Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 8 - Menghindar Lagi

Bekerja bersama dengan orang yang paling ingin dihindari sangat tidak nyaman. Bukan karena Ibra mengganggu saat aku bekerja. Tapi pria itu yang seperti mengawasiku selama aku melakukan tugasku sebagai seorang pramusaji. Ibra bukan atasan yang galak dan gila disiplin. Bahkan ia adalah atasan yang sangat kooperatif dan perhatian. Ia berusaha membuat setiap pegawainya merasa nyaman dan tenang saat bekerja dengan mereka. Berdiskusi apa yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kualitas pelayanan ataupun makanan di Sushi Me. Bertanya apakah kebutuhan apa yang diinginkan pegawai untuk meningkatkan kinerja mereka. Sungguh Ibra adalaha cerminan atasan yang diinginkan setiap pegawai di dunia ini.

Tapi itu bagi yang lain. Tidak bagiku. Setiap kali Ibra muncul di hadapanku, sebisa mungkin aku akan menghindari pria itu. Menyibukkan diri dengan pelanggan. Bahkan saat aku tak memiliki tugas mengantar pesanan, maka aku akan membantu tugas pekerja lain. Entah itu mencuci peralatan, mencuci sayuran, memeriksa bahan makanan di gudang penyimpanan. Apa saja asal aku bisa menghindar dari Ibra. Teman-teman kerjaku yang awalnya merasa bingung akhirnya mendiamkan saja tindakanku. Mereka bahkan merasa bersyukur karena aku bersedia membantu tugas mereka.

Seperti saat ini, kala aku melihat Ibra baru saja tiba di Sushi Me. Padahal restoran ini belum dibuka. Biasanya dia akan muncul setelah satu atau dua jam Sushi Me dibuka. Berbeda dengan Anwar yang memang setiap pagi selalu mengecek persiapan restoran. Aku yang datang terlalu awal langsung gelagapan ketika melihat kemunculan Ibra. Segera saja aku berlari menuju ruang ganti. Membuat Indah yang ada di sana bingung akan tingkahku.

“Kenapa sih?” tanyanya kala melihatku yang tak tenang.

“Hah?”

Indah tersenyum. Bukan rahasia lagi jika aku akan bertingkah aneh setiap kali ada Ibra. Delapan bulan sudah berjalan dan seisi Sushi Me tahu jika aku amat sangat menghindari interaksi dengan Ibra. Meski begitu aku bersyukur tak ada omongan miring di belakangku. Semua pegawai di Sushi Me sangat kooperatif. Mungkin ada satu dua. Tapi mereka tak pernah menyuarakannya. Mungkin tak ingin mencari masalah karena Ibra yang selalu memerhatikanku. The power of Boss!

“Mau ke mana Ndah?” tanyaku kala Indah akan keluar dari ruang ganti.

“Ya kerja lah Ka. Satu jam lagi Sushi Me mau buka. Masa aku nggak beres-beres. Bisa diamuk Pak Anwar nanti.”

Kulihat ia akan bekerja seorang diri karena dua rekannya belum tiba, aku berinisiatif membantunya. Awalnya Indah menolak karena itu bukan tugasku. Terlebih mungkin ia akan sungkan pada atasan. Tapi aku meyakinkan bahwa aku akan mati bosan menunggu restoran ini buka. Akhirnya Indah mengizinkan dan merasa tertolong dengan bantuan tenagaku karena Faisal dan Mita, rekan kerjanya belum tiba.

Di Sushi Me semua bekerja memang sesuai tugasnya. Namun bukan berarti pegawai lain tak boleh saling bantu. Lagi pula saat ini belum masuk jam kerjaku. Jadi tak ada salahnya aku membantu Indah membersihkan restoran. Terlebih aku tahu rasanya bagaimana bekerja sendiri. Pengalaman kerja yang melelahkan sebagai petugas kebersihan pernah kujalani. Jadi sebisa mungkin aku ingin membantu orang lain yang membutuhkan tenagaku.

“Sepertinya ini bukan tugas kamu, Danika.”

Hampir saja kujatuhkan kemoceng yang ada di tanganku karena suara yang tiba-tiba menyapaku. Ibra sudah berdiri di sebelahku. Kulirik sekitar memastikan mata-mata lain yang mungkin akan melihat kami. Namun seperti tak melihat kejadian apapun, semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Terutama Indah yang sedang membersihkan meja-meja tamu di sisi utara restoran.

“Saya cuma mau membantu saja.”

“Nanti kalau kamu kelelahan bagaimana?”

Kulirik Ibra dengan wajah jengkel. “Saya nggak akan mati kehabisan tenaga hanya karena bantu teman bekerja.”

“Saya hanya mengkhawatirkan kamu, Danika.”

Aku mendengkus. Bisa tidak Ibra tak terang-terangan mendekatiku dan menunjukkan perhatiannya. Bagaimanapun aku ini pegawainya. Dan aku jelas tak ingin selalu menjadi pusat perhatian dengan semua perhatian yang diberikan Ibra.

“Bapak ke sana deh, jangan gangguin saya,” usirku pada Ibra.

Namun pria itu tetap bertahan di tempatnya. Membuatku tak nyaman dan tak bisa bekerja dengan maksimal karena merasa diperhatikan.

“Bapak pergi deh, ganggu konsentrasi kerja saya saja.”

Aku mendorong tubuh Ibra untuk menjauh dariku. Tapi pria itu masih tetap bergeming. Meski kukerahkan seluruh tenaga, hanya membuat Ibra bergeser seinci saja. Rasanya aku ingin mengamuk dan mencakar wajahnya yang kini menyunggingkan senyuman. Apa dia tak tahu aku benar-benar malu pada beberapa pegawai yang melirik ingin tahu.

“Pak Ibra...”  teriakku kesal.

Ibra tertawa pelan. “Baik saya menyingkir. Tapi setelah jam kerja kamu berakhir, temui saya di ruangan. Jangan lari lagi Danika. Mau sampai kapan kamu menghindar?”

Ibra memegang tanganku yang tadi berusaha mendorong tubuhku. Namun secepat kilat kutarik tanganku dari Ibra. Tak ingin bersentuhan lebih jauh dengan pria ini.

“Permisi...”

Baru saja aku ingin berlari menjauh dari Ibra, pria itu kembali menarikku pergelangan tanganku. Kutatap Ibra dengan kesal sembari berusaha melepaskan genggamannya. Namun kali ini sepertinya Ibra tak ingin mengalah. Ia masih menahan tanganku. Tak kuat namun cengkeramannya begitu erat.

“Jangan menghindar lagi Danik. Saya mohon,” pinta Ibra lirih.

Mata Ibra manatap intens padaku. Yang tak bisa kubalas dengan memalingkan wajahku. Tak ingin bertatapan dengannya. Tanganku masih berusaha untuk melepaskan diri dari Ibra. Tapi tetap saja tak mudah. Pria itu tak mengendurkan sedikitpun cengkeramannya. Jika terus begini, sudah pasti kami menjadi tontonan seisi restoran.

“Danika...”

“Iya, sekarang lepasin tangan saya.”

Tanpa kuminta dua kali, Ibra sudah melepas cengkeramannya.

“Bagus. Saya tunggu,” ucapnya kemudian.

Pria itu mengusap lembut puncak kepalaku. Kemudian meninggalkanku yang masih tercenung dengan tindakannya. Kuangkat kepalaku dan mendapati beberapa mata memandang padaku. Terutama Indah yang berjalan mendekat ke arahku dengan peralatan pelnya.

“Pak Ibra makin berani ya?” ledeknya.

Tak kutanggapi komentar Indah. Memilih berlalu menuju ruang ganti. Sebentar lagi Sushi Me akan dibuka. Tugasku membantu Indah juga tak perlu kuteruskan karena sudah ada dua rekan kerjanya yang membantu.

Saat akan masuk ke ruang ganti, kudengar dua orang tengah berbincang. Dan yang menjadi topik hangat perbincangan mereka adalah aku dan Ibra. Mungkin mereka melihat apa yang terjadi tadi. Karena itu mereka kini membicarakannya. Mengataiku yang seolah bertingkah jual mahal akan perhatian Ibra. Terus saja mereka bicara akan keburukanku yang seperti dibuat-buat untuk mencari perhatian agar Ibra terus mendekatiku.

Aku memilih tak masuk dan mendengarkan dengan seksama. Aku tak ingin menyulut pertengkaran. Selama ini aku tak pernah mendengar langsung mereka membicarakanku. Karena itu aku tak ambil pusing. Tapi saat mendengarnya langsung, entah kenapa hatiku sesak rasanya. Mengapa tak selalu ada saja masalah yang menghampirku. Tak bisakah aku menjalani hidup dengan tenang. Apa kini aku juga harus kembali berhenti hanya karena omongan orang lain yang tak menyenangkan tentangku.

...

Kembali aku tak memenuhi janjiku. Bukannya menemui Ibra, aku malah kabur selepas bekerja. Bahkan tak berpamitan pada yang lain. Beruntung pria itu tak memergokiku kabur lagi. Tapi aku benar-benar tak ingin bertemu dan bicara dengan Ibra. Terutama hanya berdua di ruangannya. Masih jelas dalam kepalaku kala mendengar mereka membicarakan yang tak baik tentangku. Jika aku menemui pria itu, maka akan semakin menjadi saja mereka berbicara di belakangku. Memang tak semua, hanya beberapa. Tapi tetap saja saat mendengarnya langsung membuat perasaanku menjadi kacau. Karena itu aku memilih menghindari Ibra.

Rumah Dayu adalah tujuanku. Tapi sahabatku itu mengatakan bahwa ia tak bisa pulang lebih awal. Jadi yang bisa kulakukan selama menunggu Dayu adalah menyibukkan diri. Berbelanja menjadi pilihanku. Kebetulan isi lemari es di rumahku sudah menipis. Selama bekerja di Sushi Me, kondisi keuanganku cukup stabil. Selain gaji memadai, Ibra juga tak segan memberi tambahan bonus jika setiap bulan Sushi Me mengalami pendapatan meningkat. Pria itu memang begitu royal. Aku tak bisa bayangkan berapa banyak uang yang dimilikinya hingga ia bisa begitu baik pada pegawainya.

Oh tentu saja Ibra kaya. Mungkin lebih dari yang kubayangkan. Lihat saja mobil yang dikendarainya ketika kami bertabrakan. Bukan jenis mobil biasa saja. Tapi sedan mewah yang harganya saja tak bisa kubayangkan. Jika tungggangan Ibra saja semewah itu, maka tak heran kekayaan yang ia miliki di luar jangkauanku. Selain mengenal Ibra sebagai pemilik Sushi Me, aku tak kenal siapa pria itu selebihnya. Seperti apa Ibra dan kehidupannya pun aku tak tahu. Latar belakang keluarganya atau lingkup pergaulannya, aku juga tak tahu. Dan lebih baik tak perlu tahu karena itu hanya akan menambah daftar kerumitan hidupku saja.

Terlalu banyak berpikir tentang Ibra membuatku tak fokus berbelanja. Bahkan tak sadar sudah menabrak troli milik pengunjung lain. Membuatku harus meminta maaf. Namun ketika melihat siapa pemilik troli yang kutabrak, rasanya aku ingin menarik kembali permintaan maafku.

“Apa kabar Danika?” senyum meremehkan terpatri di wajah culasnya.

Tak kupedulikan wanita itu dan memilih pergi mendorong troliku menjauhinya. Namun sepertinya Tante Indri memang ingin mencari keributan denganku. Ia malah menyusulku dan bicara omong kosong perihal keadaan di rumah yang tenang tanpa kehadiranku. Hingga saat ia menyinggung perihal benda peninggalan Mama. Membuatku tak bisa lagi menutup telinga. Kudorong troliku hingga bertabrakan kembali dengan milik Tante Indri.

“Terserah kalau Tante mau melakukan apapun di rumah itu. Aku nggak peduli. Tapi... jangan sekali-kali menyentuh milik Mama. Aku nggak akan tinggal diam. Tante boleh merasa menang sudah memonopoli Papa. Tapi sampai kapan kebahagiaan semu begitu bisa Tante rasakan? Manusia yang masih merasa punya hati, nggak akan tenang hidupnya dengan jalan menghancurkan kebahagiaan orang lain. Sekali lagi saya peringatkan, jangan sentuh apa yang bukan milik Tante di rumah itu!”

“Kamu mau ancam Tante?”

“Silakan anggap itu ancaman. Tapi saya nggak akan segan untuk merusak kebahagiaan Tante kalau memang Tante menyentuh milik Mama!”

“Kamu tahu Danika, kamu itu cuma anak kecil yang nggak bisa berbuat apa-apa. Jangan pernah ancam saya. Lebih baik kamu tata hidup kamu dan jangan pernah muncul lagi di hadapan Papa kamu. Jika kamu bisa melakukannya, saya tidak akan pernah mengusik apapun peninggalan Mama kamu di rumah itu.”

Rasanya aku ingin menampar wajah perempuan tidak tahu diri ini. Tapi sebisa mungkin kutahan emosiku. Dia hanya ingin meyakitiku dengan kata-katanya. Aku tak peduli apa yang terjadi antara dia dan Papa. Tapi jika dia macam-macam segala yang berhubungan dengan Mama, maka aku tak akan tinggal diam.

“Terserah! Saya juga nggak berniat mengusik hidup tenang kalian. Tapi mau sampai kapan pun kamu berusaha memutus hubungan antara Ayah dan anak, itu nggak akan pernah bisa. Sejauh apapun aku berjarak dengan Papa, ikatan darah nggak akan pernah bisa diputus. Kita lihat siapa yang akan nangis darah pada akhirnya nanti. Saya atau kamu!”

Tak ada lagi sopan santun yang tersisa untuknya. Perempuan seperti Tante Indri tak pantas mendapatkan rasa sopanku lagi. Puas menumpahkan emosiku padanya kutinggalkan dia yang tak lagi berusaha mengejarku.
Baru saja terbebas dari satu masalah, masalah lainnya kini menghadangku. Siapa lagi jika bukan Ibra. Pria itu tanpa kuduga sudah muncul di hadapanku. Entah darimana ia tahu aku berada di pusat perbelanjaan ini. Kehadiran Ibra di depan mataku malah menambah daftar panjang emosiku. Saat ini aku rasanya tak punya pengendalian diri lagi.

Kutatap tajam Ibra namun pria itu tetap bergeming. Akhirnya aku memilih mendorong troliku menghindari Ibra. Tapi kali ini Ibra tak tinggal diam. Pria itu menarik troli dariku dan membawanya. Membuat rasa kesalku bertambah untuknya.

“Saya bisa sendiri Pak Ibra!” desisku mengejar Ibra.

“Kenapa kamu kabur lagi?”

“Saya nggak kabur...”

“Tapi cuma menghindar dari saya?”

Aku tak menjawab. Masih berusaha menarik kembali troliku. Tapi Ibra seperti tak mau mengalah. Pria itu malah memasukkan beberapa barang ke dalam troliku. Membuatku mengernyit karena merasa tak membutuhkannya.

“Saya nggak butuh ini.”

Kuambil benda tersebut dari troli. Meletakkan kembali ke tempatnya. Tapi Ibra seperti tak mendenngar, kembali memasukkannya ke troli. Terus seperti itu dengan aku yang terus mengomel. Pengunjung lain yang melihatnya mungkin mengira kami pasangan yang sedang bertengkar kala berbelanja. Sampai aku yang memilih menyerah dan mengekori ke mana Ibra membawa troliku.

Dan pertengkaran kembali terjadi kala kami berada di kasir. Ibra yang sudah mengeluarkan kartu kreditnya untuk melakukan pembayaran langsung kucegah. Kukatakan pada kasir bahwa aku yang akan membayar semua. Tapi Ibra kembali keras kepala dengan memberikan kembali kartunya pada kasir. Bahkan menatap tajam padaku membuatku menciut di tempat. Akhirnya aku kembali mengalah dan membiarkan Ibra berbuat sesukanya. Lagipula sejak tadi kami menjadi pusat perhatian. Ditambah dengan antrian yang akan semakin memanjang jika aku memilih bertengkar dengan Ibra di depan meja kasir. Mungkin nanti aku bisa mengkonfrontasi pria ini saat kami sudah tak berada di keramaian.

...

Note : sudah kubilang kan kalau kisah Danika itu serius di depan aja kok, hehe. Tapi gak tahu deh nantinya aku bakal bikin konflik seperti apa. Tungguin aja...

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya.

Rumah, 25/18/12

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro