Intermission 009: Kalistenik
Gloria sudah hafal tanda-tandanya: gadis berambut perak itu akan menghilang dengan cepat pada sore hari walau biasanya dia akan menghabiskan waktu sebelum bel pertanda gerbang akan ditutup berdiam di sekolah. Esoknya, gadis itu dipastikan akan absen dari kelas.
Tidak, ini adalah hal yang biasa terjadi hingga Gloria sudah punya polanya. Hal yang ia ketahui sejak lama, jauh sebelum mereka bersekolah di Dresden.
Untuk itu, Gloria meminta Blair untuk keluar dari kamarnya lebih pagi agar ia bisa berkunjung. Sedikit iming-iming barang riset dari Spriggan dapat digunakan untuk memancing Blair apabila ia tidak menyetujui idenya. Anak itu sangat suka memereteli hal-hal yang baru dilihatnya bila diizinkan. Atau, Gloria berpikir akan 'membayar' jasa Blair dengan kue limited edition dari toko roti enak di kota Folia. Paling tidak, Gloria tahu kalau Blair akan tutup mulut, apa pun caranya.
Akan tetapi, ternyata Blair mengiyakan permintaannya tanpa banyak bertanya. Gloria hanya bisa tertegun.
Di pagi berikutnya, Gloria yang datang menuju kamar itu dengan setengah mengendap langsung melihat Blair sudah siap di lorong. Gadis periang itu mengayunkan sebuah vial kecil di tangannya.
"Untuk Karen. Vitamin saja kok biar badan segar, ramuanku."
Gloria menangkap vial tersebut, memeriksa cairan tidak berwarna yang ada di dalamnya. "Kamu punya indra keenam?"
"Alkemis dekat dengan alam-"
"-seperti penyihir."
"Sudah kubilang, alkimia dan sihir itu berbeda," ucapnya cepat. "Sudahlah, tuan putrimu sudah menunggu di kamar."
Gloria melirik ke arah pintu kamar di penghujung lorong sebelah barat. "Dia ... sudah tahu aku akan datang?"
"Entah? Tapi tadi saat aku beres-beres tas, dia bilang kalau mungkin akan ada tamu di kamar."
"Oh, oke terima kasih, aku-"
"Berhutang? Tidak. Rasanya yang dibutuhkan putri adalah istirahat dan orang terdekatnya, bukan aku."
Gloria memperhatikan Blair yang berjalan melewatinya sambil tertegun. Karen bukan orang yang cepat terbuka dengan orang baru, walaupun itu teman sekamar yang akan bersamanya selama satu tahun. Walau mungkin terlihat dari gelagatnya, tapi Blair belum tentu bisa menebak dengan sempurna mengingat Karen itu sangat tertutup.
Mereka berdua - Gloria dan Karen - bahkan tidak terlalu dekat setelah mereka sibuk dengan kehidupan sekolah. Mungkin hanya Hana yang akan tahu kalau mereka adalah teman masa kecil, seperti halnya Eris dan Hilde.
Yang bisa Gloria simpulkan sekarang, Blair terlalu pandai membaca situasi. Atau mungkin selevel cenayang. Atau malah ilmu tebakannya lebih detail dibandingkan Ann Knightley.
"Chevalier, kamu serius nggak punya indra keenam?"
"Aku cuma sering berhadapan dengan orang yang mengkhawatirkan orang lain yang sakit, itu saja."
Blair melangkah pergi dengan riang dan ringan, meninggalkan Gloria yang menyaksikannya berlalu. Vial di tangannya ia pegang erat-erat, disisipkannya di kantong seragam agar tidak jatuh atau pecah.
✾
Kalau dideskripsikan, Spriggan sebenarnya adalah tempat kecil yang terasing. Saking kecilnya, hampir semua penduduk di Spriggan mengenal satu sama lain. Spriggan sejak dahulu adalah komunitas yang selalu berdampingan erat dan gemar dengan gotong royong. Hal tersebut membuat Spriggan maju dan beradab, bahkan setelah mereka menjadi Daerah Otonomi Spriggan, seluruh antero Endia mengenal Spriggan sebagai daerah yang memiliki kemajuan teknologi sehebat Kaldera dan pengetahuan sihir seluas Angia dan tidak kalah dengan Aira, benua dengan keilmuan sihir yang sangat pesat.
Lagi, kemajuan mereka menarik keinginan menggebu dari dua benua besar di dekat mereka untuk menjadikan Spriggan sebagai bagian mereka. Angia dan Kaldera selalu berusaha merebut Spriggan dalam ratusan tahun terakhir, dengan berbagai cara yang ada.
Pada akhirnya, bangau yang terbang tinggi pun terjatuh ke tanah, Angia berhasil memanfaatkan situasi dan membuat Spriggan yang tidak punya banyak pilihan di kala itu bertekuk lutut.
Kini, tanah Spriggan dan semangat gotong royongnya masih sama, walau segalanya telah berbeda karena status mereka sebagai 'provinsi dari Angia'. Dampak yang ditimbulkan dari aneksasi ini sangat besar, dan salah satu yang terkena imbasnya adalah keluarga penguasa Spriggan dan sang pemimpin lama yang memutuskan menebus dosanya dengan cara bunuh diri.
.
Gloria menatap tangannya enggan; kenop pintu kamar sudah lama ia pegang, namun ia belum berani mengetuk pintu. Memang belum ada dua menit ia berdiri, tapi ia merasa sudah terlalu banyak berpikir.
Padahal, ini menjadi hal yang biasa Gloria lakukan, sama seperti dulu.
Gloria menelan ludah sekali lagi sebelum akhirnya mengetuk pintu.
"Gloria?"
Suara parau yang selalu dikenalnya memanggil, alih-alih tahu bahwa Blair tidak akan kembali lagi tiba-tiba ke kamar atau kemungkinan ada orang lain yang datang selain dirinya.
Sebuah nostalgia meruap di balik benaknya sesaat ia membuka pintu. Hampir setiap hari dulu Wiseman kecil datang ke rumah kayu tinggi yang ada tidak jauh dari kompleks mansion bersama warga barat. Di rumah kayu itu tinggal seorang kakek tua dengan rambut yang sudah sempurna putih dan cucunya yang kerap sakit-sakitan. Wiseman kecil hanya tahu nanti kalau kakek tua itu adalah seorang 'pemimpin' yang sangat dipandang oleh para warga Spriggan.
Saat ini, kakek tua sudah tiada, dan cucunya semakin keras kepala. Memang, hari ini Karen tidak lagi bermain catur karena bosan padahal dia sedang panas tinggi, tapi dia masih terduduk di atas kasurnya, bersandar penuh ke dinding sambil membuka layar interaktif Cincin Peri-nya.
Gloria mendengus kencang, paling tidak, satu hal tidak berubah.
"Orang sakit harusnya berbaring." tukas Gloria yang mendekat. Ia duduk di tepi kasur Karen, menarik tangannya yang semula naik untuk diam di atas selimut.
Karen tampak lelah, wajahnya muram bersemu merah. Kulitnya yang lebih pucat dari biasanya menambah tingkat rona merah di sekujur tubuhnya. Gloria mendekat untuk menempelkan tangannya di dahi Karen. Rasanya suhu tubuh Karen tidak terlalu panas, tapi bukan Karen bila ia tidak terlihat mengkhawatirkan - dan Gloria yang selalu khawatir.
Selayaknya biasa, Karen Ray Spriggan versi sedang sakit yang ada di depannya akan mulai berargumen.
"Aku sakit setiap bulan, paling tidak sedikit variasi boleh, 'kan?"
Pemilik rambut coklat kemerahan itu menarik nafas panjang. "Karen."
"Toh bulan lalu aku tidak sakit, mungkin latihan militer itu sedikit membantu."
Ah, Gloria memang bukan lawan tandingnya bila ia sudah berkelit. Ia menarik tangannya. Karen tidak lagi menyentuh Cincin Peri-nya dan membiarkan tangannya ada menyilang di atas pangkuan. Karen menatapnya dengan mata tajam, Gloria tidak peduli. Sudah biasa.
"Ini dari Chevalier, katanya vitamin."
Gloria menaruh vial pemberian Blair di meja dekat dengan kasur Karen, memperlihatkannya cukup lama dan berharap Karen tidak lupa. Gloria kemudian kembali duduk di sisi kasur, memperhatikan Karen yang entah kenapa terlihat geram. Entah karena mengetahui Gloria mengganggunya atau hal lain yang tidak Gloria ketahui.
"Oh," tukasnya pendek. "Dia perhatian."
Gloria memandang sisi kasur sebelah kiri yang sudah dirapikan, juga meja Blair yang penuh tapi tidak berantakan. "Dia sepertinya tahu."
"Artinya aku tidak perlu capek-capek menjelaskan."
"Karen."
"Hm? Apa aku terlalu kasar pagi ini?"
"Ya, dan tidak. Kamu selalu ... " Gloria mengulum bibirnya. "Lupakan saja."
Sebenarnya, apa yang diderita Karen bukanlah sebuah rahasia yang patut ditutup-tutupi. Karen hanya memiliki tubuh yang lemah dan sering sakit-sakitan. Sakitnya bisa bervariasi, tapi umumnya demam, nyeri, atau kaku otot. Butuh beberapa hari untuk Karen beristirahat, walau durasi istirahatnya berkurang seiring umurnya bertambah, ungkap sang kakek saat Gloria pernah bertanya.
Dulu, Kakek Spriggan akan bilang kalau itu adalah anomali dari energi sihir Karen yang besar. Atau mungkin suatu jeda untuk mengingatkan kalau dia tidak boleh terlalu banyak berpikir dan menggunakan ilmunya.
"Sudah kubilang, jangan terlalu memaksakan diri. Anak-anak Kelas Sembilan juga bisa bertarung dengan hebat, kok."
Ia menepuk tangan itu lagi. Gloria kadang memikirkan saat Karen mewakili kelas dalam Battle Royale beberapa minggu silam. Penggunaan sihir yang terlalu melelahkan juga rawan baginya.
"Aku juga sudah bilang tidak apa-apa. Saat Ekskursi Daerah juga aku baik-baik saja."
"Aku tahu, tapi-"
"Jangan terlalu mengkhawatirkanku, aku tidak seperti dulu lagi, Gloria," tukasnya dengan nada agak tinggi, tangannya ditangkis sempurna. "Lalu aku juga, ah--"
Karen yang terhuyung segera ditangkapnya ke dalam peluk. Gloria melingkarkan tangannya di sekitar torso, memosisikan Karen dalam posisi yang nyaman. Gloria dapat merasakan panas tubuh Karen, panas yang menjalar tidak nyaman. Nafas yang menderu. Detak jantung yang tidak karuan.
Memang, Karen yang sakit akan lebih banyak bicara. Akan lebih banyak jujur ketimbang diam. Gloria bukan memanfaatkan kesempatan untuk mereka berdua mengobrol.
Gloria selalu, selalu ingin-
Si kecil Wiseman menghela nafas. Gadis kecil yang ada dalam rengkuhannya ini kurus seperti biasa, walaupun ia sudah semakin dewasa. Tetap ringkih. Ototnya perlahan terbentuk setelah latihan keras sepanjang bulan pertama sekolah. Karen kerap menyanggah ketika mereka berbicara berdua saja, tapi Karen tidak pernah menolak pelukan darinya.
Gloria tidak pernah memeluknya terlalu erat, hanya sekedar cukup untuk menyangga tubuh itu agar tidak jatuh. Atau menjadi sandaran ketika tubuh itu bergetar hebat mendapati kakeknya telah tiada. Gloria akan membelai sisi rambut perak itu lembut, membiarkan Karen meletakkan kepalanya nyaman di relung antara bahu dan lehernya.
"Karen."
Ia berbisik dekat dengan telinga gadis berambut perak itu.
"Hmm?"
"Kalau kamu nggak istirahat, aku akan benar-benar marah, lho?"
"Kamu nggak pernah marah, Gloria."
"Oh," Gloria mendecak. "Kamu ingin lihat aku marah segitunya, ya."
Karen pun akhirnya diam. Gloria kembali menepuk punggung itu hingga deru nafas milik Karen perlahan berangsur pelan dan nyaman. Gloria membiarkan tubuh itu terkulai sebelum ia membawa Karen kembali dalam posisi terlentang. Gloria menarik selimut itu, memperhatikan raut wajah Karen yang tenang dalam tidurnya.
Lagi, satu hal yang tidak berubah. Senyum kecil pun tersungging di bibir Gloria.
Ia kemudian mengakses Cincin Peri miliknya, memberi pesan pada seseorang yang dia yakin ada di dapur asrama untuk menitip bubur.
✾
Pada awalnya, Wiseman kecil datang ke rumah kayu tinggi itu sebatas penasaran. Orangtuanya yang masing-masing sibuk dengan urusan Perusahaan Wiseman membuat Wiseman kecil menjadikan wilayah Spriggan di sekitar hanggar dan petak kota yang ditinggalinya sebagai taman bermainnya. Rumah kayu itu dihuni kakek tua dan cucunya - anak gadis seumurannya dengan perangai galak yang cukup sulit didekati. Gadis itu kurus sekali, rambut perak membuatnya terlihat seperti boneka.
Wiseman kecil lama-kelamaan mengenal gadis itu dengan namanya, 'Karen', dan Wiseman kecil tetap bermain bersamanya walaupun bisa saja seharian Karen tidak mengajaknya bicara.
Sampai akhirnya, mereka berbicara, bermain dengan sendirinya senormal apa yang biasa Wiseman kecil lakukan dengan anak-anak lain di petak kota. Wiseman kecil jadi sering sekali datang ke rumah kayu kecil itu setiap harinya sebelum pergi ke tempat lain, selalu bercanda dengan si kakek tua atau si gadis kecil berambut perak. Hingga Wiseman kecil sampai tahu kebiasaan sang kakek tua dan bagaimana gadis kecil itu menyembunyikan dirinya dari dunia luar karena sakit-sakitan.
"Ah, Gloria kecil, kamu mau ketemu Karen? Dia sedang sakit dan tidur di dalam."
Kakek tua itu memiliki nama, tapi Gloria akan memanggilnya dengan sebutan 'Kakek Spriggan' karena itu nama yang ada di depan rumah kayu tersebut. Kakek selalu mengenakan topi fedora yang sesuai dengan jas yang digunakan di tubuhnya yang tambun. Penampilan Kakek Spriggan selalu rapi walaupun tidak setiap hari ia pergi atau menerima tamu. Terkadang rasanya aneh melihat si kakek tengah memasak di dapur untuk dirinya dan si gadis kecil dengan pakaiannya yang serba rapi itu. Setiap Gloria datang, selalu saja ada jatah makanan untuk Gloria setiap siang, seperti si kakek sudah mengharapkan kedatangannya.
"Kakek, sebenarnya Karen sakit apa?"
Pertanyaan itu adalah hal lumrah yang patut diucap seorang anak kecil yang polos, ungkap Gloria. Akan tetapi, melihat ekspresi Kakek Spriggan yang semula merona dengan senyum lebar segera berkurang menjadi senyum kecil nyaris datar, Gloria sejenak menyesal untuk bertanya. Kakek Spriggan pun berlutut, menyetarakan pandangannya dengan Gloria.
Seluruh penduduk Spriggan memiliki mata merah yang sama. Melihat seseorang dari dekat akan terasa sama seperti melihat dirimu di dalam pantulan cermin. Mata Kakek Spriggan lebih kecil dan sisinya sudah keriput karena usia, tapi Gloria merasa tatapan itu begitu intens, familier.
"Tubuh Karen sejak dulu lemah, dia tidak dapat menampung segala beban yang dunia berikan kepadanya," kalimat itu terdengar begitu hiperbolik, lagi Gloria merasakan sesuatu yang terasa sesuai. Seperti segalanya sudah ada pada tempatnya.
Kakek Spriggan tidak berbohong. Kakek tidak pernah berbohong.
Senyumnya perlahan melengking sementara matanya berkaca-kaca. "Bila suatu saat nanti Kakek sudah tiada, bisakah kamu menjaga Karen?"
Tentunya, dengan segala kepolosan anak kecil, si Wiseman kecil menjawab dengan lantang dan pasti. "Baik, Kek! Aku janji akan menjaga Karen!"
✾
Bubur pesanannya sudah lama datang, diantar oleh Muriel bersama dengan baskom berisi air hangat dan handuk yang tidak Gloria minta. Gloria memberi isyarat kalau dia akan membalas semuanya nanti, dan Muriel pun segera berjinjit keluar kamar.
Sudah berapa lama ia ada di kamar itu dan sudah berapa lama ia hanya duduk, dengan tangannya tidak berhenti memainkan poni Karen atau mengelap keringat dari wajahnya?
Gloria punya firasat waktu yang cukup tepat, ia berpikir untuk akhirnya pergi menuju kelas kalau sudah lima belas menit sebelum gerbang ditutup. Ada keinginannya untuk tetap di sana, tapi Karen pasti akan marah besar padanya nanti. 'Aku bukan anak kecil, aku bisa mengurus diriku sendiri,' atau 'Kalau kamu bolos, Instruktur pasti akan memberimu hukuman' atau 'Sudah cukup, tidak usah repot-repot. Cepat sana.'
Tapi, perkiraan Gloria bisa saja salah mengenai Karen, karena Karen yang sekarang telah menyembunyikan sesuatu dari Gloria.
Gloria tak pelak memejamkan mata, hatinya mencelos. Sesuai kata Kakek Spriggan, Karen memang telah 'maju' lebih dari hitungan umurnya; ia mengetahui seluk-beluk gelap Spriggan dan juga Angia. Karen juga mampu menghitung prediksi atas sebuah kejadian. Dia bukan sebatas gadis belia yang ingin daerahnya kembali merdeka. Bukan pula sekedar pion di atas papan catur.
Biasanya, biasanya, Karen akan sekedar memberi kode kalau ia tengah melakukan sesuatu 'tugas', tapi tidak untuk kali ini. Gloria telah memperkirakan ada sebuah hal yang tidak ia ucapkan saat mereka ditugaskan menuju Mansion Leanan saat Ekskursi Daerah berlangsung bulan kemarin.
"... Gloria?"
Rintih pelan namanya itu segera membuyarkan lamunan. Karen tampak tidak terganggu dengan tangannya yang masih menyibak poni rambut peraknya, jadi Gloria tetap di sana, membelai pelan.
"Jangan bilang kamu mau bolos."
"Hei, aku tidak ada keinginan mau bolos." Gloria membela diri. "Masih ada setengah jam sampai waktu gerbang ditutup. Paling tidak kamu harus makan dulu."
Karen melirik ke arah sebelah tempat tidurnya untuk menemukan bubur kentang yang masih panas. Gloria sengaja meletakkan baskom air hangat di bawah kasur agar Karen tidak segera melihat.
"Dan kamu tidak akan pergi kalau belum melihatku makan?"
"Oh, pastinya kamu akan langsung tidur lagi," cibir Gloria. "Keburu buburnya nggak enak."
Karen mendecak, sebelum akhirnya ia mengangguk. Karen mencoba untuk kembali duduk, pelan tapi pasti. Gloria tidak membantunya karena ia mengambil mangkuk bubur dan sendok, bersama dengan segelas air. Karen tentu saja segera mengernyitkan dahi, semburat merah terkembang jelas di kedua pipinya.
"Gloria, aku tidak minta untuk disuapi."
"Tanganmu masih tremor, tuh. Nanti buburnya tumpah. Sayang 'kan," alasan logis untuk perlakuan logis. Poin satu untuk Gloria, nol untuk Karen. "Tenang, aku nggak akan bilang siapa-siapa kalau aku menyuapimu."
Karen tidak lagi mengelak. Makan bubur kentang itu pun berjalan dalam hening. Karen banyak membuang muka karena malu. Gloria menyuapinya dengan menahan sedikit banyak tawa.
Mungkin lebih baik nanti ia minta obat dari ruang sakit sekolah, atau bisa juga ia minta buatkan obat ke Blair.
"Gloria."
Gloria membereskan mangkuk dan sendok juga gelas air yang sudah dikosongkan Karen. Karen tampak menunduk, hingga akhirnya ia menaikkan kepalanya, membuka mulut dengan setengah keengganan jelas di wajahnya.
"Sepulang sekolah, apa ..." ia akhirnya menyelesaikan ucapannya. "Apa kamu akan ke sini lagi?"
Gloria menjawab dengan senyum merona, "Dengan senang hati." [ ]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro