Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 6


Quenara melangkah mondar-mandir di teras rumahnya yang kecil. Berkali-kali ia menatap jalanan, berharap ada mobil atau motor yang berhenti. Sudah hampir pukul dua pagi dan kakaknya belum kembali, ia didera rasa kuatir.

Tadi sore mamanya pulang dari rumah tetangga, mengeluh sakit kepala. Quenara memintanya tidur dan ia sanggup begadang untuk menunggu kakaknya pulang.

Awalnya, ia menunggu sambil membaca buku dan mengobrol dengan Delano di aplikasi pesan. Saat kakaknya makin malam belum pulang juga, ia menunggu dengan kuatir dan menghentikan semua kegiatannya. 

Quenara mencoba menepis pikiran buruk tentang Syera. Ia mengatakan dalam hati, bisa jadi kakaknya terlalu sibuk hingga lupa pulang atau juga bossnya yang galak itu menahannya dengan sejuta pekerjaan.

“Awas saja kalau sampai kakak kenapa-napa, aku labrak itu boss setan!” Quenara mengguman dengan kaki menendang kerikil di halaman. Saat itulah, sebuah mobil meluncur pelan dari jalan raya dan berhenti tepat di depan pagar rumahnya yang pendek.

Ia berlari ke arah mobil dan terhenti tepat saat pintu kendaraan mewah itu membuka. Seorang laki-laki setengah  baya dengan tubuh tinggi dan tegap, keluar dan berdiri menatapnya. Laki-laki itu terhitung tampan, untuk ukuran laki-laki dewasa. Quenara tertegun sesaat sebelum terdengar sapaan dari mulut laki-laki itu.

“Halo! Adik Manis, apa ini rumah Syera?”

Quenara mengerjap lalu mengangguk. “Iya, Om, eh bukan, Pak. Ini rumah Syera dan aku adiknya.”

Gala menatap gadis cantik seumuran anaknya, lalu mengangguk. “Bantu aku, bawa kakakmu.”

“Bantu apa, Pak?” tanya Quenara bingung.

Gala tidak menjawab, memutari mobil dan membuka pintu satu lagi. Dengan hati-hati ia mengeluarkan Syera yang melangkah sempoyongan dengan kepala terkulai.

“Kakaaak!” Quenara menjerit kecil, menyongsong kakaknya.

“Aku akan membantumu memapahnya sampai ke teras,” ucap Gala.

“Pak, kok bisa sampai begini? Diapain kakakku ini?”

“Diapain? Kamu tidak lihat dia mabuk?”

“Itu dia, salah minum atau apa? Karena kakakku nggak biasa minum alkhohol.”

“Mungkin karena ceroboh.”

“Ceroboh? Tidak mungkin kakakku begitu. Aku yakin ini pasti perbuatan si Boss Setan yang suka memaksanya atau juga rekan kerjanya yang iseng.”

Gala terdiam, mendengarkan gadis kecil di sampingnya mengomel panjang lebar tentang alkhohol, orang-orang di pesta, dan juga perihal kelakuan sang kakak. Ia tertarik dengan sebutan boss setan yang diucapkan gadis kecil itu. Namun, tidak berniat mendebat, karena merasa kalau gadis itu lucu. Terbiasa menghadapi sikap Ettan, ia mendengarkan gumaman Quenara dalam diam.

“Sekarang, kamu bawa kakakmu sendiri ke dalam!”

“Baik, Pak. Eh, kalau boleh tahu nama Anda siapa, Pak?”

“Aku? Gala Gentala.”

Jawaban Gala membuat Quenara melongo. Ia menyadari kalau sudah banyak bicara dan merasa bodoh karenanya.

Mengabaikan wajah Quenara yang terperangah, Gala menyerahkan Syera padanya. Mengulum senyum saat melihat Quenara sedikit kesulitan untuk menyangga tubuh kakaknya. Ia tidak mungkin membantu sampai ke dalam, tidak pantas untuknya.

Quenara mengernyit, mencium aroma alkhohol dari mulut kakaknya. Menoleh ke belakang ia berucap penuh harap.

“Pak, bisakah menunggu saya sebentar? Ada yang ingin saya katakan.”

Laki-laki itu terlihat keheranan tapi tidak menjawab, hanya mengangguk kecil. Quenara membawa kakaknya masuk, sedikit susah payah membaringkan Syera ke ranjang dan membantu kakaknya ganti baju. Setelah selesai, ia menyalakan pendingin ruangan, menutupi tubuh kakaknya dengan selimut dan mematikan lampu kamar.

Ia bergegas ke halaman, untuk menemui Gala dan tertegun saat sosok laki-lai itu sudah menghilang bersama mobil mewahnya. Menghela napas panjang, Quenara merasa kecewa karena Gala pergi begitu saja, padahal ada hal penting yang ingin ia katakan.

“Harusnya, si Boss Besar yang kaya raya itu nunggu aku datang. Baru aku mau bilang soal Madam Rose,” gumam Quenara menatap jalanan yang sepi. Ia merasa kalau laki-laki yang dipanggil boss setan oleh kakaknya, ternyata tidak buruk-buruk amat. Buktinya mau mengantarkan Syera pulang. Bisa jadi karena kesalahpahaman saja, maka tingkah laki-laki itu terlihat arogan dan menyebalkan.

“Semoga Kakak nggak disiksa gara gara aku keceplosan soal Boss Setan. Hadeuuuh!” Quenara memukul dahinya sendiri, ngeri membayangkan apa yang akan menimpa sang kakak nanti.

**

Syera memijit kepalanya yang sakit. Ia terbangun di kamarnya dan mendapati kalau tubuhnya agak demam. Belum sempat ia bertanya, bagaimana caranya bisa pulang dalam keadaan mabuk, sang mama mengomel tentang dirinya yang mabuk sembarangan dan dianggap tidak bisa menjaga diri. Meski begitu, mamanya juga membuatkannya sop daging panas dan juga teh lemon.

“Kerja di perusahaan besar, bukan berarti harus mabuk kalau ada pesta. Kalau begitu, lebih baik kamu pindah!”

Syera hanya terdiam, makan dengan tekun dan tidak membantah sedikit pun ucapan mamanya. Begitu pula Quenara yang menatapnya dalam diam.
Setelah mamanya selesai mengomel dan pamit pergi ke pasar, Quenara mendekat dan duduk di tepi ranjang. Menatap kakaknya yang pucat dalam balutan gaun tidur.

“Udah enakkan?”

Syera mengangguk, mengelap mulut dengan tisu. Harus diakui, masakan buatan mamanya memang enak luar biasa. Ia meraih sebutir paracetamol untuk membantunya meredakan sakit kepala yang terasa berdentum-dentum.

“Bagaimana aku pulang? Apakah orang kantor yang mengantar?” Ia bertanya pada adiknya.

Quenara menggeleng kecil. “Bukan orang kantor kayaknya, kalau dilihat dari mobil yang dibawa.”

“Memangnya mobil apa? Nggak bilang namanya?”

“Mobil mewah warna putih mengkilat dan nama orangnya adalah … Gala Gentala.”

Syera melotot, tidak menyangka kalau sang bosss besar sendiri yang akan mengantarnya pulang. Sedangkan ia tidak ingat sedikit pun tentang apa yang terjadi tadi malam saat mabuk. Ia hanya mengingat bagian sedang minum alkohol dan menemani Gala menyapa para tamu. Selebihnya, otaknya sama sekali kosong.

“Ka-kamu yakin?” tanyanya gugup.

Quenara mengangguk. “Sangat, aku’kan tanya langsung.”

“Hah, mampus!”

Syera kembali tergeletak di atas kasur dengan tangan memijat kepalanya. Rasa malu menyergap dari ujung kaki hingga kepala, mengingat tentang apa yang akan dikatakan Gala saat nanti mereka bertemu. Ia memukul-mukul kepala dan tidak menyadari adiknya yang menatap heran.

“Kak, bisa pecah itu kepala dipukul terus!”

“Biar saja, yang penting nggak pusing lagi.”

“Iih, Kakak ngaco!”

Seandainya waktu bisa diputar kembali, Syera berharap tadi malam tidak minum alkhohol dan membuat dirinya sendiri malu. Namun, dipikir lagi siapa yang bisa membantah perintah Gala? Ia tak yakin dirinya bisa. Mau tidak mau, ia harus menghadapi kenyataan dan menerima konsekuensi dari tindakan yang telah dilakukan dalam keadaan mabuk.

**

“Lo ngapain Sabtu kemarin?” tanya Jeni saat melihat Quenara melenggang ke arahnya.

“Ke mall, kenapa emangnya?” Quenara mematut diri di kaca mobil Jeni, memperbaiki dasinya yang agak miring.

“Oh, jadi bener lo ke mall?” teriak Ema dramatis.

“Iya, ada apa emangnya?” Quenara heran melihat teman-temannya menatap dengan pandangan kaget.

“Oh, lo kena masalah. Delano pasti nggak akan terima,” desis Jeni.

“Pasti ribut ntar.” Kaitlin menimpali.

Ema tertawa lirih, mengibaskan rambutnya ke belakang dan menjentikkan jarinya yang dimanicure rapi. “Ya ampun, sudah pasti Delano akan mengamuk. Entah apa yang akan terjadi sama bad boy miskin itu. Gue ngeri bayanginnya.”

Mengentakkan kaki ke lantai, Quenara menatap para sahabatnya dengan kesal. “Kalian bisa nggak ngomong langsung to the point. Ada apa? Emangnya kenapa kalau gue ke mall?”

“Nggak salah, sih. Yang salah itu kalau lo ke mall sama musuh cowok lo!” Jeni menuding Quenara.

“Maksudnya?”

Detik itu juga Quenara paham tentang apa yang dimasuksud teman-temannya saat Kaitlin membuka ponsel dan menunjukkan berita di laman media sosial sekolah mereka. Terpampang fotonya dan Ettan yang sedang duduk berhadapan, dan dilihat dari gambarnya yang agak pecah, foto itu diambil diam-diam dalam jarak yang cukup jauh.

“Kok, bisa?” Hanya itu yang mampu diucapkan Quenara dalam kebingungan.

“Nah itu, yang mau kami tanyakan. Kok bisa lo jalan sama bad boy itu?” sergah Jeni.

Quenara menatap bergantian pada teman-temannya lalu menggeleng. “Ini semua nggak kayak yang kalian pikir. Sebenarnya, hari itu gue--,”

Jeni mengibaskan tangan, membalikkan tubuh dan meninggalkan Quenara di dekat mobil. “Jangan kasih penjelasan ke kami, mending lo cari Delano. Gue yakin, dia lagi ngamuk sekarang!”

Mengerjap sesaat, Quenara tersadar. Ia buru-buru mencari ponselnya dalam tas dan mencoba menghubungi Delano. Sayangnya, tidak satu pun panggilannya dijawab oleh pacarnya itu, bahkan pesan yang ia kirim pun tidak dibaca. Dengan kuatir, ia bergegas pergi, menuju kelas Delano.

Di bawah pohon besar dekat lapangan sepak bola, Ettan duduk dengan ponsel di tangan. Waktu istirahat ia pakai untuk main game bersama teman-temannya yang lain. Tempat ini adalah lokasi favorite mereka untuk berkumpul. Selain jauh dari keramaian juga teduh karena ada pohon beringin besar yang menaungi.  Berbagai cemilan dengan bungkus yang sudah terbuka, berserak di antara botol-botol minuman. Sementara teriakan mereka terdengar di sela-sela permainan.

Tak lama, mereka dibuat kaget saat seorang pemuda menghampiri sambil berlari dan berhenti di depan Ettan dengan terengah-engah.

“Ettan, ga-gawaat.”

Ettan mendongak heran. “Lari kayak dikejar setan lo. Ada apa?”

“It-tu, ada masalah besar.”

“Tentang?”

“Willy, mending lo minum dulu. Ngomong belepotan!” Salah seorang dari mereka memberikan botol berisi air pada Willy yang meneguknya dengan rakus.

Setelah selesai, Willy mengusap mulut dengan punggung tangan dan menatap Ettan yang menunduk. “Lo dicari Delano. Dia lagi menuju ke sini bareng temen-temennya.”

“Gue nggak ada urusan sama anak manja itu!” jawab Ettan cuek.

“Gimana nggak ada urusan , kalau lo bawa ceweknya kencan!”

Kali ini, semua mata menatap ke arah Ettan yang keheranan. “Tunggu, gue ngapain?”

“Lo!” Tunjuk Willy tegas pada Ettan. “Bawa Quenara kencan ke mall Sabtu kemarin dan sekarang jadi headline news di sekolah. Hebat banget lo! Nikung cewek orang!”

“Sial!” Ettan mengumpat keras. Ia mengedarkan pandangan pada teman-temannya. “Kalian minggir kalau nggak mau terlibat masalah.” Ia menunjuk dengan dagu, ke arah serombongan pemuda yang bergegas ke arah mereka. “Tuh, anak manja lagi kemari.”

Teman-teman Ettan saling pandang lalu tertawa lirih. Mereka mematikan ponsel dan meletakkan jadi satu di bawah pohon.

“Udah lama nggak seneng-seneng.”

“Lumayan, kita lemesin tangan!”

Mereka berucap sambil berdiri di belakang Ettan yang masih duduk di tempatnya.

“Jangan nangis kalau sampai kena jotos,” ledek Ettan mengulum senyum. Sebenarnya, kalau bisa dihindari, ia tidak ingin terlibat dalam baku hantam. Namun, dilihat dari wajah Delano yang memerah saat berdiri arogan di depannya, ia tahu tidak mungkin menghindar.

“Eh, lo! Bangun! Gue mau ngomong sama lo!”

Delano menunjuk Ettan sambil berkacak pinggang.

Ettan mengusap anting yang dipakai lalu mengangkat bahu tak peduli. “Ngomong aja. Asal jangan bilang lo naksir gue. Masih normal gue!”

Tawa meledak dari teman-teman Ettan dan membuat kelompok Delano meradang.

“Fuck!” Delano mengumpat tajam.

Ettan bangkit dari tempatnya duduk, dengan tangan berada di saku menatap lawannya. Sementara mereka berdiri berhadap-hadapan, otaknya memikirkan Quenara. Seumur-umur baru kali ini ia mengalami masalah hanya karena seorang gadis yang tidak ia kenal dekat. Cinta memang aneh, bikin orang jadi bodoh, pikir Ettan sinis dengan mata menatap Delano tajam.

***

Next Selasa depan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro