Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Intermission 015: Yang Tersisa

Zaman Para Peri telah usai, manusia pun perlahan lupa bahwa mereka punya hutang budi.

Mereka perlahan menghapus kenyataan bahwa darah harus dibayar dengan darah.

Telah Para Peri tinggalkan racun yang akan mengakar di dunia. Para Peri tidak akan kembali menarik kata-kata mereka lagi.


Rumah ibadah itu masih sepi pengunjung, walau di bawah sana telah ramai dengan orang-orang yang mempersiapkan kedai mereka. Sayup-sayup kebisingan itu jauh sehingga ia dapat memanfaatkan sunyi untuk berpikir.

Lebih tepatnya, mungkin bukan untuk berpikir mengenai apa yang sudah terjadi di masa lampau ketika prasasti itu dipahat, tetapi efek yang terjadi di masa sekarang. Terhadap tugas yang diembannya.

"Fiore?"

Hilde muncul dari undakan tangga, tatapannya datar lagi kosong.

Kelompok tiga yang datang ke kota Redcrosse pergi lebih awal dibandingkan yang lain karena jarak kota yang dekat. Val dan Alicia sedang mengadakan survey singkat pada para penduduk di kedai yang ada di sekitar rumah ibadah, mengisi kuesioner yang disediakan dari Pak Wali Provinsi Cain. Fiore sudah mengira kalau Hilde akan datang ke rumah ibadah itu, tapi tidak sesudah dirinya datang.

Artinya, Hilde ingin mengatakan sesuatu padanya. Empat mata.

"Kamu ada perlu denganku, Hilde?" tanya Fiore segera.

Hilde pun menggeleng, walau tatapannya tetap sama: lurus, sejenak terasa tajam.

"Biar kuubah pertanyaannya," Fiore berdehem. Kini ia menghadap sempurna ke arah Hilde, membalas tatapan mata itu dengan berani. "Apa yang Misionaris Norma inginkan dariku?"

"Aneh, sudah lama aku tidak mendengar nama itu," Hilde mengerjap. "Kalau dibilang apakah Misionaris Norma ingin sesuatu darimu, sebenarnya tidak ada."

Hilde melangkah mendekati prasasti. Ukiran berupa petikan naskah dari Kitab Kejayaan Hampa yang terkenal seantero Angia ada di sana. Lambang kupu-kupu merah yang telah punah ada di ujung bawah sebelah kanan, pertanda bagi mereka yang mengetahui. Pengingat bagi mereka yang mencoba melupakan.

Juga sebuah tamparan bagi mereka yang lalai dari tugas.

Di depannya, tiga langkah ke utara, telah bersimpuh seorang Norma di depan prasasti sejarah nan suci. Bukan seorang Norma biasa. Hildegard Norma adalah simbol hidup yang mengemban cita-cita Norma di kurun waktu ini, seorang yang terlahir sebagai Misionaris.

Misionaris Norma tidak pernah bersembunyi lagi selalu bergerak dalam bayangan. Pedang suci yang ada di pinggangnya adalah sebuah simbol yang diketahui oleh orang-orang tertentu, seperti pewaris tahta Bluebeard, seorang yang mungkin lama tinggal di Norma, atau orang-orang di desa tempat Fiore tinggal. Misionaris Norma memiliki tugas yang hanya akan dilepas dari mereka bila mereka mati, mereka berdua sama dalam hal tersebut.

Akan tetapi, berbeda dengan Misionaris Norma yang hendak mencari harga dari sebuah pertumpahan darah, Fiore-

"Apa kamu tahu tentang 'racun' yang disebut di sini, Fiore?"

"Kamu bertanya padaku?"

"Ya, ke Fiore, siswi Kelas Sembilan," Hilde bangun dari dirinya yang bersimpuh. Ia mencoba tersenyum, kecil dan nyaris tidak terlihat. "Aku bertanya sebagai Hilde yang menghafal ujaran doa."

"Kalau aku tidak menjawab?"

"Tidak apa-apa, itu hakmu sebagai Fiore," ucap Hilde. "Itu juga bukan kewajibanku sebagai seorang Misionaris untuk membuatmu membuka mulut."

"... Kasar sekali." Fiore mendecak. "Tidak kusangka kamu akan segetir itu kalau tidak ada Eris."

"Tolong jangan bawa Putri dalam urusan ini," nada Hilde meninggi, kedua tangannya mengepal. "Tolong."

"Baiklah."

Memang, Misionaris Norma sebenarnya tidak memiliki andil untuk mengetahui atau menjegal tugas yang dibawa Fiore. Akan tetapi, Misionaris Norma dapat menghalangi tujuannya apabila itu tidak sesuai dengan kehendak Kota Suci. Sejarah mengatakan, ada pendahulu Fiore yang penah melakukan kesalahan besar sehingga nyawanya berakhir di tiang pancang. Yang menghukum pendahulu itu adalah tidak lain tidak bukan adalah seorang Misionaris Norma.

Sejarah kelam itu menjadi sebuah noda yang tidak bisa dibersihkan, desa yang dulu memiliki otoritas tertentu kini menjadi semakin terpuruk, semakin tersudut. Pihak desa pun memutuskan untuk menyendiri dan bersembunyi dalam kegelapan, gerilya para pengemban tugas semakin kecil dan sempit.

Bila mereka ditemukan melanggar peraturan sekali lagi, mungkin tidak akan ada lagi pengampunan. Tidak ada juga kebaikan yang dapat Kota Suci berikan pada mereka. Masih beruntung mereka diberikan kesempatan untuk tetap hidup.

Fiore turut berdiri tepat di depan prasasti, menyaksikan ukiran yang tulisannya sudah ia kenali di luar kepala entah sejak kapan. Logo kupu-kupu merah itu berpendar dalam sentuhannya, sebelum kembali meredup sesaat ia menarik tangannya. Hilde memperhatikan pendar itu dengan takjub, walau tidak menyuarakan pendapatnya.

Pewarna merah di sana dibuat menggunakan sihir. Dahulu kala, simbol itu digunakan untuk mengirim pesan ke leyline untuk disampaikan ke tempat yang jauh. Seperti telepati, tapi jangkauannya seluas Angia. Simbol ini tidak lagi digunakan karena banyak tempat-tempat para cendekiawan menaruh simbol seperti ini sudah dihancurkan karena pengaruh perang.

Tentu, dengan kemajuan teknologi, simbol rahasia ini tidak lagi bermakna, cuma sekedar tanda yang kemudian melebur dengan sejarah dan perlahan ditinggalkan. Cincin Peri memang belum efektif menjadi alat komunikasi untuk menjangkau jarak jauh yang tidak terlacak. Mungkin, di kemudian hari, semua orang sudah bisa menggunakan Cincin Peri sebagai perangkat yang menyimpan rahasia. Mungkin saja.

"Lalu, apa kamu akan melakukan tugas sebagaimana seharusnya Misionaris bertugas?"

Hilde menatap ke tanah, "Aku tidak tahu."

"Tapi kurasa kalau kamu memilih untuk tidak melakukannya, itu juga tidak masalah," Fiore berujar. "Zaman Para Peri sudah usai, 'kan? Tidak ada lagi dendam yang perlu dibalas, kamu juga tidak perlu mati untuk menggugurkan tugas."

"Aku bukan kamu, Fiore."

"Benar, tugasku lebih mudah." Fiore menyalak, sarkastis. "Aku tidak perlu menumpahkan darah siapa-siapa, tapi kalau aku gagal-"

Hilde tampak menunggu dirinya keceplosan. Lepas kendali. Amarah memang hal abstrak yang sulit dikendalikan, lebih sulit dibandingkan sihir. Walau demikian, Fiore sudah paham kalau Hilde mungkin telah mengetahui siapa sebenarnya dirinya dan apa yang dicari oleh Fiore.

Walau pencarian itu tidak membuahkan hasil hingga saat ini meski Fiore sudah mengikuti segala kata-kata dari tetua dan orang-orang di desanya, ia tetap tidak diperbolehkan untuk kembali.

'Masih ada harapan', katanya. 'Masih ada cara lain yang bisa kaucari', katanya. 'Masih ada kesempatan yang masih bisa kaucoba dari segala kesempatan yang pernah ada', katanya.

Apa sebenarnya ia telah dikorbankan oleh para tetua itu? Sempat Fiore memikirkan demikian.

Selama sekian dekade pencarian dan gerilya dilakukan, era-era berganti dan manusia sendiri-lah yang menghancurkan dunia dengan perang. Dengan ego. Perselisihan dan pertumpahan darah yang mendorong Para Peri pergi dari tanah yang semula dibagi bersama oleh para manusia. Tidak cukup sampai sana, para manusia itu juga saling bertentangan satu sama lain hingga lahir masa kegelapan yang dikenal sebagai Era Kekuatan.

Jatuhnya Norma menjadi Kota Suci di bawah naungan Bluebeard, perang-perang kecil yang tak terbilang jumlahnya, saking banyaknya pertempuran, hampir tidak ada lagi harapan bagi dunia ini hingga Era Fajar terjadi, Angia akhirnya menjadi sebuah benua semi-presidensial dengan Caelia sebagai ibukota utama.

Pencarian yang dilakukan Fiore tetap dilaksanakan agar perang seperti dalam sejarah tidak lagi terulang. Segala pembacaan masa depan dan pemeriksaan leyline oleh orang-orang desa telah membuktikan bahwa segalanya telah berubah di permukaan. Bahkan, hal itu sudah didahului dengan terjadinya perang yang membuat Spriggan dianeksasi. Sesuatu telah bermula. Segala hal yang telah dirumuskan tidak bisa lagi dihentikan.

"Apa kalau kamu gagal, 'Para Peri' akan kembali?"

Hilde pastinya telah menghafal segalanya dan memikirkan alinea tersebut. Para Peri meninggalkan 'sesuatu' sebelum mereka pergi, seakan-akan setelah 'benda' itu menimbulkan efek, Para Peri dalam cerita akan kembali menguasai tanah Angia dan membersihkan segala kekotoran manusia di permukaannya. Terdengar seperti utopia, tapi Fiore dan para orang desa tidak pernah menyimpulkannya demikian.

"Tidak, Peri tidak akan kembali ke benua ini, manusia sudah mandiri," Fiore mendengus. "Hanya saja, manusia itu serakah. Perang bisa saja terulang."

"Dan balas dendam kami tidak akan terjadi?"

"Makanya sudah kubilang kamu tidak perlu melakukan hal itu," ulang Fiore. 'Kami' yang dimaksud Hilde pastinya para misionaris yang telah gugur. "Kamu sebenarnya tahu sendiri soal itu, 'kan?"

Hilde akhirnya buyar, tangannya lepas dari menyentuh prasasti. Ia terlihat jelas mengulum bibir, ekspresi datarnya pecah menjadi geram, alisnya naik total dan matanya berkaca-kaca.

"Aku paham kok, soal ragu. Karena kita sama-sama manusia, bukan Peri."

"Tapi kamu--"

"--setengah bukan berarti bisa menjadi satu."

Ya, seandainya mereka adalah makhluk yang lebih kuat untuk mengemban sebuah tugas. Atau mungkin lebih berpengalaman sebelum tugas itu datang. Memang, orang-orang tua akan berkata kalau 'kamu tidak akan punya pengalaman bila tidak mencoba', tapi mereka pun tidak punya pilihan untuk mencoba.

Pilihannya hanya berhasil atau gugur.

Habis kikis atau menang jaya.

Atau, mengorbankan diri sendiri menjadi pilihan terbaik di segala peristiwa?

Atau, lebih hebat lagi, apakah mengorbankan dunia ini akan menjadi sebuah jawaban?

Fiore menepuk pundak Hilde yang terus tertunduk sampai Hilde mengangkat kepalanya. Gadis itu seumuran dirinya, masih muda, bukan umurnya untuk memikirkan sebuah misi berat. Ia pun sama. Mereka masih terlalu polos untuk membuat keputusan. Masih mudah terombang-ambing oleh segala kemungkinan manis di antara banyak pahit yang bisa dicecap.

Akan tetapi, waktu tidak pernah menunggu. Roda kehidupan terus berputar, begitu juga rencana-rencana yang telah dipetakan oleh orang-orang yang dibilang memiliki kuasa dan tanggung jawab.

Racun sudah mengakar, tugas Fiore adalah mencari dan mencabut akar itu.

Tapi, apa yang bisa ia lakukan ketika akar dari racun itu sudah berkembang pesat menjadi pohon, bahkan telah menghasilkan buah yang telah dinikmati semuanya?

"Bagaimana kalau kita kembali ke bawah? Alicia dan Val pasti sudah selesai sekarang." usul Fiore. "Bisa-bisa nanti Val menulis kalau kita mangkir dan sekelas akan dapat hukuman."

Hilde mengangguk pelan.

"Maaf aku sudah, lancang." bisiknya lirih.

"Itu tugasmu, 'kan?" Fiore menghela nafas lega. "Mungkin sebagai Hilde, yah, sangat berbeda dengan apa yang kuprofilkan sih."

"Oh? Jadi aku lebih bagus jadi gadis pendiam?"

Fiore memijat pelipisnya. Sepertinya, Hilde pun sudah mulai oleng.

"... Terserah kamu, lah. Tapi sudah banyak orang bising di Kelas Sembilan. Kamu tidak perlu ikut-ikutan."

Untuk pertama kalinya, Hilde tertawa.

"Benar juga." [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro