Chapter 14 -Tak Bisa Menyangkal Lagi
Ibra memasakkan makan siang untuk kami. Meski sudah melewati jam makan siang pada umumnya. Tapi karena aku dan dia masih harus melewati beberapa sesi lama, jadwal makan siang kami terpaksa tertunda. Tapi begitu, sesi melodrama kami belum berakhir. Karena Ibra masih ingin mendengar keputusanku setelah penuturannya tadi. Ia tak memaksa, tapi ia masih butuh aku menerimanya. Itu saja.
Andai saja perutku tak berteriak minta diisi, mungkin aku akan segera menjawab permintaan Ibra. Tapi pria itu tak ingin aku kelaparan. Karena itu Ibra menghentikan sejenak pembicaraan kami. Dan berinisiatif untuk memasak.
Jika kupikir ia hanya bermodal bisnis membuka restoran Sushi Me, maka aku salah. IBRa ternyata menguasai keahlian yang umumnya dimiliki kaum hawa, memasak. Siapa sangka ternyata kesukaan memasaklah yang membuat Ibra beralih profesi menjadi pebisnis rumah makan. Meski memang basic pendidikannya adalah Manajemen Bisnis.
Tapi memasak adalah satu dari sekian kegiatan favorit Ibra. Ia tak mengambil kursus memasak atau semacamnya. Ia hanya bereksperimen sendiri di dapur. Tak ada larangan dari kedua orang tuanya bagi Ibra ketika pria itu sibuk di dapur. Jika biasanya anak lelaki akan diusir mundur dari dapur karena masih terlalu tabu atau tak lazimnya pria berada di area kekuasaan wanita. Tapi tidak dengan orang tua Ibra. Sejak duduk di bangku SMP, Ibra sudah terbiasa dengan dapur dan segalanya.
Aku menatap takjub pada hidangan di meja makan. Ada sayur asam, udang asam manis dan ayam madu terhidang. Rasanya aku saja sebagai perempuan belum tentu mampu menyajikan hidangan sebaik ini. Liurku mungkin menetes jika tak ingat bahwa saat ini aku tengah berhadapan dengan Ibra. Cacing-cacing di perut juga seakan sadar mereka sudah disuguhi makanan yang menggugah selera.
“Kenapa belum di makan?” tanya Ibra ketika pria itu akhirnya bergabung denganku di meja makan.
Aku terperanjat menatap Ibra. Selaparnya aku, mana mungkin aku bisa tak sopan. Memulai makan tanpa si pemilik rumah.
“Mana boleh saya makan tanpa Pak Ibra.”
Ibra hanya tersenyum samar. Pria itu lantas mulai mengambil nasi juga lauk pauknya. Kemudian memberikan piring yang tadi diisinya untukku. Membuatku makin bingung.
“Kenapa?” tanyaku.
“Makan yang banyak. Saya nggak suka lihat kamu kurusan.”
Harusnya aku tersanjung, namun alih-alih aku malah cemberut. Apa dia meledek bentuk tubuhku yang memang lebih kurus dari terakhir kali aku mengeceknya?
Tapi sudahlah, aku tak ingin bertengkar dengan Ibra hanya karena masalah makan. Harusnya aku bersyukur pria ini begitu baik mau memasak untukku. Jadi yang kulakukan selanjutnya adalah berdoa dan menikmati makan siangku.
Tak ada suara di meja makan kecuali denting alat makan yang beradu. Ibra sendiri pun juga menikmati makanannya. Meski aku memergokinya berkali-kali menatapku. Tapi aku tak ambil pusing. Hingga makanan di piringku tandas.
Jika tadi Ibra sudah berbaik hati memasak, maka sebagai balasan agar aku tak dianggap tak tahu diri, aku menawarkan untuk mencuci piring. Awalnya Ibra menolak. Tapi aku bersikukuh untuk melakukannya. Akhirnya ia menyerah dan membiarkanku mencuci peralatan makan. Sedang dirinya membantu membersihkan meja.
Tak butuh waktu lama, aku sudah menyelesaikan tugasku. Kemudian menyusul Ibra yang sedang bersantai di ruang televisi. Sesaat kakiku ragu melangkah, tapi tak mungkin aku terus berdiam diri di rumah Ibra. Bagaimana pun kami masih belum memiliki hubungan yang jelas. Atau kalaupun kami memiliki hubungan, tak baik bagi perempuan berada berlama-lama di rumah lelaki jika bukan suami atau kerabatnya.
“Pak Ibra ...” panggilku. Aku berdiri beberapa meter dari sofa yang diduduki Ibra. Pria itu langsung menegakkan kepalanya, menatapku.
“Ya, Danika?”
“Saya ... sudah bisa pulang kan.”
Ibra berdiri, berjalan ke arahku. Membuat jantungku kembali kebat-kebit. Walau sudah terlalu sering berdekatan dengan Ibra, tetap saja aku tak bisa mengendalikan kerja jantungku terhadap pria itu.
“Duduk dulu ya. Kamu masih belum memberi saya jawaban.”
“Tapi kan, katanya saya boleh berpikir.” Suaraku tak seketus biasanya.
“Iya. Tapi kamu baru makan. Biarkan organ pencernaanmu bekerja dengan baik dulu.”
Ibra menarik lenganku. Membawaku duduk di sofa. Kemudian mendudukkan dirinya di sampingku. Lagi-lagi jantungku bereaksi berlebihan. Berusaha bergerak samar, aku perlahan menjauh dari Ibra. Pria itu sadar, tapi tak mengatakan apapun.
Hampir dua puluh menit kami hanya berdiam. Dengan tatapan yang terpaku pada layar televisi yang menayangkan entah apa. Meski pandanganku terpaku ke layar, tapi tidak dengan pikiranku. Bahkan saat Ibra memanggilku, aku tak sadar. Hingga pria itu menyentuh lenganku, membuatku terlonjak kaget.
“A ... apa?” tanyaku gelagapan.
“Sudah ingin pulang?” tanya Ibra lagi.
“E ... memang sudah boleh pulang?” aku balik bertanya. Membuat senyum Ibra terukir.
“Saya nggak akan tahan kamu. Lagipula saya juga tahu, kamu khawatir kan dengan kondisi kita yang hanya berdua.” Aku mengangguk. “Jadi, kamu sudah siap pulang?”
Jika tadi aku ingin pulang, entah mengapa sekarang aku seperti enggan. Seperti ada sesuatu yang menahanku untuk segera pulang. Bahkan saat Ibra sudah berdiri, aku masih duduk sembari mendongak menatapnya.
“Kenapa?” tanyanya lagi.
“I ... jawabannya?” entah mengapa justru kata itu yang tercetus dari bibirku. Ingin kutarik tapi tak akan mungkin. Karena Ibra sudah tersenyum simpul mendengarnya.
“Take your time. Tapi jangan terlalu lama. Atau saya akan langsung paksa kamu.”
Mataku membelalak dengan mulut separuh terbuka. Tak percaya Ibra akan mengatakan hal tersebut. Cepat-cepat kuperbaiki ekspresiku jika tak ingin memancing tawa Ibra karena sikap bodohku. Aku pun segera berdiri menyusulnya.
Saat melewati car port, sekali lagi kulangkahkan kakiku menuju mobil kenangan yang terparkir di sana. Mengelus badan mobil yang terlihat begitu mulus dan terawat. Rasanya tak cukup hanya terima kasih yang bisa kuberikan pada Ibra untuk mengungkapkan rasa legaku karena benda itu begitu dirawat dengan baik.
“Terima kasih.” Ibra tampak terkejut. “Karena sudah merawat mobilnya. Itu hadiah dari Mama. Satu-satunya pengingat paling nyata akan keberadaan Mama.”
Aku tak tahu mengapa aku harus membeberkan fakta itu pada Ibra. Tapi kurasa aku memang harus mengatakannya. Jika Ibra menganggap mobil itu sama berarti baginya. Maka ia harus tahu arti mobil itu bagiku.
“Kalau kita menikah, kamu bisa memilikinya lagi.”
Wajahku pasti sudah memerah mendengar kata-kata yang keluar dari bibir Ibra. Bahkan aku bisa merasakan telingaku memanas. Terlalu banyak ucapan spontan pria itu yang berhasil membuatku hampir kena serangan jantung.
Tak ingin memperpanjang, aku memilih segera masuk ke mobil Ibra. Pria itu langsung tersenyum sembari membuka gerbang rumahnya. mengeluarkan mobil kemudian menutup gerbang kembali. Lalu menyusulku lagi ke dalam mobil. Duduk di balik kemudi dan siap mengantarkanku pulang ke rumah.
...
Hubunganku dan Ibra perlahan membaik. Dalam arti, aku mulai membuka diri terhadapnya. Meski harus perlahan, tapi Ibra sama sekali tak keberatan untuk menyamakan langkahnya denganku.
Walau aku dan Ibra tak pernah mendeklarasikan apapun, seluruh pegawai Sushi Me seolah tahu bahwa aku dan Ibra tak lagi seperti bermain kucing dan tikus. Mereka melihat aku yang tak lagi berusaha menghindari Ibra tiap kali pria itu mendekat atau bicara denganku. Tapi begitu, aku tetap menjaga jarak dengannya jika sedang bekerja. Tak ingin dipandang tak profesional dan melalaikan tugas hanya karena Bos besar menyukaiku.
Tapi sebaik apapun hubungan, akan selalu muncul riak kecil di tengah tenangnya. Seperti yang siang ini terjadi. Saat aku melihat Bintang dan dua orang temannya tiba di Sushi Me. selama bekerja, aku jarang melihatnya datang. Atau memang dia sering datang tapi karena aku tak mengenalnya, jadi aku berpikir bahwa dia sama seperti pelanggan pada umumnya. Terlebih tak pernah sekalipun aku melihat Ibra berbincang atau menyambutnya selama aku bekerja di tempat ini.
Sebagai pegawai tentu saja aku harus bersikap layaknya pramusaji yang ramah dalam melayani pelanggan. Meski kini aku tahu Bintang adalah adik sepupu Ibra, aku tetap menyambutnya selayaknya pengunjung lain.
“Ini buku menunya, silakan memesan,” ucapku seramah mungkin.
Bintang sendiri seolah tak mengenalku. Ia bertindak bak pelanggan terhormat yang menunjukkan bahwa dirinya saat ini adalah Raja. Jadi harus diperlakukan selayaknya. Karena apa yang ia bayar atas makanannya nanti adalah pemasukan untuk membayar gajiku. Gadis itu menyebutkan pesanannya yang kucatat dengan cermat. Tak ingin memberinya celah untuk melakukan komplain terhadapku nanti.
“Kalian mau pesan apa, Manda, Prita?” tanyanya beralih pada kedua temannya.
Telingaku tak salah mendengar saat ia menyebut nama ‘Manda’ pada salah seorang temannya. Amanda, sahabat Bintang yang menyukai Ibra, bukan? Kulirik kedua gadis itu, mencoba menebak yang mana gadis bernama Manda tersebut.
“Samain kamu aja deh,” ucap seorang dari kedua gadis tersebut. Gadis yang menurutku sangat cantik. Berkulit putih dengan wajah yang menunjukkan betapa ia begitu terbiasa dengan perawatan mahal.
“Kamu, Prita?”
Ah, aku akhirnya tahu. Gadis cantik pertama tadi lah yang bernama Manda. Pantas saja, gadis secantik dia bisa jatuh hati pada Ibra. Jika dibandingkan denganku, tak akan bisa disandingkan. Bukan berarti aku ingin rendah diri. Tapi kalau ditilik dari apapun, jelas gadis bernama Amanda itu begitu tepat jika bersanding dengan Ibra.
Terlalu asyik bercengkerama dengan isi kepalaku, hingga aku tak sadar Bintang sudah mengeraskan suaranya padaku. Membuatku gelagapan saat menjawabnya. Gadis itu langsung memasang tampang masam. Berdecak tak suka karena sikapku yang tak fokus dalam bekerja.
“Samakan saja pesanannya dengan yang pertama,” ucapnya ketus. Membuatku mengangguk dan berpamitan pada ketiga Nona besar itu untuk memproses pesanan mereka.
“Meja 6,” ucapku pada Kartika, kasir yang saat ini bertugas untuk mencatat di komputer sebelum aku memberikan kertas pesanan ke bagian dapur.
“Kenapa?” tanya Kartika ketika melihatku menghela napas.
“Hah?”
“Kamu, kenapa lesu begitu?”
“Enggak. Cuma dapat pelanggan galak aja.”
“Meja 6?” Kartika menyerahkan kembali kertas yang tadi kuberikan padanya setelah memasukkannya ke dalam data.
“Biasalah lah. Aku ke dapur ya.” pamitku yang dibalas anggukan Kartika.
Saat akan melintas ke dapur, kulihat sosok Ibra yang sudah bergabung bersama sepupunya dan kedua gadis tadi. Wajah Manda begitu berbinar kala menatap Ibra. Membuatku kembali menghela napas pelan. Tapi segera kusingkirkan perasaan tak nyaman tersebut. Aku harus fokus bekerja saat ini. Jika tak ingin semua menjadi kacau.
Setelah meletakkkan kertas pesanan untuk diproses, aku kembali ke ruang jamuan. Melayani pelanggan lain yang baru tiba. Selama itu, aku bisa merasakan Ibra yang terus mencuri pandang ke arahku. Tapi sebisa mungkin kuabaikan lirikan pria itu.
Hingga saat aku mengantarkan pesanan ke meja Bintang dan sahabatnya, gadis itu seperti sengaja memancing pembicaraan agar Ibra dan sahabatnya yang bernama Manda itu terlihat dekat. Dengan jelas bisa kulihat Bintang melirikku sambil menyunggingkan senyum sinis. Seolah menegaskan bahwa ia sama sekali tak setuju jika Ibra memilihku.
Tak ingin termakan oleh omongan Bintang, aku segera menyingkir setelah mengantarkan semua pesanan mereka. Waktu istirahatku juga hampir tiba. Jadi setidaknya aku bisa menyingkir sejenak untuk menenangkan isi kepalaku yang panas.
Aku memilih menikmati di luar Sushi Me. Rumah makan Padang yang berjarak beberapa ratus meter dari Sushi Me menjadi pilihanku. Setelah mengatakan pesanan pada pramusaji di sana, aku menunggu di salah satu meja kosong yang jauh dari pintu masuk rumah makan. Yang tak kusangka selanjutnya adalah tiba-tiba Ibra sudah duduk berhadapan denganku. Bahkan aku tak sempat mengedip saat pria itu juga sudah mengatakan pesanannya pada sang pramusaji.
“Kok?” hanya itu yang bisa keluar dari bibirku.
“Mau menemani kamu makan siang.”
“Tapi ... Bintang dan teman-temannya?”
“Memang kenapa dengan mereka?”
Mataku mengerjap. Seperti ada kata yang tertahan di lidahku. Namun akhirnya aku tak mengatakan apapun. Memilih bungkam selagi menunggu pesanan datang. Setelah menyelesaikan makan siang yang tanpa kata, aku dan Ibra kembali ke restoran. Meski kami berjalan bersisian, tapi tetap tak ada satu suarapun yang keluar. Hingga kami tiba di depan Sushi Me.
“Saya balik kerja dulu,” pamitku yang diangguki Ibra.
“Pulang nanti saya antar.”
Belum sempat aku menjawab, Ibra sudah berjalan menuju ruangannya. Mataku hanya mampu menatap punggung lebar Ibra yang perlahan menjauh. Beberapa pasang mata mungkin menyaksikan interaksi kami. Hingga aku mengalihkan tatapan karena merasa ada yang begitu intens melihatku.
Benar saja. Saat aku berpaling, tatapan tajam datang dari meja enam. Di mana Bintang dan kedua sahabatnya menatap tajam padaku. Tatapan yang mungkin bisa membakarku hidup-hidup karena bara kemarahan yang bisa kutangkap dari mata mereka. Terutama Bintang. Tapi aku tak ingin ambil pusing. Kuabaikan mereka dan kembali ke pekerjaan yang sudah menungguku.
...
Note : nanggung lagi? sabar hahahha. Mulai fokus ke work ini dulu ya. karena mau ngebut untuk PO work ini sama Freya April nanti, hehehe. Selamat membacaaaaaa
Ps : makasih kokreksi typo dan lainnya
Rumah, 07/19/03
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro