Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Intermission 014: Kelas yang Menyenangkan

Dulu, Hana mengira hidupnya akan habis di medan pertempuran.

Suatu saat di masa yang dekat, ia akan mati percuma sama seperti anak-anak lain yang telah mendahuluinya. Bisa saja ditembak atau tidak sengaja menginjak ranjau darat.

Dunia Hana sangat sempit, walau ia selalu berlari di padang luas seraya meregang nyawa. Bau rokok dan mesiu yang mengisi barak adalah harum yang biasa ia cium. Orang-orang tua dan veteran itu biasanya membuang puntung mereka di mana saja dalam barak, kadang mereka bahkan merokok sambil terkantuk-kantuk. Peleton yang ditugaskan menjaga barak akan bermain kartu hingga pagi hari, puntung-puntung rokok akan lebih banyak dan lebih tengik pada hari-hari itu.

Beruntung kalau besok mereka masih kembali untuk main kartu, kadang sebagian dari mereka akan hilang tanpa jejak dalam kurun waktu dua belas jam.

Mereka bilang pertempuran kali ini lebih kecil dibandingkan sejarah-sejarah yang telah lewat, dan kebanyakan dari pertempuran ini menggunakan senjata teknologi bukan sihir. Hana, sama seperti banyak tentara anak-anak yang tidak memiliki asal jelas, hanya berjalan hilir dan mudik sambil membawa senjata.

Kalau dibilang tanpa asal, Hana tidak terlalu yakin. Ia masih ingat terakhir hidup di sebuah desa dengan padang gandum yang luas, sebelum semua itu dibakar orang-orang berseragam dan mereka membawa anak-anak yang masih hidup pergi ke barak-barak tentara untuk dilatih. Selepas itu, Hana hanya mengingat cara mengayun kapak, cara membunuh tanpa suara, dan cara pura-pura mati.

Apa yang membedakan tentara anak-anak Spriggan dengan para penyusup kecil dari kubu lawan adalah mata merah mereka. Mata merah tipuan dapat dengan mudah dikenali oleh orang-orang dewasa itu, entah bagaimana caranya mereka membedakan.

Perintah orang-orang dewasa itu selalu sama: lari, bunuh, atau sembunyi. Senjata harus tepat di depan muka, bahkan ketika tidur. Anak-anak harus bangun di awal waktu sebelum kaki mereka akan diinjak oleh kepala peleton. Bila tengah melakukan gerilya, anak-anak akan dikirim ke baris depan untuk menjadi umpan. Mereka harus bisa gesit, atau mungkin ada kaki mereka yang hilang. Bisa saja kata para orang tua itu kaki mereka disambung, tapi mungkin mereka tidak akan bisa berjalan lagi.

Sudah biasa Hana melihat mayat terburai di tengah-tengah padang rumput, darah segar mereka mengalir menyirami rumput-rumput hijau. Ada beberapa orang tua baik yang tetap menutup mata mereka kalau orang itu mati terbelalak, jadi Hana juga melakukannya pada mayat yang ia lihat.

Setelah pertempuran, yang Hana lakukan adalah diam di barak kosong itu, senjatanya masih ia pasang di depan muka, dipeluknya erat-erat. Orang-orang tua itu bilang kalau 'ketua' mereka telah 'menyerah'. Orang-orang itu memiliki rumah, jadi mereka pulang ke rumah. Sementara, Hana menjadi satu dari banyak anak yang masih hidup tapi tidak punya tempat untuk kembali.

Barak tentara yang sunyi dengan kasurnya yang apek itu menjadi surga baginya sekarang. Pakaian tentaranya yang masih penuh bercak darah dan kumal pun menjadi pakaian yang paling bagus yang pernah ia kenakan.

Sampai suatu hari ada sekelompok orang menjebol paksa pintu barak.

"Di daerah sini masih ada barak? Ulah siapa ini?"

Suara lengking yang terdengar milik seorang perempuan muda datang masuk. Hana yang bersembunyi di bawah salah satu tempat tidur hanya mengintip dan menghitung bayangan. Ada tiga kepala, dan pemilik suara lengking itu adalah yang punya bayangan paling pendek.

"Saya tidak tahu, Nona, mungkin paman Nona-"

"Ya, ya sudahlah. Kita bersihkan saja tempat ini dan jadikan hanggar baru ... oh?"

Mendadak barak kembali sunyi. Hana sudah bersiap mendorong senjatanya bila ini adalah taktik untuk memancingnya keluar.

Yang mengintip balik ke kolong kasur tempat Hana bersembunyi adalah sepasang mata merah. Rambut kemerahan itu panjang menjuntai ke bawah. Ekspresinya sama sekali tidak berubah di hadapan kapak runcing.

"Hai! Aku kesini bukan untuk menyakitimu!" ucap gadis itu. "Aku Gloria Wiseman, apakah kamu mau ikut ke sebuah tempat menyenangkan bersamaku?"

Sekarang, Hana telah duduk di salah satu kotak tinggi yang ditumpuk siswi-siswi Kelas Enam sebagai penanda antara ruang dapur umum dan ruang penyimpanan barang sementara. Kakinya menendang-nendang udara sambil ia menikmati sebotol susu yang dibagikan oleh Kelas Enam pada semua orang.

Katanya, susu itu adalah pemberian warga Redcrosse yang telah mereka bantu kemarin. Ada kompleks peternakan di Redcrosse namun cukup jauh dari kota, katanya. Mereka juga mengingatkan agar para siswi Dresden mampir mencicipi susu di kedai mereka saat festival nanti.

Mata Hana menatap langit biru cerah hari itu yang mataharinya perlahan meninggi, gemerisik pohon-pohon dapat terdengar dari kejauhan, beserta desir lepas pantai. Bebas, ia telah bebas. Ia memang bersekolah untuk menjadi tentara lagi, tapi Hana tahu kalau ini akan menjadi saat yang berbeda. Sekarang ia bukan lagi 'bocah' atau 'anak kecil' atau 'umpan'. Sekarang ia adalah 'Hana Albertine', umur empat belas tahun, seorang siswi Sekolah Militer Dresden.

Sekolah ternyata sangat menyenangkan, terkecuali pelajaran-pelajaran yang membuat otak berasap. Siswi-siswi Kelas Sembilan yang hebat-hebat selalu membuatnya takjub. Awalnya, Hana kira Karen dan Gloria adalah gadis-gadis terhebat yang akan ia temui setelah lepas dari barak, tapi ternyata dunia itu jauh lebih luas.

Ada Muriel yang sangat pandai memasak dan membelah pohon dalam hitungan menit.

Ada Blair yang kadang obrolannya aneh tapi ia mampu melakukan sulap (katanya itu 'alkemi', tapi Hana tidak tahu itu apa).

Ada Eris dengan kemampuan pedangnya yang indah.

Ada Alicia yang katanya narapidana tapi mudah berbaur dengan semua orang.

Ada Val yang tidak kenal lelah mengurusi anak-anak Kelas Sembilan.

Ada Hilde yang pendiam tapi teguh.

Ada Ann yang malas-malasan tapi selalu belajar.

Instruktur mereka juga sangat pandai dalam penggunaan sihir.

Mereka tidak jauh lebih tua dari Hana. Mereka juga tidak memanggil Hana sebagai objek. Mereka adalah gadis-gadis yang sangat, sangat hebat menurut Hana.

Lebih hebat dari ketua peloton yang pernah menendang badannya kalau ia telat bangun. Lebih hebat dari pria-pria mabuk yang tidak sengaja menyundut anak-anak dengan puntung rokok panas. Lebih hebat dari si penembak jitu yang kadang mencuri jatah makanan anak-anak di barak.

"Hana, kamu di sini rupanya."

Suara lembut yang datang dari seberangnya itu adalah milik teman sekamarnya. Sama seperti Hana, ia juga memegang botol susu yang dibagikan oleh anak-anak Kelas Enam, juga tongkat yang selalu ia bawa kemana saja. Hana segera melompat turun dari tumpukan kotak dan berjalan setengah melompat dan memberi teman sekamarnya itu pelukan erat.

"Luce!" pekiknya riang. "Apa sudah saatnya kita berkumpul dan berangkat?"

Lucia menggeleng. "Kita masih harus menunggu para Instruktur dari rapat mereka, bukan? Kamu tidak ingin melakukan hal lain?"

Hana adalah anggota kelompok pertama di pembagian kelompok tadi. Teman-temannya yang lain berpencar untuk menghabiskan waktu masing-masing. Gloria datang ke gerbong Warden dan berbicara pada anak-anak Kelas Tiga, Eris mengasah pedangnya di sekitaran gerbong kargo, dan Ann memilih untuk duduk-duduk santai di gerbong makan.

Sekarang, Lucia yang tadi bilang kalau ia akan belajar dengan Fiore tengah mencari Hana. Mungkin ia sudah selesai belajar.

"Tidak. Hana mau bicara sama Luce saja."

"Baik kalau begitu," Lucia mengangguk santun. "Mau berbicara tentang apa, Hana?"

"Perlihatkan pada Hana sebagus apa sihirmu sekarang!"

Lucia tertawa kering. "Ti-tidak sebagus itu kok..."

"Tidak apa-apa! Hana tidak akan tertawa atau mengejek Luce!"

"Ba, baiklah ..."

Lucia meminta Hana memegang botol miliknya sementara ia berkonsentrasi dengan tongkat di tangan. Hana menaikkan tongkatnya, perlahan angin berkumpul di sekitar Hana, berputar kecil dan menerbangkan helai-helai rambutnya. Seperti semilir kecil nan lembut, dengan durasi yang sebentar. Hana tersenyum lebar-lebar sepanjang Lucia melakukan itu.

"Sihir Lucia menyenangkan~"

"Begitukah? Terima kasih, Hana." ia tersipu. "Kalau bukan karena Hana yang memberi semangat, mungkin saya juga tidak akan semangat belajar sihir."

"Anak-anak Kelas Sembilan memang hebat-hebat ya! Luce juga hebat!" seru Hana sambil berseri-seri. "Sebentar lagi Luce juga pasti akan bisa memanggil tornado!"

"Itu tampaknya berlebihan, Hana. Tapi kalau Hana yang bilang seperti itu, mungkin benar suatu saat nanti saya akan bisa jadi penyihir sehebat itu."

"Benar 'kan, benar 'kan!?"

Mereka berdua pun menepi di dekat dapur umum, menikmati susu botol sambil membicarakan topik-topik acak. Mulai dari kelakuan Ann yang aneh, atau keonaran yang dilakukan Alicia cuma untuk menarik perhatian Val.

Semoga saja, Kelas Sembilan akan terus seperti ini - kelas yang menyenangkan dan selalu ada untuk Hana.

Inilah dunia Hana yang baru. Kebebasan yang sebenarnya. [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro