Chapter 6 - Meet Again
Sejak pagi perasaanku tak menentu. Semua itu dikarenakan janji dengan seseorang yang membuatku tak tenang. Ingin kembali menghindar, tapi sampai kapan aku akan terus menghindar. Bukankah menyelesaikan masalah lebih cepat akan mengurangi bebanku. Karena itu meski enggan, tetap kulangkahkan jau kakiku untuk pergi.
Pukul dua siang aku sudah tiba di restoran yang menjadi kesepakatanku dengan pria itu. Sengaja aku datang lebih lambat dari waktu yang dijanjikan. Berharap pria itu sudah pergi karena terlalu lama menunggu. Tapi sepertinya harapanku sia-sia. Karena begitu aku menginjakkan kaki di dalam restoran, handphone-ku berdering. Dan seorang pria dari meja di ujung sana melambaikan tangan padaku. Memberi tanda bahwa ia masih menunggu. Kutatap pria itu dengan perasaan kacau. Mematikan sambungan telepon dan melangkah mendekatinya.
“Baru tiba?” tanyanya sopan.
Aku tak menjawab dan memilih langsung duduk. Memang tak sopan, tapi aku enggak berbasa-basi dengan pria ini. Aku hanya ingin masalah di antara kami cepat selesai.
“Saya Ibrahim Arrauf. Kamu bisa panggil saya Ibra.” Kembali pria itu berucap sopan.
“Saya nggak perlu memperkenalkan diri lagi kan?”
Ibra tersenyum sopan seraya mengangguk. Membuatku merasa tersentil akan sikap kurang ajarku. Bagaimanapun kalau dilihat-lihat dari penampilannya, Ibra lebih tua dibandingkan denganku. Tapi bisa-bisanya aku bersikap kurang ajar pada orang yang lebih tua.
Salahkan saja sikap defensifku yang berlebihan terhadap orang lain. Sejak meninggalkan rumah dan berseteru dengan Papa, aku jadi semakin lebih waspada terhadap orang lain. Membentengi diri dari segala bentuk perhatian orang lain.
“Kamu mau pesan sesuatu?”
“Saya di sini mau menyelesaikan masalah kita. Jadi... berapa biaya yang harus saya bayar?” tanyaku langsung. Aku hanya ingin segera menyingkir dari tempat ini. Dari hadapan pria ini tepatnya.
“Kenapa terburu-buru? Kamu punya urusan lain?”
Kuhela napas keras. “Iya. Dan rasanya itu bukan urusan anda untuk tahu. Jadi...”
Bukannya mendengarkan ucapanku, Ibra malah mengangkat tangannya. Tak lama seorang pramusaji menghampiri meja kami. Dengan seenaknya Ibra memesankan beberapa hidangan. Tanpa persetujuanku.
“Kamu makan dulu ya? Saya yakin kamu belum makan siang.”
Tepat sekali tebakannya. Akan tetapi aku tak merasa tersanjung dengan perhatiannya. Ralat, sedikit tersanjung. Bagaimanapun wanita yang diperlakukan dengan baik bahkan oleh pria yang baru dikenal pasti akan merasakan desiran suka. Merasa bahwa mereka istimewa. Meski aku berusaha keras untuk tak tersentuh. Tapi tetap saja aku tak bisa mengelak bahwa perhatian pria ini memberi kesan tersendiri di hatiku.
“Berapa umur kamu, Danika?”
“Kamu sedang menginterogasi saya?”
Ibra menggeleng pelan. “Tidak. Hanya ingin tahu saja.”
“Kalau begitu nggak usah tanya.”
Pria itu akhirnya memilih diam. Tapi tatapan matanya tak lepas dariku. Membuatku jengah dan memutuskan untuk mengalihkan perhatian pada ponsel. Berbalas pesan dengan Dayu hingga pesanan Ibra tiba.
“Lebih baik letakkan handphone kamu dulu dan makan. Mumpung masih hangat.”
Aku memutar mata, jengkel. Tapi tetap menuruti keinginan Ibra. Meletakkan ponsel dan mulai makan. Pria itu sendiri juga ikut menikmati hidangan. Selama makan tak sekalipun Ibra mengajakku berbincang. Sampai aku sendiri yang akhirnya mencuri pandang pada pria itu. Membuat Ibra menyunggingkan senyum simpul karena aksiku.
“Habiskan dulu makanan kamu,” tegur Ibra membuatku makin malu.
Kepala kutundukkan. Tak berani lagi mencuri pandang ke arah pria itu. Hingga semua hidangan akhirnya kandas. Baru aku berani mengangkat wajah di hadapannya.
“Sudah. Sekarang kamu bisa katakan berapa biaya ganti rugi yang harus saya keluarkan.”
“Apa harus selalu membahas masalah itu? Kamu itu orangnya terlalu lugas ya?”
Aku tak menghiraukan ucapan Ibra dan memilih tetap bertanya. “Karena kedatangan saya ke sini hanya ingin menyelesaikan masalah tersebut.”
“Kamu tidak ingin mencoba makanan penutupnya? Katanya panacotta di sini enak sekali.”
Kesabaranku habis sudah. Jika tadi aku bisa berdiam dan menunggu karena Ibra sudah memesankan makanan. Sekarang tidak lagi. Aku hanya ingin segera pergi dari hadapan pria ini. Sejak awal berurusan dengannya, ada yang aneh kurasakan terhadap pria ini. Entah ada maksud terselubung apa pria ini terhadapku.
“Sudah cukup. Saya nggak punya waktu untuk main-main dengan kamu. Jika kamu nggak mau menyelesaikan masalah kita, kalau begitu biar saya yang selesaikan.”
Aku berdiri dengan kasar hingga kursi yang kududuki bergeser. Membuat mata para pengunjung tertuju ke arah kami. Ibra sendiri juga ikut berdiri dengan wajah panik. Tapi aku tak peduli. Biar saja kami menjadi tontonan. Jika pria ini ingin bermain-main denganku, maka dia memilih orang yang salah. Karena jika harus malu sekalipun kurasa tak masalah saat ini.
“Danika, bukan begitu maksud saya...”
“Kamu terus mengulur waktu dan saya nggak suka itu. Kalau memang kamu tidak berniat menyelesaikannya maka biarkan saya yang bicara.” Aku memperingatkan Ibra yang berniat memotong kaimatku dengan telunjuk mengarah padanya. Membuat pria itu akhirnya tak bisa berkutik. “Karena saya sama sekali nggak tahu berapa kerugian yang harus kamu tanggung, jadi silakan kamu bawa saja mobil saya. Dijual atau apa, terserah. Gunakan uangnya untuk biaya ganti rugi mobil kamu. Adil kan? Dengan begitu urusan kita selesai. Dan saya harap kita nggak perlu ketemu lagi.”
Ibra begitu terkejut dengan apa yang kuucapkan. Tapi aku tak akan menarik kembali kata-kataku. Biarlah aku kehilangan satu-satunya kendaraan yang mengingatkanku akan Mama. Daripada aku kembali berurusan dengan pria itu. Entah mengapa aku tak ingin berhubungan terus dengan Ibra. Ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatku tak tenang.
“Danika...” Ibra berusaha mencegah kepergianku dengan menahan pergelangan tanganku.
Aku yang tak ingin lagi berurusan dengannya berusaha melepas cengkeramannya. Pria itu seperti tak ingin melepaskanku. Membuatku menggeram karena kelakuannya.
“Lepasin saya...”
“Kita harus bicara Danika. Bukan seperti ini,” pintanya.
Aku memerhatikan sekeliling yang tak mengalihkan pandangan sedikitpun pada kami. Sempat terpikir untuk meladeni sikap Ibra. Namun kuurungkan karena aku tak ingin lebih menjadi pusat perhatian.
Kutarik paksa cengkeraman tangan Ibra di pergelangan tanganku. Beruntung pria itu ternyata tak mencengkeram erat. Hingga aku bisa dengan mudah lepas darinya. Segera aku berlari meninggalkan Ibra yang masih berusaha mengejarku. Menaiki taksi yang entah secara kebetulan melintas. Tak peduli dengan nasib mobil kesayanganku. Yang kuinginkan hanya bisa bebas dan berhenti berurusan dengan pria bernama Ibra tersebut.
...
Hari ini Dayu akan menjalani wisudanya. Ia akan lulus dan menyandang gelar Diplomanya. Akhirnya setelah tiga tahun berkutat dengan pendidikannya Dayu bisa menyelesaikan kuliahnya. Aku turut bangga padanya. Dan seperti permintaan Dayu, dia ingin aku hadir di acara bahagianya. Maka aku pun turut hadir di acara wisudanya. Meski dengan kondisi hati yang teriris karena aku tak bisa seperti yang lainnya menyelesaikan kuliahku. Tapi aku tak ingin merusak hari bahagia Dayu. Apalagi ini adalah janjinya pada kedua almarhum orangtuanya.
Hampir tujuh bulan sudah Dayu hidup sendiri. Dan kini ia sudah mulai bisa menata hidupnya. Meski masih sering merindukan orangtuanya. Tapi Dayu berusaha untuk bangkit. Dia tak ingin Ayah dan Ibunya bersedih di alam sana.
Bersama Ginan dan keluarganya kami menghadiri upacara kelulusan Dayu. Gadis itu begitu bersinar. Dengan toga yang dikenakannya membuat Dayu tampak lebih kelihatan berbeda. Begitu sesi formal berakhir, Dayu langsung berlari menghampiri kami dengan gembira. Orang pertama yang Dayu peluk adalah aku. Membuatku tentu saja merasa bahagia karena ia menganggap aku adalah orang paling penting dalam hidupnya.
“Selamat Yu. Selamat menempuh dunia kerja yang sebenarnya,” ucapku penuh kebanggan padanya.
Handayu membalas pelukanku tak kalah erat. “Makasih Nika. Makasih juga selama ini selalu mendampingiku.”
Setelah merayakan perayaan kecil bersama keluarga Ginan, aku dan Dayu mengunjungi makam kedua orangtuanya. Dayu ingin mengabarkan kegembiraan ini pada orangtuanya. Ginan hanya bisa mengantarkan kami. Karena pria itu masih memiliki hal yang lain untuk ia kerjakan.
Sejak tak memiliki mobil lagi, aku dan Dayu harus membiasakan diri bepergian dengan kendaraan umum. Awalnya Dayu sempat heran saat aku tak mengendarai mobil lagi. Dengan sedikit kebohongan aku berhasil meyakinkan gadis itu. Kukatakan padanya bahwa kerusakan mobil yang kualami saat kami bertabrakan saat akan ke rumah sakit cukup parah. Jadi terpaksa mobil tersebut kujual. Terlebih lagi aku harus mengganti kerugian mobil yang kutabrak. Untunglah Dayu percaya dan tak banyak bertanya lagi. Hanya saja dia prihatin padaku. Aku yang terbiasa ke manapun dengan mobil, kini harus bersusah payah untuk pergi dengan kendaraan umum. Padahal bagiku tak masalah. Aku bukan lagi Danika si manja yang memiliki segalanya. Hidup serba seadanya justru membuatku lebih kuat.
“Setelah ini rencana kamu gimana Yu?” tanyaku pada Dayu ketika kami sudah tiba di rumahnya. Menikmati makan malam yang Dayu siapkan.
Ah, satu hal yang mungkin masih asing bagiku di tengah kemandirian hidup, dapur masih cukup asing bagiku. Dibanding Dayu, kemampuan memasakku masih sangat minim. Terbiasa dilayani atau membeli makanan cepat saji cukup membuatku kewalahan saat mencoba memasak. Terlebih sejak kecil Mama memang jarang memaksaku terjun ke dapur. Bisa memasak mie instan sendiri untuk pertama kalinya adalah sebuah prestasi bagiku. Tapi aku yakin nanti aku pasti bisa menguasai keahlian yang satu itu.
“Ehm... aku sudah coba masukin lamaran ke beberapa perusahaan sih. Tinggal nunggu keberuntungan aja,” jawab Dayu santai. “Kamu sendiri? Gimana pekerjaan di sana? Betah?”
Aku mengembuskan napas kasar. Saat ini aku bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu hotel. Pekerjaanku saat ini cukup nyaman. Hanya saja, justru atasannya yang membuatku tak nyaman.
“Pengin keluar aja rasanya akhir bulan ini,” keluhku.
“Kenapa?” Dayu terlihat tak setuju.
Tentu saja aku tahu alasan ketidak setujuannya. Sangat sulit menemukan pekerjaan yang nyaman dengan ijazah yang kumiliki. Tapi perempuan mana yang akan betah bekerja dengan atasan mesum yang selalu mencari kesempatan.
“Pak Rizal makin lama makin nakutin tahu nggak,” aduku.
“Ampun deh itu laki-laki. Sudah tua juga. Sudah punya anak istri juga masih gangguin pegawai perempuan kayak kamu?”
Aku mengangguk. Aku sudah bercerita pada Dayu seperti apa atasanku itu. Memang tak nyaman rasanya bekerja dengan atasan sejenis Pak Rizal. Bukan sekali dua kali kudengar dia memanfaatkan jabatannya untuk menekan pegawai kecil seperti kami. Aku bahkan pernah mendengar rumor bahwa dia mengancam akan memecat Rasti, salah seorang pegawai front office jika tak mau menuruti keinginannya. Tak ada yang berani mengadukan perbuatannya pada GM hotel. Mungkin karena takut dengan ancamannya.
“Tapi kalau kamu masih bisa menghindar, ya nggak ada salahnya mempertahankan dulu pekerjaan sekarang kan Ka.”
Aku mengangguk setuju dengan ucapan Dayu. “Aku coba deh.”
Kembali ke rutinitasku. Pukul sembilan pagi aku sudah tiba di hotel. Beberapa teman kerja yang memiliki jam kerja yang sama denganku juga sudah tiba. Setelah mengganti seragam, aku mengambil jadwal ruangan mana yang akan kubersihkan sesuai dengan kertas yang sudah ditempel di loker masing-masing. Kali ini aku harus bekerja sendiri karena partner kerjaku, Sinta harus absen karena harus mengurus anaknya yang sedang demam.
Bekerja sendiri untuk membersihkan beberapa ruangan tentu menguras tenaga. Tapi aku tak ingin mengeluh. Inilah hidup. Tak ada yang mudah di dunia ini jika kita tak berusaha. Karena itu sesulit apapun pekerjaannya, aku mencoba untuk tetap kuat. Hanya satu doaku jika memulai bekerja, agar aku tak berurusan dengan Pak Rizal yang menjadi momok beberapa pegawai di sini.
Namun sepertinya doaku hari ini tak terkabul. Tuhan sepertinya ingin mengujiku. Karena tepat setelah aku membersihkan ruang konferensi di lantai empat, pria mesum itu memerintahkanku untuk membersihkan ruangannya. Ingin menolak namun aku tak punya kuasa. Jika biasanya aku selalu bisa berdalih dan merasa aman karena ada partner kerja, tapi tidak kali ini. Dengan menyematkan doa, aku pun terpaksa menuruti perintahnya.
Tak ada yang aneh di ruangan Pak Rizal. Hanya meja kerja, lemari dan sofa di sudut kanan ruangan. Pun belum ada aksi apapun dari pria itu saat aku masih sibuk membersihkan buku dan pajangan lainnya di lemari hias. Hingga saat aku akan membersihkan sofa, pria kurang ajar itu mulai berulah.
“Danika...”
Suara pria itu begitu dekat denganku. Aku tahu saat ini dia sudah berada di belakangku yang sedang berjongkok karena harus membersihkan sofa kulitnya. Kudukku bahkan meremang hanya demi mendengar suaranya. Bukan karena bergairah, tapi karena takut.
“Saya sering memerhatikan kamu. Kamu itu berbeda dari pegawai lainnya. Kamu pasti tahu kalau saya tertarik sama kamu.”
Kugigit bibirku agar tak berteriak kasar padanya. Tanganku pun mengepal erat saat merasakan sentuhannya di pundakku. Jarak pria itu sepertinya makin dekat. Saat kedua tangannya bertengger di pundakku, refleks aku berdiri dan menjauh selangkah darinya.
“Maaf Pak, tapi saya harus bekerja. Saya minta pada Pak Rizal untuk tidak mengganggu pekerjaan saya.”
“Kamu tahu, karena sikap tak acuh kamu ini yang membuat saya penasaran. Kalau kamu mau, saya bisa bantu kamu. Kamu butuh apapun, kamu bisa minta pada saya.”
Aku tersenyum sinis pada pria tak tahu malu ini. Dia pikir aku ini apa? Pelacur yang bisa dia bayar?
“Saya nggak butuh apapun, terima kasih. Bisa saya lanjutkan pekerjaan saya, Pak?”
Aku bergerak menjauh darinya. Namun pria ini malah menyambar tanganku. Menjatuhkan tubuhku ke sofa.
“Mau apa anda?” teriakku.
“Jangan jual mahal. Saya kenal perempuan seperti kamu.”
“Lepasin saya, brengsek!”
Pak Rizal malah tersenyum mencemooh. “Saya suka sama perempuan yang malu-malu kucing seperti kamu.”
Malu-malu kucing katanya? Dasar pria tua gila!
Pak Rizal berusaha memajukan wajahnya padaku. Namun aku bukan perempuan lemah yang tak akan melakukan perlawanan. Kuantukkan kepalaku ke wajahnya membuat dia memekik kesakitan. Kesempatan itu kugunakan untuk melepaskan cengkeramannya.
“Jangan main-main sama saya, Danika!” teriaknya marah.
“Bapak yang jangan main-main sama saya. Karena saya cuma pegawai rendahan bukan berarti saya takut sama Bapak.”
“Saya bisa pecat kamu!” ancamnya.
“Hah? Enggak perlu. Sekarangpun saya muak bekerja di bawah kepemimpinan atasan seperti Bapak!”
Baru saja aku akan keluar dari ruangannya, rupanya pria itu tak ingin melepaskanku. Ia menarikku hingga kembali berada dalam cengkeramannya.
“Saya tidak akan melepaskan kamu semudah itu. Sebelum saya...”
Kembali pria gila ini ingin melecehkanku. Bahkan dia sudah menindihku di lantai ruangannnya. Berusaha kembali menciumku yang jelas saja membuatku meronta. Aku berusaha melepaskan diri dari pria ini. Tapi pria tua ini seperti memiliki tenaga yang begitu kuat. Tapi aku juga tak akan membiarkan pria ini melecehkanku. Saat pria itu berhasil mendaratkan bibir menjijikkannya di sektitar leherku, kujambak rambutnya membuat dia memekik.
“Kamu mau main kasar?”
Sekali lagi, entah dapat kekuatan iblis darimana pria ini berhasil membuatku kewalahan. Bahkan perlawananku seakan tak berarti padanya. Namun aku tak ingin menyerah. Aku tak akan membiarkan diriku hancur karena ulah setan mesum seperti dia. Dengan segenap kekuatan, kusarangkan tendanga dengan lututku ke selangkangannya. Membuat Pak Rizal menjerit kesakitan dan cengkeramannya mengendur. Kesempatan itu jelas tak kusiakan. Kudorong tubuhnya yang melemah dan bangkit dari posisiku.
“Manusia rendahan!” makiku dengan mata berapi-api menatapnya.
Tak akan kubiarkan dia menangkapku lagi. Segera aku berlari menjauh dari ruang kerjanya. Mengambil barang-barangku di loker dan pergi menjauh dari tempat terkutuk itu. Tak kupedulikan tatapan bingung orang-orang yang melihatku begitu tergesa meninggalkan hotel masih dengan seragam. Saat ini yang kubutuhkan hanya menyendiri. Menenangkan diriku sendiri.
...
Note : masih ada yang nungguin Danika? Makasih gengs... hidup Danika keras yo, hahaha. Memang begitulah hidup, butuh perjuangan. Oke, mulai part depan, kayaknya kemunculan Ibra bakal intens. Karena mulai part depan dimulailah hidupnya Danika sebagai pelayan di Sushi Me, dan pastinya bakal terus ada Ibra di sana, whuups!!!
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya.
Rumah, 22/18/12
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro