#2 THE HOST
*** Previous chapter ***
Rekaman terus bergulir. Hingga mendekati menit kelima belas, menit ketika dia menemukan ada yang tidak beres dalam rekaman podcast-nya, Berlin mulai gelisah. Cewek itu memutuskan untuk pindah ke tempat tidur, meringkuk sambil menutupi sekujur tubuhnya dengan selimut tebal.
"... tubuh Sofia ditemukan tak bernyawa di belakang gedung sebuah sekolah, dalam keadaan tengkorak kepala pecah dan bersimbah darah. Tidak ada petunjuk apa pun, sehingga polisi dan pihak sekolah menutup kasus ini sebagai kasus bunuh diri ...."
"Tolong ...." Suara itu terdengar lagi. Di menit yang sama, menit ke 15:55.
***
CHAPTER #2 THE HOST
Berlin tidak ingat sudah berapa lama tertidur. Ingatan terakhirnya sebelum ini, dia sedang berada di kamar, meringkuk di dalam selimut karena ketakutan. Kemudian, dia merasakan serangan kantuk yang sangat luar biasa, mungkin karena kelelahan setelah mengerjakan rekaman podcast-nya.
Saat membuka mata, bukannya berada di kamar, dia malah berada di sebuah ruangan terbuka yang sangat luas, dan angin berembus kencang. Rambut panjangnya pun beterbangan tak beraturan hingga mengganggu pandangan matanya.
"Ini di mana?" gumamnya lirih. "Hah, kok rambut gue panjang?" tanyanya panik sambil mengenyahkan helaian rambut panjang yang menutupi wajahnya. Berlin bingung, karena seumur hidup dia belum pernah memiliki rambut sepanjang ini. Ini seperti bukan dirinya!
Setelah melihat ke sekeliling, dia akhirnya tahu bahwa sekarang dia sedang berada di rooftop Gedung auditorium SMA Lentera Victoria. Butuh beberapa menit untuk cewek itu menyadari bahwa dia sekarang sedang bermimpi. Ya, dia yakin ini mimpi. Di kehidupan nyata, tidak mungkin Berlin kurang kerjaan pergi ke rooftop sekolah sendirian mengenakan seragam lengkap dengan dasi dan jas almamater.
Bahkan pada jam pelajaran sekolah pun, ini tidak mungkin terjadi. Selama hampir dua tahun menjadi siswi SMA LV, setahu Berlin, sekolah melarang seluruh siswa-siswinya ke rooftop. Jika ada yang ketahuan, pasti akan dipanggil ke Ruang BP untuk diceramahi habis-habisan.
Jadi jelas, ini mimpi. Kalau begitu gue nggak perlu takut, batin Berlin menguatkan diri.
Berlin menyipitkan mata. Suasana yang tiba-tiba berubah menjadi gelap membuat pandangannya tidak terlalu jelas. Samar-samar dia bisa melihat seseorang sedang berdiri beberapa meter di depannya.
"Siapa?" tanyanya perlahan. Tidak ada jawaban. "Siapaaa?" panggilnya sekali lagi dengan suara lebih lantang.
Berlin mengerjap-ngerjap sekali lagi, berharap pandangannya menjadi jelas. Namun, ternyata sosok itu malah menghilang. Berlin pun memberanikan diri untuk mendekat ke arah di mana bayangan tadi berada. Dan benar, tidak ada siapa pun.
Berlin terkesiap ketika menyadari dirinya sudah berdiri di pinggiran gedung. Meskipun ada tembok pembatas yang aman setinggi perutnya, tetap saja, melihat hamparan tanah kosong di bawah sana dari ketinggian empat lantai membuatnya merinding. Apalagi, angin berembus semakin kencang daripada sebelumnya. Tubuh mungil Berlin pun oleng.
Lama-kelamaan suasana menjadi semakin menakutkan. Berlin pun memutuskan untuk berbalik dan kembali ke tempatnya semula. Siapa tahu dia bisa segera bangun dan keluar dari mimpi aneh ini. Namun, baru saja Berlin hendak memutar badan, seseorang dengan wajah yang tak terlihat, mengulurkan tangan dan menyentuh pundaknya cukup keras. Detik berikutnya yang Berlin rasakan adalah tubuhnya terdorong ke belakang. Kejadiannya begitu cepat hingga dia tidak bisa menguasai tubuhnya sendiri. Hanya dalam hitungan detik, Berlin akhirnya terjatuh dari atas gedung empat lantai tersebut dengan sangat cepat. Dalam kondisi itu, Berlin mencoba berteriak, tetapi suaranya seperti ditelan udara.
Dan ....
"Kak! Woy, bangun! Kak!"
Berlin membuka mata dengan napas tersengal-sengal. Keringat membasahi pelipis dan jantungnya berdegup kencang. Di samping tempat tidur, Diego mengguncang-guncang lengannya dengan barbar.
"Wah, ngelindur lo?!" seru Diego, adik laki-laki Berlin.
Berlin mengerjap-ngerjap. Napasnya masih pendek-pendek. Ketika akhirnya sadar telah kembali ke kenyataan, dia mengusap-usap wajahnya dengan lega.
Syukurlah, cuma mimpi!
Berlin juga meraba-raba rambutnya. Pendek. Oke, dia benar-benar ada di kehidupan nyata sekarang.
"Bangun!" teriak Diego lagi.
"Iya! Ini bangun!" balas Berlin tak kalah lantang. Cewek itu memaksa tubuhnya untuk duduk meskipun masih oleng.
Diego berjalan menjauhi Berlin sambil menggerutu. "Setrikain baju gue, dong. Buruan, udah mau telat." Diego mengulurkan kemeja dan celana seragam SMP-nya ke depan muka Berlin.
"Kenapa nggak nyuruh Mami atau Kak Chelsea aja, sih?!" tolak Berlin.
"Mereka nyuruh gue, buat nyuruh elo. Buruan!" sentak Diego ngelunjak.
Berlin yang kesal refleks mengangkat bantal di samping tubuhnya dan melempar ke arah Diego.
Meleset.
Sebelum dilempar dengan benda-benda lain yang teksturnya lebih keras daripada bantal, Diego segera memelesat keluar dari kamar Berlin sambil tertawa mengejek. Dia meninggalkan pakaian seragamnya yang kusut di lantai kamar Berlin begitu saja.
Berlin mendesah kesal. Di rumah ini ada tiga perempuan. Maminya, kakaknya—Chelsea, seorang mahasiswa tahun pertama, dan dirinya.
Namun, Mami tidak pernah menyuruh Chelsea melakukan pekerjaan rumah.
Gue melulu yang disuruh-suruh!
Tidak adil, tetapi percuma saja memprotes maminya. Yang ada malah dia akan kena marah.
Berlin menggeleng-gelengkan kepala. Sudah cukup mengeluh pagi-pagi. Sekarang saatnya bersiap-siap ke sekolah jika tidak ingin terlambat dan jadi tontonan anak kelas lain saat dihukum lari keliling lapangan.
Berlin pun meraba-raba lagi permukaan kasurnya untuk mencari kacamata dan ponsel. Akhirnya, dia berhasil menemukan kacamatanya di sebelah kiri atas bantal dan ponselnya yang tertindih pahanya sendiri.
Awalnya, Berlin mencari ponsel untuk melihat jam, tetapi fokusnya langsung tertuju pada tab notifikasi Instagram yang masuk.
Puluhan, oh tidak! Ratusan!
Dan, notifikasi yang masuk pun masih terus bertambah. Perasaan Berlin langsung tidak enak. Buru-buru dia buka akun Instagram Briska, @bybriska. Karena ketiduran setelah mengunggah podcast-nya semalam, cewek itu tidak sempat membuat video teaser untuk diunggah di Instagram seperti yang biasanya dia lakukan.
Lalu, mengapa ada banyak komentar dan DM yang masuk?
Apa yang mereka ributkan?
Berlin pun penasaran kenapa notifikasinya bisa jebol seperti ini. Jangan-jangan mereka juga menemukan suara hantu yang semalam terekam di podcast-nya.
Gawat!
Cewek itu langsung merasakan kecemasan memengaruhi dirinya. Dengan ragu-ragu, dia membuka satu per satu notifikasi yang masuk. Dada Berlin berdenyut-denyut dan perutnya bergejolak ketika nekat membaca pesan-pesan yang masuk di DM Instagram-nya.
@kaptenjabrik77: Settingan!
@achamaricha: Dikasih efek suara ginian sengaja biar viral ya, Bris?
@dislikebutton21: Gue bilang juga apa, belakangan Podcase udah nggak mutu lagi. Malah sekarang disetting gini biar serem. Sampah!
@daramuda: Auto unfollow, ah!
Dan, masih banyak lagi komentar-komentar berisi hujatan yang tidak pantas untuk dibaca. Jantung Berlin rasanya seperti dihunjam pedang. Terlebih ketika dia mengenal beberapa username yang memberikan komentar-komentar jahat kepadanya ternyata teman-teman dari sekolahnya.
Tidak hanya di media sosial, grup WhatsApp kelasnya XI IPS 1 juga ramai membahas hal itu. Sebagian membela Briska, sebagian lagi turut menghujat mati-matian. Meskipun komentar-komentar kasar itu dilayangkan untuk Briska, dan tidak ada satu pun manusia di dunia yang tahu bahwa Berlin adalah Briska, tetap saja cewek itu merasa tertekan setelah membaca komentar-komentar jahat untuknya.
Karena tak sanggup lagi, Berlin melempar ponselnya ke kasur, kemudian menangis sesenggukan.
Tidak ada yang bisa disalahkan dalam kejadian ini selain dirinya sendiri. Itu hak orang-orang jika menganggap rekaman Berlin setting-an. Kalau keadaan sudah reda, Berlin hanya perlu mengunggah postingan klarifikasi.
Berlin menyadari itu setelah merenung beberapa lama di kamar mandi sebelum akhirnya memutuskan untuk tetap berangkat sekolah. Tidak ada yang perlu ditakutkan, tidak ada satu pun yang tahu dia adalah Briska. Berlin mencoba meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.
***
Sampai di sekolah, Berlin bersikap seperti biasa. Berjalan menunduk melewati beberapa kerumunan siswa yang tidak peduli dengan keberadaannya. Sebagai siswa yang tidak populer di sekolah, ternyata status sosialnya ini memberi keuntungan bagi Berlin saat menghadapi masalah seperti ini. Karena pada hari-hari biasa pun, tidak ada seorang pun dari mereka di sekolah yang peduli dengan dirinya. Bahkan Mutia, teman sebangkunya yang baik dan ramah kepadanya, hanya berinteraksi dengannya selama di dalam kelas. Jika bel istirahat berbunyi, Mutia akan kembali bersama dengan gengnya sendiri.
Apakah ada yang salah dengan dirinya? Berlin tidak tahu. Apakah dia pernah berbuat salah? Apakah karena dia anak cupu yang tak pandai bergaya yang berani-beraninya sekolah di SMA favorit seperti SMA LV ini? Atau, jangan-jangan dia bau?
Cewek itu tak mau memikirkan itu lagi. Dia sekarang sudah memasang tembok tak terlihat di sekelilingnya, dan tidak membiarkan siapa pun yang tak peduli dengannya bisa menyakitinya. Apalagi sejak ada Podcase dan Caser, julukan untuk para pendengar setianya, dia tak lagi merasa kesepian. Meskipun dia harus berlindung dengan nama lain di sana.
Berlin berjalan melewati lorong koridor sambil terus menunduk, memandang lantai koridor berwarna abu-abu gelap. Langkah kakinya diseret sangat pelan agar tidak cepat-cepat sampai di kelas. Dia tidak siap bertemu dengan orang-orang yang menghujatnya di grup WhatsApp kelas. Dada Berlin masih merasa sakit jika mengingat hujatan-hujatan yang diterimanya di media sosial pagi ini.
Jangan terpengaruh, Berlin. Hadapi seperti biasa.
Berlin mengulang-ulang mantra itu dalam hati untuk menguatkan diri.
Untuk mencapai kelasnya, Berlin lebih suka memutar jalan, melewati UKS yang sepi agar tidak terlalu banyak bertemu dengan siswa lain. Saat sampai di belokan menuju UKS, Berlin melihat seorang teman sekelasnya berdiri di depan Ruang UKS sendirian.
"Eh, Kairo," gumam Berlin.
Dia dan Kairo sering dijadikan bahan ledekan di kelas karena sama-sama memiliki nama tidak biasa, yaitu nama kota di luar negeri. Meskipun belum pernah berbicara langsung dengan Kairo, karena cowok itu pasif dan sangat pendiam di kelas, gara-gara ledekan itu, kadang-kadang Berlin jadi suka memperhatikan Kairo diam-diam.
"Jangan ganggu gue lagi, bisa?" ucap Kairo tiba-tiba dari depan Ruang UKS.
Suara Kairo membuat langkah Berlin terhenti. Cewek itu mundur dan bersembunyi di balik tembok.
Ngomong sama siapa dia?
Kening Berlin berkerut. Di depan Kairo, tidak ada siapa-siapa, tetapi raut wajah cowok itu terlihat seperti sedang berbicara kepada seseorang. Sebagai seorang host yang sering kepo akan banyak hal, secara refleks Berlin mengambil ponsel dari saku rok seragamnya. Dia merekam Kairo yang masih berbicara dengan ruang kosong.
Setelah Kairo pergi dari depan Ruang UKS, Berlin muncul dari balik tembok persembunyiannya. Sepertinya cewek itu tahu, apa yang harus dilakukannya setelah ini.
*** to be continue ***
Lia Speaking~
Annyeong...
Hai, Caser kesayanganku ^^
Ketemu lagi kita di hari Rabu ini dengan Chapter 2 Podcase ^^
Waduh, Kairo ketahuan ngomong sendiri sama Berlin! Kira-kira selanjutnya Berlin bakal ngapain ya?
Caser, ada yang anak tengah kayak Berlin nggak di sini?
Kalau aku, aku anak sulung dengan adek cowok. Jadi sedikit-sedikit aku paham lah apa yang sama apa yang dirasain Berlin, punya adek cowok kelakuannya bikin emosik dunia akherat huhu!
Kalau kalian dengan adek atau kakak kalian, ada yang seru kah hubungannya? Atau sama juga suka berantem terus? Hehe.
Tapi yang namanya saudara biasanya sih walaupun berantem, tetep aja kalau nggak ada suka saling nyariin. Bener nggak?
Oh, ya. Kalau kamu baca melalui laptop, ada tanda bintang di kanan atas. Kalau kamu baca lewat ponsel, ada tanda bintang di bagian bawah. Kalau kamu suka dengan chapter 2 ini dan nggak sabar ingin segera baca lanjutan Podcase, klik tanda bintangnya ya. Terima kasih ^^
Aku mau ngucapin banyak makasih buat pembaca-pembaca Podcase baru yang mampir baca dan ngasih vote buat cerita ini. Juga pembaca lama yang mampir lagi buat baca ulang. Neomu neomu gomawooo~ Saranghaeeeyoo~
Nah, segini dulu ya, Caser, untuk hari ini.
Jangan lupa kita akan ketemu lagi besok Jumat di Chapter 3.
Semoga ceritanya makin lama makin seru, ya.
Kasih cinta banyak-banyak buat Kairo, Berlin dan Sofia. Terima kasih.
See yaaa...
Jangan lupa jaga kesehatan.
Sayang kalian semua :*
Love you to the bone,
Lia Nurida
IG Penulis: lianurida
Wattapad Penulis: lianurida
Ngomong-ngomong soal rooftop, aku jadi keinget lagu ini. Aku rekomendasiin lagu ini untuk kalian, ya! Selamat mendengarkan ^^
https://youtu.be/80WvAnsHOdM
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro