Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#7 THE FEAR

*** Previous chapter ***

"Sebagai penyiar Podcase, gue ingin mengklarifikasi beberapa hal yang terjadi belakangan ini, yang berkaitan dengan podcast yang gue unggah. Tentang suara yang nggak sengaja terekam dan juga spekulasi yang muncul tentang Hantu Sofia."

Keributan di antara para gerombolan rusuh mereda. Semua fokus mendengarkan podcast Briska, termasuk Kairo.

"Suara dalam podcast gue di episode 23, menit 15.55, bukan setting-an. Gue ulangi sekali lagi. Bukan setting-an."

Terdengar helaan napas panjang dari Briska setelah itu. Kairo bisa merasakan emosi yang dialami Berlin dibalik suara Briska. Cewek itu pasti lelah sekali menghadapi komentar-komentar jahat.

"Mungkin gue nggak bisa membuktikan secara teknis, tetapi gue pastikan bahwa rekaman itu bukan rekayasa. Banyak banget komentar memojokkan dan menuduh yang gue terima. Dan gue akui, gue sempat drop karena itu. Gue menghilang sementara kemarin dan mengarsipkan konten tersebut, karena butuh ketenangan."

***

CHAPTER #7 THE FEAR

Dia terbangun di sebuah tempat yang gelap dan dingin dengan kepala berdenyut-denyut dan berusaha keras menyesuaikan pandangan matanya dengan sekitar. Tangannya meraba-raba ke sekeliling. Kosong.

"Di-di mana ini?" ucapnya lirih.

Dia berdiri dengan susah payah. Tulang-tulangnya seperti remuk. Dengan tertatih, dia berjalan tanpa tahu arah. Dia berjalan terus-menerus. Tempat itu seakan tak berujung. Hingga pada akhirnya, dia menemukan sedikit cahaya di sebuah sudut. Dengan tenaga yang tersisa, dia berlari menuju cahaya itu berada.

Cahaya itu berasal dari sebuah pintu yang terbuka sedikit. Ragu-ragu dia memegang gagang pintu yang dingin. Perlahan-lahan, ditariknya pintu itu. Semakin lebar, cahaya yang masuk semakin terang dan menyilaukan matanya. Dia melindungi matanya dengan pergelangan tangan. Ketika pintu itu benar-benar terbuka, tanpa ragu dia melangkah ke luar.

Kini, dia berada di halaman belakang sebuah gedung sekolah yang luas.

"Sekolah?" gumamnya.

Dia lantas memegang bagian belakang kepalanya yang masih berdenyut. Dia mencoba mengingat siapa dirinya, dan bagaimana dia bisa berada di sini. Namun, semakin coba diingat, kepalanya semakin sakit.

Dia menyerah. Badannya lemas, dia jatuh terduduk di rerumputan sambil menangis tersedu-sedu.

Mengapa rasanya sakit sekali?

Sesosok kakek berjubah putih datang menghampirinya. Wajah kakek tua itu bercahaya. Sambil tersenyum, kakek tua itu mengulurkan tangannya.

"Sofia," panggilnya.

Dia berhenti menangis. "So-Sofia?"

Kakek itu menunjuk tubuhnya. Dia melihat pakaiannya dan baru sadar bahwa dirinya memakai seragam. Rok berwarna biru selutut, kemeja putih, dengan jas almamater berwarna senada dengan rok. Di bagian kiri dadanya, tertera sebuah nama.

Sofia Tanacawaya.

"I-ini namaku?" tanyanya kepada si kakek berjubah putih. "So-Sofia Tana-cawaya?"

Kakek itu mengangguk pelan dan tak lama kemudian menghilang dari hadapannya.

Sofia terperanjat. Dia berdiri dan memandang sekeliling. Pintu yang tadi dipakainya menuju ke sini juga menghilang. Lalu, dia memandang bangunan tinggi di hadapannya. Dari kejauhan, terdengar suara anak-anak tertawa, bercakap-cakap, dan berseru.

"Gue sekolah di sini?" tanya Sofia kepada dirinya sendiri.

Secercah senyuman muncul dari wajahnya. Cewek itu berlari menuju gedung itu. Dia menemukan jalan sempit yang ternyata menembus ke bagian dalam sekolah. Di sana, banyak anak sebayanya berlalu-lalang.

Senyum Sofia semakin lebar. Dia meloncat kegirangan. "Mungkin tadi gue cuma mimpi!" serunya. Tanpa menunggu lebih lama, dia segera berbaur dengan kerumunan anak-anak sekolah itu.

"Haaai! Halooo!" sapanya kepada setiap anak yang melewatinya.

"Haaai, gue Sofia. Lo temen gue, bukan?" tanyanya lagi kepada seorang cowok yang sedang membaca buku di bangku taman

Anehnya, semua orang tidak menyahut. Semua orang seolah mengabaikannya. Sofia terus berjalan, menyapa setiap orang yang berpapasan dengannya, dan mendapat respons yang sama. Diabaikan.

"Kenapa mereka nyuekin gue?" tanyanya bingung.

Raut wajah Sofia berubah cemas. Dia berputar-putar, berjalan ke sana kemari mencari orang yang mau menjawabnya. Sejak tadi, semua orang bertingkah seolah-olah dia tidak ada di depan mereka.

Sofia berdiri di tengah-tengah koridor sambil berpikir keras. Dari kejauhan, segerombolan cowok berpakaian seragam olahraga berlari kejar-kejaran. Jarak mereka semakin dekat. Sofia terlambat menyingkir. Cewek itu menutupi wajahnya sambil berteriak keras karena takut tertabrak.

Yang terjadi kemudian, Sofia merasakan gerombolan cowok-cowok itu berlari menembus tubuhnya. Ya, menembus.

Saat itu akhirnya Sofia tahu bahwa dirinya bukan lagi bagian dari dunia ini.

***

Tahun-tahun berlalu tanpa Sofia pernah tahu mengapa dia bisa berakhir di SMA Lentera Victoria dengan kondisi seperti ini.

"Gue nggak pernah tahu mati kenapa. Gue nggak ingat, Kak," curhat Sofia suatu ketika kepada Elleanor, Hantu Noni Belanda penunggu perpustakaan. Elleanor yang mati sejak zaman penjajahan Jepang karena disiksa hingga mulutnya disobek itu tidak dapat berbicara. Dia hanya bisa memasang tatapan iba kepada Sofia.

Terkadang Sofia bisa menerima keadaan, dan bersikap seperti biasa. Berusaha menjadi hantu yang baik, berkawan dengan semua makhluk tak kasatmata penunggu sekolah ini.

Akan tetapi, ada kalanya dia sedih luar biasa. Tangisannya yang pilu di toilet sekolah terkadang bisa didengar para siswa yang masih berkeliaran di sekolah sampai sore. Jika sekolah telah sepi, Sofia punya energi yang kuat untuk menampakkan diri. Kalau mood-nya sedang buruk, dia akan mendatangi anak-anak nakal yang berbuat aneh-aneh di sekolah sebagai hiburannya yang sedang bosan.

Seiring berjalannya waktu, Sofia belajar sesuatu. Ada beberapa orang yang ternyata bisa melihatnya. Orang-orang itu memiliki aura berwarna ungu. Namun, ketika dia mencoba mendekati orang-orang itu, respons yang mereka berikan selalu membuat Sofia sedih. Ada yang diam membeku kemudian lari ketakutan, ada yang berteriak hingga pingsan.

Padahal, Sofia hanya ingin meminta bantuan dari mereka. Dia ingin tahu apa yang menyebabkan dirinya seperti ini. Sofia lelah, dan akhirnya berusaha menerima keadaannya. Bahkan, ketika dirinya dijadikan rumor Hantu Sofia yang gentayangan karena mati bunuh diri di sekolah ini, dia tak lagi peduli.

Sebelum akhirnya dia bertemu dengan Kairo dan Berlin. Dua anak yang juga memiliki aura berwarna ungu yang Sofia pikir bisa membantu dirinya melanjutkan perjalanan.

***

Sofia baru saja melayang keluar dari laboratorium IPA ketika melihat Berlin berjalan di koridor depan kelasnya. Hantu cewek berambut panjang itu semringah dan dalam sekejap dia memelesat menghampiri Berlin. Tahu-tahu hantu cewek itu sudah melayang di samping Berlin.

"Hai, Ber!" sapa Sofia dengan suaranya yang terdengar senang, walaupun dia tahu Berlin tidak akan menjawabnya. "Kata Kairo, lo mau bantuin gue, ya?" lanjutnya lagi.

Tentu saja Berlin mengabaikannya. Cewek itu tetap berjalan lurus sambil menunduk. Tangannya menggenggam selembar tisu yang sesekali diusapkannya ke hidung.

"Makasih ya, Ber! Gue nggak akan lupain kebaikan kalian berdua," ucap Sofia lagi.

Sofia menoleh ke arah Berlin kemudian mendesah sedih. "Hmmh. Sayang ya, lo nggak bisa lihat gue kayak Kairo. Coba lo bisa lihat gue juga, kan seru kalau kita bertiga bisa jadi teman," keluhnya.

Hantu cewek itu mundur dan mengikuti Berlin dari belakang. Berlin yang tidak bisa melihat keberadaan Sofia hanya merasakan hawa tidak enak di bagian belakang punggungnya. Sembari menggosok-gosok tengkuk, dia pun mempercepat laju langkahnya.

Dua cewek beda alam itu akhirnya sampai di UKS. Berlin langsung beringsut ke ranjang di sebelah kiri yang letaknya tersembunyi. Sehingga dia tidak akan langsung terlihat jika pintu UKS tiba-tiba terbuka. Cewek mungil itu berbaring di sana.

Sofia menghampiri Berlin. Hantu cewek itu duduk di pinggiran ranjang sambil memperhatikan Berlin yang tampak kurang sehat. Berlin berbaring dengan mata terpejam. Beberapa kali cewek itu batuk dan mengusap hidungnya dengan tisu.

Sofia kemudian teringat Kairo yang melarangnya menempel kepada Berlin.

Jangan-jangan Berlin sakit gara-gara gue?

Sofia mendesah panjang. Dia melirik Berlin yang sepertinya mulai tertidur. Ada dengkuran samar yang terdengar dari hidung cewek itu.

"Saatnya beraksi!" ujar Sofia.

Hantu cewek itu ingin mencoba sekali lagi memasuki mimpi Berlin. Siapa tahu potongan ingatannya bisa berlanjut. Perlahan-lahan Sofia mendekati Berlin. Semakin dekat, semakin dekat, saat Sofia hampir masuk ke alam bawah sadar Berlin, pintu UKS terbuka dan menimbulkan bunyi yang keras. Sofia meloncat karena terkejut. Berlin pun terbangun.

"Aduuuh, Kairo! Ngagetin aja!" rengek Sofia.

"Ber!" panggil Kairo. Cowok itu sempat melirik ke arah Sofia yang berdiri di samping ranjang Berlin.

Sofia tersenyum dan melambai kepada Kairo, tetapi cowok itu hanya diam. Senyum Sofia langsung sirna, berganti dengan wajah merengut.

"Ber! Ngapain di sini? Lo masih sakit?" tanya Kairo sambil pelan-pelan mendekati ranjang Berlin.

Berlin mengangkat tubuhnya untuk duduk. "Sedikit. Ngapain lo ke sini?" Berlin bertanya balik sambil mengusap-usap hidung.

Kairo kebingungan mencari alasan. Tadi, Berlin tiba-tiba keluar kelas di tengah-tengah pergantian jam pelajaran dan tidak kembali lagi. Kairo khawatir. Karena itu dia berkeliling sekolah mencari keberadaan cewek itu.

"Ehm. Kebetulan lewat, terus gue mau ambil minyak kayu putih. Eh, ternyata ada lo di sini," jawab Kairo ketika sudah menemukan alasan. Cowok itu kemudian menuju rak obat, dan mencari-cari botol minyak kayu putih.

"Ck! Bisaan banget alasannya." Sofia mencebik.

Selama beberapa detik, tidak ada yang berbicara di antara mereka bertiga. Kairo sibuk mengoles-oleskan minyak ke lehernya yang tidak kenapa-kenapa, dan Berlin sibuk melipat-lipat tisu yang sudah lusuh. Suasana menjadi aneh. Sementara Sofia keheranan melihat dua anak manusia yang sama-sama canggung itu.

"Oh, ya!" seru Kairo dan Berlin bersamaan.

"Lo duluan," kata Kairo.

"Nggak, lo duluan aja," sahut Berlin.

"Lo duluan aja," kata Kairo lagi.

"Lo duluan!" sentak Berlin.

Sofia menepuk jidatnya.

"Oke, gue duluan," ucap Kairo pada akhirnya. "Podcase trending lagi di Twitter. Ada selebtwit horor yang nge-thread tentang podcast lo. Terus banyak yang retweet," jelas Kairo antusias. "Warganet mulai nebak kejadian itu dari sekolah kita. Rencana kita bikin berita ini naik ke permukaan berhasil!" Kairo girang.

"Yeaaay!" Sofia ikut meloncat-loncat senang mendengar kabar baik itu.

Akan tetapi, respons Berlin ternyata di luar dugaan mereka berdua.

"Kenapa, Ber?" tanya Kairo yang menyadari ekspresi wajah Berlin yang berbeda.

"Gue takut," bisik cewek itu lirih.

"Takut apa?" tanya Sofia dan Kairo bersamaan.

Berlin mengeluarkan ponsel dari saku dan menyerahkannya kepada Kairo. Kairo mengernyit bingung. Namun setelah memeriksa ponsel Berlin, barulah cowok itu sadar kalau komentar-komentar buruk belum berhenti menyerang Berlin. Bahkan, kini sudah banyak portal berita online yang menulis artikel tentang Podcase dan Kasus Hantu Sofia.

"Cuekin aja, Ber," ucap Kairo sambil mengembalikan ponsel Berlin.

Berlin menggeleng pelan. "Bukan cuma itu, Kai," tukasnya. "Gue mimpi, gue jatuh dari gedung sekolah ini. Awalnya gue kira itu cuma mimpi biasa, tapi gue mimpiin itu dua kali. Mimpi yang sama persis. Dan yang terakhir, terasa nyata banget."

Berlin menarik napas panjang sebelum melanjutkan perkataannya. "Entahlah gue ngerasa itu kayak pertanda gitu. Dan, semalem gue lihat sosok Sofia datangin gue," jelas Berlin.

Secara refleks Kairo menyipitkan mata kepada Sofia. Hantu cewek itu nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Kairo mendekat kepada Berlin. "Terus apa lagi yang bikin lo takut?" tanyanya cemas.

"Di mimpi itu, rambut gue panjang. Gue kayak ada berada di badan cewek rambut panjang itu. Nggak lama kemudian gue didorong jatuh dari gedung. Coba lo pikir, Kai. Gimana kalau ternyata itu pesan dari Sofia? Gimana kalau cewek yang gue rasakan dalam mimpi gue itu, dia? Gimana kalau itu cara Sofia mati, Kai? Didorong!" Suara Berlin bergetar.

"Iya, itu gue, Kai! Itu ingatan gue yang muncul!" seru Sofia. "Kasih tahu Berlin, nggak perlu takut. Itu gue. Gue masih membutuhkan dia untuk menggali lagi ingatan gue—"

Kata-kata Sofia dipotong Berlin. "Ki-kita cuma anak SMA biasa, Kai. Gue nggak yakin sanggup mengungkap kasus yang bahkan orang dewasa aja nggak bisa tangani. Baru sampai sini aja, gue udah ngerasa nggak sanggup. Gue juga nggak mau identitas gue sebagai Briska terbongkar!" Berlin melompat turun dari ranjang. Dengan gusar dia melangkah keluar dari UKS.

Sofia menggigit bibirnya cemas. Dia tak menyangka akan ada pertengkaran antara Kairo dan Berlin seperti ini.

Kairo bergerak hendak mengejar Berlin. Namun, sebelumnya cowok itu ingin memarahi Sofia terlebih dahulu.

"Kai—" panggil Sofia. Tangan cewek itu terulur ingin menyentuh Kairo.

Kairo menggeleng-geleng kepada Sofia. "Udah dibilangin, gue akan bantuin lo, tapi lo jangan ganggu dia! Gue udah ingetin lo, kan?" ucap Kairo dengan jari telunjuk teracung di depan wajah Sofia.

Kata-kata Kairo menusuk perasaan hantu cewek itu begitu dalam. Sofia menangis tersedu-sedu setelah Kairo meninggalkan UKS untuk menyusul Berlin.

***

Sementara itu ...

"Semua orang membicarakan sekolah kita, Pak," lapor Hendra, Wakil Kepala SMA Lentera Victoria. "Bahkan, tadi ada telepon dari media yang ingin meminta keterangan dari pihak kita, apakah cerita yang beredar itu benar kasus bunuh diri siswi kita tujuh tahun yang lalu?"

Guntur Budiawan, sang Kepala SMA LV, menarik napas panjang dari balik meja kerjanya. Kerutan di dahinya seolah bertambah karena memikirkan cara agar nama baik SMA LV sebagai sekolah menengah terfavorit di Jakarta tidak tercemar.

"Sudah ketemu, siapa penyiar bernama Briska yang menyebarkan kisah itu?" tanya Guntur.

"Belum, Pak. Tidak ada siswi bernama Briska di sekolah ini. Kemungkinan itu nama samaran yang digunakan." Hendra menjawab dengan membungkukkan badannya.

"Bagaimana bisa ada murid yang sok tahu dan berani menyebarkan kasus yang sudah lama ditutup rapat itu," ucap Guntur geram.

"Apakah perlu kita membuat klarifikasi di media, Pak?"

"Kalau kita mengklarifikasi, tandanya kita mengiyakan tuduhan mereka. Mereka akan semakin mengorek-ngorek kasus itu lagi." Guntur memijat-mijat kepalanya yang sudah dipenuhi rambut putih.

"Besok adakan rapat guru. Imbau guru-guru dan anak-anak untuk tidak ikut berkomentar di media sosial apa pun tentang sekolah kita dan kasus itu. Dan, cari siswi yang bernama Briska itu. Perintahkan Pak Bima untuk mencari tahu, beliau dekat dengan banyak murid. Segera!" perintah Guntur kemudian.

"Siap, Pak. Laksanakan!"

*** to be continue ***

Lia Speaking~

Hai, Caser! 

Siapa yang sudah nunggu chapter 7 tayang dari kemarin? Cung! ^^

Gimana chapter ini menurut kalian? 

Siapa di sini yang makin sayang sama Kayo? 

Siapa yang makin ingin melindungi Beber? 

Dan siapa yang kasihan tapi juga sekaligus gemes dan sebel sama Sofia? 

Yang jelas, semoga kalian tetep sayang sama tiga-tiganya ya ^^

Nah, Caser. Aku pamit dulu ya. Kita jumpa lagi hari Rabu depan di Chapter 8. 

Oke, jangan lupa jaga kesehatan ya, Caser. Semoga hari-hari kalian berjalan lancar dan menyenangkan. 

Terima kasih juga buat yang sering ninggalin komentar, seru banget bisa komunikasi langsung sama kalian.

Jangan lupa vote, komen, dan share ke temen-temen kamu kalau kamu suka sama ceritanya ^^

Kasih cinta banyak-banyak buat Kairo, Berlin dan Sofia. Terima kasih.

See yaaa...

Jangan lupa jaga kesehatan.

Sayang kalian semua :*

Love you to the bone,

Lia Nurida

#KawalPodcaseSampaiTokoBuku

IG Penulis: lianurida
Wattapad Penulis: lianurida

Sound of The Day :

https://youtu.be/DCCJCILiX3o

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro