Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

II. | Asrama

Sekolah Militer Dresden, satu dari dua sekolah militer di Angia dengan predikat tinggi di mata Panglima Provinsi.

Selain Nix dan Dresden, ada sekolah-sekolah militer kecil yang dinaungi oleh provinsi yang bersangkutan, tetapi dua nama itu tetap yang paling sering didengar di seantero kontinen tersebut. Ada yang menyebutkan bahwa peringkat kemiliteran Angia patut diacungi jempol, tapi yang Ann tahu, kebanyakan dari petinggi militer selalu berbangga diri dengan apa yang ada di tanah Angia. Patriotisme, mungkin - tetapi kerap terdengar adanya pemberontakan-pemberontakan kecil yang perlahan dikenal dekat oleh masyarakat awam, dan pemberontak itu dengan cepat dientaskan.

Dua raksasa sekolah militer ini selalu menghasilkan lulusan yang siap untuk wajib militer di lini mana saja dan di provinsi apa saja. Bahkan, menurut sebagian sumber, beberapa lulusan baru pernah dikirimkan ke luar kontinen sebagai contoh teladan.

Sebagaimana nama sekolah-sekolah itu besar, masuk menjadi akademisi juga tidaklah mudah. Nix menerima lebih banyak murid dibandingkan Dresden yang hanya memiliki tiga kelas setiap tahunnya, satu kelas bahkan berisi kurang dari dua puluh orang. Walau begitu, diterima di Nix juga cukup sukar. Kakaknya bilang tes masuk untuk Nix dan Dresden itu neraka hidup: satu jam tes lisan dan dua jam tes tulisan. Bahkan, ada tes tersendiri untuk mereka yang mengakui mempunyai latar belakang bela diri atau pelatihan persenjataan sebelumnya. Tidak ada yang tahu pasti kriteria kelulusan dari seluruh tes tersebut. Tidak pernah ada bocoran materi tes dimanapun. Seluruh peserta tes yang hendak mengikuti ujian katanya belajar siang dan malam selama lebih dari setengah tahun penuh untuk menguasai materi ujian, entah itu adalah kebenaran atau mereka melebih-lebihkan.

Walau rumor-rumor tersebut begitu nyata, ada juga cara lain untuk masuk ke dua sekolah itu: registrasi diri yang tiap tahunnya didatangkan oleh pihak pendidik ke kota dan desa kecil di sepanjang Angia. Hanya ada satu nama yang mungkin mendapat surat itu di tiap provinsi, katanya.

Dan, Ann secara ajaib masuk dengan surat rekomendasi tersebut.

Ann mencari informasi tentang Dresden sebanyak mungkin yang ia bisa sesuai anjuran sang kakak - 'Kamu memang pemalas, tapi aku yakin kamu tidak ingin terlihat bodoh', kata-katanya itu terus terngiang di benak Ann. Dan memang, hanya dengan cara seperti itu dia akhirnya akan mencari tahu sendiri mengenai Dresden.

Melihat Kota Folia yang begitu ringkas, Ann tidak menyangka bahwa kota tersebut dekat dengan sekolah yang digadang-gadangkan se-Angia. Berada di antara dua provinsi, Kota Folia kadang disebut krisis identitas. Ada juga yang kerap salah menyebut Kota Folia sebagai bagian Bluebeard, bukan Leanan.

Ann keluar dari stasiun untuk menemukan sebuah taman kecil dengan papan peta kota yang terpampang di tengah-tengah. Banyak sekali jenis tanaman pot yang melingkari batas taman, juga mewarnai air mancur yang ada di jantung taman tersebut.

Peta kota itu dicetak dengan tulisan yang cukup besar dan dengan gambar yang mendetail; mungkin banyak orang tersesat dan mereka malu untuk menanyakan petunjuk jalan.

Langit terlihat sudah merona jingga lebih gelap, sedikit lagi menunjukkan mega merah pertanda petang. Mungkin ia harus segera bergegas melangkahkan kaki.

Ann mengikuti alur, melihat tanda 'ANDA DI SINI' di kaki peta, menunjukkan area yang disebut Stasiun Folia dan Taman Pot. Mengikuti jalan setapak paving block abu-abu ke arah utara akan mengantarkan ke pusat kota yang dipenuhi dengan toko-toko dan rumah-rumah penduduk yang terlihat tanpa jeda. Setelah masuk ke pusat kota, hanya perlu berbelok ke kiri dan mengikuti jalan setapak gang yang ditandai di depannya oleh sebuah toko roti untuk sampai ke bangunan besar tujuannya, Asrama Dresden.

"Ah, permisi. Bolehkah saya bertanya?"

Ann menoleh mendengar suara lembut itu, menemukan sosok gadis berambut hitam panjang yang tidak kalah lembut perangainya. Gadis itu menunduk santun dengan kaki menyilang sempurna di bawah tatapan sangsi Ann, kepalanya menunduk lemah ke arah depan dengan teratur. Transisi antara dirinya menunduk hingga kembali berdiri tegap anggun, seakan-akan gestur itu sudah sering dipraktekkan. Cantik, menawan; bertolak belakang dengan dirinya yang terlewat santai dan urakan.

Gadis itu mengenakan seragam Dresden - biru gelap yang tidak terlalu mencolok di keramaian, dengan dasi merah yang sama dengan apa yang Ann ingat pada seragam yang terlipat rapi di dalam tasnya. Bawaan gadis itu hampir mirip dengannya, sebuah tas - dan entah apa tongkat panjang yang ia pegang di tangannya yang berbalut sarung tangan putih itu.

Ah, itu yang Ann lupa di pagi tadi: ia seharusnya mengenakan seragamnya, bukan datang dengan pakaian kasual berupa jaket parka hitam, celana panjang biru, dan sepatu kets putih.

"Apa saya perlu mengulang pertanyaannya?"

Ann segera menggeleng. Dia terlalu lama terpaku pada penampilan gadis itu.

"Kebetulan aku juga mau ke sana." ucap Ann. Gadis itu pun tersenyum. "Ayo jalan sebelum matahari terbenam."

"Berarti anda juga siswi baru di Dresden?"

Ann mengedikkan bahu. "Kurang lebih."

Mereka tidak bertukar sapa lebih dari itu. Menjaga jarak satu lengan, mereka berdua menuju Asrama Dresden.

Gang-gang kota di sore itu cukup sepi. Hanya ada satu-dua orang yang tampak menyapu teras rumah mereka. Ada yang tengah membalik tanda di depan pintu toko mereka dari 'BUKA' menjadi 'TUTUP'. Anak-anak yang asyik bermain di pelataran sebuah gedung dengan atap tinggi mulai berlarian pulang. Lampu-lampu tinggi dengan tiang hitam yang berjejer rata di pinggiran jalan paving block itu perlahan menyala satu-persatu seiring senja yang semakin menjelang menjadi petang.

Gedung asrama yang mereka tuju pun sama, lampunya mulai menyala ketika mereka menjejakkan kaki di depan pintu. Asrama itu terdiri dari empat tingkat dengan arsitektur bangunan yang tidak jauh berbeda dengan toko-toko dan rumah-rumah di sana. Hanya, asrama itu terlihat cukup lebar dan tidak berbatasan langsung dengan bangunan lain.

Ada lonceng tarik yang terletak di pinggir kanan pintu besar kayu, tetapi Ann tidak menariknya, langsung menggenggam kenop alumunium itu dan melangkah masuk. Lantai parquet kayu memanjakan langkah mereka segera.

"Selamat datang di Asrama Dresden."

Wanita berparas keibuan dengan surai pirang bergelombang yang menepi di sisi pundak kanan segera menyambut mereka di depan pintu. Gaun putih panjang renda yang tampak menyeret tanah membalut wanita yang terlihat berumur tiga puluhan itu.

Ia berdiri di antara lobi utama dengan tegap, membungkuk mempersilahkan ketika melihat mereka berdua datang. Seakan wanita itu sudah menunggu mereka sejak awal, keberadaannya tidak seperti kebetulan semata.

"Knightley dan Florence." Ann terkesiap. Gadis di sampingnya turut menunduk santun mendengar namanya disebut. Mereka padahal belum berkenalan, tapi wanita itu sudah hafal nama mereka lebih dulu.

"Saya Thalia, saya di sini adalah Ibu Asrama Dresden."

Ann melirik ke arah gadis berambut hitam yang menjaga matanya menatap lurus ke lantai, atau kadang bertemu dengannya. Mereka berdua tampak bingung menghadapi Thalia dan sunyi canggung yang merayap sesaat mereka baru saja datang.

"Maaf, belum banyak yang datang ke Asrama hari ini, jadi kamar-kamar masih sepi dan papan nama bagi yang belum datang tidak terpasang." Thalia menunjuk meja konter. "Tolong isi data kalian di buku tamu. Saya akan memberikan kunci dan papan nama."

Thalia dengan sigap menuju ke belakang konter dengan tepukan langkah anggun. Ia menarik boks besar yang telah menunggu di atas meja turun tanpa banyak kesulitan.

Memberi gestur untuk Florence mengisi buku lebih dulu, Ann mengekor di belakangnya, masih mencoba menangkap 'rumah baru' yang akan ia tinggali selama bersekolah di sana.

Mata Ann mengedar pelan mengakses lobi itu. Di samping kiri dari pintu masuk, ada konter kedatangan. Thalia mengeluarkan sebuah papan dari dalam boks, mungkin itu adalah papan nama untuk kamar. Di atas meja, selain buku tamu, tengah berbaris di sana beberapa pasang kunci yang tengah disiapkan oleh Thalia sesaat mereka berdua datang. Ibu Asrama memberikan satu kunci untuk Florence bersamaan dengan papan namanya.

Lobi itu juga terdiri dari satu set sofa panjang dan kursi berlengan berwarna marun yang terlihat nyaman, dilengkapi dengan meja rendah beraksen kayu.

Setiap pintu yang menuju ruangan lain dari lobi memiliki karpet merah marun di depannya. Ada ruangan yang cukup besar di sebelah kanan mereka, dengan pintu yang ada sebesar pintu masuk. Ada juga pintu kecil tepat di belakang konter lobi. Ada gang kecil mengalur ke pojok kiri sebelum tangga naik berdiam diri di ujung lobi.

Florence mundur, Ann segera maju untuk mengisi data. Tulisannya yang besar-besar terlihat sangat kontras dengan tulisan kursif yang gadis berambut hitam itu catat di atasnya. Lucia Florence, lalu kotak di samping nama yang menunjukkan tempat asal diisinya dengan Leanan. Nomor kunci yang diambil sama dengan nomor kamar yang tertera di samping tempat asal. Thalia mengarahkan mereka mengisi halaman untuk murid-murid yang berkamar di lantai tiga.

Nomor kamar mereka berbeda, tetapi Ann punya firasat bahwa mereka mungkin akan ada di kelas yang sama. Hanya sebatas firasat. Walau hampir 90% firasatnya biasanya benar.

"Satu kamar akan berisi dua orang." jelas Thalia setelah mereka berdua memegang kunci. Tutur katanya pelan dan lembut. "Saya akan menjelaskan seputar jam malam dan tata tertib asrama nanti setelah semua murid hadir. Untuk hari ini, kalian bisa beberes kamar dan istirahat. Jangan lupa besok ada penyambutan siswi baru dan orientasi siswi. Apa ada pertanyaan?"

"Apa kami boleh menggunakan semua fasilitas di asrama, tidak ada batasan per kelas?" tanya Lucia.

"Tentu saja boleh, dear." senyumnya. "Kalau kamu ingin berkeliling dulu untuk mengenal asrama, saya bisa mendampingi."

Lucia menggeleng, "Maaf sudah merepotkan Anda."

Ann awalnya tidak ingin menunggu Lucia yang berbicara dengan Thalia, belum lagi ia tidak terbiasa mendengar bagaimana Lucia berbicara begitu kaku. Ann tidak bisa membayangkan hidup di rumah dengan keharusan untuk menggunakan pilihan kata yang formal atau bersikap sopan selama 24 jam 7 hari. Di Kota Nelayan tempatnya tinggal, tidak ada turunan bangsawan atau siapapun yang mendekati posisi tuan tanah. Mungkin karena kota itu lebih banyak diisi pedagang, pemancing, dan tengkulak ikan, kesenjangan status ekonomi tidak terlalu terasa.

Mereka akhirnya menuju lantai tiga setelah Lucia puas bertanya.

"Kamarku di dekat tangga." ucap Ann, sementara Lucia mengedar sejenak mencari.

"Iya. Terima kasih sudah mengantar saya."

"Toh kita searah."

Ann tidak melihat Lucia lama-lama membungkukkan badan dan segera memasuki kamar. Papan namanya ia taruh di atas meja untuk diselipkannya nanti.

Kamar asrama itu cukup luas dengan dua kasur dan dua meja belajar berada di sisi berlawanan. Ann melihat kardus-kardus dengan label namanya ditaruh di sisi tempat tidur sebelah kanan. Karena teman sekamarnya belum menunjukkan batang hidungnya, Ann pun segera mengklaim sisi kanan ruangan. Dengan secepat mungkin, ia mengeluarkan semua barang-barang yang dibawanya dari rumah dan menyusunnya.

Para siswi Dresden diwajibkan untuk selalu mengenakan seragam kemanapun mereka pergi, hal itu membuat Ann tidak membawa terlalu banyak baju ganti. Selain itu, ia membawa beberapa buku yang belum sempat ia baca di rumah. Dan benda yang terakhir, tombaknya yang sudah diasah dan dibungkus rapi.

Ann membuka kain pembungkus tombak, mendapati tidak ada yang lecet atau berubah warnanya. Asahan tajam dan perawatan rutin dari pandai besi di barak itu selalu memuaskan.

Tombak ini merupakan pemberian barak Kota Nelayan. Tombak merupakan salah satu senjata pilihan tentara yang populer terutama di Provinsi Caelia. Bahan pisau yang ringan dipadu dengan kayu yang tidak mudah lapuk atau patah memungkinkan serangan cepat bertubi-tubi kepada lawan. Bagian tumpul tombak pun bisa digunakan untuk mendorong atau memukul mundur musuh. Apabila seorang prajurit melesakkan tombaknya dengan tepat, mata tombak bisa saja menghujam musuh dengan fatal dan efisien.

Mungkin, sebenarnya, Ann tidak berhak memiliki tombak itu. Ia bukanlah prajurit lokal. Ia hanyalah seorang adik tiri dari seorang gadis yang nantinya tumbuh menjadi salah satu wakil ketua divisi wanita yang menguasai barak Kota Nelayan. Ann mempelajari tombak karena melihat sang kakak yang berlatih setiap harinya di rumah, hingga akhirnya Ann diperkenalkan oleh divisi sang kakak dan sedikit banyak membaur dengan prajurit-prajurit Provinsi Caelia yang bertugas di sana. Setelah mendapat pengakuan dari ketua divisi, ia dihadiahi tombak itu oleh pandai besi di barak.

Ann menaruh tombaknya di atas meja, ia menghela nafas panjang.

Tak disangka, ia benar-benar akan keluar dari Caelia. Keluar dari lingkaran kehidupan tentara di sana dan masuk ke sekolah militer yang letaknya ratusan kilometer dari Kota Nelayan. Ann tidak pernah berpikir kalau dia akan keluar dari provinsi itu, atau berada jauh dari laut dan barak yang selalu penuh teriakan, suara gesekan logam, dan senda gurau.

Ah, mungkin takdirnya memang untuk ada di sana.

Ann mengeluarkan seragamnya dari tas. Setelah memastikan semua barangnya sudah rapi tertata di ruangan, ia menggantung seragamnya di lemari pakaian yang terletak di tengah-tengah ruangan, dekat dengan kasur dan jendela.

Matanya belum ingin terpejam, tetapi ia tidak mau melakukan hal selain tidur.

Mulai besok, hari-hari yang panjang di Sekolah Militer Dresden akan dimulai. [ ]

---

Bagian berikutnya: 29 Maret 2021

Bila anda memiliki kesan dan pesan namun tidak punya akun Wattpad/ingin anonim, bisa disampaikan melalui bit.ly/poisontravelerbox

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro