Bab 9
Tiga hari bersama Gala, membuat jantung Syera berdebar tak menentu. Bukan karena takut menghadapi kegalakan laki-laki itu tapi hal lain. Entah mulai kapan ia jadi sering memperhatikan tentang senyum Gala yang jarang muncul dari bibir, sekalinya sang dorektur tersenyum, maka wajahnya akan terlihat jauh lebih muda dan tampan. Tanpa disadari, Syera sering mencuri pandang ke arah lengannya yang kekar dan tubuhnya yang tinggi. Ia akan membuang muka kalau Gala memergokinya. Syera bahkan menduga dirinya terkena arus pikiran penuh kemesumam karena berani memikirkan penampilan sang atasan saat tidak memakai baju. Telanjang, jantan, dan menawan. Syera memukul dahinya sendiri karena khayalan itu.
“Jangan bilang kamu sedang memikirkan kekasihmu.”
“Hah, apa Tuan?”
Gala berdiri diam, menatap Syera yang duduk di depan laptop yang terbuka. Ia yakin seratus persen kalau gadis itu sedang memikirkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan, Terlihat daru wajahnya yang merona dan matanya yang menerawang.
“Bagaimana penampilan laki-laki itu?”
Syera yang tidak mengerti, mengernyit kebingungan. “Siapa Tuan?”
“Kekasihmu.”
“Saya nggak punya kekasih!” sahut Syera cepat. Lalu menunduk dan memiringkan kepala, menyadari kekonyolannya.
“Oh, jadi kenapa wajahmu memerah?”
“Itu, Tuan. Udara yang dingin.”
Syera meratap dalam hati saat Gala mengenyakkan diri di sampingnya. Berbeda dengan penampilannya yang sangat rapi saat di kantor, di sini sang direktur lebih santai dalam balutan kaos polo dan celana khaki dengan sepatu kets yang menambah penampilannya makin terlihat segar. Sesegar udara pegunungan, pikir Syera muram. Karena lagi-lagi terjebak dalam pikiran memusingkan tentang Gala.
“Kamu sudah tulis laporan yang aku mau?”
“Sudah, Tuan. Nanti saya masukan ke dalam USB.”
“Baiklah, simpan laptopmu dan ikut aku!”
“Ke mana, Tuan?”
Gala tidak menjawab pertanyaan Syera. Laki-laki itu melangkah cepat menuju mobil yang terparkir di halaman. Syera yang panik, mematikan laptop dan menaruhnya di kamar. Mengambil tas dan ponsel lalu bergegas menyusul Gala.
Ia tidak tahu akan dibawa ke mana oleh sang direktur. Ia duduk diam di samping Gala dan menatap lurus ke depan. Syera bahkan berpikir, tak lama lagi lehernya akan keseleo karena sama sekali tidak bergerak.
Mobil menuruni bukit dengan kecepatan rendah. Beberapa kali Gala membuka kaca jendela untuk menyapa para pekerja yang berpapasan di jalan. Sama sekali tidak ada percakapan di antara mereka selama perjalanan yang menyita waktu hampir satu jam, hingga mobil berhenti di sebuah kedai makan.
“Turun!”
Syera berdiri mematung di depan kedai bertuliskan ‘Kedai Teh Kang Darma’ yang ramai pengunjung. Ia tidak mengerti kenapa Gala membawanya ke kedai teh, bukankah di vila juga banyak teh yang bisa disajikan?
Melangkah perlahan, ia mengikuti Gala menuju meja di sudut belakang. Menunggu pelayan menghampiri dengan buku menu.
“Mau makan atau minum teh?” tanya sang pelayan, seorang laki-laki muda dengan tubuh kurus dan senyum ramah.
“Minum teh,” jawab Gala. “Sekalian sop buntutnya.”
Pelayan itu tersenyum dan menatap Syera kali ini. “Kakak juga mau minum teh?”
Syera mengangguk “Mau, tapi bingung mau teh apa karena di menu hanya tertulis minum teh.”
Pelayan itu lagi-lagi tersenyum. “Teh yang cocok untuk Kakak akan dihidangkan oleh Kang Darma. Mau pesan makan apa?”
Meski tidak mengerti, akhirnya Syera memilih untuk makan gorengan. Karena memang perutnya belum begitu lapar.
“Kamu belum pernah kemari sebelumnya?” tanya Gala padanya.
Syera menggeleng. “Belum, Tuan.”
“Bukankah Cahyana pernah mengajakmu melihat kebun?”
“Memang, tapi tidak kemari.”
“Berarti kamu tidak tahu kenapa di kedai ini Kang Darma yang memilih minuman untuk kita?”
“Tidak, Tuan.”
"Konon, Kang Darma menyajikan teh sesuai dengan keadaan hati kita. Bagaimana dia bisa tahu dan seakurat apa tebakannya? Kita coba sendiri sekarang."
Gala menyandarkan punggung ke kursi, mengedarkan pandangan ke sekeliling kedai yang ramai. Mengagumi interiornya yang dipenuhi berbagai macam foto dan lukisan daun teh. Lokasi kedai yang tak jauh dari perkebunan, menjadi tempat favorite bagi pelancong maupun wisatawan untuk beristirahat.
Tak lama, pelayan datang membawa makanan yang dipesan berikut dengan teh. Syera menatap bingung saat disajikan teh hitam dalam mug putih, sedangkan ia tidak merasa memesan itu. Ia menatap ke arah Gala yang diberikan teh poci dengan gula batu di piring kecil.
“Kakak, silakan diminum teh-nya.” Pelayan menghidangkan susu kental manis sebagai pelengkap.
Syera yang tidak terlalu menyukai susu, menyesap teh hitamnya dan seketika tersedak oleh rasa sepat.
“Kakak, tuangkan susunya lalu aduk perlahan.”
Syera menuang susu seperti perintah si pelayan dan mengaduknya perlahan.
“Tuan, jangan mengaduk teh dalam poci. Cukup tuangkan gula lalu guncangkan perlahan. Dinikmati selagi panas.”
Baik Syera dan Gala, menuruti apa perintah si pelayan. Syera sendiri merasa tehnya menjadi nikmat setelah dicampur susu.
“Kenapa kami diberi teh yang berbeda?” tanya Gala pada akhirnya.
Si pelayan tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Gala. “Kang Darma berpesan pada Anda, Tuan. Hidup memang penuh guncangan, banyak kendala dan ujian. Namun, yakin akan ada manis yang tersisa di dasar teh. Begitu juga dengan hati Anda, Tuan. Biarkan perasaan itu muncul, mengguncang hati Anda tapi niscaya akan ada rasa manis yang nikmat untuk dicecap.”
Gala mengangguk, meski ia tidak mengerti apa arti ucapan si pelayan. “Kalau dia?” tanyanya menunjuk Syera.
“Untuk Kakak yang cantik, Kang Darma berpesan, jangan terlalu jadi pemikir. Biarkan hidup dikendalikan oleh perasaan, meski kadang kenyataan sepahit teh hitam tapi itulah gunannya susu. Menetraliris rasa. Kakak, minum teh hitam campur susu bukan dosa, seperti halnya jatuh cinta.”
Syera melongo, menatap si pelayan yang menjauh lalu ke arah minumannya. Ia tidak mengerti apa hubungan minum teh dan jatuh cinta, karena menurutnya ia sedang tidak merasakan itu.
Pikiran Gala pun tak kalah bingungnya. Dengan tangan mengguncang perlahan teh dalam poci, ia memikirkan perkataan Kang Darma. Tentang ujian, masalah, dan rasa manis di ujung lidah. Lalu, perasaan dengan siapa yang harus ia biarkan tumbuh?
Ia mendongak, menatap Syera yang duduk di depannya. Gadis itu mengangkat wajah dan mereka saling berpandangan. Ada binar aneh di mata Syera saat menatapnya. Seperti halnya detak perlahan yang terdengar dari jantungnya. Berdecak pelan, Gala menyeruput tehnya. Merasa kalau pemilik kedai terlalu berlebihan menilai perasaan seseorang. Ia tidak akan pernah menyimpan perasaan apa pun pada wanita, terlebih Syera yang jauh lebih muda darinya.
**
Quenara membaca buku yang terbuka di depannya. Ia berusaha memusatkan konsentrasi meresapi kata per kata yang tertuang di dalamnya dan berusaha mengendalikan pikirannya yang mengembara.
Ia membutuhkan uang saat ini dan merasa tidak enak kalau harus meminta dari sang kakak. Ia tahu, kebutuhan keluarga mereka banyak dan menyedihkan baginya setiap kali harus melihat kakanya lembur dan pulang larut malam demi mendaptkan uang lebih.
Umur Syera sudah 28 tahun. Usia yang matang untuk menikah tapi karena sibuk dan fokus bekerja semenjak papa mereka tiada, sang kakak bahkan tidak ada waktu untuk membahas percintaan.
Quenara menyerah, menutup bukunya dan menatap jendela kaca. Melamun dengan satu tangan menopang pipi. Ia mengernyit, saat serombongan murid laki-laki melewati jendela. Ia mengenali salah seorang di antaranya dan tak lama, mereka berhenti lalu secara bersamaan menghadap ke arahnya.
Ada Ettan di sana. Ia mengerjap bingung saat pemuda itu melambaikan tangan, menyuruhnya keluar.
“Ada apa?” tanyanya tanpa suara.
Ettan melambaikan tangan, memintanya keluar. Quenara mengembalikan buku ke dalam rak dan melangkah keluar, menemui Ettan dan teman-temannya.
“Ada apa?” tanyanya.
“Lo ke perpustakaan buat melamun?” tanya Ettan.
“Nggak, gue baca?”
“Nggak kelihatan bacanya. Mending ke kantin sama kita-kita.” Ettan menunjuk teman-temannya yang berada di belakang punggungnya. Serempak, mereka semua mengangguk sambil tersenyum penuh harap. Bagaimana tidak? Terlepas dari gosip yang terdengar tentang Quenara, bersama gadis paling cantik dan popular di sekolah adalah hal yang membanggakan untuk mereka.
Quenara menelengkan wajah, menatap satu per satu wajah-wajah tersenyum di depannya. Bahkan ada salah seorang dari mereka tersenyum lebar sekali hingga nyaris mirip badut. Tidak tega melihat binar harapan dari mata mereka, ia mengangguk.
Ia melangkah paling depan, berdampingan dengan Ettan menuju kantin. Untunglah, jam sekarang banyak murid sedang berada di dalam kelas, jadi tidak banyak yang memperhatikan mereka.
“Quen, mau minum apa?”
“Biar kami yang belikan.”
“Kamu cukup duduk cantik saja.”
“Tapi, emang aslinya cantik sih.”
Tawaran teman-teman Ettan ditanggapi dengan gelengan oleh Quenara. “Cukup air mineral.”
Ettan menggertakkan gigi, melihat teman-temannya berebut menuju lemari pendingin hanya untuk mengambil air mineral. Tidak dapat dipungkiri, teman-temannya memang lemah oleh cewek cantik.
“Lo nggak makan?” Ettan membuka suara.
“Nggak, tadi udah.” Quenara berusaha membuka botol air mineralnya dan terdiam saat Ettan merebut dan membantunya. “Makasih,” ucapnya pelan.
Ettan tidak bereaksi, sibuk makan siomay yang ia pesan. Menatap Quenara yang sepertinya kembali melamun.
“Lo ada masalah? Wajah lo kayak ditekuk.”
Quenara mengerjap, berada di ujung bimbang. Apakah aman kalau ia bercerita masalahnya dengan Ettan? Sedangkan mereka tidak saling mengenal dengan akrab.
“Gue butuh duit.” Entah kenapa ia mengucapkan itu dan seketika melambaikan tangan di depan Ettan saat melihat pemuda itu melongo. “Maksud gue, buat bayar tagihan sekolah. Gue nggak enak kalau minta kakak gue. Apa lo punya kerjaan buat gue? Atau bantu gue cari kerjaan? Jaga toko sejenisnya?”
“Lo mau jaga toko?” tanya Ettan heran.
“Mau, kalau memang ada. Yang penting gue bisa dapat duit.”
Terdiam sesaat dengan tangan memainkan siomay di piringnya, Ettan menatap Quenara. Sama sekali tidak menduga kalau gadis secantik dia, rela bekerja apa saja untuk membayar uang sekolah. Ia meneggakkan tubuh, lalu berdehem pelan.
“Mau jadi guru les?”
“Guru les siapa?” tanya Quenara bingung.
“Kami!” Ettan menunjuk dirinya dan teman-teman yang sekarang mengerubungi meja mereka, lagi-lagi menyunggingkan senyum lebar. “Kami sanggup kasih gaji yang lumayan. Dari pada kerja di toko.”
“Hei, memang kalian kenapa? Sampai butuh guru les?” Quenara menatap bingung para pemuda di sekelilingnya.
Berikutnya, berbagai alasan keluar dari mulut mereka. Mulai dari payah di matematika, sampai ada yang bilang males mikir kalau tidak ada cewek cantik. Bahkan ada yang terang-terangan mengatakan, ingin merasakan bagaimana kalau Quenara yang mengajar.
Quenara tahu, Ettan bermaksud menolongnya dan ia hendak menolak saat pemuda itu menddadak meraih tangannya dan mengajaknya berjabat tangan.
“Deal! Pelajaran dimulai sore ini. Lo pulang bareng gue ntar. Gue siapin helm dulu.”
“Eh, gue belum bilang setuju!” protes Quenara tapi tak ada yang mendengarnya, karena Ettan bangkit dari kursi dan pergi diiringi teman-temannya, meninggalkannya sendirian. Ia masih tidak mengerti apa yang terjadi, tentang menjadi guru dan sebagainya bagi kelompok Ettan.
Satu sekolah gempar, saat pulang mereka mendapati Ettan membonceng Quenara. Banyak yang memaki Quenara turun derajat, karena melepaskan Delano demi seorang bad boy. Tapi, ada sebagian yang terkesan dan mengatakan kalau Quenara hebat. Bisa menaklukkan Ettan.
Delano yang melihat motor Ettan melaju tepat di samping mobilnya, dengan Quenara berada di belakang pemuda itu, menggeram marah. Ia memukul dashboar mobil dengan keras dan memaki berkali-kali karena merasa hatinya panas.
**
Seminggu dua kali? Siapa takuuut!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro