Chapter 15 - Perlahan Menerima
Sejak siang kurasakan kondisi tubuhku tak dalam kondisi baik-baik saja. Namun sekeras mungkin aku bertahan. Pekerjaan yang menyita waktu membuatku harus menyingkirkan rasa sakit di tubuh. Menguatkan diri demi nama profesionalitas.
Tapi sepertinya tubuhku tak bisa diajak berkompromi lagi. Tepat saat aku akan mengakhiri jam kerja hari ini, kurasakan kepalaku mulai pusing. Perutku pun serasa diaduk. Dengan tergesa aku memasuki kamar mandi yang berada di samping ruang ganti. Memuntahkan isi perutku.
Tubuhku terasa lemas meski aku sudah memuntahkan hampir semua isi perutku hari ini. Tak sanggup lagi, aku terduduk lemas di pinggir wastafel. Hingga Kartika masuk ke kamar mandi dan terkejut melihatku yang tak berdaya.
“Danika, kamu sakit?” tanya Kartika cemas.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Tak sanggup menjawab pertanyaannya karena kepala yang kurasakan semakin pusing. Entah apa yang terjadi hingga tiba-tiba kudengar suara derap langkah memasuki kamar mandi. Kesadaranku yang sudah separuh hilang membuatku tak mampu bergerak dan hanya pasrah saja saat seseorang membopong tubuhku.
Hingga saat aku berhasil membuka mata, aku sudah berada di ruangan dengan infus yang terpasang di tangan kiriku. Saat kepalaku menoleh, hanya ada Ibra di ruangan bersamaku. Mungkin Ibra bisa merasakan bahwa aku yang sudah sadar sepenuhnya, pria itu menoleh hingga tatapan kami saling mengunci.
“Mau minum?” tawarnya.
Aku tak menjawab. Tapi seolah tahu, Ibra perlahan mendekat dan membantuku untuk duduk tegak. Lalu pria itu menyodorkan sebotol air mineral.
“Saya sakit apa?” tanyaku setelah menuntaskan dahaga.
“Gejala tifus. Selain faktor makanan, sepertinya kamu juga kelelahan,” jelas Ibra. “Mulai sekarang, saya akan pantau pola makan kamu.”
Dahiku mengernyit. Memantau pola makanku? Memangnya Ibra siapa? Tepat saat aku akan buka suara untuk membantahnya, Ibra menyelaku.
“Saya peduli sama kamu, Danika. Saya nggak mau kamu sakit. Jadi turuti saya.”
Bibirku mencebik. Tapi begitu pun Ibra tak ambil pusing. Pria itu malah sibuk bertanya apa yang kubutuhkan. Apa aku lapar atau tidak. Atau posisiku sudah nyaman atau belum. Pria itu benar-benar berperan sebagai perawat pribadiku. Membuatku tak bisa menutup mata atas segala perhatian Ibra. Bahkan ketika aku akan tidur, Ibra tak lupa membantuku untuk menyamankan posisi. Baru ia ikut berbaring di ranjang tambahan yang ada di ruangan ini.
Ibra lebih dulu terlelap. Mungkin dia lelah karena mengurusku. Posisi ranjang kami yang bersebelahan membuatku bisa melihat Ibra. Pria itu tampak nyaman dalam tidurnya. Lama aku memerhatikan Ibra. Sampai akhirnya aku menyadari, kalau pria ini, berbeda. Ibra begitu tulus. Dengan segala perhatiannya padaku. Keyakinanku tiba-tiba menguat bahwa pria ini tak akan sama seperti Papa. Karena Ibra bukan Papa. Tak ada yang perlu kutakuti jika aku memberikan kesempatan pada Ibra untuk masuk ke dalam hidupku. Lelah berpikir akhirnya aku pun ikut terlelap bersama kantukku.
Saat pagi menjelang, aku meminta Ibra untuk mengambilkan ponselku. Aku harus mengabarkan pada Dayu tentang kondisiku. Sempat marah karena baru memberitahunya sekarang, akhirnya Dayu menghela pasrah. Terlebih saat kuberitahu ada Ibra yang menjagaku.
Dayu tiba saat Ibra sedang menyuapkan sarapan padaku. Ekspresi wajah jail gadis itu jelas membuatku malu setengah mati. Selama ini Dayu tahu jika aku begitu antipati pada Ibra. Tapi situasi saat ini jelas membuat gadis itu pasti berpikir nakal tentang kami.
“Gimana keadaannya?” tanya Danika.
“Dokter bilang sudah lebih baik.” Ibra menjawab seadanya. Kemudian kembali fokus padaku.
Ibra memaksaku untuk menghabiskan sarapan. Tapi aku sama sekali tak berminat lagi. Meski aku sudah menolak, Ibra tetap memaksa. Hingga membuatku terpaksa membuka mulut meski dengan wajah cemberut.
“Gimana bisa sakit sih, Nika?” Dayu kembali bertanya. Gadis itu meletakkkan kantong yang dibawanya.
“Kelelahan. Mungkin karena banyak pikiran. juga kerena pengaruh makanan dan daya tahan tubuh Danika yang menurun. Itu yang dikatakan dokter.” Ibra lagi yang menjawab.
“Sudah cukup,” ucapku menyela saat Ibra kembali mengarahkan suapan padaku.
Ibra menghela napas. “Sedikit lagi, Ka. Satu suapan lagi,” bujuknya. Aku menggeleng pelan. Bahkan menutup mulutku dengan telapak tangan.
“Satu suapan setelah itu saya nggak akan paksa kamu lagi,”
“Turutin deh, Nika. Mau cepat sembuh nggak sih?” Dayu ikut menimpali. Mungkin ia prihatin pada Ibra yang terus berusaha membujukku.
Diserang dua orang sekaligus, jelas aku kalah suara. Dengan wajah kesal, aku menerima suapan terakhir dari Ibra. Membuat kedua penyerangku tersenyum karena sikap patuhku. Ibra lantas membantuku meminum obat yang tadi diantarkan perawat saat kunjungannya membawakan sarapan untukku.
“Aku balik dulu deh. Soalnya cuma izin datang telat ke kantor. Enggak enak kalau kesiangan banget,” ucap Dayu akhirnya memecah suasana.
“Tapi nanti temani aku di sini , ya? Nginap,” pintaku sebelum Dayu pergi.
Gadis itu melirik Ibra yang memasang wajah tanpa ekspresi. “Bukannya ada Ibra, ya?” godanya.
“Ya, Pak Ibra kan harus urusin yang lain juga, Yu.” Dayu belum menjawab. Membuatku terpaksa memaksanya. “Nginap kan, Yu?”
Akhirnya Dayu mengangguk. Gadis itu pun kemudian berpamitan. Meninggalkan aku dan Ibra yang kembali membisu berdua di dalam ruangan. Ibra memilih untuk mengantarkan peralatan bekas makanku. Padahal ada petugas yang bisa melakukannya. Tapi pria itu berdalih ia ingin bicara khusus pada staf dapur rumah sakit perihal menu makananku selama di rawat.
Aku hanya bisa menghela napas kala Ibra sudah tak berada di dalam ruangan. Pria itu, bagaimana bisa dia begitu perhatian. Padahal aku bukan siapa-siapa baginya. Hanya karyawan di restorannya. Status lamaran Ibra yang belum kujawab, tak bisa dimasukkan ke dalam hitungan bahwa kami memiliki hubungan.
Saat aku masih berpikir dengan segala isi kepalaku, pintu ruanganku kembali terbuka. Ibra sudah kembali. Membuat pandangan kami saling mengunci.
“Saya tinggal dulu bisa? Ada yang harus saya kerjakan di Sushi Me.”
Aku mengernyit. Kenapa Ibra harus meminta izinku?
“Sebelum makan siang, saya pastikan sudah di sini lagi.”
“Kalau Pak Ibra nggak bisa ke sini, juga nggak apa-apa kok. Saya tahu Bapak punya banyak urusan. Bukan hanya harus mengurusi saya. Terima kasih karena sudah menemani saya semalam. Selain itu untuk bi ...”
Ibra menatap tajam padaku. Membuatku tak bisa melanjutkan ucapan.
“Jangan bicarakan soal biaya. Yang paling penting kamu sembuh dulu,” ucapnya tegas.
Aku hanya bisa menatap Ibra dengan raut tak setuju. Tapi begitu pun aku tak akan bisa menang dengan kekeras kepalaan pria itu. Ibra kemudian merapikan barang-barangnya sebelum pamit. Yang tak kusangka adalah perlakuan pria itu yang membuat jantungku kembali bergemuruh. Sebelum benar-benar pergi, Ibra mencium puncak kepalaku. Mengatakan ia akan kembali secepat mungkin. Meninggalkan aku yang masih terpaku karena perlakuannya.
...
Empat hari aku tertahan di rumah sakit dan akhirnya diizinkan pulang. Dayu turut serta mendampingiku. Kebetulan hari keluarnya aku dari rumah sakit bertepatan dengan libur akhir pekannnya Dayu. Karena itu aku juga memintanya menemaniku.
Ibra tetap dengan perhatiannya. Bahkan semua barang keperluanku selama di rumah sakit, pria itu yang membenahi. Membuat Dayu tak henti-hentinya menatap takjub pada Ibra.
“Ada yang lain lagi?” tanyannya padaku.
“Enggak ada. Dan juga, biaya administrasi ...” aku kembali bungkam karena decakan tak senang dari Ibra.
“Berapa kali saya katakan. Jangan pikirkan biaya. Cukup kamu kembali sehat.”
Tak bisa lagi membantah, akhirnya aku pasrah ketika Ibra mengiringiku dan Dayu berjalan keluar kamar rawatku. Selagi Ibra mengambil mobilnya di parkiran, ia meminta kami menunggu di lobi rumah sakit. Kemudian mengantarkanku dan Dayu kembali ke rumah. Pria itu lantas berpamitan pada kami setelah berjanji besok akan menjengukku lagi.
Dayu menyibukkan diri di dapur sementara aku meletakkan barang-barangku di kamar. Aku meminta Dayu untuk memasakkan semur untukku. Entah mengapa aku rindu dengan makanan itu.
“Ayo makan ...” Dayu berteriak memanggilku.
Aku keluar dengan wajah semringah. Tak sabar merasakan masakan Dayu. Tanpa banyak bicara aku mulai menyendokkan nasi dan lauk yang telah dimasakkan Dayu.
“Kangen banget ya sama makanan beginia?” tanya Dayu heran yang melihatku begitu bersemangat.
“Kamu nggak tahu saja, Yu, enggak enaknya makanan rumah sakit.”
Dayu hanya mengiakan saja ucapanku. Makan malam kami selingi dengan obrolan random. Sampai Dayu mengungkit perihal Papaku. Seketika napsu makanku menghilang. Bukan karena ucapan Dayu sepenuhnya. Tapi memang karena suasana hatiku mendadak kacau. Entah mengapa aku jadi ingat tentang Papa yang sempat di rawat di rumah sakit. Seperti yang dikabarkan Tante Indri saat itu.
“Ngapain nanyain mereka, Yu?” tanyaku kemudian. “Mungkin bagi Papa, aku sudah mati, Yu.”
“Jangan ngomong begitu ah,” Dayu tampak merasa tak enak hati.
Tapi meski begitu, aku memang tak ingin menyinggung lagi perihal Papa dan keluarganya. Meski kenyataan kalau benar Papa sempat sakit kemarin, mengapa sampai saat ini ia tak muncul di hadapanku. Tak pernah berusaha menghubungiku. Kenyataan itulah yang membuat rasa kecewaku pada Papa tak juga menyurut.
“Kalau Papa memang masih anggap aku anaknya, paling tidak sekali saja dia pasti bertanya tentang aku, Yu.”
Mungkin ini adalah ungkapan kekecewaanku akan sikap Papa. Meski berusaha seolah tak peduli, nyatanya aku masih manusia yang memiliki hati dan perasaan. Jauh di lubuk hatiku aku masih menginginkan Papa setidaknya sekali saja mengkhawatirkanku.
“Mungkin Papamu merasa bersalah, jadi beliau nggak punya keberanian untuk menghubungimu.”
“Bagus. Itu artinya dia masih manusia. Kalau dia nggak punya perasaan bersalah sedikitpun terhadapku, berarti dia sudah menjadi iblis. Hanya iblis yang nggak punya hati.”
Aku beranjak dari dudukku. Meletakkan piring kotor di wastafel. Namun saat akan mencucinya, Dayu menghentikanku. Mengatakan biar ia saja yang mencuci semua peralatan. Meski aku menolak, tapi Dayu juga menunjukkan sikap keras kepalanya. Dan memerintahkanku untuk istirahat di kamar.
Di dalam kamar, aku kembali mengingat percakapanku dengan Dayu. Terdengar jahat saat aku mengatai Papa sendiri sebagai iblis yang tak punya hati. Tapi salahkah aku yang masih menyimpan luka dan kekecewaaan terhadap Papa berkata kasar seperti itu?
Pikiranku terusik karena dering ponsel yang nyaring. Dengan segera aku mengangkatnya bahkan tanpa melihat siapa yang menghubungi. Saat terdengar salam dari suara yang sangat kukenal, jantungku seketika berdegup cepat. Ibra benar-benar mampu mengubah duniaku dalam sekejap.
“Sudah di minum obatnya?” tanyanya setelah aku membalas salamnya.
Obat. Bagaimana aku bisa lupa. Kugigit bibir bawahku karena melupakan untuk mengkonsumsi obat-obatanku. Tak juga menjawab, aku bisa mendengar hela napas Ibra di seberang sana.
“Jangan lupa obatnya, Danika. Gimana kesehatan kamu mau cepat pulih kalau kamu suka melalaikan obat-obatanmu.”
Aku tak bersuara. Hanya menikmati perhatian Ibra melalui omelannya. Tanpa kusadari senyumku mengembang. Hingga saat Ibra memanggil namaku, membuatku tersentak.
“Danika, kamu dengar saya kan?”
“Iya, dengar.”
“Apa?”
“Obatnya.”
“Bagus. Minum obatnya dan segera istirahat.”
“Bapak lama-lama mirip Nenek saya. Bawel.”
Kugigit lidahku pelan saat tersadar apa yang baru saja kukatakan. Hingga tawa renyah Ibra terdengar. Entah apa yang membuat pria itu tertawa begitu nyaring.
“Saya suka dengar kamu banyak bicara begini,” ucapnya kemudian.
“Saya nggak banyak bicara kok.”
“Apapun itu ... pastikan kamu minum obatnya. Kalau kamu nggak mau saya bawel lagi.”
“Hem,” gumamku.
Hening entah untuk berapa lama. Baik aku dan Ibra sepertinya tak masalah dengan kebungkaman kami. Padahal telepon masih terhubung.
“Danika ...” suara Ibra kembali terdengar. Aku tak menyahut. Menunggu Ibra melanjutkan ucapannya. “Kamu sudah pikirkan jawaban untuk saya?”
Apa ini? Kenapa dadaku berdegup lagi?
“Jawaban?” tanyaku ulang.
“Iya. Rasanya saya nggak sabar untuk mendengar jawaban kamu. Sepertinya saya harus mengingkari janji saya untuk menunggu kamu.” Jeda sejenak. “Apa bisa, saya dapatkan jawabannya segera?”
Aku bingung. Sungguh. Waktu yang dijanjikan Ibra paling tidak bisa membuatku berpikir. Atau melihat lebih banyak lagi apa yang bisa pria itu lakukan untukku. Tapi saat tiba-tiba Ibra meminta jawabannya, aku seperti tak punya alasan untuk menundanya. Apa yang Ibra lakukan untukku selama ini, terlebih merawatku di rumah sakit. Merelakan waktunya yang berharga hanya demi merawatku. Rasanya aku menjadi manusia tak punya perasaan jika tak segera memberinya jawaban.
Lagipula, apa lagi yang kutunggu? Restu keluarga Ibra sudah di tangan. Meski ada Tante dan sepupunya yang tak setuju. Tapi mereka bukan halangan. Yang paling penting adalah kesediaan orang tua Ibra menerimaku. Kerabat yang lain tak memberi restu pun tak akan jadi masalah dalam hubungan kami nanti. Karena kami lah yang akan menjalaninya. Bukan mereka.
“Danika ...”
“Ehm, jangan sekarang. Jangan lewat telepon. Nanti, saat kita ketemu,” jawabku akhirnya. Mungkin aku bisa merasakan Ibra yang merasa lega. Terdengar dari helaan napasnya yang ringan.
“Oke. kalau begitu besok.”
“Hah?”
“Besok. Bukannya saya katakan besok akan mengunjungi kamu?” ada nada geli dalam suara Ibra.
Aku panik. Yang benar saja. Hanya karena kukatakan akan memberi jawaban saat kami bertemu. Bukan berarti aku akan menjawab besok, kan.
“Oke, saya sudah cukup saya mengganggu. Sekarang kamu istirahat. Dan jangan lupa obatnya, Danika,” ucapnya bahkan saat aku belum memberikan penolakan atas apa yang dikatakan Ibra tadi. “Sampai ketemu besok, Danika.”
Ibra mengucap salam lalu menutup teleponnya. Aku bahkan belum sempat membalas salamnya. Dan lebih gilanya, aku belum sempat menolak Ibra untuk memberi jawaban besok. Dasar pria itu!
...
Note : kebut ini dulu ya. buat yang lain, mohon menyingkir dulu. terutama om kambing, hahaha. Selamat membaca.
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Rumah, 09/19/03
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro