tapi ketika ia membuka mata, malam sudah menjelang dan kakek belum juga kembali. Hanya ada gadis itu, masih duduk di lantai dengan bersila. Senyumnya runcing menanggapi buku-buku yang berserak di sekitarnya, ia tampak telah selesai membaca salah satu.

"Pencuri?" bisiknya. Gadis itu tertawa.

"Kakekmu tadi datang, dia bilang akan kembali agak malam dan membawa obat, tapi aku dibiarkannya di sini menjagamu." balasnya ringan.

Ah, jadi dia tidak menyanggah kalau dia pencuri atau sejenisnya. Ia pun membalikkan badan.

"Kamu butuh makan, nanti kakekmu sedih."

"Diam, pencuri."

"Hei, aku serius~" sergahnya, masih dengan nada ringan. Tutur katanya terdengar dewasa, tidak seperti perawakannya. "Ayo, makan dulu?"

Setelah beberapa lama mendengar si pencuri merayunya, ia menyerah. Ia kembali beringsut menatap mata merah gadis kecil itu. Melihat ekspresinya yang mungkin selalu ceria.

"Nama."

"Hm?"

Ia menarik selimut menutup separuh wajahnya. "Siapa namamu, pencuri?"

Ia tersentak sedikit, "Oh! Aku lupa memperkenalkan diriku, ya! Maaf! Namaku-"

.

"Gloria ..."

Sunyi. Kemudian perlahan seluruh sensasi menjadi nyata.

Kasur yang empuk dan terasa lebih luas dan hangat. Ruangan yang berukuran cukup dan tidak terlalu lapang. Akhir musim panas di ambang jendela terukir dalam malam, dedaunan mulai menjadi sampai di area beranda. Kepalanya yang pusing tidak lagi berdenyut, tapi ia masih merasa tubuhnya menggigil. Sebuah hal yang biasa, tapi ia sudah tahu batasan dan tidak memaksakan diri bila sudah ada peringatan demam.

Karen memeriksa Cincin Peri yang ia taruh di meja di sisi kasurnya: pukul delapan malam, 23 Agustus Y.1340. Ia sudah tidur sejak siang setelah makan sedikit dan minum obat. Seharusnya besok panasnya sudah turun.

Ia mencoba duduk, untuk mengetahui seorang tamu tak diundang sudah ada di sana.

Di sisinya, ada seseorang yang tengah tertidur berbantalkan kedua lengannya. Sebuah buku mengenai Aplikasi Sihir terbuka di halaman awal. Rambut cokelat kemerahan terurai di atas seprai. Ekspresinya tampak damai, walau ada bekas luka di sekitar pelipis yang mengusik Karen.

Derit pintu kamar membuka sedikit, teman sekamarnya kembali dengan berusaha tidak menimbulkan suara langkah. Bahunya yang tegang melembut melihat Karen tengah duduk.

Saat Karen ingin membuka mulut, Blair mengisyaratkan dengan telunjuk di bibir agar mereka berbicara dengan volume kecil.

"Sejak kapan Gloria ada di sini?"

"Mungkin sejak pulang sekolah? Tadi aku dipanggil Instruktur Bathory sebentar, jadi aku baru saja kembali ke asrama." tersebut nama 'Penyihir Masyhur' membuat Karen merasa tidak nyaman, tapi Karen memikirkan implikasi lain di sana. "Mau kuambilkan sesuatu untuk kalian makan?"

Karen terdiam. Teman sekamarnya itu tidak keberatan bila direpotkan. Karen pernah mencoba untuk menolak, tapi Blair selalu punya alasan yang tidak terbantahkan, misal 'sekalian aku juga mau makan', atau 'kebetulan aku mau ke bawah'. Berargumen menyita energi dan energi itu tidak terlalu banyak ada pada Karen ketika sakit.

Kecuali bila itu untuk berbalas komentar dengan Gloria.

Karen menunduk menatap sosok Gloria yang tertidur pulas. Bahkan, Gloria tidak menyadari saat Karen mengusap poninya dan mengelus bekas luka di sana.

"Chevalier," ucapnya. "Kamu masih memberikan penghilang rasa sakit pada Gloria?"

"Harusnya ini yang terakhir sih, soalnya dia suka mengeluh nyeri," tukas Blair. "Dengan salep buatanku, bekas lukanya tidak akan terlihat lagi."

Karen menghela nafas panjang, "Dia ... tidak mau membuatku khawatir, ya?"

Blair terkekeh, "Kalian berdua sama saja," ia mengedikkan bahu. "Kamu sendiri, pusing, 'kan? Nanti kularutkan obat sakit kepala di minumanmu lagi."

"Chevalier."

"Tolonglah, Karen. Aku sedang tidak mau merawat pasien ngotot nomor sekian," ia menyeringai. "Kamu sudah dengar betapa Eris sudah mau pegang pedang secepatnya. Dan kamu tahu seperti apa Gloria. Lucia dengan kalimat rayuan lembut nan kakunya pun tidak membantu!"

Karen mengurai senyum. Ah, ia sudah merepotkan lagi, pikirnya. "Baiklah, tolong ambilkan porsi untukku dan Gloria dan," Karen menatap ke arah Gloria lagi. "Kudengar apel di Folia lebih manis."

"Baik, tuan putri."

"Akan kucubit kamu nanti."

Sejurus dengan Blair yang kembali pergi, Cincin Peri di atas mejanya berbunyi pelan. Sebuah pesan yang ditunggunya datang, memberitahukan langkah selanjutnya yang sudah sempat ia pikirkan sebelumnya. Karen tertegun. Ia membiarkan notifikasi itu menghilang dengan sendirinya sebelum ia memutuskan untuk menutup buku Aplikasi Sihir di samping Gloria dan menaruhnya di lantai.

Mata merahnya menyipit saat ia melihat bekas luka itu lagi - sebuah risiko yang Gloria sudah ambil dan Karen tidak dapat melindunginya.

Ia menggelengkan kepala, tidak, ucapnya dalam hati, fokusnya saat ini bukan itu.

Karen menarik tangan Gloria, menggenggamnya pelan.

Gloria sudah curiga tentang tindak-tanduk Karen setelah mereka meninggalkan Spriggan, Karen tahu hal itu. Saat ini juga, Kelas Sembilan juga telah berada di persimpangan sebelum segalanya berubah menjadi jalan tanpa arah kembali.

Segalanya sudah sesuai perhitungannya, tinggal menentukan benang mana yang harus diputus terlebih dahulu.

Dan ketika saat itu datang, Gloria mungkin-

Karen menutup matanya lagi, menangkup tangan itu dalam genggaman, dan ia berbisik namanya dalam lirih.

"Gloria," ucapnya lembut, tentu ia tahu Gloria tidak mendengarnya. "Saat semua pintu sudah terbuka nanti, apa kamu akan memaafkanku?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro