Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Intermission 003: Nilakandi

Sihir. Konsep yang mulai ditinggalkan namun hidup berdampingan dengan pertumbuhan teknologi di Angia.

Pengamat peradaban di Angia bilang, sihir lama-kelamaan akan ditinggalkan dengan kemudahan teknologi, seperti yang terjadi pada benua Kaldera yang sempurna mengadopsi ilmu pengetahuan dan maju dibandingkan benua-benua lain.

Akan tetapi, sebuah asimilasi antara teknologi dan sihir tercipta di Angia dalam berbagai bentuk, salah satunya adalah Cincin Peri. 

Alih-alih tidak mengabaikan akar mereka sebagai kontinen yang ada karena ditemukan oleh Para Peri yang kemudian berdampingan dengan manusia memberi kehidupan di Angia, sihir tidak pernah lepas seutuhnya, menjadi komplemen teknologi.

Walau demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa tetap ada bagian yang terlupakan, sengaja dilupakan, memilih mengasingkan diri, atau semata-mata dihapus paksa agar tidak diingat oleh siapa pun yang masih hidup.

Pagi itu, Fiore terbangun dari tidurnya dengan mimpi yang sama: kepala desa yang mengumpulkan warga desa yang bisa dihitung dengan jari, dan kepala desa yang mewariskan busur panahnya pada Fiore. Kepala desa dan warga-warga desa itu lalu mengucapkan salam perpisahan mereka dan melepas Fiore pergi.

Matahari belum sempurna menyinari dunia, masih malu-malu terselubung gelung awan. Musim panas, akan tetapi, sudah mendarah daging di jalan-jalan Kota Folia, dengan keringnya rerumput dan banyak tanaman yang butuh banyak air bahkan di pagi hari.

Ia tidak biasa bangun begitu awal, tapi mimpi barusan membuatnya enggan tidur lagi. Lagipula, teman sekamarnya sudah bangun lebih awal seperti biasa. Sesekali menikmati sarapan tanpa perlu merasa asing di keramaian mungkin bisa menaikkan mood-nya.

Fiore merapikan rambutnya dengan kepang sempurna, lalu mencari catatan mata pelajaran kemarin yang sempat ia baca sebelum tidur, dan menemukan cadangan dawai panahnya yang belum ia bereskan berserak di atas meja.

Busur perak besar itu digantungnya pada rak tepat di atas meja, itu ide teman sekamarnya ketika ia bingung menaruh busur yang begitu besar. Saking besarnya busur itu, nyaris separuh tinggi badannya, orang-orang menatapnya lucu. Fiore ingat sekali saat ia pertama kali datang ke Folia untuk mengikuti tes masuk Akademi Militer Dresden. Ada yang berbisik mengejeknya seperti bocah yang memboyong mainan kebesaran.

Tentu, selepas itu Fiore tertawa puas dalam hati melihat mereka bergidik melihat namanya ada sebagai nomor satu di tes masuk sekolah. Dia si nomor satu. Gelar yang membuat dirinya terkesan angkuh dan jauh. 

Setelah itu, Fiore mengira akan ada lagi yang mengejeknya, tetapi tidak pernah ada yang menyindir soal busur panahnya. Memang, Ann mengejek soal tingginya, tapi pemilik rambut coklat pengguna tombak itu sekalipun tidak meremehkannya.

Fiore mengangkat busurnya dengan berdiri di atas kursi, memeriksa tiga dawai yang kurang biasa ada pada busur panah umumnya. Bisa saja dawai itu dipetiknya dan ia mulai bernyanyi, karena memang itu salah satu fungsi senjata itu sebenarnya di desa tempatnya berasal.

Tidak, ia bukan ada di sana untuk memikirkan kembali soal desanya, atau misi yang diembannya.

Ia hanya perlu menatap lurus ke depan - itu saja.



Fiore mendatangi ruang makan asrama mendapati Ibu Asrama Thalia telah selesai mengelap meja-meja kayu yang ada di sana, bahkan mengepel lantai. Sementara, sosok teman sekamarnya sudah sibuk di dapur dengan beberapa panci mengepul lembut. Anak-anak Kelas Tiga dan Enam yang biasa ikut membantu di dapur sudah mulai bekerja: entah mencuci sayur-sayuran, memarut keju, atau memeriksa panci-panci.

“Muriel, teman sekelasmu datang nih.” ucap Ibu Thalia lembut. Fiore ingin mengelak, tapi Muriel sudah menuju asal suara.

“Oh? Kukira siapa,” senyum Muriel merekah lebar. Celemek putih yang dikenakan di depan seragamnya tampak kekecilan. “Selamat pagi, Fio, kalau kamu mencari makanan, kita akan siap sekitar lima belas menit lagi.”

Fiore menggeleng, “Kamu … kepala koki?”

Muriel tertawa kecil, “Kebetulan Bu Thalia yang memperbolehkan kami membantu memasak, itu saja, iya ‘kan bu?”

Ibu Asrama Thalia mengedikkan bahu, mengangkat ember dan kain pel pergi seolah-olah tidak ingin ikut dalam pembicaraan.

“Kayaknya kamu memang kepala koki deh. Bangun paling pagi, masak untuk satu sekolah …” Fiore memuji.

“Ada yang bangun lebih pagi dariku kok, aku bukan yang paling pagi.”

Si kecil pirang mengerjap.

“Kebetulan kamu datang, bisa bawakan dia sesuatu? Dia pasti sudah ada di pelataran sekolah sekarang.”

Ia melepas Muriel yang berlari kembali ke dapur. Fiore mengedip-ngedip. Ini baru jam setengah enam pagi, siapa yang datang ke sekolah sepagi itu? Kelas bahkan baru mulai jam tujuh.

Tak lama, Muriel kembali membawa sebuah keranjang anyam dan satu termos ukuran sedang, ia segera menyodorkannya ke tangan Fiore.

“Ini teh susu kesukaanmu dan nasi kepal untuk sarapan kalian berdua,” Fiore membuka mulut untuk bertanya, tapi Muriel keburu mendorongnya ke arah luar ruang makan. “Sudah sana.”

“Muriel, aku ingin mengoreksi satu hal,” Fiore berujar. “Kamu bukan kepala koki, kamu itu sudah mirip induk semang.”

Muriel pun tertawa lepas lagi.



Teman sekamarnya itu selalu bilang kalau ia tidak bisa melepaskan kegiatan tertentu karena terbiasa di rumah. Muriel bercerita suatu malam kalau dia berasal dari sebuah kota kecil yang terletak di kaki gunung Caelia, hidup tentram bersama anak-anak panti lainnya di gedung tua yang disulap para pemilik panti sebagai hotel dengan pemandian air panas untuk menyokong kebutuhan panti.

Kalau boleh jujur, Fiore cukup tersentuh oleh cerita Muriel sampai-sampai ia menyuruh Muriel untuk berhenti sebelum ia meneteskan air mata.

Oke, kembali ke masa sekarang: dia telah ditugaskan untuk menemui seseorang yang bangun paling pagi dari Muriel. Saking paginya, gadis itu tidak sempat sarapan hingga Muriel membuatkan makanan khusus untuknya mengingat dapur belum siap.

Pelataran sekolah yang begitu sepi dan sedikit berkabut membuat Fiore gentar. Biru benhur langit belum sempurna ditopang oleh matahari yang masih malu-malu, lagi keranjang anyam dan termos di tangannya itu mengingatkannya untuk berjalan lebih cepat dan mencari.

Rambut hitam terlihat tidak jauh dari taman utama sekolah, padang rumput kosong yang sengaja dibiarkan tanpa bunga dan pohon sekedar untuk memberi jeda pada hamparan taman yang bunganya terus berganti seiring musim.

“Datanglah angin!”

Suara lembut itu bernada naik, seiring tongkat mengkilap miliknya yang ia ayunkan ke atas. Sayangnya, tidak ada sihir terjadi, cuma sekedar sabetan percuma. Gadis berambut hitam itu menurunkan bahunya, kembali terduduk di samping beberapa buku yang ia biarkan terbuka di kakinya.

Hampir, hampir Fiore mengurungkan niat untuk mengganggu, dan sekali lagi, keranjang anyam dan termos hangat itu harus disampaikan ke penerimanya.

“... Lucia?”

Lucia memekik cukup kencang, ia mengangkat tongkatnya lagi dalam posisi siaga. Fiore selalu merasa ada yang aneh dengan gaya Lucia memegang tongkatnya. Yang ia sering amati dari pengguna sihir yang menggunakan tongkat panjang adalah mereka yang mencengkram tongkat dengan satu buku jari ke dalam dan satu buku jari ke luar. Sementara, Lucia yang terkesiap selalu memegang tongkatnya dengan kedua punggung tangannya menghadap ke luar.

Mungkin itu kebiasaan tersendiri miliknya, mungkin hanya Fiore yang merasa itu adalah hal ganjil.

“I-Ini aku, Fiore.” gagapnya. “Muriel menyuruhku membawakanmu sarapan.”

Lucia menurunkan tongkatnya, ia menghela nafas lega. “Fiore.”

“Maaf sudah membuatmu kaget.”

“Ti-Tidak apa-apa.”

Mereka berdua pun duduk di taman itu, abai dengan rok mereka yang mungkin akan penuh rumput dan tanah. Fiore menggelar isi keranjang anyaman itu di sebelah buku-buku yang tengah Lucia buka: Pengantar Sihir, Konsep Sihir untuk Pemula, Belajar Sihir: Dengan dan Tanpa Mantra, juga Menguasai Energi Potensial Sihir. 

Ah, pantas saja ia tidak ingin dirinya terlihat oleh siapa-siapa. Dan sepagi itu.

“Jadi, Muriel membuatkan nasi kepal,” Fiore mengeluarkan dua buah nasi kepal hangat yang dibungkus plastik, ditaruhnya di atas taplak. 

Muriel memang mempersiapkan segalanya, hingga gelas kecil untuk mereka berbagi teh susu! Fiore meletakkan dua gelas itu di atas taplak dan menuang isi termos. 

“Dan, ini teh susu.”

Ia membungkuk dalam duduk, anggun. “Terima kasih, Fiore.”

“Jangan berterima kasih padaku, bilang saja ke Muriel nanti.”

Fiore memutuskan untuk makan saja agar Lucia mengikuti, atau mungkin gadis itu akan terlihat lesu lagi. 

Sihir bukanlah barang mewah. Banyaknya punggawa sihir yang lahir dari keluarga bangsawan terpandang membuat sihir menjadi sesuatu yang terlihat eksklusif. Acap kali dikatakan bahwa penguasa sihir merupakan mereka yang telah belajar sihir dari kecil dan berasal dari keluarga berada. Padahal, Cincin Peri telah membuat basis sihir setiap orang sama, membuat siapa yang awalnya tidak bisa menjadi bisa. Membuat energi yang digunakan terkonversi lebih cepat dan sederhana. 

Selain bangsawan-bangsawan itu, ada juga orang-orang seperti Fiore yang menguasai sihir. Bisa dibilang, tanpa bantuan dawai dan Cincin Peri, ia mampu mengendalikan energi. 

Yang terakhir, mereka yang memaksakan diri menggunakan sihir walaupun potensi sihir mereka sangat sedikit. Hampir tidak ada. Mereka yang mungkin lebih cocok bertarung jarak dekat, atau memanfaatkan teknologi fisik. 

Melihat Lucia sejak awal masa orientasi selalu membuatnya dikerubungi tanya. Ketika dia dan Ann memutuskan untuk tidak menanyakan soal kemampuan sihir Lucia (mungkin itu satu-satunya hal yang mereka berdua bisa setujui tanpa berdebat), Instruktur Bathory-lah yang akhirnya membeberkannya. 

Fiore paham akan latar belakang Instruktur mereka yang merupakan mantan komandan militer sihir Angia. Melihat orang yang seakan menggunakan sihir seperti main-main tentu membuat mereka yang serius berang. Instruktur Bathory turut membantu untuk mengajarkan Lucia sihir, tetapi seperti tadi: ia bahkan tidak bisa memanggil semilir angin. Kemampuan menyembuhkannya di bawah rata-rata, Hilde yang memiliki latar pedang bahkan lebih cepat darinya. Lalu-

"Fiore, ada nasi di pinggir bibirmu."

"Eh, ah, oh, dimana?" ia segera menggapai-gapai. 

"Di sini," Lucia mendekat. Ibu jari tangan kanan yang berbalut sarung tangan itu menyentuh dagunya, menyapu bulir nasi. "Nah."

Fiore tak kuasa menelan ludah. Ia hanya berharap Lucia tidak melihat semburat merah yang muncul di pipinya dari jarak sedekat itu.

"Masakan Muriel selalu enak, ya," ia mengangkat gelas, menyesap harum teh susu di sana. "Saya berharap suatu hari nanti bisa berguna seperti itu."

Fiore menangkap satu kata kunci, 'berguna seperti itu'. Mata jingganya kembali melirik ke arah buku-buku yang terbuka. 

"Kamu ingin belajar sihir penyembuh?"

"Harapannya begitu," Lucia tersenyum kecil. "Saya bisa menyembuhkan sedikit luka gores."

"Aku ingat, saat orientasi, 'kan?" ujar Fiore. "Selain itu?"

"Saya belum bisa menutup luka lebar, atau meredakan nyeri."

Dan itu masih tingkat dasar. Fiore membiarkan kalimat itu diam di tenggorokannya. 

Lucia mengangkat salah satu buku ke pangkuannya, membuka halaman yang dibatasinya dengan lipatan kecil. Angin, salah satu sihir penyembuh dasar, lebih mudah dikuasai dibanding air-

"Selain karena ingin membantu, kenapa kamu memilih sihir, Lucia?"

Kalimat itu tadinya hanya terpikirkan, tidak terucapkan. Segalanya mengalir. Mata hitam Lucia mengkilat, lagi senyumnya sempurna luntur. Fiore segera menyesal sudah mencoba bertanya. 

"Hanya ini yang bisa kulakukan untuk membantu," tangan itu mengepal di atas lembaran-lembaran kekuningan. "Hanya ini."

Sorot itu mengingatkan Fiore pada mimpinya, pada kepala desa dan warga-warga yang bisa dihitung jumlahnya dengan jari. 

Hanya ini, hanya ini yang bisa kami lakukan. Yang bisa kamu lakukan. 

Fiore menarik nafas panjang, menggaruk tengkuknya tidak nyaman.

"Gimana kalau aku menemanimu latihan?" Fiore memutuskan. "Aku bukan pengguna sihir baik, tapi-"

"Benarkah?" kedua tangannya sudah menjadi sandera di dua tangan Lucia. "Benarkah siswi nomor satu sekolah akan membantuku?"

"Geh, kenapa kamu--ah sudahlah." si pirang pendek berdehem. "Jadi sekarang, kamu mau mulai dari mana?"

Lucia segera menunjuk beberapa paragraf dan mereka mulai mencoba dari sana, segalanya yang mendasar. 

Walaupun demikian, Fiore belum bisa mengabaikan satu hal. 

Lucia memang bangsawan; tingkah laku dan caranya membawa diri mengisyaratkan demikian, sulit untuk berpura-pura terlalu lama di lingkungan yang serba berubah. Bangsawan-bangsawan di sekitar mereka ada Eris, yang merupakan bagian dari keluarga penguasa Bluebeard memiliki sihir khusus untuk amplifikasi kelentukan pedangnya. Val, yang memiliki simbol khusus keluarga untuk menambah daya ledak tiap pelurunya. Hilde, yang telah disumpah untuk menggunakan sigil sihir suci. Karen, yang tidak tergolong bangsawan Angia, tapi energi sihirnya melimpah ruah, sangat destruktif.

Sebenarnya, bangsawan Angia mana yang sama sekali tidak memiliki potensial sihir? [ ]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro