Knock, Knock.
Dibuat pada bulan Januari 2020.
***
Knock, knock. Do not open the door!
Apa yang paling kau benci hari ini, akan menjadi hal yang paling kau rindukan esok kelak. Kini, aku mulai mengerti pepatah yang sering terucap itu.
Ketika aku mulai menerima kelainanku, Tuhan justru mencabutnya kembali. Ini tidak adil, sungguh. Yang aku inginkan, hanyalah hidup sebagai gadis biasa layaknya orang normal kebanyakan. Namun, kenapa rasanya begitu sulit?
Aku lahir dengan kecacatan pada bagian mata. Dokter yang menangani kelahiranku membuat kesalahan yang cukup fatal pada area mataku hingga aku tumbuh sebagai gadis yang memiliki cacat fisik di sekitar mata.
Ejekan telah menjadi makanan sehari-hariku. Hal ini yang membuatku benci pada diriku sendiri, bahkan aku sampai meminta pada Tuhan untuk mencabut saja penglihatan ini agar aku tidak perlu menatap wajah-wajah busuk mereka yang sudah menghinaku.
Ternyata, Tuhan benar-benar mengabulkannya, meskipun aku tidak sungguh-sungguh bermaksud demikian. Dua bulan lalu, aku mengalami kecelakaan hingga membuat mataku buta permanen. Tentu saja aku terkejut, tak menyangka bahwa hal ini akan terjadi padaku.
Ibuku berusaha keras untuk mencarikanku seorang pendonor. Namun, ada puluhan bahkan ratusan orang yang mengantre untuk mencari pendonor mata yang sama. Kata dokter, mungkin aku baru bisa mendapatkan seorang pendonor sekitar enam sampai tujuh bulan lagi.
Saat itu aku sangat histeris. Hidup dalam kegelapan selama itu? Mana mungkin aku tahan!
Ibu yang merasa iba padaku akhirnya melakukan segala cara agar namaku berada di daftar teratas pencari donor. Aku yang malang ini hanya bisa pasrah, hanya duduk termenung, menatap hampa kegelapan yang ada tiap harinya.
Hingga dua bulan kemudian, ada kabar bahwa mereka menemukan pendonor yang cocok untukku. Sejujurnya, akupun tidak menyangka bahwa aku hanya harus menunggu selama empat bulan, bukan enam atau tujuh bulan. Ibu juga tampak senang mendengar kabar itu. Esoknya, aku langsung melaksanakan operasi transplatasi mata.
Awal setelah operasi, aku belum diperbolehkan melihat. Aku diminta untuk beristirahat terlebih dahulu, baru setelah itu aku boleh membuka perban yang menutupi mataku.
***
Cahaya mentari yang menyilaukan di balik kelopak mataku membuatku terbangun. Rasa pening menghampiriku begitu aku hendak membuka mata. Kupegang erat kepalaku yang rasanya akan pecah. Setelah bergeming beberapa saat hingga rasa pusing ini mereda, barulah aku membuka mata secara perlahan. Aroma obat khas Rumah sakit menyerbak masuk ke penciumanku. Ruangan serba putih yang sedikit luas dan hanya ada aku seorang.
Ah, sepertinya aku tertidur cukup lama selepas operasi kemarin.
Perban di mataku sudah terlepas, mungkin seorang suster yang melepaskannya saat aku masih terlelap.
Jendela besar dengan tirai yang sudah disingkirkan rupanya menjadi penyebab mengapa cahaya matahari masuk dengan liarnya.
Omong-omong, dimana Ibu? Kenapa tidak ada satupun suster yang menjagaku? Mengapa hanya ada aku sendirian di Ruangan yang luas ini?
Eh, tunggu.
Aku memicingkan mataku, mencoba menajamkan penglihatan. Kudapati ada sosok seorang gadis berambut hitam panjang berdiri di sudut Ruangan, menghindar dari cahaya matahari. Dia menatapku dan tersenyum manis.
Tidak, tolong. Senyumannya sama sekali tidak manis. Tidak setelah aku menyadari bahwa ada rongga besar di kepalanya yang tertancap bebatuan tajam. Cairan merah dengan luwesnya mengalir dari kepalanya yang bolong, memamerkan sesuatu berbentuk abstrak berwarna merah muda pucat.
Itu... otak?
Rasa mual menghampiriku. Aku menoleh ke sana ke mari. Segera kusambar segelas air putih yang ada di atas nakas sebelah ranjang begitu menyadarinya.
Apa-apaan gadis itu?!
Pandangan kami bertemu. Dia semakin melebarkan senyumannya hingga mulutnya robek dan mencapai telinga, memamerkan deretan giginya yang tajam dan tidak utuh.
Dia berjalan mendekat. Tidak, dia tidak benar-benar berjalan. Dia... melayang!
Hingga jaraknya dari ranjang yang kutempati hanya terpaut satu meter, suara seraknya bergema di pendengaranku. "Kau... dapat melihatku...?" Tepat setelah mengatakan hal itu, perlahan tubuhnya rontok. Mulai dari kaki, tangan, serta kepalanya tiba-tiba saja tercerai berai ke atas lantai.
Aku menjerit histeris.
Derap kaki terburu-buru terdengar dari luar. Pintu dibanting secara paksa. Kudapati sosok Ibu dengan napas menderu, menatapku khawatir, bersama seorang dokter.
Ibu menghampiriku terburu-buru. "M-Mora..? Kamu nggak pa-pa, nak?" Aku hampir saja memekik lagi begitu melihat Ibu tanpa sadar menginjak pecahan kepala gadis menyeramkan itu. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, kaki Ibu menembus kepala tersebut. Ibu memelukku, mengelus punggungku dengan hangat.
Aku membenamkan wajahku di pundak Ibu, mencekeram bajunya erat-erat.
Aku... sangat takut.
Dan mulai detik itu aku tersadar, bahwa hidupku akan segera berubah.
***
Kata dokter, aku hanya berhalusinasi. Katanya apa yang kulihat hanyalah gejala pertama karena mata baruku ini belum terbiasa. Tidak ada yang mempercayaiku, bahkan Ibu sekalipun.
Sekeras apapun aku mencoba meyakinkan mereka, mereka hanya menganggapku berhalusinasi. Dan sungguh, ini membuatku super jengkel.
Seminggu kemudian, aku sudah diperbolehkan pulang oleh dokter. Aku dapat melihat dunia lagi seperti biasa, namun kali ini, ada banyak sekali makhluk lain yang dapat kulihat. Jika kusimpulkan, kemungkinan terbesar pendonor mataku ini adalah seorang indigo, maka karena aku menerima donor mata darinya, secara otomatis aku juga menjadi indigo.
Ini meresahkan. Dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat orang lain. Rasanya sangat aneh.
Ibu mengantarku pulang menggunakan mobil pribadi. Aku berusaha bersikap seolah biasa saja, meskipun banyak hal yang membuatku resah. Contohnya, hantu gadis yang kutemui di rumah sakit mengikutiku hingga ke depan pintu rumah.
Aku berdecak, melirik sinis kepada hantu tersebut, mencoba mengusir jauh-jauh rasa takut. Seolah mengerti lirikkan mataku, hantu itu justru berkata, "Aku butuh pertolongan."
Jujur, mendengarnya membuat bulu kudukku merinding. Aku mengacuhkannya, berjalan memasuki rumah sedangkan Ibu memarkirkan mobil di bagasi terlebih dahulu. Sesuai dugaanku, rumah ini banyak penghuninya. Di setiap sudut dapat kutemukan berbagai macam demit yang begitu menyeramkan. Namun, ada yang berbeda dari mereka. Mereka hanya menatapku sekilas, lantas bersikap tak acuh, tidak seperti hantu gadis ini. Aku berjalan menelusuri lorong rumahku, hingga tanpa sadar aku berhenti melangkah.
Kutatap lekat-lekat pintu gudang rumahku yang terkunci rapat sebab Ibu memang tidak pernah mengizinkanku masuk ke sana. Di depan pintu tersebut, aku mendapati sosok seorang gadis kecil, wajahnya begitu pucat, dan bajunya putih terusan. Sejenak, dia tampak familiar di mataku. Apa aku pernah bertemu dengannya, ya?
Dia tidak mengeluarkan darah setetespun, dan ini membuatku ragu bahwa dia adalah hantu. Namun, aku dan Ibu hanya tinggal berdua di rumah yang luas ini. Yang mana halnya, gadis itu pastilah seorang hantu.
Tak ingin berurusan, aku kembali melangkahkan kaki menuju kamar. Kuhempaskan tubuhku ke atas ranjang empuk, melepas seluruh rasa lelah untuk hari ini. Beruntung, di kamarku tidak ada hantu yang masuk. Mungkin mereka mengerti, bahwa aku memang membutuhkan tempat untuk menyendiri.
"Halo."
Ah, kutarik ucapanku barusan. Ada satu hantu menyebalkan yang ternyata memasuki kamarku ini. Aku meubah posisiku menjadi duduk. Kutatap wajah menyeramkan hantu gadis rumah sakit yang mengikutiku hingga ke sini. "Apa maumu?" tanyaku langsung pada intinya, "Jangan macam-macam padaku!"
"Aku tidak bermaksud jahat," hantu gadis itu tersenyum tipis. "Aku hanya mau minta tolong." Meski dia mencoba tersenyum, tapi tetap saja kepalanya yang bolong dengan tancapan batu serta darah yang ada tubuhnya membuatku muak.
"Minta tolong?" ulangku.
Dia mengangguk. "Iya. Beberapa hari yang lalu, aku tewas saat kecelakaan. Padahal hari itu seharusnya menjadi hari kelulusanku. Aku juga bingung kenapa masih terjebak di dunia ini. Menurut hantu-hantu lain, masih ada urusanku di dunia ini yang belum kuselesaikan. Itu mengapa aku tidak bisa naik ke atas," jelasnya.
Aku termenung sesaat, mencoba mencerna ucapannya. "Lalu, kamu ingin aku membantu apa?"
"Tolong antarkan aku ke Universitasku. Setidaknya, hanya itulah yang saat ini kupikirkan."
"Kalau kamu hanya mau ke Universitasmu, kenapa kamu tidak pergi sendiri saja?"
"Aku mau," gadis itu membuang muka. Wajah mengerikannya sepintas tampak sendu. "Tapi aku tidak bisa mengingat apapun. Aku bahkan tidak ingat jalan menuju rumahku."
Setelah terdiam sejenak, aku menghela napas berat. "Aku mengerti. Hanya harus mengantarmu ke Universitasmu itu, 'kan? Setelah itu, jangan pernah ganggu aku lagi!"
"Baiklah, setuju!" seru hantu gadis itu tampak senang.
Tak mau berlama-lama, aku segera melompat berdiri dan meraih jaket, dompet, serta ponselku. Aku berjalan ke luar rumah, sebisa mungkin diam-diam agar tidak ketahuan Ibu. Ibu tampak sedang asyik mengobrol dengan Ibu-Ibu tetangga, jadi aku bisa dengan leluasa menyelinap pergi.
Gadis hantu itu bilang Universitasnya adalah Universitas negeri yang besar. Setidaknya, hanya itulah yang dia ingat. Untung saja di kota sini Universitas negeri hanya ada satu, jadi aku tidak perlu susah payah mencari. Hanya dengan lima belas menit menaiki bus, kami sampai ke tempat tujuan. Aku menoleh padanya, "Sudah sampai."
Gadis itu tampak gelisah. "Coba masuk!"
Aku menghela napas, hanya menurut. Kami berjalan menelusuri area kampus. Kampus ini sangatlah besar. Namun karena ini sudah sore, jadi tidak banyak mahasiswa yang berkeliaran. Langkahku terhenti begitu melihat ada bingkai foto raksasa yang bertengger di dinding lorong kampus.
Aku menatap terpesona. Di bingkai itu, ada foto candid seorang mahasiswi. Di bawah foto, tertulis _"Rest in peace, Agne Wilicia. Our best student"._ Dalam hati, aku terkejut. Aku segera menoleh, menatap sosok hantu gadis yang ada di sampingku. "Ini kamu, 'kan? Ka-" ucapanku terhenti. Aku memandangi sosok gadis hantu itu lekat-lekat. Tubuhnya mulai transparan. Dia menatap lamat foto dirinya yang ada di bingkai, tersenyum cerah.
"Ternyata mereka ingat." Gadis itu menoleh, tersenyum padaku. Setengah tubuhnya sudah menghilang, "Terima kasih, ya. Maaf sudah menganggumu," ucapnya, sebelum akhirnya dia menghilang sepenuhnya.
Aku mematung di tempat. Tak tahu harus bereaksi seperti apa melihatnya. Apakah sekarang dia sudah menghilang? Apakah dia sudah pergi ke tempat yang seharusnya? Kalau begitu... aku bisa membantu mereka yang terjebak di dunia ini?
Hari itu, aku langsung pulang ke rumah. Beruntung, Ibu belum kembali. Aku segera menemui hantu gadis kecil yang berdiri di depan pintu gudang. "Halo," sapaku ragu.
Gadis itu mendongak, menatapku hampa.
"Apa kau mau kubantu?" tawarku. "Aku bisa membantumu pergi ke atas. Katakan saja apa keperluanmu, dan sebisa mungkin aku akan membantu." Aku tidak tahu mengapa aku jadi bersemangat membantu hantu ini. Merasa tak dibutuhkan adalah hal yang kurasakan selama enam belas tahun hidupku. Namun, hari ini, untuk pertama kalinya aku merasa dibutuhkan. Dan hal ini membuatku sangat senang.
"Mustahil," gumam gadis itu lirih, nyaris menyerupai bisikkan. "Aku bahkan tidak tahu bagaimana caranya aku mati."
Aku menatap hantu itu prihatin. Seumur hidup, baru kali ini aku prihatin pada hantu.
"Tapi," dia menunjuk pintu gudang yang terkunci, "Aku tahu alasan kematianku ada di balik pintu ini."
"Hah?" Aku mengerjap tak percaya. "Kau yakin?"
Dia mengangguk. "Kalau begitu, apakah aku boleh meminta tolong agar kau masuk ke sana?"
Seketika, aku menjadi ragu. "Tapi kunci pintu ruangannya ada pada Ibu."
Terlihat ada sedikit kekecewaan dari raut wajahnya. "Begitu ya?"
"Ah, tapi tenang saja! Aku akan membantumu!" Aku berusaha meyakinkan. "Besok Ibu akan berangkat kerja, dan mungkin pulangnya larut malam. Jadi, aku akan menyelinap saat itu!"
"Terima kasih. Kau baik sekali."
Aku tersenyum. Hari ini, aku sudah mendengar dua kalimat terima kasih. Hal sesederhana itu cukup membuatku bahagia.
***
Esok harinya sesuai dugaanku, Ibu berangkat kerja dan mengatakan padaku bahwa dia akan pulang larut malam. Maka, aku segera menjalankan rencanaku. Aku menyelinap masuk ke kamar Ibu, menggeledah sekitar, mencari kunci pintu gudang. Dua jam berlalu sia-sia, karena aku tidak menemukan apapun di sana. Seketika, aku jadi merasa bersalah karena sudah bersikap lancang seperti ini.
Saat hendak menyerah, tanpa sengaja aku menemukan sebuah buku bersampul merah maroon yang sedikit berdebu. Karena penasaran, maka aku membukanya. Ternyata ini adalah sebuah buku diari, dan tulisan tangan Ibu ada di dalam ini. Aku mulai membaca buku ini, hingga aku sampai pada sebuah halaman yang membuatku tercekat.
_Dear diary. Albert, si lelaki sialan itu meninggalkanku dan lebih memilih wanita lain. Jadi, aku memutuskan untuk membuat kontrak dengan Iblis untuk membunuhnya._
Dengan tangan bergetar, aku membuka halaman selanjutnya.
_Aku berhasil membuat kontrak dengan iblis dan membunuhnya. Iblis meminta tumbal berupa salah satu anakku. Karena aku memiliki anak kembar, maka kuberikan salah satunya. Aku memberikan Maura untuknya. Tapi ternyata, iblis itu cukup serakah. Dia hampir mencelakai Mora. Karenanya, mata Mora jadi terluka. Untung saja aku berhasil menghentikannya._
Aku menegup saliva dengan susah payah. Jadi selama ini aku bukan anak tunggal? Lalu, penyebab kecacatan pada area mataku bukanlah karena kesalahan dokter? Kenapa Ibu berbohong?
_Tuk._
Sebuah kunci meluncur dengan mulus dari selipan halaman, membuatku refleks menatap benda berwarna silver tersebut. Aku menggigit bibir bagian bawahku, menyambar kunci tersebut, lantas segera berlari menuju pintu gudang. Di sana, hantu gadis kecil masih berdiri dengan setia. Aku merapatkan bibir, lantas berkata dengan suara parau, "Aku menemukan kuncinya... Maura."
Hantu Maura tersenyum padaku. Dia menyingkir dari pintu, membiarkanku membuka pintu yang terkunci dan mendorong pintu tersebut hingga terbuka lebar. Hal pertama yang menyapaku adalah keberadaan anak balita yang tergeletak tak berkutik di atas sebuah meja. Di sekitarnya, terdapat sesajen yang mengeluarkan bau menyengat.
Aku refleks menutup hidung, merogoh kantung celana dan mengeluarkan ponselku. Tanpa berpikir panjang, aku segera menelepon polisi, melaporkan Ibu atas kasus pembunuhan yang pernah ia lakukan.
Sesayang apapun Ibu padaku, sebaik apapun Ibu padaku, hal itu tidak menghapus fakta bahwa Ibu adalah seorang pembunuh. Dan seorang pembunuh, harus dihukum. Aku sangat dendam padanya. Karena kebodohan Ibu, Maura sampai harus mati menyedihkan seperti ini.
Ibu pulang ke rumah bertepatan dengan kedatangan polisi. Polisi segera menangkap Ibu, sedangkan Ibu memberontak, berseru bahwa dia tak bersalah. Tapi terlambat, aku telah lebih dulu mengirimkan bukti lewat pesan kepada para polisi.
Mobil polisi yang membawa Ibu berlalu menjauh, menyisakan suara sirine yang bergema dari kejauhan. Aku tersenyum tipis, seakan seluruh beban pada diriku hilang.
"Mora," panggil hantu Maura lembut. Dia tersenyum cerah. "Terima kasih. Sekarang, aku bisa bertemu Ayah di atas sana. Aku akan merindukanmu."
"Tidak perlu khawatir. Aku akan segera menyusul kalian, kok."
Tubuh Maura mulai tampak transparan. Dia menatapku dengan tatapan penuh arti, hanya melemparkan seulas senyum simpul. "Aku berharap, kamu hidup lebih lama," katanya, sebelum akhirnya tubuhnya menghilang sempurna.
Aku tersenyum tipis. Aku berjalan kembali menuju gudang, menemukan sebuah tali tambang di sana. Aku menarik kursi, lantas naik ke atasnya sambil mengalungkan tali tambang di leherku.
Ibu sudah dihukum, dan kembaranku sudah pergi dengan tenang. Para hantu-hantu yang ada di sekitar mulai bergerombol, menatapku lamat-lamat. Seakan, mereka hendak menghentikanku namun tidak memiliki kuasa untuk melakukannya.
Sekali lagi, aku tersenyum, kali ini begitu hampa. "Nah, sekarang, saatnya menyusul Maura."
***END***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro