Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

#10 THE GARDENER

*** Previous chapter ***

Cewek itu terbangun dua jam kemudian karena suara dering ponsel di dekat telinganya. Dengan mata yang masih setengah terbuka cewek itu mengangkat panggilan itu.

"Ya," jawabnya lirih.

Mata Berlin langsung terbuka lebar begitu mendengar suara Kairo yang parau dari seberang.

"Ber, gue tabrakan."

***

CHAPTER #10 THE GARDENER

"Lo menghindari kucing?" tanya Berlin sambil memeras handuk kecil di dalam baskom berisi air es. Cewek itu kemudian menyerahkan handuk kecil itu ke Kairo. Cowok itu langsung mengompres pelipisnya yang masih berdenyut-denyut.

Untungnya, tabrakan yang dialami Kairo tidak parah. Cowok itu hanya merasakan nyeri di bagian kepala dan dadanya karena membentur setir mobil. Hanya saja kondisi mobilnya yang penyok cukup dalam di bagian samping depan, membuat Kairo tidak bisa langsung pulang sendiri.

Begitu menerima telepon dari Kairo, Berlin segera menjemput cowok itu di lokasi tabrakan bersama papinya. Papi Berlin mengajak Kairo ke rumahnya sembari menunggu Egypt datang menjemput.

"Iya, menghindar dari kucing," jawab Kairo seadanya.

Padahal bukan kucing. Kairo malas menceritakan yang sebenarnya kepada Berlin, karena cowok itu merasa kejadian yang baru saja dia alami sangat aneh.

Tadi, setelah menerima pesan dari Berlin, Kairo terlalu senang karena cewek itu sudah mau bicara dengannya. Sehingga tanpa pikir panjang, dia bergegas menyetir mobil menuju rumah cewek itu karena ingin bertemu langsung.

Sepanjang perjalanan, Kairo merasa ada motor yang terus membuntutinya. Pengendara motor itu seperti ingin menghentikan mobil Kairo ke pinggir jalan. Motor itu selalu berada di samping mobil Kairo saat mereka berhenti di lampu merah. Gara-gara itu Kairo mengendara dengan kecepatan tinggi dan berbelok-belok di beberapa persimpangan jalan agar tak bisa dikejar. Ia berhasil, tetapi ....

Saat tiba-tiba ada sosok bayangan hitam besar melesat di tengah jalan dan membuatnya kaget, Kairo terpaksa mengerem mendadak dan membanting setir, hingga akhirnya dia menabrak pohon di pinggir jalan, tak jauh dari kawasan perumahan Berlin.

Walaupun tabrakan tadi membuat kepala Kairo sakit, cowok itu masih bisa mengingat dengan jelas apa yang dilihatnya ketika si pengendara motor itu sempat berhenti di samping mobilnya saat lampu merah. Di bagian belakang helm fullface milik pengendara motor yang membuntutinya, terdapat stiker lambang LV.

"Lain kali hati-hati, Kai. Lagian ngapain lo malam-malam ada di sekitar sini, mau ke mana?" tanya Berlin.

Kairo diam sejenak. "Ehm, kebetulan lagi lewat sini," jawab Kairo. Cowok itu malu mengaku bahwa dirinya memang berniat untuk datang ke rumah Berlin.

"Oh, iya. Mumpung ketemu sama lo. Gue mau kasih tahu soal Sofia," lanjut Kairo.

"Sofia kenapa?" Berlin mengernyitkan dahi.

Kairo melihat ke sekeliling ruang tamu Berlin sebelum lanjut berbicara.

"Aman, kok," sahut Berlin. Cewek itu tahu, Kairo pasti khawatir orang tua Berlin menguping.

Kairo menggeser posisi duduknya agak ke depan agar lebih dekat dengan Berlin. Lutut mereka bersentuhan sedikit ketika Kairo bergerak. Jantung Berlin langsung berdegup kencang gara-gara sentuhan yang tidak disengaja itu. Berlin menggeser duduknya sedikit agar berjarak dengan Kairo. Cewek itu gugup duduk dengan jarak sedekat ini dengan Kairo.

"Oke. Lo pasti udah tahu, kan, gue tadi pagi kena hukum gara-gara lancang memakai komputer TU?" tanya Kairo dengan suara pelan.

Berlin mengangguk. Cewek itu berusaha mengembalikan fokusnya pada topik pembicaraan Kairo, dan mengabaikan tatapan mata Kairo yang intens kepadanya.

"Gue cari data Sofia. Dan, lo tahu apa yang gue dapat?" tanya Kairo. Sebelah alis mata cowok itu terangkat.

Berlin menggeleng.

"Nama Sofia nggak ada di data siswa di sekolah kita," pungkas Kairo. Cowok itu kemudian menghela napas panjang dan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa.

Berlin terkejut dengan penjelasan Kairo. "Hah? Lo yakin?"

Kairo mengangguk-angguk.

"Lo nggak salah ketik?" tanya Berlin lagi.

Kairo menggeleng pelan. "Hmm, gue memang buru-buru, sih, karena takut ketangkap basah sama Mbak Luluk. Tapi, gue yakin udah mengetik nama Sofia dengan benar. Dan, datanya nggak ada. Kosong," jelas Kairo.

Berlin mendesah. Cewek itu mengernyitkan dahi. "Apa sengaja dihapus?"

Kairo mengangkat bahu. "Mungkin."

Berlin memperhatikan Kairo yang sedang memijat-mijat kepalanya. Cewek itu merasa kasihan kepada cowok yang telah mengalami banyak hal berbahaya sejak mengurusi kasus Sofia itu.

"Waktu diperiksa di Ruang BP, lo pakai alasan apa pas ketahuan utak-atik komputer TU?" tanya Berlin dengan nada cemas.

"Gue bilang pengin cari data alamat cewek yang gue suka. Ya, mereka kayaknya nggak percaya. Makanya gue dihukum," jawab Kairo enteng.

Raut muka Berlin berubah kaku. "Emangnya, lo lagi suka sama siapa?" tanya Berlin spontan. Pertanyaan yang langsung disesalinya karena sadar bahwa itu tidak penting sama sekali.

"Kan, gue cuma ngarang alasan, Ber," jawab Kairo.

Entah kenapa Berlin merasa lega. "Alasan lo nggak masuk akal."

"Kan, kepepet."

Berlin menghela napas panjang.

Kairo bertanya lagi. "Kira-kira di mana kita bisa cari tahu lebih banyak lagi soal Sofia, ya, Ber?" Cowok itu lalu menepuk jidat. Dia lupa kalau Berlin sudah tidak mau lagi dilibatkan dalam kasus Sofia.

"Sorry, gue nggak akan maksa lo kok, kalau emang lo udah nggak mau lagi mengurusi masalah Sofia," ujar Kairo.

Berlin menatap Kairo selama beberapa saat tanpa memberi jawaban. Di satu sisi, dia merasa harus bertanggung jawab karena dia yang memulai permasalahan ini muncul ke permukaan. Di sisi lain, dia tidak berani membayangkan risiko yang akan diterimanya jika masih nekat mengulik kasus ini lebih jauh lagi.

Kairo bisa menangkap keraguan dari tatapan mata Berlin. "Kalau lo nggak mau—"

"Gue mau," potong Berlin.

"Serius, Ber?" Mata Kairo membelalak tak percaya.

Berlin mengangguk pelan. "Gue," ucap Berlin. Dia berhenti melanjutkan kata-katanya beberapa detik karena sedikit ragu. Namun, pada akhirnya cewek itu berkata, "Gue akan bantu lo beresin masalah ini sampai selesai."

Kairo mengangkat tangan mengajak Berlin tos. "High five!" seru Kairo.

Berlin pun menyambut ajakan Kairo.

"Gue tadi sempat mikirin beberapa rencana. Tunggu di sini sebentar, Kai," tukas Berlin. Cewek itu kemudian masuk untuk mengambil sesuatu dari kamarnya.

Tidak lama kemudian, Berlin kembali dengan jurnal dan selembar post it yang tadi baru ditulisnya. Cewek itu menyerahkan semuanya kepada Kairo.

Kairo meletakkan handuk kompresnya ke meja dan menerima pemberian Berlin. Cowok itu memeriksa tulisan-tulisan di jurnal Berlin satu per satu.

"Lo mau wawancara ulang? Siapa aja?" tanya Kairo.

"Iya, wawancara ulang. Sebelumnya, untuk bahan podcast gue, gue sempat nanya-nanya ke beberapa orang tentang Sofia. Ya, bisa dibilang wawancara terselubung, sih. Sambil jajan gue nanya ke Ibu Kantin. Sambil piket bersihin taman depan kelas, gue nanya ke Pak Amang, tukang kebun."

Kairo manggut-manggut paham.

Berlin menatap Kairo lekat-lekat sambil tersenyum penuh arti. Ditatap seperti itu, perut Kairo jadi bergejolak.

"Lo mau kan, Kai, gantiin gue wawancara mereka lagi?" tanya Berlin.

"Lah, kok gue?" elak Kairo.

"Kalau gue yang wawancara, gue takut ada yang curiga kalau gue ada hubungannya sama Briska dan Podcase."

Sejak awal, Kairo sangat penasaran, mengapa Berlin tidak mau semua orang tahu bahwa dirinya sosok di balik Briska. Bukan hanya itu, Kairo juga penasaran, mengapa Berlin tidak menjadi dirinya sendiri saja ketika memutuskan untuk membuat podcast.

"Emang lo segitu nggak maunya orang tahu kalau lo Briska?"

Berlin menggeleng. "Nggak mau," jawabnya kemudian. Karena melihat Kairo masih berusaha menunggu jawabannya, Berlin pun berkata, "Sorry, tapi gue nggak bisa kasih tahu alasannya," lanjut Berlin. "Tidak untuk sekarang," tambahnya.

Kairo manggut-manggut. "Oke. Gue ngerti," ujarnya. Kairo akhirnya menekan rasa penasarannya. Dia tidak ingin memaksa jika cewek itu tidak mau membicarakan hal ini.

"Ya udah, gue mau," kata Kairo akhirnya.

Berlin mengepalkan tangannya. "Yes!" serunya pelan.

"Gue harus wawancara siapa dulu?" tanya cowok itu.

"Pak Amang," sebut Berlin sambil menunjuk poin pertama daftar di post it. "Waktu itu, ketika gue tanya-tanya soal Sofia, Pak Amang kayak ogah-ogahan jawabnya. Gue rasa beliau tahu sesuatu, tapi nggak mau memberi tahu apa-apa. Kalau lo bisa ajak ngobrol Pak Amang lagi, mungkin kita bisa dapat sesuatu," lanjutnya.

Kairo mengerling kepada Berlin sambil mengangkat jempolnya. "Oke, besok gue ke rumah Pak Amang."

***

Keesokan harinya sepulang sekolah, seperti yang sudah Kairo janjikan kepada Berlin, cowok itu mendatangi rumah Pak Amang untuk mencari informasi lebih banyak tentang Sofia. Rumah Pak Amang berada di belakang kawasan gedung SMA LV. Pria paruh baya itu menempati salah satu rumah dinas sederhana yang disediakan yayasan.

Kairo pernah mendengar bahwa Pak Amang sudah bekerja di SMA LV sejak tahun pertama sekolah ini berdiri. Bahkan, Pak Amang dulunya ikut bekerja sebagai tukang yang membangun gedung-gedung sekolah ini.

Saat memasuki pekarangan rumah Pak Amang, Kairo disambut seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di teras rumah. Kairo menebak, itu pasti istri Pak Amang.

"Pak Amangnya ada, Bu?" sapa Kairo dengan senyum sopan.

"Ada, langsung ke dalam saja. Bapak baru pulang," jawab wanita itu dengan suara lembut.

Pintu rumah yang terbuka membuat Pak Amang menyadari kedatangan Kairo sebelum cowok itu sempat memanggilnya.

"Maaf, Pak Amang. Saya datang tiba-tiba."

"Eh, nggak apa-apa, Nak. Silakan masuk, silakan masuk," sambut Pak Amang ramah. Pria berusia pertengahan lima puluhan itu mempersilakan Kairo masuk ke ruang tamunya.

Pak Amang hendak membuatkan Kairo minum, tetapi cowok itu melarangnya. "Saya sebentar saja, kok, Pak. Nggak perlu repot-repot."

"Ada apa ini, Nak. Tumben sekali ada murid yang datang ke rumah Bapak," tanya Pak Amang saat mereka berdua sudah duduk di kursi ruang tamu.

"Ada yang mau saya tanyakan, tentang Sofia. Sofia Tanacawaya nama lengkapnya, Pak," tanya Kairo tanpa basa-basi panjang.

Sebelum Pak Amang menjawab, Kairo merasakan ada hawa dingin yang mendekati tubuhnya. Cowok itu melirik. Sosok Sofia datang karena namanya disebut-sebut. Hantu cewek itu berdiri di samping Kairo dengan senyumnya yang lebar.

Wajah Pak Amang yang tadinya cerah berubah. Pundak pria tua itu melorot. "Iya, Nak. Saya kenal sama almarhum Neng Sofia itu," jawab Pak Amang. Pria tua itu tersenyum sedih.

"Sofia anak yang seperti apa dulunya, Pak?"

"Neng Sofia itu anak baik. Baik banget. Ramah sama saya, ramah sama orang-orang yang kerja di sekolah ini. Suka bantu saya nyiram tanaman juga." Pria tua itu tertawa kecil mengenang momen bersama Sofia.

Kairo melihat tangan keriput Pak Amang gemetaran ketika mengusap setitik air yang muncul di ujung matanya. Cowok itu menghela napas panjang. Dia tidak menduga sama sekali bahwa sebuah wawancara bisa seberat ini rasanya.

"Bapak tahu nggak, selama ini dia tinggal di mana?" lanjut Kairo lagi.

"Di asrama yayasan sekolah ini. Dia yatim piatu, Nak. Tidak punya siapa-siapa."

Kairo melirik Sofia, mata hantu cewek itu berkaca-kaca. Cowok itu jadi terenyuh. "Kalau boleh saya tahu tentang kematian Sofia, apa memang benar, dia bunuh diri?" Kairo bertanya dengan sangat hati-hati.

Wajah sendu Pak Amang berubah kaku. Pria tua itu mengalihkan tatapan matanya dari Kairo. Bibirnya terkatup rapat.

"Pak?" panggil Kairo.

"Saya nggak tahu apa-apa, Nak," jawabnya cepat.

Kairo semakin yakin, ada sesuatu yang disembunyikan tentang kematian Sofia.

"Kai," panggil Sofia. Hantu cewek itu menitikkan air mata. Kairo tidak tega melihatnya.

"Pak, kalau ada sesuatu yang Bapak tahu, Bapak bisa ceritakan ke saya." Kairo masih berusaha mengorek Pak Amang.

"Memangnya ada apa ya, Nak, kok nanya-nanya soal Neng Sofia?" Nada bicara Pak Amang naik. Pria tua itu terlihat curiga kepada Kairo.

"Beberapa waktu lalu, ada juga murid yang nanya ke saya tentang Sofia. Tapi maaf, saya betul-betul tidak tahu apa-apa selain berita yang beredar," tukas Pak Amang.

Kairo yakin yang dimaksud Pak Amang pasti Berlin.

Gestur ramah Pak Amang saat menyambut kedatangan Kairo tadi menghilang. "Sudah sore, Nak. Waktunya saya bersih-bersih taman," lanjut pria tua itu sambil bangkit dari kursinya.

Kairo sadar, Pak Amang mengusirnya secara halus. Cowok itu mendesah pasrah. Sebelum beranjak, cowok itu melihat ke sekeliling rumah kecil Pak Amang. Pandangan Kairo berhenti di salah satu dinding.

Di dinding itu, sebuah pigura foto terpasang. Foto Pak Amang dan istrinya saat menikah. Usia foto itu mungkin sudah puluhan tahun yang lalu. Pak Amang terlihat gagah sekali semasa mudanya. Setelah itu Kairo mengalihkan pandangannya ke luar rumah Pak Amang. Istri Pak Amang masih duduk tenang di teras.

"Istri Bapak cantik, ya," kata Kairo sambil tersenyum.

Pak Amang terkesiap. Pria itu menghela napas panjang. "Istri saya sudah meninggal lima tahun yang lalu," jawab Pak Amang dengan suara bergetar.

Kairo mengangguk-angguk. "Iya, saya tahu, Pak. Jangan khawatir, berkat doa Bapak selama ini untuk Ibu, beliau di sana baik-baik saja kok."

Pak Amang tertegun mendengar kata-kata Kairo.

Kairo melirik ke samping. Istri Pak Amang kini tengah berdiri di sebelah Sofia, dekat dengan dirinya dan Pak Amang. Sosok wanita itu mengucapkan sesuatu tanpa suara. Meski begitu, Kairo bisa menangkap maksud wanita itu.

"Pak, Ibu berpesan, Bapak jangan telat makan dan minum obat. Ibu juga bilang, beliau sudah memaafkan Bapak. Kata Ibu, yang terjadi bukan salah Bapak sepenuhnya. Ibu ingin Bapak mengikhlaskan semua."

Air muka Pak Amang berubah pias. Pria itu menatap Kairo tak percaya. Sampai Kairo menyalaminya untuk pamit pulang, pria itu masih tak mampu berkata-kata. Ketika Kairo hendak keluar dari rumahnya, barulah pria tua itu bereaksi.

"Nak!"

Kairo membalik badan.

"Saya minta maaf, nggak bisa kasih tahu apa-apa soal Neng Sofia. Saya—" Pak Amang tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Pria itu terlihat seperti ingin menangis, tetapi susah payah ditahannya.

Kairo melihat, arwah istri Pak Amang yang berdiri di samping pria itu pun ikut sedih. Cowok itu tersenyum lembut. "Nggak apa apa, Pak. Saya ngerti," sahut Kairo, tak ingin memaksakan kehendaknya. Sofia di sebelah Kairo pun mengangguk-angguk setuju.

"Di depan sekolah, ada penjual bakmi ayam. Itu makanan kesukaan Neng Sofia. Dia sering sekali makan di situ. Mungkin, penjual bakmi itu bisa memberi tahu kamu sesuatu," ucap Pak Amang kemudian.

Kairo tersenyum lebar. Sofia pun berbinar-binar senang. Mereka tidak menyangka akan mendapatkan petunjuk dari Pak Amang meski hanya sedikit.

"Terima kasih, Pak!" seru Kairo sambil melambaikan tangan.

Cowok itu tak sabar untuk memberi tahu petunjuk selanjutnya kepada Berlin. 

*** to be continue ***

Lia Speaking~

Hai, Caser ^^

Apa kabar hari ini?

Gimana kesan kalian di chapter ini? 

Udah mulai ngumpulin petunjuk-petunjuk tentang Sofia belum?

Menurut kamu, kira-kira apakah benar ada motor yang sengaja ngikutin Kairo?

Btw, Berlin sama Kairo kok kayaknya makin deket ya, ehem. 

Oh, ya Caser. Special Order Podcase akan segera dibuka, lho. Jangan lupa catat tanggalnya, ya. Jadi setelah ini kamu bisa langsung peluk bukunya dan baca sampai tuntas ceritanya ^^

Kira-kira kamu akan ikutan Special Order tidak? 

Untuk informasi lebih lengkapnya, bisa follow IG aku @lianurida atau IG Podcase: PodcaseTheNovel 

Nah, sekian dulu ya, Caser, sampai jumpa hari Jumat! 

Jangan lupa pencet bintang buat vote PODCASE lewat ponsel atau laptop kamu. Kasih cinta banyak-banyak buat Kairo, Berlin dan Sofia. 

Yuk, kita kawal trio Podcase kita buat memecahkan misteri kematian Sofia ^^ 

Jangan lupa jaga kesehatan dan semoga harimu selalu dilancarkan.

See yaaa...

Sayang kalian semua :*

Love you to the bone,

Lia Nurida

#KawalPodcaseSampaiTokoBuku

IG Penulis: lianurida
Wattapad Penulis: lianurida

Sound of The Day :

https://youtu.be/VZSSHWamGk0

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro