Kedua kaki Wooyoung bergerak dengan gelisah di bawah meja, sesekali menyenggol ujung sepatu Yunho yang tengah menikmati jjajangmyeonnya. Pria bermarga Jeong itu tampak acuh dan tidak menghiraukan raut wajah Wooyoung yang gugup.
"Yunho."
"Ya?"
"Aku ingin mengatakan sesuatu."
Yunho menaikkan alisnya, penasaran.
"Tadi kau bilang, kau tidak makan siang bersama Mingi karena ia sedang ada pekerjaan di kantor kan?"
Yunho mengangguk.
"Sebenarnya, aku bertemu Mingi. Tidak bertemu secara langsung, aku hanya melihatnya dari seberang jalan."
"Lalu?"
Genggaman tangan Wooyoung pada sumpitnya melemah, ia mendadak ragu untuk memberitahu Yunho yang sebenarnya.
"Lalu apa, Wooyoung?" Tanya Yunho tak sabar.
"Aku melihatnya dari seberang jalan ketika ingin menyeberang, Mingi sedang berada disebuah kafe, bersama Seonghwa."
Barangkali mata Yunho mendelik ketika nama Seonghwa terbetik, namun ia tidak boleh terlihat tertarik. "Benarkah?"
Wooyoung mengangguk, "Aku yakin aku tidak salah lihat."
Yunho menghela napas, napsu makannya mendadak menguap ke udara, "Jadi, Mingi berbohong padaku?"
Mendorong piring makannya menjauh, Yunho meletakkan sumpitnya di atas meja. Jjajangmyeon tersebut terlihat memuakkan dimata Yunho.
"Aku tidak masalah Mingi ingin bertemu dengan Seonghwa atau siapapun, tetapi kenapa ia berbohong?"
"Yunho, aku tidak bermaksud membuat kau dan Mingi--"
"Bukan salahmu, Wooyoung." Yunho tersenyum getir. Ia meneguk air mineral di dalam gelas kemudian berkata, "Aku harus segera kembali ke perpustakaan, jam makan siangku hampir habis."
"Akan ku pesankan taksi." Tawar Wooyoung.
"Tidak perlu, aku naik bus saja," Yunho bangkit dari duduknya, "Terima kasih sudah menghabiskan waktu makan siang bersamaku, Wooyoung."
Lalu, Yunho melangkah pergi dari hadapan Wooyoung. Yunho tahu seharusnya ia tidak melakukan itu, Yunho tahu meninggalkan Wooyoung tiba-tiba seperti itu merupakan hal yang tidak sopan, padahal Yunho lah yang lebih dahulu mengajak Wooyoung untuk makan siang bersama. Tetapi Yunho sedang ingin sendiri, ia ingin lari untuk menenangkan diri.
Ia harap, Wooyoung memaklumi situasi Yunho saat ini.
──✧*:・゚☄.*. ☄⋆ *:・゚✧──
Katakanlah Mingi terlalu antusias tapi itu benar adanya. Ia tidak sabar ingin segera melamar kekasihnya. Kira-kira tempat apa yang cocok untuk mengucapkan "Will you marry me?"
Pantai?
Pegunungan?
Candle light dinner?
Taman?
Atau di antara rak buku di perpustakaan kota tempat Yunho bekerja?
Mingi sendiri tak tahu jawabannya, namun ia harus menyimpan rahasia ini rapat-rapat agar menjadi kejutan yang apik. Saat ini, cukup Seonghwa yang tahu.
Sore ini, Mingi berencana menjemput kekasihnya sepulang bekerja. Keduanya tidak mengharuskan untuk bertemu satu sama lain setiap hari, namun Mingi tetap ingin menjemput Yunho sebagai tanda permintaan maaf karena mereka batal makan siang bersama tadi.
Sebelum itu, Mingi berpikir untuk membawakan Yunho bunga. Hitung-hitung memberi kejutan kecil untuk kekasihnya. Tetapi, Mingi tidak tahu bunga apa yang Yunho suka.
Apakah mawar? Tulip? Bunga matahari? Mingi jadi bingung sendiri, maka ia memutuskan untuk menelepon Yunho, menanyakan bunga yang kekasihnya sukai.
"Halo?"
"Hai, Yun. Aku tahu ini mendadak tapi aku ingin bertanya, apakah kau punya bunga kesukaan? Seperti bunga yang menjadi favorit dihidupmu? Yang punya makna mendalam, mungkin?"
Hening beberapa detik sebelum Yunho menjawab dengan pelan.
"Aku suka bunga bakung."
Mingi tidak menyangka dengan jawaban yang Yunho berikan. "Kenapa?"
"Karena bunga bakung melambangkan kejujuran." Suara Yunho terdengar bergetar diujung sana, "Bunga saja bisa jujur, kenapa tidak denganmu, Mingi?"
"Apa? Yunho, aku tidak mengerti."
"Aku juga tidak mengerti," Yunho benar-benar menahan isak tangisnya, "Aku tidak mengerti kenapa aku percaya pada dirimu yang menolak makan siang denganku dengan alasan banyak pekerjaan kantor tetapi kau menghabiskan waktu bersama Seonghwa!"
Bibir Mingi terkatup rapat, lidahnya kelu dan pikirannya berkecamuk.
"Dengar, aku tidak melarangmu untuk bertemu dengan Seonghwa atau siapapun. Tetapi kenapa kau berbohong alih-alih kau dapat berterus terang, Mingi?"
"Yunho, aku bisa jelaskan."
"Then explain it."
Sial, apa yang harus Mingi katakan?
Ia tidak bisa menjelaskan dengan gamblang bahwa sebenarnya Mingi pergi ke toko perhiasan untuk membeli cincin karena akan melamar kekasihnya dan tidak sengaja berpapasan dengan mantan kekasihnya dan berakhir menghabiskan waktu di kafe berdua. Terlalu rumit dan berliku.
"Kau harus percaya padaku." Hanya itu yang dapat terucap dari mulut Mingi.
"Kenapa aku harus percaya pada pria yang berbohong padaku?"
Mingi bertaruh, Yunho sedang berjongkok dan menangis sekarang.
"Aku ingin kita... kau tahu, tidak bertemu untuk sementara waktu. Jangan menghubungi aku dulu, aku ingin menenangkan diri." Terdengar suara Yunho terbatuk kecil, "Sampai jumpa, Mingi."
Panggilan telepon keduanya berakhir sebelum Mingi membuka mulut. Tubuh Mingi mendadak kaku, ia merasa bodoh. Kekasihnya pergi karena Mingi tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang.
Jika Yunho meminta Mingi untuk menjauh, ia akan melakukannya. Mingi ingin kekasihnya menenangkan diri, dan mungkin Mingi juga harus menenangkan pikirannya yang kini tengah berkecamuk.
Yunho suka bunga bakung.
Dengan lunglai, Mingi melangkah kembali ke motornya, melupakan niat membeli bunga untuk kekasihnya. Mungkin besok atau beberapa hari lagi, Mingi akan kembali, memberi sebucket bunga bakung untuk Yunho sambil menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
──✧*:・゚☄.*. ☄⋆ *:・゚✧──
aku saat YunGi berantem :
Sekian.
-yeosha
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro