Perjalanan Kedelapan: Bertemu Denganmu.
Aku ingat sekali. Lima belas tahun lalu, di lapangan sepak, kau menyatakan perasaanmu padaku dengan membawa sebuket mawar merah muda di hadapan banyak orang.
Aku ingat sekali, kau berucap dengan yakin dan mantap, "Helio, aku mencintaimu."
Dan aku juga ingat, aku membalas, "Tetapi aku tidak mencintaimu. Barang mengenalmu saja tidak."
Sayangnya, aku juga ingat sekali. Dirimu langsung menjatuhkan buket mawar merah muda sebelum sempat kuterima dengan air mata mengalir membasahi pipi.
Setelah diingat-ingat, ternyata dulu kau cengeng, ya. Dan aku akui, aku cukup jahat berkata begitu pada gadis manis sepertimu.
Kupikir, kau akan gigih dengan sorot yakin akan diterima. Ternyata, sehari setelah kau menyatakan perasaanmu dan kutolak di depan umum, kau menjauh. Barang melirikku saja tidak. Kupikir kau langsung sadar diri. Tidak mungkin seseorang yang tidak dikenal menerima pernyataan cintamu (kecuali lelaki pemain hati wanita).
Sayangnya, kata-katamu berbalik padaku.
Lima tahun setelah kejadian itu, giliranku yang membawa sebuket mawar putih ketika kunyatakan perasaanku padamu di tepi tebing dekat pantai tempat kita pertama kali berjumpa (iya, aku baru ingat hal ini beberapa tahun setelah kau menyatakan perasaan padaku, tapi aku berlagak seperti tidak mengenalmu).
Kalau kalian bertanya kenapa bisa aku yang berbalik menyatakan perasaanku padanya, sejujurnya aku tidak tahu. Apakah cinta butuh alasan?
Mulanya aku mengira kau akan menolakku. Akan tetapi, dengan senyum paling tulus dan paling manis yang pernah kulihat darimu, kau menerima buket bunga dariku dan berkata, "Aku masih mencintaimu."
Dan ketika kutanya alasan mengapa kau mencintaiku, kau malah membalas, "Karena kau orangnya."
Jawaban ambigu, tetapi entah kenapa aku bisa mengerti.
Kemudian, kita habis tahun-tahun bersama menjadi sepasang kekasih. Kita menonton film bersama. Kita memasak bersama. Kita berkencan ke berbagai tempat. Bahkan, kita bertualang ke tempat-tempat yang kau inginkan.
Hari-hari romantis yang kujalani bersamamu, sungguh demi apa pun membuatku senang dan semakin menyayangimu. Hingga sampai pada bulan Juni lima tahun lalu, aku serius ingin mengajakmu untuk menghabiskan hidup bersamaku, sebagai sepasang suami istri yang saling mencinta. Dan kau menerimanya!
Kau tahu? Setelah melamarmu, aku pulang terbirit-birit sampai terkencing-kencing di celana saking senangnya. Ibuku berkata aku seperti anak kecil. Namun, beliau tetap tersenyum dan memelukku seraya berkata, "Selamat, Putraku!"
Sayangnya, angan-anganku untuk menghabiskan hidup bersamamu sirna.
Kau pergi begitu saja.
Tanpa pamit. Tanpa berucap sepatah kata pun. Meski tiap setahun sekali kau kembali, aku tetap tidak pernah tahu ke mana kau pergi. Namun, pernah suatu waktu aku mengintipmu sebelum pergi. Kau mengecat rambutmu menjadi magenta dan mengenakan setelan pakaian aneh berwarna biru. Aku ingin mengikutimu saat kau beranjak dari rumah dan pergi lewat jendela. Akan tetapi, entah bagaimana, aku selalu kehilangan jejakmu.
Lalu, kau tahu? Setiap kau pergi meninggalkanku, aku selalu menangis meraung-raung. Aku sudah melakukan yang kubisa, termasuk mengerahkan beberapa orang untuk mencarimu. Hasilnya nihil.
Yang ini kau pasti tahu. Aku selalu menangis dan merengek seperti bayi di dalam dekapanmu yang memelukku erat ketika kau kembali. Seperti tanggal 1 di bulan Juni kemarin, dengan langkah mantap dan sorot yakin, kau tiba-tiba saja datang padaku saat aku sedang memasak. Kita sempat bersua sejenak, sebelum kau kembali menghilang lagi.
Kuputuskan untuk mencarimu. Meski harus menjelajah ke seluruh penjuru Poiesis, aku tidak peduli. Semua kulakukan karena aku mencintaimu.
Itu alasan yang cukup, bukan?
Sudah dua tahun terhitung sejak kita terakhir bertemu. Dan sekarang, aku menemukanmu.
"Pergilah."
Satu kata yang terlontar dari bibirmu itu sudah sangat cukup untuk membuat mataku melebar tak percaya.
"Kenapa? Apa kau sudah tidak mencintaiku lagi, Han?" Aku bertanya.
Kau membuang muka. "Tentu saja aku masih mencintaimu, Helio, tetapi pergilah. Tidak seharusnya kita bertemu di sini."
Gigiku bergemeletuk.
"Lalu di mana seharusnya kita bertemu, Han?"
Tanpa menatapku, kau menjawab, "Di rumah."
"Setelah kau tidak pulang ke rumah selama dua tahun?"
Setelah berkata demikian, akhirnya kau berbalik. Irismu yang berbeda dan indah itu menatapku. Kemudian, barulah senyum tulus yang sudah lama sekali tidak kulihat terulas di wajah cantikmu.
"Aku akan segera pulang," katamu dengan suara pelan. "Kita akan bertemu di rumah. Aku janji, Helio."
"Pegang janjimu, Han."
Kau mengangguk. "Sekarang, kumohon pulanglah."
Aku selalu kalah dalam menuruti kata-katamu. Maka, aku pun mengangguk dan kembali ke rumah. Syukurlah kau benar-benar memegang kata-katamu. Karena keesokan harinya, kau kembali dan berhambur memelukku.
"Aku merindukanmu, Helio Grace." Kau berbisik tepat di samping telingaku.
Aku menggeleng, tersenyum bahagia. Kedua tanganku makin mendekapmu erat, seakan tak ingin melepaskanmu lagi.
"Dan aku lebih merindukanmu, Han Poe Glaciella."
Fin.
Day 8: trope 'she fell first, but he fell harder'.
Horay!
Tadinya mau bikin pake Rara x Ryan, tapi sayangnya aku gak kuat. Jadi sedikit cerita tentang couple Helio x Poe saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro