Chapter 5 - Something Bad
Sudah lebih dari setengah tahun aku menjalani hidup sendiri. Tak ada lagi Papa dan keluarga barunya. Hingga detik ini bahkan Papa sama sekali tak tertarik untuk mencari tahu bagaimana hidupku. Paling tidak itulah yang kualami. Karena bahkan mencoba menghubungi pun Papa tak pernah. Padahal aku tak pernah menghapus atau mengganti nomor kontakku. Hanya Dayu dan keluarganya yang selalu ada untukku. Meski aku tak ingin membebani Dayu dengan segala masalahku. Tapi sahabatku itu selalu ada kapanpun aku membutuhkannya.
Mengenai pendidikan, aku benar-benar berhenti dari kuliah. Selain karena tak akan sanggup lagi membiayai sendiri pendidikanku, aku juga tak akan mampu mengatur waktu antara kuliah dan kerja. Terlebih saat ini fokusku adalah pekerjaan demi menyambung hidup. Uang yang kumiliki di tabungan tak akan mampu menopangku selamanya. Uang itu akan habis seiring waktu aku menggunakannya. Jadi jika aku tak bekerja, darimana aku bisa hidup ke depannya.
“Udah ketemu pekerjaan yang cocok?” Dayu bertanya kala ia berkunjung ke rumahku.
Aku menggeleng. “Susah banget ya Yu cari kerja dengan pendidikan yang cuma berbebekal ijazah SMA.”
“Jangan pesimis pasti bakal ada pekerjaan yang sesuai untuk kamu nanti.” Dayu berusaha menyemangatiku. Meski aku sendiri tak yakin akan ada pekerjaan mumpuni yang sesuai denganku.
Meski aku tahu tak akan semudah itu, tapi tetap saja memiliki Dayu di sisiku menjadi kekuatan tersendiri bagiku. Mungkin aku tak seberuntung Danika yang dulu. Yang memiliki segalanya dan tak pernah berkekurangan. Tapi saat inipun menjadi Danika aku tetap bisa bersyukur untuk hidup yang kujalani kini.
“Makan yuk, lapar,” ajak Dayu yang langsung kuamini.
Kami berkeliling dengan mobilku mencari tempat makan yang enak namun terjangkau. Jika dulu aku terbiasa keluar masuk kafe dan restoran mahal, kini aku harus puas dengan makanan dari warung makan biasa saja. Meski begitu rasa makanan di tempat yang mungkin bagi sebagian orang biasa saja, tetap luar biasa untuk kami.
“Setelah makan mau ke mana?” tanyaku pada Dayu yang mulai sibuk dengan ponselnya.
“Ehm... kayaknya pulang deh. Ada beberapa tugas kuliah yang mesti aku selesaikan.”
Kadang ada rasa iri menyusup dalam hatiku. Mengapa aku tak bisa mendapatkan kehidupan bahagia seperti yang Dayu dapatkan. Dayu bukan berasal dari keluarga kaya. Tapi hidupnya benar-benar bahagia. Kuakui aku mungkin kurang bersyukur. Saat Mama masih hidup bukankah aku memiliki kehidupan yang bahkan lebih baik dari Dayu dan orang lain dapatkan. Namun tetap saja, saat seperti ini jiwa manusia yang masih suka diliputi iri hati akan muncul dalam diriku.
“Kuliah kamu lancara Yu?” aku mencoba mengenyahkan perasaan tak menentu di hatiku.
Dayu menggangguk. “Lancar. Doakan ya semoga tahun depan aku bisa lulus.”
Aku tersenyum mengamini. Kami kembali melanjutkan makan. Sampai bunyi ponsel Dayu mengganggu aktifitas kami. Segera gadis itu menjawab panggilan. Namun tiba-tiba saja wajah Dayu berubah pias. Seolah darah surut dari seluruh tubuhnya. Bahkan gadis itu mulai terisak. Membuat kami menjadi santapan mata pengunjung yang lain.
“Yu kenapa?” tanyaku berusaha mencari tahu.
“Nika...” hanya itu yang bisa Dayu katakan. Lantas gadis itu memeluk tubuhku erat.
Aku yang ingin tahu apa yang terjadi padanya langsung merebut ponsel dari tangan Dayu. Mengambil alih perbincangan dengan siapapun yang ada di sana. Sementara Dayu masih terus menumpahkan tangisnya di pelukanku.
“Halo...”
“Ini Danika?” tanya suara di seberang sana, bingung.
“Iya. Ini siapa?”
“Ginan.”
Sepupu Dayu tersebut lantas mengatakan apa yang terjadi padaku. Tak hanya Dayu, aku pun yang mendengar berita tersebut tak bisa berkata-kata. Seperti nyawaku juga tercabut seketika itu juga saat Ginan mengabarkan kecelakaan menimpa kedua orangtua Dayu.
“Nika, bisa bantu Dayu? Tenangkan dia dulu.”
Aku tak tahu harus bagaimana. Jujur, saat ini aku pun bingung. Tangisku memang tak sekeras Dayu. Tapi saat ini pikiranku juga kosong. Entah apa yang akan terjadi pada kami. Namun suara Ginan lagi-lagi menyentakkanku untuk sadar. Ginan benar, kami berdua sama-sama tak bisa berpikir, apa yang akan terjadi. Di posisi ini, Dayu lah yang lebih butuh ditenangkan, bukan aku. Meski aku juga menyayangi Om Guntur dan Tante Nida. Tapi saat ini putri mereka jelas butuh perhatian. Dan aku lah yang harus bisa menenangkannya. Seperti saat Dayu melakukannya untukku.
“Yu, dengar... kamu tenang. Kita susul ke rumah sakit, oke?” ucapku meski tahu Dayu tak akan merespon dengan baik.
Kutarik Dayu ke mobil setelah lebih dulu membayar pesanan kami yang bahkan tak sempat dihabiskan. Mata penasaran para pengunjung tetap mengiringi kami hingga menghilang di dalam mobil. Dayu yang masih menangis di sampingku membuat konsenntrasiku pecah. Bahkan tanganku bergetar saat akan menyalakan mesin mobil. Dalam hati aku berdoa semoga kami bisa selamat sampai tujuan. Jangan sampai kami menjadi korban selanjutnya yang malah menambah kesedihan keluarga Adijaya.
Kukerahkan seluruh kemampuan dan kesadaranku. Bahkan aku tak sadar sudah menyetir dengan gila-gilaan. Bahkan hampir kehilangan kendali saat aku menekan pedal rem sekuatnya. Benturan itu tak dapat dielakkan. Dayu yang tadinya menangis meratapi nasib orangtuanya pun seketika bungkam. Kubenturkan kepalaku ke roda kemudi. Merutuki kecerobohanku dalam hati.
Seorang pria keluar dari mobil yang kutabrak. Namun bukan menghampiriku, ia malah meneliti kerusakan mobilnya.
Kuhela napas kasar. Kemudian memandang ke arah Dayu yang juga tengah menatapku. Rasanya otakku tak mampu lagi jika harus beradu mulut dengan pemilik mobil. Karena itu kutarik Dayu untuk ikut keluar menemui si pemilik mobil.
“Parah.” Hanya itu kalimat yang dikeluarkan si pemilik mobil saat kami sudah menghampirinya.
Mataku membulat sempurna saat berhadapan dengannya. Tidak lagi. Aku bahkan masih berhutang pada pria ini. Mengapa kami harus dipertemukan lagi? Kupikir setelah melepas semua kehidupanku bersama Papa maka masa lalu tak akan datang menghampiri. Tapi nyatanya, Tuhan memang selalu punya kejutan dalam hidup umat-Nya.
“Saya...”
Pria di hadapanku ini menunggu. Namun perhatian kami teralihkan dengan Dayu yang kembali menangis. Tuhanku, mengapa aku lupa bahwa saat ini sahabatku sedang tak baik-baik saja. Urusan mobil bisa kuselesaikan nanti. Tapi Dayu harus segera bertemu dengan kedua orangtuanya yang saat ini tak jelas nasibnya bagaimana. Karena itu aku harus segera mengambil keputusan.
“Ini, ambil kunci mobil saya sebagai jaminan. Tapi saat ini ada hal yang lebih penting yang harus saya urus dari sekedar kerusakan mobil ini.”
Kuserahkan kunci mobilku pada pria tersebut. Bergegas aku menarik Dayu dan menghentikan taksi yang ada. Agak sulit memang, namun akhirnya kami mendapatkan taksi yang kami butuhkan. Sedang pria itu masih terpaku menatap kunci mobil yang kuberikan di tangannya. Aku tahu saat ini masalah terus menimpaku bertubi-tubil. Tapi saat ini kurasa aku melakukan pilihan yang tepat. Dayu dan kedua orangtuanya lebih penting dari sekedar mobil rusak.
...
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Mungkin pepatah tersebut sangat tepat untukku dan Dayu. Apa daya kedua orangtua Dayu tak dapat diselamatkan. Saat kami tiba di rumah sakit kemarin, kedua orangtua Dayu sudah mengembuskan napas terakhirnya. Bahkan Dayu tak bisa mengucapkan sepatah kata perpisahan pada keduanya. Kami hanya menemui raga yang terbujur kaku. Tangis Dayu langsung pecah saat itu juga. Bahkan aku ann Ginan tak dapat menenangkan gadis itu. Kami hanya bisa membiarkan Dayu menumpahkan kesedihannya.
Mungkin sudah takdir, aku dan Dayu kehilangan keluarga di usia kami yang masih muda. Aku kehilangan Mama di usiaku ke dua puluh tahun. Dan Dayu, harus kehilangan keduanya tepat dua bulan setelah ia merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh satu tahun. Rasaya takdir terlalu kejam pada kami. Membiarkan kami menjadi sebatang kara saat kami butuh bimbingan orangtua di usia kami saat ini.
Bukan aku ingin mengingkari keberadaan Papa. Tapi sejak memutuskan hubungan komunikasi dengan Papa, aku tak merasa aku masih memilikinya. Aku merasa aku tak berbeda jauh dengan Dayu. Kami sebatang kara. Hanya memiliki satu sama lain. Buktinya meski kedua orangtuanya sudah beristirahat dengan tenang. Dayu tetap saja belum bisa menghilangkan kesedihannya. Ia masih belum menerima kepergian mereka.
“Yu, makan dulu yuk? Dari kemarin kamu belum makan apapun. Hanya air putih.”
Kembali Dayu menggeleng. Entah sudah berapa kali aku berusaha untuk mengajaknya makan. Sekedar mengisi kekosongan perutnya. Namun gadis keras kepala ini tetap tak bergeming dari posisi tidurannya sepulang dari pemakaman seperti kemarin.
“Yu, kalau kamu begini, Tante sama Om nggak akan tenang.”
Bukannya mereda, tangis Dayu malah makin pecah. Aku sama sekali tak tahu cara apa lagi yang bisa kulakukan agar sahabatku ini mau makan. Perlahan kupeluk tubuh Dayu. Kubiarkan dia kembali menumpahkan tangisannya.
“Yu, kamu tahu kan kalau aku juga lebih dulu kehilangan Mama. Dan saat masa terpuruk itu, ada kamu di sampingku yang menguatkan. Dan kali ini giliran aku yang bantu kamu untuk kuat. Kamu nggak sendiri Yu. Ada aku. Kita akan hadapi ini sama-sama. Tapi aku mohon, kamu juga harus bangkit. Kamu juga harus kuat. Biar Om dan Tante di alam sana bangga dan bahagia melihat putrinya yang kuat.”
“Nika...”
“Iya. Aku tahu. Maka dari itu, mulai saat ini kita harus saling menguatkan. Dua kali lipat lebih kuat dari yang lalu. Seribu kali bahkan. Mau kan?” bujukku lagi.
Mungkin karena Dayu sudah lelah menangis. Atau karena gadis itu tahu apa yang kukatakan benar, akhirnya ia mulai bangkit. Sedikit demi sedikit Dayu berusaha untuk tegar. Menerima semua dengan hati yang lebih ikhlas. Dan tentu saja hal itu membuat keluargannya yang lain turut merasa lega.
“Aku balik dulu ya? Nanti kalau ada apa-apa kamu telepon aku, ngerti?” pintaku pada Dayu setelah menemani gadis itu mengisi perutnya.
“Hati-hati ya Ka. Dan terima kasih kamu selalu ada di sampingku.”
“Itu gunanya sahabat kan Yu. Kamu dan aku, ngga punya siapa-siapa. Mulai sekarang kita harus saling dukung satu sama lain.”
Setelah berpamitan pada Dayu dan kerabatnya yang masih tersisa, aku kembali ke rumahku. Sesampai di rumah, kubaringkan tubuhku. Melepas penat selama dua hari ini menemani Dayu. Otakku juga harus berpikir cepat apa yang akan kulakukan esok. Karena hingga detik ini aku sama sekali belum menemukan pekerjaan yang tepat. Tak mungkin aku terus bertahan dengan keadaan ini. Sampai berapa lama aku harus bergantung pada tabungan yang tersisa. Dan di saat berpikir keras seperti itu, ponselku berbunyi nyaring. Malas sekali rasanya mengangkat panggilan. Tapi aku takut panggilan itu dari Dayu yang membutuhkan kehadiranku. Jadi mau tak mau kejawab juga.
“Halo?”
“Benar dengan Danika?”
Aku mengernyit. Suara pria dari ujung sana seperti tak asing bagiku. Tapi aku juga tak memiliki banyak kenalan pria. Kujauhkan ponsel dari telinga demi bisa melihat si penelepon. Hanya nomor tanpa nama. Jadi jelas dia bukan seseorang yang berada dalam daftar kontakku.
“Iya. Ini siapa?” tanyaku berusaha mengenali si pemilik suara.
“Pemilik mobil yang kamu tabrak.”
Oh Tuhan! Kutepuk kepalaku karena bisa-bisanya aku melupakan insiden itu. Dua hari aku sama sekali tak mengingat perihal tabrakan tersebut. Bahkan ke mana mobilku saja tak kupusingkan saat membantu mengurus Dayu. Dan kini pria itu mengingatkanku akan semua hal yang kulupakan.
“Oh, maaf.”
Kugigit bibir bawahku karena hanya dua kata bodoh itu saja yang bisa kulontarkan. Dan seketika jantungku berdetak tak karuan. Mengingat bahkan aku memiliki hutang dari kejadian lalu yang belum kuselesaikan dengan pria ini. Matilah aku jika pria ini menuntut ganti rugi dua kali lipat. Darimana kudapatkan uang sebanyak itu. Mengingat mobil yang digunakannya salah satu merek mobil mewah. Belum lagi dengan kerusakan mobilku sendiri. Aku dalam masalah besar.
“Danika, kamu masih di sana?”
“Eh... i... iya. Ada apa?”
“Kamu punya waktu besok?” tanyanya dengan nada lembut. Sejenak aku terpaku karena nada suaranya.
“Hah? Untuk apa?” tanyaku dengan bodohnya. Merutuki otakku yang bekerja lambat akhir-akhir ini.
“Untuk membicarakan masalah kita.”
Kali ini jantungku nyaris copot mendengar permintaan pria tersebut. Rasanya aku belum siap untuk bertemu lagi dengannya. Tapi tak mungkin selamanya aku menghindar. Terlebih mobilku masih ada di tangannya.
“Oke. Di mana?” tanyaku akhirnya.
Pria di seberang sana menyebutkan nama salah satu restoran. Tak lupa ia juga menyebutkan waktu untuk kami bertemu. Meski masih enggan, namun akhirnya kusanggupi permintaannya. Setelah mengucap salam, dia menutup sambungan. Meninggalkan aku yang masih terdiam dan hanya mampu memandangi langit-langit kamar. Sembari berpikir kapan hidupku akan menjadi lebih mudah.
...
Note : maaf kalau work ini terlalu lama diabaikan. Soalnya mau rampungin revisi untuk si marimar dan dayung dulu sih. Tapi insya Allah work ini akan diusahakan tetap jalan. Meski makan waktu lebih lama, heheh. Oh ya, kalau di Oh, My Boss! Cuma sampai Danika nikah aja. Nah di work ini kemungkinan bakal sampai kehidupan Danika after marrried. Karena kan udah ada clue di work sebelah untuk Danika. nah di sini tinggal menjelaskan saja. Pokoknya selamat membaca dan terima kasih masih sabar menunggu work ini.
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya.
Pss : DWML udah hampir rampung, siap gak kalau PO-nya sekalian aja sama Oh, My Boss! Tapi kita lihat nanti juga deh. Soalnya kan satu mayor dan satu self publish. Takutnya gak ketemu proses kirimnya gimana.
Rumah, 12/18/12
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro