Perjalanan Kedua: si Pengendali Mimpi.
Bermula saat aku berumur lima belas, aku sering bermimpi aneh.
Kursi yang bisa bergerak, bahkan berbicara.
Paus yang melayang-layang di langit.
Kelabang berukuran jumbo yang mengelilingi kota.
Hingga tanaman venus yang memakan manusia.
Mulanya, aku merasa mimpiku sangat nyata. Aku berada di dunia antah berantah dan aku hidup di dalamnya. Lalu, saat aku memasuki usia tujuh belas, aku sudah mulai bisa menyadari jikalau aku bertemu kursi yang bisa berbicara atau paus yang melayang di langit, berarti aku tengah bermimpi. Dan jika aku sudah sadar aku tengah bermimpi, aku bisa melakukan apa yang aku kehendaki di mimpi tersebut, seperti berbicara dengan kursi, melayang di langit dengan menunggangi paus terbang, pun memotong tanaman venus yang memakan manusia (meski aku hampir dihap).
Walau begitu, aku cukup senang berada di dunia mimpi, sampai-sampai aku sengaja tidur meski bukan malam hari. Bahkan, aku bisa menghabiskan sepanjang hari untuk tidur demi bisa bertemu dengan Amo, si kursi yang bisa bergerak dan berbicara, pun menunggangi Mea, si paus terbang.
Satu hal yang tidak kusuka hanyalah On si kelabang jumbo. Dia sangat tidak ramah. Aku ingat dulu sewaktu pertama kali bertemu dengannya, aku sampai bersembunyi dan meringkuk ketakutan karena ada kelabang berukuran raksasa yang mengelilingi kota.
Kemudian berlanjut hingga usiaku menyentuh sembilan belas, aku bisa menembus mimpi orang. Tapi tolong jangan tanya bagaimana karena aku sendiri pun tidak mengerti.
Simpelnya, bayangkan saja aku menyasar ke dalam mimpi orang random yang tidak kukenal, lalu mengajak orang itu memasuki mimpiku.
Aku tidak ingin berada di dunia absurd itu sendiri—oh, sudahkah kubilang di dalam dunia aneh itu tak ada siapa-siapa? Ah, maksudku, sebenarnya ada. Lebih tepatnya makhluk yang wujudnya seperti manusia. Kulit mereka berwarna ungu dan bertelinga lancip serta bertubuh tinggi. Tapi keberadaan mereka seperti tak ada gunanya. Mereka cuma menjadi santapan tanaman venus (seperti yang tadi kubilang). Dan lagi, mereka bodoh. Jadi, kuajaklah manusia yang kutemui untuk masuk ke dalam mimpiku yang fantastis.
Satu orang. Dua orang. Tiga orang. Hingga empat belas orang. Lalu terakhir, aku terdampar lagi di mimpi seseorang. Tapi untuk pertama kalinya, aku ingin segera pergi dari mimpi itu dan kembali ke duniaku karena yang kudapati hanya ruang kosong berwarna putih dengan bangun ruang seperti kubus dan bola yang melayang-layang. Juga ... seorang wanita berpenampilan aneh.
Wanita itu mengenakan pakaian bersetelan biru. Rambutnya yang berwarna magenta dan berhias setangkai kelopak bunga digerai hingga punggung. Ia memiliki iris yang berbeda warna; kanan hijau dan kiri kuning. Kuakui, meski kedua matanya terlihat indah, tapi tatapannya tidak.
"Halo, Rischie." Wanita itu memanggil namaku sambil melangkah mendekat, sementara aku beringsut mundur.
"Dari mana kau tahu namaku?" tanyaku hati-hati.
Bukannya menjawab, ia hanya mengulas senyum yang terlihat mencurigakan.
"Hei, jawab!"
"Saya tahu karena saya seorang 'pemandu'."
Aku menelengkan kepala ke kanan. "Pemandu? Maksudmu apa?"
"Sayalah yang memandumu sampai bisa bertemu Amo, Mea, dan On. Mereka makhluk yang baik, bukan? Mau menemanimu yang kesepian."
"Ha?" Aku semakin tidak mengerti.
"Kau mau tahu sesuatu? Dunia di mimpimu adalah tempat nyata, lho!"
Aku mengernyit. "Bohong! Mana mungkin aku bermimpi berada di tempat nyata. Tidak masuk akal," bantahku mentah-mentah.
Ia tersenyum miring. "Bukankah kau yang bisa mengendalikan dan menyusup ke mimpi orang lain juga tidak masuk akal?"
Aku terdiam.
"Tempat di mana kau bisa bertemu dengan kursi yang bisa bergerak dan berbicara, paus terbang, kelabang raksasa, hingga venus yang memakan manusia bernama Ovel, bagian barat daya Poiesis."
Otakku masih mencoba memproses.
"Saya tidak keberatan mengizinkanmu untuk tinggal lebih lama di Ovel. Kau pun sudah punya teman-teman di sana, bukan?"
"Aku tidak ma—"
"Jika kau tinggal di Ovel, kau tidak perlu lagi mendengar suara piring pecah, bantingan barang, ataupun jeritan ayah dan ibumu. Kau juga tidak perlu lagi memakaikan plester pada luka-lukamu. Ayahmu takkan memukulimu lagi dan ibumu takkan menusukkan benda-benda tajam pada tubuhmu. Bukankah kau ingin lepas dari semua itu?"
Aku meneguk saliva. Memang benar, tapi ....
"Kau boleh membawa adik-adikmu ke Ovel."
"Baiklah, aku setuju."
Dan begitulah awal mula aku bisa tinggal di dunia antah berantah bernama Ovel ini.
Fin.
Day 2: lucid dream.
Yak, karena kemarin aku gak sempat nulis, jadi utang dan baru sempat ngetik sekarang.
Sedih sekali baru day 2 udah bolong T^T
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro