Teru-Teru Bouzu
Ditulis pada bulan Januari, 2020.
***
Asa sangat membenci hujan.
Bukan tanpa alasan ia dapat membenci fenomena alam yang sering terjadi ini. Banyak momen-momen terburuknya terjadi saat bulir air menetes dari langit. Seakan, langit sengaja menghujani hatinya yang penuh kelabu agar tenggelam jauh ke dalam laut keputus asaan.
Asa ingin menangis, tapi Asa tidak bisa.
Karena jika Asa menangis, maka sama saja dia akan menciptakan hujan dari matanya.
Setidaknya, itulah yang Asa pikirkan.
"Orang yang hilang semakin bertambah. Hingga saat ini, korban sama sekali belum ditemukan. Polisi dan detektif masih mencari petunjuk dimana keberadaan para korban dan penculiknya."
Suara berita dari televisi bergema di sepanjang ruang makan. Asa hanya melirik sekilas ke arah televisi, tak merasa tertarik dengan berita yang tengah disiarkan. Namun, berbeda halnya dengan teman sekamarnya, Rena, yang justru menaruh perhatian penuh terhadap siaran di televisi.
"Wah, makin gila saja, ya!" sahut Rena sembari memeluk bantal sofa panjang yang ia duduki.
"Hm," Asa merespon tak minat, "biasa saja."
"Kok bisa-bisanya kamu bicara seperti itu?" Rena bergidik. "Seram, ih!"
"Kamu mau terus mengoceh dan membiarkan kita terlambat sekolah?" Asa mendengkus kasar. "Ayo cepat! Kamu sendiri tahu, 'kan, kalau jarak dari Asrama ke gedung utama itu jauh?"
Rena hanya menyeringai sebagai balasan. Gadis itu melompat berdiri dari posisi duduk, merapikan seragamnya yang begitu kusut. "Oke, ayo!"
Mereka berdua berjalan beriringan ke luar bangunan Asrama. Menelusuri trotoar, menuju gedung utama tempat kegiatan belajar-mengajar dilaksanakan.
Asrama yang mereka tempati cukup jauh dari sekolah. Mungkin, akan memakan sekitar setengah jam jika berjalan kaki, dan lima belas menit jika naik angkutan umum. Namun, mau bagaimana lagi? Asrama yang mereka tempati saat ini adalah satu-satunya asrama dengan harga sewa paling murah. Setidaknya, mereka dapat berhemat dibandingkan tinggal di Asrama yang dekat dengan sekolah tetapi mahal.
Sekolah mereka merupakan sekolah dengan sistem asrama berbayar berstandar internasional. Sebenarnya tak ada larangan kepada murid untuk tidak menyewa asrama. Asrama disediakan hanya untuk mempermudah bagi yang rumahnya jauh saja. Di dalam area sekolah, disediakan bus khusus siswa—yang jelas berbayar. Bisakah kalian bayangkan seluas apa tanah yang dimiliki sekolah ini?
Jarum pendek telah menunjukkan pukul delapan, dan bel berbunyi tepat saat kedua gadis itu menapakkan kaki ke lantai kelas. Tanpa berpikir dua kali, mereka segera duduk di kursi masing-masing, dan pembelajaran pun dimulai.
Asa menopang wajah, tak bersemangat mendengarkan guru di depan kelas yang tengah mengajarkan materi tentang susunan tubuh katak. Bukannya bermaksud angkuh, tetapi Asa sudah menghapal susunan tubuh katak di luar kepala. Tidak hanya itu saja, semua pelajaran yang menyangkut biologi telah Asa kuasai. Itu karena kegemarannya dalam mata pelajaran satu itu.
Asa melirik ke luar jendela. Langit mulai kelabu. Kilat saling sambar-menyambar di udara, menyisakan suara keras nan nyaring di sana. Sepertinya sebentar lagi hujan akan turun.
"Ck." Asa membuang muka dari jendela.
Beberapa waktu berlalu, dan tiba saatnya istirahat. Seperti biasa, Rena sebagai satu-satunya kawan Asa datang menghampiri mejanya. "Hey, Asa. Ayo ke Kafeteria!" ajaknya semangat.
Asa menatap malas. "Kamu sendiri saja, aku tidak lapar."
"Hm?" Rena mengarahkan pandangannya ke luar jendela, lalu menjentikkan jarinya. "Ah, sebentar lagi hujan, ya? Pantas kamu tidak bersemangat. Sepertinya gantungan boneka teru-teru bouzu yang selalu kamu bawa kemana-mana itu tidak berpengaruh."
Asa melirik ke arah gantungan boneka teru-teru bouzu tergantung di tasnya, lalu mengembuskan napas panjang. "Bukannya tidak berpengaruh. Hanya saja ... ukurannya kurang besar."
Rena menatap tak mengerti.
"Aku jadi ... ingin membuat boneka teru-teru bouzu yang lebih besar," gumam Asa.
Hening sesaat.
Rena mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali. Otaknya mencoba untuk mencerna perkataan Asa. "Eh? Apa maksudmu? Apa kamu—"
"Asa! Ada yang mencarimu!" Panggilan keras dari arah pintu memotong perkataan Rena. Asa berdiri, berjalan menuju sumber suara, meninggalkan Rena yang dihantui tanda tanya.
"Ada apa?" tanya Asa sesampainya di ambang pintu.
"Ada anak kelas sebelah yang mencarimu," jawab seorang murid perempuan.
"Siapa?"
"Aku."
Mata Asa terbelalak lebar begitu mendapati seorang lelaki berdiri di hadapannya. Surai hitam yang senada dengan maniknya tampak kelam. Sorot matanya begitu tajam, sampai-sampai Asa merinding hanya untuk menatapnya saja.
"B-Brian ...," Asa mengucap lirih, "apa untuk apa kamu ke sini?"
Brian.
Salah satu lelaki yang menjadi penyebab Asa membenci hujan.
"Asa, aku ke mari hanya untuk minta maaf," ucap Brian dengan wajah penuh penyesalan.
"Kamu tidak perlu minta maaf." Asa tersenyum getir. "Aku yang bodoh karena telah membuka hati untuk orang yang salah. Memang, semua laki-laki itu sama saja. Pertemuanku denganmu adalah sebuah musibah, tak lebih dari itu."
"Asa, aku benar-benar tak bermaksud demikian!" Brian mencekeram kedua bahu Asa erat-erat. "Dengar, ini hanyalah sebuah kesalah pahaman, oke? Aku tidak punya hubungan apapun dengan si gadis di Kafe waktu itu!"
"Oh ya?" Asa menaikkan dagunya, menantang. "Lalu, apa yang kamu lakukan bersama si gadis di Kafe itu? Bermesraan? Berpegangan tangan? Hah, lucu sekali. Jangan pernah temui aku lagi!" Asa menepis kasar tangan Brian dari bahunya.
"Tapi—"
"Hei, kau dengar dia?!" Rena muncul, berdiri di hadapan Asa dengan merentangkan kedua tangannya. "Dia bilang pergi, ya pergi! Asa sudah muak denganmu, lelaki sialan!"
Air wajah Brian mengeras. "Minggir. Ini bukan urusanmu."
"Apapun urusan Asa, itu juga urusanku!" balas Rena.
"Cih." Brian menggepalkan tangannya erat-erat. Lelaki itu menatap Asa. "Ingat, Asa. Aku masih ingin membicarakan sesuatu denganmu. Urusan kita belum selesai," ujar Brian dengan dingin, kemudian berlalu begitu saja dari hadapan kedua gadis itu.
Asa menunduk. Tubuhnya bergetar hebat. "Semua laki-laki sama saja. Mereka sampah."
Asa sangat membenci laki-laki.
"Sudahlah, Asa." Rena menarik Asa ke dalam dekapannya, mengelus punggung sahabatnya itu.
Asa juga sangat membenci hujan.
Suara petir dari luar terdengar keras. Perlahan namun pasti, air mulai turun dari langit, membasahi bumi.
Tapi kenapa, kejadiaan yang tak mengenakkan itu dapat terjadi bersamaan?
Asa sama sekali tidak mengerti.
"Hujan ...," gumam Asa sembari melepas pelukan Rena. "Apa aku harus membuat boneka teru-teru bouzu yang lebih besar agar hujan dapat berhenti?"
Rena terdiam sebentar, lalu menjawab, "Sepertinya iya."
"Kalau begitu," Asa melirik ke arah lorong tempat Brian berlalu tadi. "Aku akan segera membuatnya malam ini juga."
***
"Kalian sudah dengar? Ada kabar Brian dari kelas sebelah menghilang!"
Suara seruan dari salah satu murid membuat heboh pagi hari di sekolah.
"A-Apa? Sungguh? Bagaimana bisa?!"
"Aku tidak tahu. Semalam aku mendapat kabar bahwa Brian sudah dua hari tidak kembali ke rumah, dan kedua orang tua Brian melapor ke polisi. Kebetulan saat itu aku sedang berada di Kantor polisi untuk melapor anjingku yang hilang."
"Astaga! Pantas saja akhir-akhir ini Brian tidak bisa dihubungi."
"Apakah Brian termasuk salah satu korban orang hilang yang sedang marak belakangan ini?"
"S-Serius? Menyeramkan sekali ...."
Kegaduhan pagi ini cukup menarik atensi Asa. Namun, seperti biasa, Asa hanya memasang wajah datar. Memalingkan wajah ke jendela seakan dia tidak tertarik.
"Whoa ... Asa! Asa!" Panggilan heboh dari Rena membuat Asa berdecak sebal. "Kamu sudah dengar berita pagi ini?!"
"Tentang Brian yang menghilang?" Asa melirik malas.
"Bukan," jawab Rena cepat, "tentang Brian yang ditemukan tewas gantung diri di Taman Kota. Astaga, tubuhnya tergantung di sebuah pohon. Sekujur tubuhnya diselimuti kain putih dan di lehernya terikat pita merah. Persis sekali seperti boneka teru-teru bouzu milikmu!"
Asa menatap sekilas, lalu kembali menatap ke luar jendela. Senyum tersungging di bibirnya begitu mendapati matahari bersinar dengan terik. "Hm ... hari ini cerah."
"Kamu tampak biasa saja." Rena menarik kursi, duduk di sisi meja Asa. "Kenapa?"
"Ya mau bagaimana lagi? Semua orang lambat laun akan pergi juga. Hanya saja, tergantung seperti apa seseorang akan pergi nanti. Apakah pergi dengan cara tenang, atau justru tewas terbunuh. Tidak ada yang tahu, 'kan?"
"Hm ...." Rena menatap intens. "Ironis sekali kamu berbicara begitu, Asa. Kepribadianmu sangat berbanding terbalik dengan arti namamu."
Asa hanya mengedikkan bahu sebagai balasan.
Rena menatap Asa lamat-lamat. Raut wajah gadis itu tampak begitu suram. "Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Rena hati-hati.
Asa terdiam. "Aku ... hanya teringat dengan ayahku. Bagaimana saat dia menyakiti ibuku tepat di depan mataku, dan setelah itu hujan turun dengan derasnya. Menyedihkan sekali."
Jarang-jarang Rena dapat mendengar Asa bercerita mengenai masa lalunya. Rena sangat menanti datangnya saat ini. Maka, Rena duduk manis, memasang telinga, siap menjadi pendengar yang baik.
Memang, sudah saatnya Asa bercerita.
"Dulu, Ayahku sering sekali menyiksa Ibuku. Dia selalu meminta uang kepada Ibu dan tidak mau berkerja. Begitu Ibu terbujur sakit di ranjang, pria licik itu pergi dari rumah, meninggalkanku yang waktu itu baru menginjak umur dua belas tahun. Hujan turun dengan derasnya, menghalauku untuk mengejarnya lebih jauh." Asa menggigit bibir bagian bawahnya begitu kejadian naas kembali terputar di benaknya. "Kemudian, aku dirawat oleh Nenekku hingga berumur lima belas tahun. Tak lama, Nenekku meninggal, dan saat itu hujan turun tak kalah derasnya. Seakan, ia tak mengizinkanku untuk berlama-lama menemani Nenek di peristirahatan terakhirnya.
"Kakek memperlakukanku dengan kejam. Bahkan hingga ia tewas karena penyakit yang ia derita pun, ia pergi dengan sumpah serapah di mulutnya. Sejak saat itu aku sangat membenci laki-laki. Namun, aku ingin mencoba untuk berubah. Aku tidak ingin membenci laki-laki, karena aku percaya bahwa tidak semua laki-laki itu sama. Akan tetapi, sepanjang aku mengenal makhluk yang disebut laki-laki itu, aku hanya mendapat merasakan sakit di hatiku." Asa ingin menangis, namun ia tahan dengan menggigit lidahnya. "Laki-laki itu jahat! Aku benci mereka!"
Rena menatap penuh simpati. Mengelus lembut punggung Asa. "Tenang saja, Asa. Aku ada di sini untukmu."
Namun di luar dugaan, Asa justru menanyakan sesuatu yang membuat Rena mengerutkan dahi. "Rena, apa kamu menyukai hujan?"
Kedua alis Rena bertaut menjadi satu. "Jika kamu bertanya ... sebenarnya tidak juga. Untuk suatu alasan, aku tidak terlalu menyukai hujan."
"Aku berpikir ... bagaimana jika di luar sana ada orang yang sama sepertiku? Tidak menyukai hujan." Asa melepas gantungan teru-teru bouzu dari tasnya, menatap benda tersebut lamat-lamat. "Aku ingin langit terus cerah. Maka, aku hanya bisa bergantung dengan benda ini. Aku percaya, teru-teru bouzu dapat menangkal hujan."
"Asa ...." Rena kehabisan kata-kata. Gadis itu menunduk, lalu menggumamkan sesuatu.
Asa menoleh. "Maaf, aku tidak mendengarmu. Apa kamu bilang?"
Rena segera menggeleng, kemudian tersenyum. "Ah, tidak. Bukan apa-apa. Ngomong-ngomong, karena langit hari ini cerah, apa kamu mau pergi ke Taman?"
"Hm? Tentu saja boleh."
"Baiklah." Rena tersenyum. "Aku punya kejutan untukmu."
***
Asa membuka mata, tetapi ia segera memejamkannya lagi setelah merasakan rasa pening yang luas biasa menjalar di kepalanya. Ia hendak menyentuh kepalanya, sayangnya tidak bisa. Tangannya terikat erat oleh sesuatu, membuat Asa mau tak mau harus menunggu rasa pening itu pudar dengan sendirinya.
Setelah rasa pening itu hilang, Asa melihat ke sekitarnya. Tidak. Asa tidak bisa melihat apapun selain warna putih yang memenuhi pandangannya.
Ada apa ini? Kepala Asa seakan ditutupi oleh sesuatu. Seperti kain putih membungkus tubuhnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelah beberapa saat, ia menyadari bahwa ada sesuatu yang mengikat lehernya.
Asa panik.
"T-Tolong!" Asa berusaha berseru meminta bantuan, berharap ada seseorang yang bisa mendengarnya. "Tolong!!" teriaknya sekali lagi.
"Asa?"
Suara yang begitu familiar di telinganya membuat Asa mengembuskan napas lega. "R-Rena! Kamu di sini? Tolong aku! Ada sesuatu yang mengikat tanganku, dan menutup kepalaku dengan kain putih!"
Alih-alih mendapat jawaban yang diinginkan, Asa justru mendengar suara tawa.
Gadis itu meneguk air liurnya, gugup. "Rena ...?"
"Oh, Asaku yang manis." Nada suara Rena yang biasanya lemah lembut kini berubah drastis, seperti ... bukan suara Rena yang ia kenal. "Kamu tampak ketakutan. Kenapa kamu takut, hm?"
"Rena? Ada apa ini? Apakah kamu sedang mengerjaiku? Hentikan, ini tidak lucu!"
"Aku tidak sedang bercanda, Asa." Rena tertawa. "Aku di sini, hanya ingin mengabulkan permintaanmu."
"Permintaan?"
"Ya, kamu ingin agar langit cerah sepanjang waktu, bukan?" Rena tersenyum. Meski ia tahu Asa tak bisa melihatnya, ia tetap tersenyum. "Maka, yang kita butuhkan adalah boneka teru-teru bouzu dengan ukuran lebih besar dari gantungan kunci konyolmu itu."
"Aku tidak mengerti."
"Kamu harus mengerti. Kamu 'kan berharap langit menjadi cerah. Maka, kamu harus siap menjadi teru-teru bouzu." Nada suara Rena meninggi. "Apa kamu tahu kisah asal-usul teru-teru bouzu, Asa?"
Asa kembali meneguk air liurnya. Jantungnya berdegup begitu kencang seakan ia baru saja berlari mengelilingi satu dunia.
"Dulu, ada seorang biksu yang dihukum gantung karena tak bisa menghentikan hujan oleh para warga. Uniknya, biksu tersebut digantung dengan diselimuti kain putih. Sejak saat itu, langit yang awalnya selalu menumpahkan hujan, mendadak cerah."
Ah ... Asa mulai mengerti arah pembicaraan ini.
Asa menggigit bibir bagian bawahnya. Di dalam pikirannya, ia sedang merangkai kata-kata. "Itu berarti ... agar langit cerah, harus ada seseorang yang dikorbankan? Jadi, kamu yang selama ini menculik orang-orang tak berdosa itu, dan kamu pula yang menjadikan Brian sebagai teru-teru bouzu?"
"Kamu mendapat poinnya." Rena tertawa. "Aku yakin saat kamu menjadi teru-teru bouzu, langit akan cerah sepanjang waktu."
Asa refleks menahan napasnya. "Rena, tinggu. B-Bukan itu maksud—"
"Kamu siap?" Rena berseru girang. "Kita hitung mundur, ya! Tiga, dua ... satu!!"
Asa merasakan benda yang kakinya tapak menghilang begitu saja. Kakinya tak menapak apapun, menggantung di udara, tertahan oleh lehernya yang terikat erat oleh seutas tali.
Rasa sakit luar biasa dapat Asa rasakan. Digantung di udara seperti ini rasanya sungguh menyakitkan. Asa hanya dapat membuang napas, tetapi tidak bisa menghelanya. Saat Asa mulai kehabisan oksigen, dan penderitaan pun dimulai.
Langit tiba-tiba hujan deras, menemani penderitaan Asa. Tiap detiknya terasa begitu lama, seakan waktu melambat.
Hingga akhirnya, Asa tak lagi dapat merasakan rasa sakit. Tubuhnya terasa ringan. Gadis itu memejamkan matanya. Mungkin, sudah saatnya ia pergi.
"Selamat tidur, Asa."
Detik berikutnya, langit berubah cerah dalam sekejap.
***END***
AKU NULIS APAAN BUSET :(
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro