Chapter 11 -Lamaran Ibra
Kakiku menginjak tanah pemakaman di mana Mama telah beristirahat dengan tenang. Aku seperti anak yang tak berbakti karena sudah cukup lama tak menemui Mama. Hanya karena kalung yang dikenakan Tante Indri kemarinlah aku akhirnya ingat kembali pada Mama. Aku ingin memohon maaf pada beliau karena sempat lupa mengunjunginya. Meski begitu aku tak pernah melupakan menyebut nama Mama dalam doa.
Sebuket mawar putih sudah ada di atas makam Mama. Aku menghela napas pelan. Sangat tahu siapa orang yang meletakkkan di sana. Hanya aku dan Papa yang tahu betapa Mama menyukai bunga mawar putih. Setitik sudut di hatiku menghangat karena ternyata Papa masih mengingat Mama. Meski ia tak berusaha mencari tahu keadaan putrinya, yaitu aku.
"Assalamualaikum, Ma. Maaf kalau aku jarang berkunjung ke makam Mama," aku memberi salam sembari membersihkan makam Mama dari dedaunan yang mengotorinya.
Aku tak ingin mengadukan kesedihanku. Karena sejak kecil memang aku jarang mengadu pada Mama dan Papa. Yang kulakukan memang hanya berdoa dan menyapa Mama. Tak ada adegan tangisan karena aku tak ingin Mama tak tenang di alamnya sana.
Setelah selesai berdoa, aku berpamitan pada Mama. Hari ini adalah jatah liburku di Sushi Me. Karena itu aku tak perlu merasa terburu-buru. Daripada kembali ke rumah, aku memilih menghabiskan waktu ke toko buku. Sudah lama aku tak berburu bacaan. Apa salahnya jika aku sedikit bersenang-senang di hari liburku.
"Maaf," ucapku bersamaan dengan seseorang yang juga mengambil buku yang sama denganku.
Pria itu tersenyum simpul. Kemudian mengulurkan tangannya sebagai isyarat aku bisa memiliki buku tersebut. Setelah memberikan senyum kecil sebagai rasa terima kasih, aku segera mengambil buku tersebut. Lalu melanjutkan kegiatanku berburu buku kembali.
Tak terasa hampir tiga jam aku menghabiskan waktu di toko buku. Kulanjutkan dengan berbelanja beberapa bahan makanan yang kuingat sudah hampir menipis di kulkasku. Ah, rasanya aku ingin memasak sup daging hari ini. Mungkin mengundang Dayu untuk menginap. Lumayan lama kami tak bercengkerama karena kesibukan masing-masing.
Mengingat Dayu, aku selalu ingin tertawa karena laporan gadis itu. Ada saja perseteruan yang ia da Bosnya lakukan tiap harinya. Seperti kemarin juga Dayu melaporkan bagaimana pria itu mengganggu hari minggunya. Padahal Dayu sudah berencana untuk beristirahat dengan tenang setelah selama sepekan berhadapan dengan Damar.
Kadang aku iri dengan Dayu. Meski selalu berseteru dengan Damar, tapi ia begitu menikmati hidupnya. Dayu yang tak memiliki kedua orangtua tapi selalu terlihat bahagia. Tanpa beban. Sedang aku, meski sudah hampir bertahun tak bersentuhan dengan Papa dan keluarga barunya, tetap saja masih menyisakan sesak di dada. Sakit karena tetap tak habis pikir bagaimana Papa bisa memilih membiarkanku keluar dari rumah. Dan bertahan tanpa pernah sekalipun berusaha mencari atau menemuiku.
Sudah, tak ada guna aku terus metatapi nasib. Yang terpenting sekarang aku harus terus kuat dan bergerak maju. Mau sampai kapan aku hanya akan berjalan di tempat yang sama. Dengan rasa sakit yang sama. Meski tak akan mudah, tapi bukan berarti aku tak bisa. Hidupku, bahagiaku, maka aku lah yang akan menciptakannya.
Tapi bahagiaku sepertinya tak akan pernah terasa sempurna. Karena selalu ada celah bagi seseorang mengusiknya. Di hari santaiku sekalipun. Tepat ketika taksi yang kutumpangi berhenti di tepi jalan rumahku, seseorang sudah menantiku. Di sana, Ibra sudah berdiri menanti di teras rumah. Membuatku memutar mata, malas. Mau apa pria itu ada di sini?
"Sejak kapan Pak Ibra ada di rumah saya?" tanyaku tak ramah. Aku ingin hari liburku tanpa dia. Tapi mengapa Ibra justru selalu muncul.
"Kamu darimana?" bukannya menjawab, Ibra malah balas bertanya.
"Ini hari libur saya. Bisa nggak sih, sehari saja kita nggak usah ketemu?" pintaku dengan jengkel.
Tapi bukannya marah, Ibra malah mengulas senyum. Pria itu mengambil alih kantong plastik yang kubawa kemudian memerintahku untuk membuka pintu. Mau tak mau aku segera melakukan apa yang diperintahkan Ibra. Pria itu masuk seakan itu rumahnya sendiri. Segera kuambil alih berbagai kantong belanjaku dari tangan Ibra dan meletakkannya di meja makan. Kemudian kembali menemui Ibra di ruang depan.
"Pak Ibra mau apa datang menemui saya?" tanyaku kembali. Aku tak benar-benar tak bisa berbasa-basi dengan pria itu.
"Cuma ingin menemui kamu."
Dahiku mengernyit. Jawaban macam apa itu?
"Sudah kan? Kalau begitu, Pak Ibra bisa pulang."
"Kamu tidak berniat menyambut tamu, Danika? Paling tidak tawarkan sedikit keramahan berupa minuman meski air putih. Itu adab dalam menyambut tamu."
"Saya sama sekali nggak mengharapkan Pak Ibra bertamu ke rumah saya. Dengan begitu Bapak bisa kan pergi dari rumah saya?"
Ibra tampak tak setuju dengan pengusiranku. Pria itu kini berdiri dan mendekat padaku. Membuatku gugup dan refleks memundurkan langkah.
"Mau apa?" pekikku tertahan kala Ibra sudah berdiri di hadapanku. Wajahku harus sedikit mendongak karena postur Ibra yang lebih tinggi dariku.
"Danika, kenapa kamu harus selalu ketus pada saya? Tidak bisa ya sedikit lebih ramah. Saya bukan musuh kamu. Kamu tahu kan kalau saya..."
Tanganku menjulur menahan dada Ibra. Sontak aku dan pria itu sama-sama membeku. Sungguh, aku refleks melakukannya. Tapi sepertinya Ibra tak terganggu sama sekali. Ia malah memegang tanganku yang tadinya akan kujauhkan dari tubuhnya.
"Tolong jangan bikin saya bingung, Pak," ucapku akhirnya.
"Saya sama sekali tidak ingin membuat kamu bingung. Kamu tahu, saya serius tertarik sama kamu. Dan saya tidak pernah ingin bermain-main dengan perasaan dan rasa tertarik saya."
Aku membeku. Meski Ibra sudah terlalu sering menunjukkan gelagat bahwa ia tertarik padaku. Tapi ini pertama kalinya pria itu bicara langsung perihal perasaannya. Dan aku benar-benar kehilangan kemampuan bicara untuk membalas atau sekedar membantah ucapannya seperti yang biasa kulakukan.
"Danika, sejak awal bertemu dengan kamu, sejak insiden tabrakan itu, saya sudah tertarik sama kamu. Saya nggak akan menutupi apapun. Dan saya rasa kamu tahu itu dengan saya yang selama ini selalu berusaha mendekati kamu."
Ibra itu terkenal sebagai pria yang tak banyak bicara. Tapi saat ia banyak bicara seperti saat ini, aku sangat ingin meminta pada Tuhan untuk melumpuhkan kemampuan bicaranya sejenak.
"Saya nggak mau dengar apapun. Tolong, Pak Ibra pergi dari rumah saya, ya?"
Bisa kurasakan mataku mulai memanas. Mungkin Ibra tahu bahwa sebentar lagi aku akan menangis, pria itu mengalah. Sebelum pergi, Ibra mengusap lembut punca kepalaku. Lalu berpamitan. Begitu Ibra keluar dari rumah, aku segera menutup pintu rapat. Tak peduli itu salah satu bentuk ketidak sopanan. Tapi aku benar-benar tak ingin melihat pria itu untuk saat ini.
...
Hampir seminggu setelah pernyataan perasaan Ibra, aku kembali berusaha menghindari pria itu. Tiap kali Ibra memintaku menemuinya di kantor, aku selalu menolak. Tak peduli jika pria itu jengah dan memecat karyawan pembangkang sepertiku. Tapi aku benar-benar ingin menjauhi Ibra.
Tentu saja sikapku yang seperti melakukan perlawanan atas segala perintah Ibra menjadi bahan pembicaraan rekan-rekan di Sushi Me. Ada yang mencibir dan ada yang berusaha memahami alasanku. Aku berusaha menulikan telinga dari segala cibiran itu. Apapun yang kulakukan itu adalah urusanku.
Tapi sekeras apapun berusaha, tak selamanya aku akan bisa menghindari Ibra. Terlebih kami masih di lingkup kerja yang sama. Maka selalu tiba saatnya saat aku tak bisa lagi berlari darinya.
"Kamu diminta Pak Ibra menghadap ke ruangannya, Nika." Anwar menghampiriku yang baru kembali ke dapur setelah mengantarkan pesanan.
Aku menatap Anwar dengan pandangan memohon. Tapi pria itu langsung mencela.
"Jangan terus menghindar, Danika. Saya tahu kamu merasa terganggu. Tapi saya juga tahu bagaimana perasaan Pak Ibra sama kamu. Selesaikan. Bila perlu pertimbangkan. Saya nggak tahu bagaimana hidup kamu. Bagaimana hubungan kalian. Tapi cukup lama menjadi rekan kerja kamu, saya bisa katakan kamu tipe orang selalu merasa insecure. Ada saatnya kamu harus mengalah dan membiarkan orang lain masuk ke dalam hidup kamu."
Sekali lagi aku menatap Anwar. Kali ini dengan pandangan tak percaya. Ingin menyangkal, tapi apa yang dikatakan pria itu sangat benar. Tak selamanya aku bisa bersembunyi di cangkangku. Setelah memantapkan hati, aku menemui Ibra.
Setelah mengetuk pintu dan dipersilakan masuk olehnya, barulah aku berani melangkah ke dalam ruang kerja Ibra di Sushi Me. Meski sudah pernah memasuki kantornya, tetap saja tiap aku berada di sana memberikan rasa tak nyaman. Apalagi dengan kejadian tak menyenangkan beberapa waktu lalu yang melibatkan aku dan Tante Indri.
"Silakan duduk, Danika," ucap Ibra.
Pria itu menghentikan segala kegiatannya dan memfokuskan pandangan padaku. Dengan langkah pelan aku mendekatkan diri pada kursi yang ditunjuk Ibra. Sengaja menghindari kontak mata dengan pria itu.
"Saya tahu kamu menghindar lagi. Tapi saat ini saya benar-benar harus bicara dengan kamu," suara Ibra terdengar sangat serius. Membuatku takut mendengar apa yang ingin disampaikan pria itu.
"Apa sebenarnya yang ingin Pak Ibra bicarakan? Bapak ingin memecat saya karena tindakan tak sopan saya?" tanyaku ragu-ragu.
"Bukan itu."
Jawaban singkat Ibra membuatku makin bingung. "Lalu?"
Ibra melipat kedua tangannya dan menumpukan beban tubuhnya ke depan. Wajah seriusnya makin serius kala menatapku.
"Orangtua saya sudah bertanya kapan saya akan menikah..."
"Lalu, apa hubungannya dengan saya?"
"Mereka berencana untuk mengenalkan saya dengan putri, sahabat mereka."
Aku masih belum bisa mengikuti ke mana arah pembicaraan Ibra. Mungkin karena terlalu banyak hal yang kupikirkan hingga nalarku tak bisa mengangkap secepat dulu.
"Tapi saya katakan kalau saya sudah punya calon istri."
Sampai kalimat Ibra meluncur mulus barulah aku mencapai titik terang maksud pembicaraan ini. Jelas saja aku terkejut. Rasa panik seketika melandaku.
"Maksud Pak Ibra..."
Pria itu mengangguk. "Iya. Saya ingin kamu yang menjadi istri saya."
Kutatap Ibra dengan pandangan horor. Hatiku langsung dilanda gemuruh. Tak bisa seperti ini. Aku sangat tidak siap dengan keinginan lugas yang dilontarkan Ibra.
"Kamu bersedia jadi istri saya, Danika?" tanyanya dengan wajah seribu persen serius.
Refleks aku berdiri. Meninggalkan ruangan Ibra dengan tergesa-gesa. Membuat pria itu terperanjat. Tapi Ibra tak membiarkanku kabur semudah itu. Ia menyusulku ke ruang ganti. Meminta beberapa karyawan yang ada di sana untuk sekedar bersantai meninggalkan tempat itu.
"Danika..."
"Saya nggak mau dengar apapun!" tolakku sembari menutup telinga dan menundukkan pandangan. Aku tak sanggup menatap wajah Ibra.
"Saya serius, Danika. Tolong pikirkan," pintanya berusaha menarik lepas kedua tanganku yang menutupi telinga.
Entah mengapa di situasi ini sisi lemahku muncul. Bukannya melawan Ibra, aku malah sudah terisak. Sambil terus meminta Ibra untuk keluar dari ruangan itu. Memohon padanya untuk meninggalkanku seorang diri di sana.
Lagi-lagi Ibra mengalah dan menuruti keinginanku. Pria itu pergi sesuai dengan permintaanku. Memberiku waktu sendiri seperti yang kupinta. Setelah yakin Ibra tak lagi berada di dekatku, aku mencoba meredakan isakanku. Tapi sialnya, tak semudah itu.
Ucapan serius Ibra yang memintaku menjadi istrinya kembali terngiang di telingaku. Ketakutanku nyata adanya. Tentu saja aku belum siap menerima Ibra atau siapapun untuk menjadi pendampingku. Masih terbayang bagaimana pengkhianatan Papa. Bagaimana Papa dengan mudahnya memasukkan Tante Indri ke rumah kami saat tanah kubur Mama mungkin belum mengering. Dan aku tak tahu sampai kapan aku siap menerima pria lain dalam hidupku.
Dengan tangan bergetar, kuambil ponsel dari saku seragamku. Waktu yang terpampang di layar menunjukkan bahwa jam kerjaku hampir berakhir. Setelah menarik napas untuk meredakan isakan, kuhubungi Handayu. Saat ini aku butuh dia.
"Halo, Nika?" sapa Dayu pada dering pertama. Mendengar suara gadis itu membuatku luar biasa lega.
"Yu..." panggilku dengan suara bergetar.
"Heh? Kamu kenapa?" suara Dayu berubah cemas.
"Bisa jemput aku di sini?"
Aku tahu itu kekanakan. Tapi aku tak sanggup keluar dari tempat ini tanpa bantuan Dayu. Aku butuh gadis pemberani itu. Aku tak sanggup menghadapi tatapan heran orang-orang di sini. Terlebih aku belum sanggup bertatap muka dengan Ibra lagi.
"Oke, kamu tenang. Apapun yang sekarang lagi kamu hadapi, kamu harus tenang, Danika. Secepatnya aku jemput kamu ke sana, oke!"
Aku mengangguk kemudian menutup panggilan. Setelahnya kembali isakanku menggema. Entah bagaimana tapi aku sendiri tak tahu mengapa tak bisa berhenti menangis. Ketotololan yang sama sekali tak bisa kuhentikan. Hingga mungkin satu jam kemudian, suara Dayu menyentakkanku.
"Danika?" panggilnya.
Aku langsung mengangkat kepala. Melihat Dayu sudah berada di depan pintu ruang ganti. Gadis itu langsung mendekat padaku. Yang langsung kupeluk erat. Dan kembali aku menangis di pelukan Dayu.
"Ada apa?" tanya Dayu mencari tahu. Tapi aku tak menjawab. Memilih mengeratkan pelukanku padanya. "Hei... ayo cerita..."
Setelah beberapa menit larut dalam tangisan, akhirnya aku bisa sedikit demi sedikit menghentikan tangisan. Perlahan aku melepas rangkulan erat di tubuh Dayu. kubersihkan wajahku yang mungkin sudah tak karuan dengan tangan.
"Mau cerita sekarang?" Dayu memberikan tisu yang ia ambil dari dalam tasnya.
Kuambil tisu yang disodorkan Dayu, namun menggeleng. "Jangan di sini."
Aku merapikan diri dan barang-barang di dalam loker. Kemudian bersama kami keluar dari ruang ganti. Saat kami melewati ruang jamuan, beberapa pengunjung dan rekan kerja menatap ke arahku dan Dayu. Tapi kami berdua tak ambil pusing. Hingga tiba-tiba saja Ibra sudah berada di hadapan kami. Spontan, aku mundur selangkah. Tanganku mengerat pada tas yang kugunakan dengan tubuh yang seketika membeku. Kularikan pandanganku saat tahu Ibra menatap intens ke arahku.
"Kamu mau pulang?" Ibra bertanya yang tak kuacuhkan. Aku memilih meraih lengan Dayu dan memegangnya erat.
"Jam kerja Danika sudah kelar, kan?" Dayu yang akhirnya bicara. Bisa kulihat dari sudut mata, Ibra mengangguk. "Kalau gitu kami permisi."
Dayu menarikku untuk segera meninggalkan Sushi Me. Namun saat kami melewati Danika, pria itu mengatakan hal yang kembali membuatku terperangah.
"Saya serius, Danika. Pikirkan permintaan saya tadi," ucap Ibra meski tak begitu kuat. Tapi jelas Dayu bisa mendengarnya.
Aku tak memedulikannya. Kini malah aku yang menarik tangan Dayu. Mempercepat langkah kami untuk segera menjauh dari Sushi Me. Mungkin Dayu bingung, tapi gadis itu memilih menurut saja padaku. Bahkan hingga kami menemukan taksi yang akan membawa pulang ke rumah. Aku dan Dayu tetap memilih untuk tak buka suara. Belum saatnya.
...
Note : akhirnya bisa nulis ini lagi, hahaha. Nah ini part yang di Oh My Boss gak ada. Sudah gak penasaran lagi kan. Sabar ya... insya Allah semua tulisan aku kerjakan kok. Meski dengan tersendat, tertatih, dan terjun bebas hahahah
Ps : Makasih untuk koreksi typo dan lainnya
Rumah, 12/19/02
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro