Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4


Syera menunduk di atas mejanya. Tumpukan berkas, pekerjaan yang mengalir tiada henti, membuatnya tak berkutit. Otaknya seperti mengebul panas, karena banyak hal yang harus ia pikirkan. Belum lagi harus menghadapi Gala yang ia panggil duda setan, karena perintah laki-laki itu padanya, yang terus menerus tanpa jeda. Syera bahkan hilang kemampuannya untuk mengeluh capek, karena memang tidak ada waktu untuk itu.

“Kamu, membuat laporan seperti ini saja masih salah. Kerja berapa lama kamu?”

Gala melemparkan dokumen dalam map yang sudah ia ketik rapi ke atas meja. Wajah laki-laki itu menyiratkan kemarahan.

Syera menghela napas, meraih map dan membukanya. Ia menahan diri untuk tidak menjerit saat melihat banyak coretan di dalamnya.

“Maaf, Tuan. Nanti saya perbaiki.”

Gala mengernyit. “Nanti? Aku maunya sekarang!”

“Ta-tapi--,”

“Tidak ada kata tapi. Kerjakan sekarang, aku tunggu!”

Syera menatap ragu-ragu pada laki-laki arogan di depannya. Berdehem kecil untuk melegakan tenggorokannya. Ia perlu mengucapkan sesuatu, meski dalam hati merasa enggan.

“Tuan, mau makan siang? Sudah pukul satu.”

Gala mengalihkan pandangan dari ponsel di tangan, ke arah wanita muda yang berdiri kikuk di depannya. Ia tahu, Syera merasa tidak nyaman bekerja dengannya. Terlihat dari cara wanita itu bersikap. Ia juga tahu kalau Syera sering menyumpahinya di belakang punggungnya. Ia tahu semua, hanya berpura-pura tidak melihat. Baginya, sikap sopan Syera padanya, tak lebih dari topeng untuk menutupi kebencian wanita itu padanya.

“Apa kamu tidak dengar yang aku perintahkan tadi?”

Terdiam sesaat, Syera mengangguk kecil. “Revisi dan kerjakan sekarang.”

“Nah, kamu masih tanya soal makan? Apa pantas?”

Syera berusaha untuk tidak memutar bola mata. Ia berusaha bersikap sebagai seorang sekretaris yang baik dengan menawarkan makan siang, tapi malah dimaki-maki tanpa alasan. Mengepalkan satu tangan di sini, ia menahan diri untuk tidak menggebrak meja sang CEO.

“Maaf, saya kerjakan sekarang. Permisi.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Syera membalikkan tubuh dan menutup pintu dengan pelan. Meski kalau menuruti kata hati, ingin rasanya ia membanting pintu.

Meletakkan dokumen di atas meja, Syera mengenyakkan diri di kursi sambil mengembuskan napas panjang. Memikirkan tentang sikap Gala padanya yang makin hari makin kejam. Ia melayani laki-laki itu hampir satu bulan, setiap saat yang terlewati terasa bagai di neraka. Jika tidak ingat kalau semua ia lakukan demi keluarganya, ingin rasanya resign dan mencari pekerjaan baru. Namun, gaji yang ditawarkan karena ia menjadi sekretaris Gala cukup menggiurkan dan ia mencoba untuk bertahan. Terlebih, kini adiknya sedang membutuhkan banyak biaya karena dalam beberapa bulan ke depan harus membayar uang ujian akhir semester.

Meski tangan mengetik tapi pikirannya melanglang buana. Syera berpikir, seandainya Gala tidak menemuinya sebagai wanita pencari jodoh di Madam Rose, belum tentu laki-laki itu bersikap kejam padanya. Bisa jadi, karena menganggapnya wanita perayu, maka ia diperlakukan semena-mena.

“Dasar Duda Setan! Memangnya setiap orang harus mengalah padanya? Memangnya karena dia kaya, setiap orang harus menurut?”

Teman kerjanya yang duduk tak jauh darinya, hanya menatap heran saat melihatnya mengomel dan menggumam. Namun tidak berani menegur. Karena sama sepertinya, sang teman pun takut dengan Gala.

Selesai merevisi, dengan perut keroncongan karena belum makan siang, Syera kembali mengetuk pintu dan meletakkan dokumen ke meja Gala.

“Silakan diperiksa, Tuan. Dan saya mohon izin untuk makan siang,” ucap Syera berani. Rasa laparnya mengalahkan rasa takut.

Gala mengerjap, menatap Syera tak berkedip. “Belikan aku makan siang juga.”

“Nasi goreng seperti biasanya, Tuan?”

“Kamu mau membunuhku, ya?”

“Hah!”

“Nasi goreng terus, banyak minyak. Kolesterol!”

“Oh, bagaimana kalau sop buntut?”

“Sama saja,kan? Bilang saja kalau kamu mau aku mati muda karena kebanyakan kolesterol!”

Sial! Syera memaki dalam hati, menghadapi laki-laki reseh yang bahkan lebih rewel dari kakeknya semasa hidup. Tersenyum manis, ia menelengkan kepala.

“Bagaimana kalau makanan sehat seperti Thai Salad, gado-gado, karedok, atau mungkin nasi pecel?” Ia menawarkan tanpa benar-benar berniat Gala akan menerimanya.

Terdiam sesaat, dengan tangan mengusap-usap daun telinga, Gala memikirkan tentang makan siang. Sementara Syera berdiri gelisah di depannya.
“Baiklah, belikan aku soto daging.”

Ucapnya membuat Syera terbelalak bingung. “Tuan, nggak salah?”

“Kenapa?”

“Daging juga kolesterol.”

“Jadi kamu mau aku makan salad? Itu sama saja berniat membunuh. Mana kenyang?”

Mengepalkan tangan di kedua sisi tubuh, Syera tersenyum kecil. “Baik, Tuan. Ditunggu!”

Gala menatap punggung Syera yang menghilang di balik pintu. Mengetuk-ngetuk pulpen di permukaan meja. Sebenarnya, harus diakui kalau Syera melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Ia hanya menguji kesabaran wanita itu dalam menghadapinya. Sekaligus memberi sedikit pelajaran, karena sudah berani berbuat macam-macam dengan anaknya di aplikasi dating.

Sampai sekarang ia masih merasa kalau Syera memang penipu. Berpura bersikap baik pada anaknya dan merayu. Sungguh menjijikkan baginya.

Setengah jam kemudian, Syera datang membawa sepiring nasi dan soto dalam mangkuk. Lengkap dengan sambal, irisan jeruk, dan emping. Gala meraih selembar kertas keemasan dari dalam laci dan memberikannya pada Syera.

“Undangan makan malam dari Tuan Leon. Kamu tahu’kan siapa dia?”

Syera mengangguk. “Pemilik PT. Sinar Beverage.”

“Betul. Produk beliau, Ocha Milk Tea sudah diekspor ke negara tetangga. Kita akan membahas hal penting, ternasuk tentang menekan laju impor minuman teh kemasan yang memanfaatkan era Asean Free Trade Zone, di mana terbebas dari pajak impor.” Gala terdiam, mengamati Syera. “Aku mau kamu menemaniku, Sabtu malam, Hotel Golden Mandarin.”

Kali ini Syera melongo. “Tu-tuan, saya ikut?”

“Iya, kamu’kan sekretarisku. Sudah pasti tahu banyak dari pada aku soal teh.”

Syera menggigit bibir, merasa bingung sekarang. Ajakan sang boss ke pertemuan penting justru membuatnya kesusahan. Karena ia belum pernah melakukan sebelumnya, Dan, bisa dipastikan, kalau ia tidak mungkin datang dalam setelan blazer kerja.

Setelah menimbang sesaat, akhirnya Sabtu siang ia membawa adiknya belanja ke mall. Menyiapkan dana yang sedikit lebih besar untuk berbelanja pakaian, mereka berdua berkeliling dari satu toko ke toko lain untuk mencari pakaian yang cocok.

“Kak, coba pakai ini?”

Quenara menunjukkan sebuah gaun merah dengan tali kecil di bagian punggung dan belahan dada yang rendah. Syera terbelalak saat melihatnya.

“Quen, aku mau ke pesta resmi. Bukan pesta untuk senang-senang.”

Sang adik terkikik, mengembalikan gaun ke tempat semula. “Hanya saran, nggak apa-apa kalau nggak mau. Kita cari yang lain.”

“Bagaimana kalau ini?” Kali ini sebuah gaun hitam berbahan satin yang kalau dipakai maka akan mengepas tubuh. Modelnya memang sopan dan tertutup tapi Syera tidak mau lekuk tubuhnya tercetak jelas.

“Jangan, cari yang lain yuk!”

Quenara tidak membantah, ia menyukai acara hunting gaun bersama sang kakak. Apalagi kali ini untuk acara penting. Entah kenapa ia merasa sangat senang, seolah dirinya yang akan pergi ke pesta.

Hingga dua jam di mall, mereka belum menemukan gaun yang cocok. Keduanya memutuskan untuk makan siang di food court sebelum melanjutkan mencari gaun.

“Sepertinya Kakak makin hari makin kurus,” ucap Quenara memandang kakaknya kritis.

Syera mengangkat bahu. “Mau gimana. Kerja sama Duda Setan, bikin aku malas makan. Mikiiir terus.”

“Kasihan,” ucap Quenara tulus. “Mungkin Kakak perlu ke dukun.”

“Hah, mau ngapain?”

“Minta jampi-jampi biar Duda Setan itu nggak terlalu galak.”

Syera tercengang, lalu saat melihat Quenara meleletakan lidah, ia tahu adiknya sedang bercanda. Lagi pula, hari gini mana ada orang percaya dukun. Ia menyantap nasi hainam dengan pikiran mengembara soal pesta nanti malam. Berharap ia menemukan gaun yang cocok dan tidak mempermalukan dirinya sendiri.

Setelah memutari mall hampir empat jam, dengan kaki nyaris kram, akhirnya mereka mendapatkan gaun yang cocok. Gaun berbahan lace warna biru safir dengan panjang mencapai bawah lutut. Bagian atas gaun tertutup hingga ke dada dengan panjang lengan sebatas siku.

“Bagus banget ini dan ukurannya pas,” puji Quenara saat kakaknya mencoba gaun.

“Sepatu gimana?”

“Nggak usah beli baru. Sepatu silvermu yang di rumah itu cocok.”

“Eh, sepatu lama. Nanti kalau rusak?”

“Jarang dipakai. Nggak akan kenapa-napa.”

Setelah sepakat, keduanya meninggalkan toko. Quenara berucap ingin ke toilet dan Syera mengantarnya. Syera yang keluar lebih dulu, menyusuri lorong dengan ponsel di tangan. Membaca dan membalas banyak pesan masuk. Hingga tak menyadari ia menubruk seseorang di depannya.

“Ups, maaf!” ucapnya lantang, saat melihat minuman tumpah ke lantai dan membasahi sepatu si pemilik. “Aku nggak lihat.”

Tanpa diminta, Syera mengambil tisu dan mengelap sepatu orang yang ditubruknya.

“Kak, sudah. Biarkan saja!”

“Tapi, sepatumu kotor.”

“Please, biarkan saja!”

Syera bangun dengan tidak enak hati. Ia menatap seorang pemuda tampan dengan tubuh tinggi dan memakai anting di telinga kiri. Pemuda itu, meski tidak tersenyum tapi matanya bersinar ramah.

“Maaf, aku nggak lihat,” ucapnya sekali lagi.

Pemuda itu mengangkat bahu. “Santai, Kak. Aku juga yang salah, mendadak belok.”

Syera tersenyum, menerka kalau usia pemuda di depannya seumuran dengan adiknya. Meski berambut gondrong dan memakai anting, tapi tidak kesan berandalan dalam diri pemuda itu.

“Kak, ngapain di sini?” Quenara menatap kakaknya lalu berpaling pada pemuda di depannya. “Ettan?”

“Quen,” sapa Ettan pelan.

“Kalian saling kenal?” tanya Syera menunjuk Quenara dan Ettan.

“Satu sekolah,” jawab Quenara pelan.

“Ah, pas kalau gitu. Ayo, kalian ikut aku. Kita beli minuman buat ganti punya Ettan yang jatuh.”

“Kak, nggak usah,” tolak Ettan. “Nggak apa-apa kalau jatuh.”

Syera mengabaikannya, menggandeng lengan Ettan dan menuntunnya pergi. “Sudaah, ikut saja. Tadi minumanmu itu apa namanya?”

“Es kopi.”

“Nah, kita beli yang sama persis.”

Quenara tidak dapat mencegah, saat sang kakak menggandeng lengan Ettan dan membawa mereka ke outlet minuman. Sementara Syera antri untuk memesan, ia dan Ettan duduk berhadapan tanpa saling bicara. Dari dulu, ia tidak pernah dekat dengan Ettan karena julukannya sebagai bad boy. Terlebih setelah ciuman tak sengaja waktu itu, ia makin enggan untuk saling kenal lebih dekat.

“Kakak lo orangnya asyik, dan humble,” ucap Ettan memecah kesunyian.

Quenara mengangguk. “Memang, dia juga hebat. Mengurus gue dari semenjak Papa nggak ada.”

Ettan mengedip, memandang ke arah gadis di depannya. “Wanita yang keren.”

Seakan ingin sedikit melucu, Quenara menunjuk dirinya sendiri. “Sama kayak gue, keren juga’kan?”

Tidak ada tanggapan dari Ettan. Pemuda itu hanya menatap tajam. Merasa tidak diacuhkan, Quenara yang malu, akhirnya mengalihkan pandangan ke tempat lain.

“Lo juga keren, bisa gaet cowok paling tajir di sekolah. Kalau nikah, lo dah nggak pusing mikirin duit.”

Ucapan Ettan membuat Quenara menoleh heran. Ia menatap pemuda di depannya dengan pandangan geram.

“Gue bisa jadi keren tanpa harus pacaran sama Delano. Jangan bawa-bawa dia dalam urusan kita.”

“Ups!” Ettan mengangkat kedua tangannya. “Jangan ngamuk, santai. Gue cuma ngomong sesuai fakta.”

“Tapi, lo nyinyir!”

“Terserah lo bilang apa. Kenyataan begitu. Lo bisa tanya seluruh sekolah kalau nggak percaya.”

Quenara mendengkus kesal. Ia melipat tangan di depan dada dan mengembuskan napas panjang. Memang, ia pun sering mendengar gosip yang sama selain dari mulut Ettan. Kalau siapa pun yang berhasil memacari Delano, berarti kehidupannya terjamin. Karena orang tua Delano yang kaya raya. Tetap saja, ia tidak suka mendengarnya,. Terlebih dari pemuda seperti Ettan.

“Lo menyebalkan,” desis Quenara tajam.

“Lo bukan yang pertama bilang gitu.” Ettan menjawab tak peduli.

“Nggak niat berubah?”

“Buat apa? Nggak penting pendapat orang.”

Keduanya beradu pandang dengan sikap bermusuhan. Tidak menyadari Syera yang datang membawa minuman di tangan.

“Eh, kalian berdua kenapa? Kayak mau adu tinju?” tanya Syera bingung.

Baik Quenara maupun Ettan tidak menjawab. Mereka minum bagian masing-masing dalam diam. Di antara mereka bertiga hanya Syera yang sibuk berceloteh sementara keduanya hanya mendengarkan dan sesekali tersenyum kecil.

Ettan menyedot es kopi dengan pikiran geli, karena terjebak dua makluk bernama wanita di depannya. Satu orang berwajah masam yang seakan-akan kalau ia salah kata maka minuman di tangan Quenara akan berpindah ke mukanya. Sedangkan Syera bersikap ramah, membelikan es kopi, menyiapkan tisu untuk membersihkan tangan, dan tak lupa menawari camilan. Sudah lama, ia tidak diperhatikan seorang wanita yang rasanya bagaikan perhatian ibu.

**

Tersedia di google playbook.
.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro