20
Happy reading!
Author POV
Suara detikan jam terdengar jelas di sebuah kamar. Suasana kamar itu terasa sunyi, padahal di dalamnya ada tiga orang. Tapi mereka hanya diam, tak berbicara sepatah kata pun sejak lima menit yang lalu.
"Ekhem."
Arsen yang tak tahan dengan suasana canggung ini akhirnya bersuara. Ia sangat tidak nyaman dengan keterdiaman mereka.
"La, apa tujuan lo nahan gue sama Viola di sini?" ucap Arsen pada gadis yang bersandar di kepala ranjang.
Arsen dan Viola memang masih tinggal di kamar Khaila, itu karena gadis pemilik kamar menahan mereka untuk tinggal sejenak.
"Gue pengen cerita sama kalian. Tapi gue mohon jangan bilang ini ke siapapun. Karena cuma kalian yang gue percaya," ucap Khaila dengan lirih.
Viola yang sedari tadi sibuk dengan kukunya kini memfokuskan penglihatannya pada sosok gadis dengan wajah pucat itu.
Arsen menggenggam tangan Khaila. "Lo mau cerita apa? Pasti kami dengerin."
Diam-diam Viola melirik ke arah tautan tangan Arsen dan Khaila. Ada rasa tak rela saat Arsen memperlakukan Khaila demikian.
"Gue kena kanker," ucap Khaila diakhiri lelehan air mata yang mengalir dari sudut mata gadis itu.
Jantung Viola seperti berhenti bekerja. Apa yang dikatakan Khaila benar? Atau hanya kebohongan semata? Tapi melihat reaksi Khaila tak mungkin jika gadis itu berbohong pada mereka.
"K-kanker?" ucap Arsen tak percaya. Ia sangat shock mendengar ucapan Khaila. Padahal Khaila terlihat baik-baik saja. Bagaimana bisa gadis itu menderita penyakit yang berbahaya?
"Lo bohong kan, La?" ucap Viola. Ia belum benar-benar percaya.
"Gue nggak bohong. Gue kena leukimia stadium tiga," balas Khaila lirih.
"Kenapa lo diam aja, La? Kenapa nggak bilang dari awal?" ucap Arsen.
"Gue juga baru tahu tiga hari yang lalu setelah gue mimisan dan berakhir pingsan," ucap Khaila sendu.
Viola hanya diam, tetapi telinganya mendengarkan obrolan Arsen dan Khaila. Ia masih terkejut dengan penuturan Khaila, tak menyangka jika gadis yang dibencinya menderita penyakit yang sangat mematikan.
Tiba-tiba rasa bersalah muncul, ia menyesal karena membenci Khaila. Padahal gadis itu tak pernah melakukan kesalahan padanya.
Viola menggenggam tangan Khaila satunya. "Lo yang sabar, La. Kalau lo perlu sesuatu, lo bisa hubungin gue atau Arsen. Kita usahain biar dateng cepat. Lo juga harus semangat, ada kita yang selalu dukung lo."
"Yang dibilang Viola bener, La. Lo harus semangat. Gue yakin lo pasti sembuh," ucap Arsen berusaha menguatkan Khaila.
Khaila tersenyum tipis. "Gue seneng banget bisa kenal sama kalian. Tapi kalau masalah sembuh, gue nggak yakin."
"Lo jangan pesimis, La. Lo harus tetep semangat dan kuat," ucap Viola.
"Kami pamit pulang dulu, La. Udah terlalu lama kita ke sini," ucap Arsen.
"Iya. Makasih udah mau datang," ucap Khaila.
"Nggak masalah. Kalau ada waktu kita datang lagi ke sini," balas Arsen. Khaila menanggapi ucapan Arsen dengan senyuman.
Selanjutnya Arsen dan Viola bangkit, lalu berjalan menjauh dari ranjang Khaila. Mereka menoleh sebentar sebelum hilang di balik pintu.
Arsen menggenggam tangan Viola, lalu membawanya mendekat ke arah kakak Khaila yang sedang duduk di sofa.
"Kak, kami pamit pulang dulu."
Laki-laki yang sedang sibuk dengan handphone-nya mendongak. Lalu meletakkan handphone itu di meja.
"Makasih udah mau jenguk Khaila, Sen. Hati-hati di jalan, ya," ucap laki-laki itu diakhiri senyum hangat.
"Kita pulang, Kak," ucap Arsen. Setelahnya Arsen membawa Viola menuju pintu apartemen.
Laki-laki itu bangkit, lalu membuntuti Arsen dan Viola hingga ke pintu. Arsen mengangguk sekilas sebelum kembali berjalan keluar dari apartemen Khaila.
"Laki-laki tadi kakaknya Khaila?" tanya Viola saat mereka telah berjalan lebih dari lima meter.
"Iya. Namanya Adam, seumuran sama Kak Delon," jelas Arsen.
"Sen, kok gue nggak lihat orang tuanya Khaila, sih. Apa mereka masih kerja," ucap Viola.
"Khaila pernah cerita sama gue kalau orang tuanya udah pisah. Dan mereka udah punya pasangan masing-masing. Bahkan udah punya anak juga. Makanya Khaila sama Kak Adam tinggal berdua di apartemen," jelas Arsen.
Mendengar penjelasan Arsen membuat rasa bersalah Viola semakin besar. Ia terlalu berpikiran negatif pada Khaila, padahal Khaila adalah korban keegoisan orang tua. Pasti cewek itu butuh kasih sayang dari orang lain. Dan Viola malah membencinya tanpa sebab.
"Gue masih nggak percaya kalau Khaila kena laukimia," ucap Viola.
"Gue juga, Vi. Padahal sebelumnya Khaila terlihat baik-baik saja," balas Arsen.
"Setelah gue denger hal tentang Khaila, gue jadi bersyukur banget. Ternyata gue masih bisa dibilang beruntung daripada Khaila. Gue udah nggak punya papa. Sedangkan Khaila? Dia punya orang tua lengkap, tapi dia kayak sendirian."
"Kita harus banyak-banyak bersyukur, Vi. Gue nggak bisa bayangin kalau ada di posisi Khaila. Punya penyakit mematikan, ditambah nggak ada orang tua yang biasanya kasih semangat. Dia cuma punya kakak. Padahal kakaknya juga sibuk kuliah dan cari uang buat biaya Khaila."
"Karena kita udah tahu tentang penyakit Khaila, sebisa mungkin jangan buat dia punya banyak pikiran."
"Gue setuju, Sen. Gue bakal berusaha ngelakuin itu," balas Viola.
Tak terasa langkah mereka sudah jauh, kini mereka berada di depan lift. Mereka segera masuk ke dalamnya, tak lupa menekan tombol menuju basement.
Lima detik setelahanya suara dentingan terdengar, menandakan jika lift ini telah membawa mereka ke lantai tujuan. Setelah lift terbuka, Arsen dan Viola segera keluar. Mereka berjalan menuju motor Arsen berada.
________________________________________
Up lagiiii! Aku lagi mode rajin, makanya up lagi. Semoga rajin terus biar kayak gini.
Purwodadi, 21 Agustus 2020
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro