Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1


"Laras?"

"Mega?"

Keduanya tak sadar saling berpelukan hingga orang-orang yang ada di sekitar mereka kaget karena tahu Laras sudah menikah tapi dengan enteng memeluk laki-laki yang baru satu hari hadir di kantor baru itu. Saat sadar barulah Laras melepas pelukan Mega dan dengan wajah malu ia berusaha menjelaskan pada teman-temannya.

"Dia ini teman masa kecil aku, terbiasa bermain bersama, kami kayak kakak adik hingga akhirnya saat SMA kami berpisah, papanya pindah tugas dan setelah hampir 11 tahun baru kali ini kami dipertemukan kembali, makanya reflek aku kayak tadi, maaf semuanya ...."

"Kaget aja Laras, kamu loh biasanya dieeem banget eh kok tiba-tiba aja meluk laki orang." Gaby teman Laras berusaha menjelaskan kekagetannya dan yang lain kembali ke kubikel masing-masing, namun tiba-tiba suara bariton Mega terdengar.

"Saya belum menikah."

Dan para wanita menoleh pada Mega.

"Waaaah masa sih, ganteng kok nggak laku."

Mega tersenyum sambil melangkah menuju kubikel yang ditunjukkan oleh rekan kerjanya.

"Males aja, belum mikir ke sana." Lagi-lagi Mega hanya tersenyum.

"Waaah bisa jadi calon mantu nih." Staf yang lain nyeletuk.

Mega tersenyum lebar menanggapi gurauan teman-teman barunya.

.
.
.

"Mas Hendra mau makan malam?"

"Nggak, sudah tadi di kantor."

Suami Laras yang baru saja selesai mandi hanya menoleh, merebahkan badannya ke kasur, Hendra baru datang dari kantor saat hari telah larut dan langsung ke kamar mandi.

"Mas, kita ini berlebih dalam urusan harta tapi kita kayak gak ada usaha buat periksa gimana caranya agar kita punya anak, sudah lima tahun loh Mas kita kayak gini aja, gak ada perkembangan."

"Tidurlah Laras, sudah malam, kita akan semakin lelah kalo ngomong masalah anak, aku loh bersyukur ada kamu di sisiku, lagian aku sudah nggak punya mama papa, nggak akan ada yang tanya kamu kenapa nggak hamil."

"Tapi semua orang seolah menyalahkan aku."

"Semua orang? Dan orang-orang itu nggak ada hubungannya sama kita, biar aja, aku nggak papa, lagian nggak ngafek juga ke kita kan?"

"Aku yang apa-apa Mas."

Hendra berusaha sabar, ia menarik tangan Laras untuk rebah lalu menarik bahu Laras agar wajah mereka berhadapan.

"Sejak awal aku menikahi kamu, bukan cuma untuk jadi mesin anak, kita hidup berdua sudah cukup, mama yang memilihmu untukku dan aku mau, kau pun mau saat kita dikenalkan oleh orang tua kita, lalu apa masalahnya?"

"Aku pingin kita punya anak."

"Anak itu titipan Tuhan, jika sampai saat ini kita belum punya anak artinya Allah belum mau menitipkannya pada kita."

"Tapi kita tak ada usaha untuk periksa atau apa."

"Kita sehat, kualitas hubungan kita baik, setidaknya seminggu sekali atau bahkan lebih kita berhubungan suami istri, lalu apa lagi?"

"Tapi ..."

"Sudahlah, kita tidur, besok aku ke Singapura."

"Lagi?"

"Yah perusahaan yang di sana butuh pimpinan baru jadi aku perlu tahu siapa saja calonnya, mau ikut?"

"Nggak ah, aku banyak kerjaan, mana akan ada tugas reportase lagi."

"Sama siapa?"

"Nggak tahu, tapi aku akan berusaha minta kameramen cewek, biar ada teman satu kamar, aku takut kalo sendirian."

Hendra tersenyum, ia usap pipi istrinya.

"Berhentilah bekerja, aku punya perusahaan, di sini, di luar negeri juga kok kayak tega biarin istri cari uang sendiri."

"Passionku di sini, uang bukan tujuan aku, tapi kelegaan dan kepuasan saat aku menyelesaikan sebuah berita itu yang nggak akan bisa aku tukar dengan apapun."

"Aku ingin kamu di rumah, Laras, menemani aku ke manapun aku bertugas, itu keiginanku sejak dulu."

"Aku bekerja sejak sebelum ketemu kamu."

"Iya aku tahu, tapi wajarkan keinginan seorang suami."

"Yah akan aku pikirkan."

Hendra memeluk Laras, menciumi pipi istrinya lalu memagut bibir mungil itu dengan lembut.

"Mas pingin?"

"Nggak, aku khawatir kamu lelah."

"He em, kita tidur saja."

.
.
.

"Mbak Deta, masa aku harus sama Mega meliput berita ini? Mana investigasi lagi dan ini nggak mudah, di luar kota, nggak akan selesai dalam sehari."

Deta mengangguk, sebagai ketua divisi ia sudah melihat track record Mega yang merupakan kameraman sebuah stasiun tv di ibu kota, ia yakin akan bisa membantu tugas Laras dengan baik.

"Dia cukup berpengalaman juga aku tahu dia gimana, bukan cuma baca perjalanan karir dia."

"Iya tapi aku jadi sendirian nanti di hotel dan aku takut."

"Halah sudah tua juga, ya minta temani sama Mega."

"Gila apa!? Sekamar sama laki-laki yang bukan suami, bisa-bisa main ehem deh aku."

Keduanya tertawa geli.

.
.
.

"Gimana kabar kamu?"

Mega tiba-tiba saja membuka percakapan, setelah dua hari Mega terlihat cuek dan menjauh mau tak mau kini ia harus melaksanakan tugas berdua ke luar kota.

"Baik, maaf kapan hari itu aku reflek meluk kamu."

"Nggak papa, aku juga gitu, reflek aja, ketemu sama orang yang wajahnya selalu ada di masa lalu dan tiba-tiba saja muncul di depanku."

Mereka diam sambil melihat ke depan sementara Mega mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang.

"Maafkan aku."

Tiba-tiba Mega mengucapkan kata yang tak disangka-sangka, ingatannya kembali ke masa 11 tahun lalu saat Mega harus ikut pindah ke kota lain dan terpaksa harus memutuskan hubungan mereka dulu, cinta monyet saat SMA, tapi sakitnya sempat terasa berbulan-bulan.

"Ah itu, nggak papa, itu masa remaja, lupakan saja."

"Tapi kamu nangis kan waktu aku putusin?"

"Yah namanya lagi suka, tapi itu sudah berlalu, 11 tahun lalu."

"Ya dan aku tetap tak bisa lupa sama kamu."

Dan Laras terperangah.

.
.
.

"Ngapain kita ke sini?"

Laras tak mengerti, mengapa Mega membawanya ke rumah masa kecil mereka yang telah berubah menjadi bangunan megah. Orang tua Mega yang pindah ke kota lain menjual rumah itu pada orang lain, kini telah menjadi bangunan semacam ruko, sedang rumah orang tua Laras menjadi rumah yang lebih bagus lagi.

"Aku hanya ingin mencari danau kecil, tempat kita duduk-duduk berdua dulu, menuliskan semua kegundahan kita dan melempar kerikil ke tengah danau, siapa yang melempar lebih jauh maka akan mendapatkan puisi, apa saja hasil tulisan dari yang kalah, dan bunyi plung! Itu yang tak akan aku lupa seolah semua harapan, kenyataan dan impian kita tergantung pada bunyi itu, dan menghipnotis aku untuk terus memburumu, aku tahu semua perkembangamu, tapi aku tak berusaha dekat denganmu karena aku tahu sejak awal orang tuamu tak mau kamu dekat denganku."

Laras tak menanggapi ucapan Meja, ia terus berjalan ke belakang ruko dan ternyata danau kecil yang mereka harapkan masih ada, telah berubah menjadi bangunan. Dan Mega pun terhenyak, kecewa pastinya.

"Dan kenangan kita terkubur di sana, lemparan terakhirku yang melebihi pohon penanda membuat aku yakin kita akan bertemu lagi dan kau akan jadi milikku."

"Aku sudah menikah, kau tahu itu kan?"

"Ya aku tahu, kau tak bahagia, aku juga tahu."

"Aku bahagia, kau salah kali ini."

"Oh ya? Tetap tak punya anak sampai saat ini dan suami kaya yang hampir tak pernah di rumah, apakah itu ukuran bahagia?"

"Kamu nggak tahu apa-apa tentang rumah tanggaku."

"Aku tahu semua tentang kamu, bahkan apa yang kamu rasa pada suami kamu, dan akan aku berikan apa yang tidak dia berikan padamu, anak yang kamu inginkan bukan?"

Mega tiba-tiba saja memeluk Laras, menciumnya dengan rakus hingga Laras kaget dan pelan-pelan mendorong tubuh besar Mega, ia merasa, ia tak akan baik-baik saja jika berada dalam pelukan tubuh besar itu, ada dorongan kuat untuk meminta lebih, itu yang ia takutkan. Mega menatap Laras dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kamu betul-betul ingin anak kan?"

💗💗💗

24 Juni 2022 (12.27)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro