Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Intermission 008: Sini dan Kini

Fiore selalu merasa Kelas Sembilan diisi oleh para pengacau terseleksi yang ribut bukan main.

Memang, mereka semua benar-benar terpilih; melihat dari level kekuatan dan adaptasi cepat mereka baik di kelas maupun di lapangan, juga bagaimana mereka menjadi bagian Kelas Sembilan dengan segala intrik-intriknya yang unik. Memang, mereka adalah anak-anak yang datang karena beasiswa atau skor mumpuni di tes masuk, bukan sekedar siswi ecek-ecek yang merupakan hasil asal pungut.

Akan tetapi, tetap saja kalau mereka berkumpul dalam keadaan santai seperti saat mereka tengah istirahat di kelas, atau pulang dan pergi pada acara Ekskursi Daerah, segala kegaduhan seperti bercampur menjadi satu.

Pertama: Hana yang tidak bisa diam akan menjelajah ke seluruh gerbong, bertanya pada semua orang, sebelum akhirnya kembali ke gerbong makan untuk mengganggu Fiore yang tengah menikmati teh susu gubahan Muriel, yang kebetulan juga adalah teman sekamarnya di asrama.

"Teh susu lagi, Fio? Memangnya seenak itu?"

Fiore tidak pernah menahan decaknya. Hana juga masih akan senyum-senyum saja. Muriel di balik konter hanya nyengir menunggu. Gadis berbadan besar itu selalu tahu kapan saatnya diam - terutama diam kalau Hana sedang aktif mengganggu orang lain.

"Kalau tidak percaya, coba saja."

"Oke, aku mau satu, ya, Riel!"

Mereka baru saja kembali dari Barrows setelah acara penutupan. Kereta berangkat dari Barrows di malam hari yang cukup dingin untuk ukuran musim panas. Mereka akan sampai kembali di Dresden saat malam, kalau menghitung dari waktu keberangkatan, dan mereka menghabiskan waktu lagi di kereta sambil ... ya, kata Instruktur akan ada kelas di atas kereta lagi seperti pada waktu keberangkatan.

Rasanya berjalan-jalan di kota membuatnya kembali rileks melihat-lihat Hari Tabur Bunga dan turut berkontribusi, tapi begitu ia kembali ke barak dan kini duduk menikmati waktu senggang, rasanya stress sudah kembali menusuk ubun-ubun.

Dan parahnya, Hana akan memilih duduk bersamanya di depan konter, tidak memilih bangku lainnya yang jelas-jelas kosong. Ritual minum teh paginya sejenak menjadi hambar, Hana pasti terus-terusan memerhatikannya selayak koloni bakteri di dalam cawan petri (tidak, untungnya kadet tentara tidak belajar biologi, Fiore sudah muak dengan hal itu di rumah).

Hana Albertine entah kenapa selalu memanggil nama orang dengan singkat. Ketika ia tahu sebuah nama, ia akan membuat nama panggilan baru. Mungkin nama-nama itu mudah diingat atau lebih mudah diucapkan baginya, Fiore tidak tahu. Atau itu hanya kebiasaan Hana, dengan tidak bermaksud menghina sebuah nama, untuk bisa dekat dengan orang lain.

Kalau dipikir-pikir lagi, Fiore hampir lupa ketika Hana memperkenalkan diri di awal masuk kelas sebagai 'mantan tentara anak-anak Spriggan'. Gelagatnya sama sekali tidak mencerminkan tentara yang sigap, terutama kalau Hana sudah menyeringai lebar dengan mata bersinar dengan rasa keingintahuan. Walau begitu, memang sifat cekatannya tidak bisa dipungkiri. Bila Instruktur menyuruh anggota Kelas Sembilan mengangkat senjata, Hana-lah yang akan maju paling cepat; serasa kapak panjang yang dia punya itu seberat kapas.

Merasa pandangan Hana yang berbinar-binar ke arahnya mulai terasa menusuk, Fiore menarik gelasnya.

"Hana, teh kita sama, tidak perlu terus-terus melirik ke arahku."

"Sudah, sudah, Fiore." Muriel mencoba mencairkan suasana - atau lebih tepatnya, mencairkan amarahnya yang mulai mengkristal.

"Soalnya Fio menarik, sih. Semua anggota Kelas Sembilan terlihat menarik!"

Fiore menaikkan alis, "Menarik?"

"Hana kira Hana tidak akan keluar dari kamp tentara Spriggan. Isinya kebanyakan pria-pria tua yang bau tembakau atau bir," Fiore mendengarkan, jemarinya mengetuk-ngetuk di atas konter. "Menarik melihat kalian semua hebat tapi beda umurnya tidak jauh denganku!"

"Hana juga hebat kok," puji Muriel dengan suara ringan.

"Riel lebih hebat lagi! Kamu mengayun kapak sangat kuat! Woosh!" Hana menyabet udara, Fiore menghindari arah tangannya yang mempraktekan bagaimana Muriel mengayunkan kapaknya. Alis Fiore semakin berkedut tidak nyaman.

Tidak baik mengomel di pagi-pagi buta, biarkan saja teh susu dari Muriel menjadi pelipur laranya.

Pintu gerbong sebelah utara terbuka menampilkan satu gadis berambut pirang dengan pedang kesayangannya di pegangan. Dua kroco yang selalu menempel dengannya mengikuti di belakang, mereka bertiga sepaket. Pasti si tuan putri dari Bluebeard itu baru saja selesai dengan ritual memoles pedangnya, pikir Fiore. Sementara si rambut hitam kuncir dua memang mengikuti Eris karena 'itu tugasnya', Alicia Curtis si narapidana pasti hanya terpaksa ikut karena dia bosan dan juga karena dia tidak boleh ngeloyor begitu saja tanpa Eris atau Hilde.

Sama seperti Hana, bagaimana Alicia memperkenalkan dirinya sebagai narapidana sebatas terdengar adalah guyonan sambil lalu.

"Hm? Bau manis yang enak." ucap Alicia. Ia mengangkat satu telunjuk ke arah Muriel. "Aku mau kopi hitam pahit ya."

"Itu berlawanan dari ucapanmu tadi," sergah sang tuan putri yang mengambil duduk lebih dahulu di kursi panjang gerbong makan itu. Hilde duduk setelahnya, tepat di samping Eris. "Kamu mau sesuatu, Hilde?"

Hilde menggeleng cepat. Dia duduk dengan matanya lebih tertarik pada pemandangan di luar jendela dibandingkan pembicaraan yang tidak terarah. Eris menjeda, sebelum akhirnya ia memesan susu hangat kepada Muriel.

Fiore mencoba untuk berlaku pasif dengan ledakan energi Hana yang terus berlanjut. Untungnya, ada Alicia yang mengikuti alur senda-gurau Hana sehingga Fiore bisa menikmati waktu minum paginya dengan lebih tenang.

Memerhatikan bagaimana Alicia dan Hana mengobrol, kembali terpintas di benak Fiore tentang status mereka berdua. Mereka bukan konglomerat, mereka bukan turunan bangsawan, mereka juga tidak bisa disebut rakyat jelata. Alicia adalah tahanan di bawah umur dengan entah apa kejahatan yang ia lakukan. Hana adalah satu dari sekian banyak tentara anak-anak yang dikerahkan ketika terjadi perang saat Angia melakukan aneksasi dengan Spriggan.

"Ada apa, Fiore?"

Muriel, dengan senyumnya yang selalu lembut, bertanya kepadanya dengan suara kecil. Ia telah mengantar minuman Eris dan memberikan minuman yang sama untuk Hilde. Gadis itu selalu pengertian, selalu dapat menangkap kejanggalan dan mencoba membantu tanpa terlihat memaksa.

Ya, sama seperti bagaimana Muriel bertanya padanya sekarang.

"Ah, nggak. Kepikiran sesuatu aja." jawabnya, setengah berbohong.

Sementara, Hana mulai menyenggol sisi lengannya lagi. "Fio, Fio!"

"Apa lagi sih?"

"Ceritakan aku tentang rumahmu! Kami 'kan nggak sempat ke rumahmu di Leanan!"

Nada Fiore meninggi, "Hah!?"

Pintu gerbong yang terbuka di kali ini tidaklah semakin menyelamatkan mood Fiore yang sudah amblas. Orang berambut coklat yang membuatnya sangat kesal tengah memasuki gerbong makanan, bersama dengan Gloria dan Karen. Gadis bersurai coklat itu menahan kuap lebarnya. Ia lalu mengambil duduk di sebelah Fiore dan kembali melipat kedua tangannya dan menyenderkan kepalanya santai.

"Kukira ada apa ribut-ribut." Gloria terkekeh. Ia duduk di kursi konter tepat di samping Si Orang yang Susah Diatur, mengacungkan telunjuknya. "Riel, aku mau kopi satu."

"Oke, Ann dan Karen?"

Si Orang yang Susah Diatur melirik sebentar ke atas sebelum beringsut di pangkuan tangannya. "Apa saja."

"Apa saja itu bukan minuman." sela Fiore dengan decak yang jelas.

"Diam, pendek." balasnya ringan.

Karen membelah argumen mereka, "Aku kopi juga, tapi yang manis."

"Baik, tiga kopi ya." dan Muriel kembali sibuk di konter, menyiapkan pesanan.

Fiore membuang muka ke arah Hana sebelum Si Orang yang Susah Diatur mulai berulah. Karen duduk di salah satu bangku panjang yang terletak di belakang Eris dan Hilde. Ia tampak sibuk dengan Cincin Peri-nya, membuka layar informasi untuk dirinya baca. Gloria mulai mengobrol dengan Ann, yang gadis itu jawab dengan gumaman singkat mengiyakan walau mukanya sempurna terbenam di lipatan tangan.

Pembicaraan ringan pecah dengan sendirinya di antara mereka, utamanya tentang Tugas Pertama mereka ke Leanan beberapa hari yang lalu. Kondisi yang mulai ramai ini membuat bising telinga Fiore, membuatnya ingin cepat-cepat menyelesaikan tehnya dan pergi.

Memang, keadaan kelas seperti ini bisa dibilang cukup kondusif, mungkin mereka semua capek setelah ekskursi perdana ini.

"Ketua kelas, Blair, dan Luce kemana ya?" sahut Hana.

Fiore sejenak ingin bertanya siapa itu Luce, tapi hanya ada satu orang dengan awalan nama L di Kelas Sembilan.

Lucia Florence adalah si bangsawan pemakai sihir yang harusnya pandai memakai sihir tapi kenyataannya ia hampir tidak bisa memakai sihir. Bukan berarti Fiore merasa kemampuannya adalah yang paling luar biasa di Kelas Sembilan seputar sihir, tapi ia tidak menghapus kejanggalan di benaknya ketika ia melihat Lucia mencoba menggunakan sihir untuk berbagai hal yang sama sekali tidak ia kuasai. Bahkan, di awal orientasi, Instruktur Bathory dengan gamblang mengatakan bahwa kemampuan sihir Lucia itu nyaris nol.

Setelah mengenal Lucia selama kurang lebih tiga minggu, Fiore paham sedikit mengapa Lucia berlaku demikian. Fiore juga membantu Lucia sedikit banyak belajar sihir di luar kelas-kelas pengembangan diri.

"Melapor ke Instruktur, mungkin? Tadi pagi kayaknya aku lihat Val dan Lucia di gerbong utama." Alicia mendengung, ibu jari dan telunjuknya tegas di dagu, berspekulasi. "Blair ... kurasa dia di gerbong reparasi alat, dia suka penasaran dengan hal-hal macam itu, 'kan?"

Hana mengangguk-angguk, "Alicia memang tahu segalanya!"

"Iya dong~" sambutnya sambil mengusap bagian bawah hidungnya. "Puji aku lagi, Hana!"

"Ew." sambut Eris dengan keras. Beberapa pun tak pelak tertawa mendengar pembicaraan itu.

Pintu geser kembali terbuka, kini tiga nama yang ditanya Hana barusan masuk dan berbaur dengan mereka. Di antara ketiga siswi itu, Lucia akan menjadi anak hilang, matanya pelan mencari tempat untuk duduk. Ketua kelas, Val, entah kenapa akan ikut ke dalam konter menemui Muriel, bertanya-tanya sesuatu mengenai minuman dan makanan dengan volume setengah berbisik. Sementara, Blair si rambut merah yang memiliki setengah dari total energi meledak-ledak Hana akan menyapa semuanya satu persatu sebelum ia memutuskan menyembul di antara Alicia dan Hana.

"Duduk di sampingku, Lucia. Abaikan Hana."

"Hei~" hardik Hana, tapi dengan senyum. Ekspresi yang tidak sesuai dengan aksentuasi nadanya. "Sebegitukah kamu membenciku, Fio?"

"Oh, kamu sadar diri juga." Fiore mendengkus.

"Tidak apa-apa, Fiore, saya bisa duduk di ujung saja." Lucia dengan sopan akan menolak.

"Kamu bisa pangku aku, Luce!"

Entah kenapa, Fiore dapat melihat mata Lucia berbinar-binar. Fiore tak bisa menahan kusut di dahinya, "Boleh?"

"Masih banyak kursi di sini! Kenapa main pangku-pangkuan segala, kalian bukan anak kecil!"

Muriel muncul di antara pembicaraan, tangannya masih dengan ulet menuang air panas dengan presisi ke masing-masing saringan yang telah berisi bubuk kopi. "Tarik saja kursi tinggi dari tumpukan di ujung sana ke konter, Lucia."

"Ganggu saja kesenangan orang kamu, pendek." satu suara lain di samping kiri Fiore turut mencibir. Pipi Ann masih menempel di lipatan tangannya di atas meja.

Fiore pun balas dengan menggeram. "Aku tidak minta pendapatmu, Orang Tidak Peka."

Tidak dapat dipungkiri, Kelas Sembilan ini adalah para pengacau terpilih. Entah berapa lama lagi hingga Fiore benar-benar merasa kesabarannya sudah lebih dari habis. [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro