Bab 11b
Ettan menyipit, memandang lapangan yang panas. Pukul tiga sore, murid yang lain memilih untuk berteduh di dalam ruangan sejuk berpendingin, ia dan teman-temannya malah ingin berlatih sepak bola. Setelah memakai seragam dan kaos kaki, ia keluar dari ruang ganti dan bergegas ke arah lapangan saat sosok Jeny menghadang jalannya.
“Hai, Ettan!”
Gadis tersenyum dengan wajah dimiringkan dan tangan melambai manja. Ettan menghentikan langkah karena kemunculan gadis itu yang tiba-tiba. Mengerjap sesaat, ia meneruskan langkah dan melewati Jeny tanpa kata.
“Ettan! Lo napa cuek banget sama gue. Padahal gue niat baik mau jadi temen lo!” Jeny menjajari langkah Ettan, berusaha mengajak pemuda itu bicara. “Ettan! Kok diam aja!”
Jeny mendesah kesal, menatap punggung pemuda yang menjauh. Ia makin kesal saat melihat Ettan menghampiri Quenara yang berdiri di pinggir lapangan dengan kipas di tangan. Mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya, ia menahan geram pada gadis itu. Dulu, ia dikalahkan saat ingin mendekati Delano. Kali ini pun sama. Menatap tajam, ia mengentakkan kaki ke tanah untuk menahan teriakan.
“Lo nggak kepanasan?” tanya Ettan saat mendekati Quenara.
“Ada ini.” Quenara menunjukkan kipas di tangan. Ia menatap sosok Jeny yang menjauh lalu memandang Ettan. “Lo ada masalah sama Jeny?”
Ettan mengangkat bahu. “Nggak!”
“Kayaknya dia kesel.”
“Biarin aja. Lo tunggu sampai kita latihan selesai. Nanti gue antar pulang.”
Quenara mengangguk, menarap Ettan yang berlari menjauh. Ia beranjak dan tempat duduk di bawah pohon, memandang lapangan yang panas. Mengagumi bagaimana Ettan dan yang lainnya berlari tanpa memedulikan panas yang menyengat.
Entah mulai kapan, Ettan rajin sekali mengantarnya pulang. Awalnya Quenara menolak tapi kini selalu ada helm cadangan di motor pemuda untuknya. Sekarang, mereka pun lebih cuek terhadap cibiran murid yang lain, terutama Ettan yang memang terbiasa diasingkan. Quenara sendiri lambat laun membaur dengan kelompok Ettan yang menurutnya lebih asyik dari pada teman-temannya yang dulu.
“Hei, gue mau ngomong sama lo!”
Teguran membuyarkan lamunan Quenara. Ia mendongak, menatap Jeny yang datang dengan tangan bersedekap.
“Lo ngomong sama gue?” tanya Quenara balik.
“Iyalah. Masa ngomong sama angin?”
“Kali aja. Ada apa?”
Jeny mendengkus, mengibaskan rambutnya ke belakang. “Gue saranin, sebaiknya lo jangan deket-deket sama Ettan.”
Keheranan muncul di wajah imut Quenara. Ia menatap Jeny seakan belum pernah melihat gadis itu sebelumnya. “Lo mabok?” tanyanya spontan.
“Kurang ajar lo! Gue ngomong begini biar lo tahu diri!”
Quenara bangkit dari tempatnya duduk. Mengibaskan kipas di depan wajah dan tersenyum tipis ke arah Jeny yang berdiri dengan pongah.
“Gue? Harus tahu diri? Hellooo! Ngaca dulu deh kalian. Dulu, waktu gue pacaran sama Delano, semua bilang gue matre karena dia cowok kaya raya. Pas putus, gue dikatain selingkuh, nggak tahu dirilah, buang berlian ganti batu kali. Sekarang? Lo nyuruh gue minggir dari Ettan? Ingat nggak lo dia itu cowok miskin!”
Jeny mengepalkan kedua tangan dengan wajah memerah. “Kurang ajar!”
“Jangan maki gue sembarangan, Jeny! Lagian dari dulu lo suka sama yang tajir, napa lo peduli soal Ettan? Standar lo turun?”
“Urusan Ettan, itu hanya gue yang tahu. Lo nggak tahu apa-apa,” desis Jeny tidak mau kalah.
Quenara meringis, menatap gadis yang menurutnya sangat pemaksa. Ia tidak akan menyerah pada kemauan gadis itu sekarang. Ia tidak mau diintimidasi oleh siapa pun lagi, apalagi soal dengan siapa ia harus bergaul.
“Gue nggak mau tahu urusan apa lo sama Ettan. Tapiii, gue nggak akan mundur jadi teman dia. Sana lo pergi! Ntar pingsan lagi kena matahari.” Meleletkan lidah, Quenara melenggang pergi. Tidak menoleh meski dari arah belakang terdengar desisan mengancam.
“Dasar gadis miskin! Awas lo ntar!”
Aku memang miskin lalu kenapa? Aku bangga dengan keadaan keluargaku dan semua orang tahu aku pintar. Sekolah di sini bukan mengandalkan kekayaan tapi karena otak.
Quenara melangkah ke arah pinggir lapangan dengan pandangan mengabur. Tidak memedulikan terik matahari yang menbakar kulitnya.
Ettan yang sedari tadi memperhatikan dua gadis yang bicara di bawah pohon, kini menatap Quenara yang melamun di pinggir lapangan. Ia menduga, pasti Jeny mengatakan sesuatu yang membuat Quenara kesal. Menggocek bola di kaki, ia berpikir untuk menegur Jeny kalau sikap dan tingkah gadis itu makin keterlaluan. Bisa-bisa, identitas aslinya tersebar karena gadis itu.
“Bengong aja lo!” Ettan meninggalkan bola dan menghampiri Quenara.
“Lagi mikir gue,” jawab Quenara pelan.
“Mikir apaan?”
Quenara mendongak, menatap pemuda beranting di hadapannya. Bulir-bulir keringat membasahi wajah dan rambut gondrongnya, juga seragam yang dipakai. Sengatan matahari justru membuat Ettan makin terlihat memukau. Tersenyum karena tersadar sudah memperhatikan terlalu lama, Quenara berdehem.
“Menurut lo binatang kaki seribu, kalau kakinya copot satu tinggal berapa?”
Ettan tercengang, sama sekali tidak menduga dengan pertanyaan gadis di depannya. “ sembilan ratus sembilan puluh sembilan.”
“Salah! Yang benar 1999 karena seperti lagu Gugur Bunga, gugur satu tumbuh seribu.”
“Receh banget lo!”
“Biar, suka-suka gue!”
Keduanya terlonjak saat dari arah belakang terdengar teriakan Bobby. “Minggiiir! Awas air panas!”
Sebuah selang dengan semburan air yang besar diarahkan pada mereka. Quenara memekik dan bersiap pergi tapi naas, Ettan meraih lengannya dan menahan tubuhnya agar tidak pergi.
“Jangan pergi lo! Kita mandii!”
“Ettan, gue nggak mau basah-basahan. Lepasin!”
Bobby bersorak gembira, menyemprot ke arah Ettan dan Quenara yang saling tarik menarik. Lalu, pada teman-temannya yang lain. Semua bersorak gembira, di bawah siraman air dari selang. Tidak ada yang memedulikan kotor dan basah, bahkan Quenara pun pasrah di rangkul Ettan ke tengah lapangan dan menerima semprotan air dari Bobby.
Di pinggir lapangan. Delano tertegun menatap keriuhan di depannya. Tangannya yang semula merangkul Angela, merosot dan terkulai di sisi tubuhnya. Ia menatap penuh benci, pada Quenara yang berteriak dan berlarian dengan Ettan. Menahan geram karena gadis itu terlihat sangat bahagia saat tidak bersamanya.
“Cewek murahan! Bisa-bisanyaa sama cowok-cowok itu main air,” cela Angela.
Teman-temannya yang lain mengangguk dan menyetujui ucapan Angela, tidak memperhatikan wajah Delano yang memerah.
Kehebohan terjadi sesaat sebelum pulang. Karena seragamnya basah, Quenara terpaksa mengganti baju dengan seragam cheerleader yang super pendek dengan atas ketat tanpa lengan. Ettan sempat tertegun melihat penampilannya, bahkan teman-temannya yang lain melongo tanpa sopan. Semua kagum dengan tubuh Quenara yang indah dan kulitnya yang putih mulus.
“Lo pakai itu?” tanya Ettan setelah terdiam beberapa saat.
“Iya, nggak ada baju ganti,” jawab Quenara santai. “Ayo, kita pulang!”
Ettan menatap teman-temannya yang terdiam bagaikan kambing dicocok hidungnya. Dengan kesal ia meraih lengan Quenara dan membawanya ke kelas kosong.
“Ettan, ada apa?”
“Tunggu di sini. Jangan keluar!”
Quenara bingung saat Ettan meninggalkannya sendiri dan lima menit kemudian pemuda itu datang dengan seragam olah raga miliknya.
“Pakai ini, jangan rok pendek itu. Gue tunggu di luar.”
Saat Quenara keluar dari kelas memakai seragam Ettan yang kedodoran, banyak dari teman-temannya mengaku lega tapi juga ada yang menggerutu karena kehilangan pemandangan bagus. Ettan memaki mereka dan Quenara tertawa malu.
**
Syera menatap layar komputer di hadapannya. Membaca dan menelaah dari setiap baris tulisan yang tertera di sana. Pikirannya fokus tentang jadwal meeting, perencanaan kerja dan juga mengumpulkan informasi untuk setiap detil pekerjaan.
Dari hasil laporan yang diterima dari divisi pengembangan produksi dan marketing, tingkat penjualan teh kemasan mereka meningkat dalam beberapa bulan ini. Perlahan tapi pasti, perusahaan mereka mampu berbenah dan sedikit demi sedikit kembali berdiri setelah sebelumnya goyah.
Ia juga mendengar dari Gala, kalau system pengairan perkebunan yang baru akan diterapkan segera untuk menggantikan system lama yang membuat perusahaan hancur. Dengan begitu, hasil kebun akan meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Tanpa sadar senyum terkulum dari bibir Syera, merasa bahagia karena dilibatkan dalam setiap diskusi dan keputusan yang diambil sang direktur. Ia merasa penting dan terutama, dibutuhkan.
“Syera, sebentar lagi ada tamu datang. Persilakan di masuk.”
Aplikasi pesan di layar komputer menyala dan pesan dari Gala muncul.
“Siapa, Tuan. Siapa yang akan datang?”
“Nadia.”
Bayangan wanita cantik yang waktu itu mengobrol akrab dengan Gala melintas di pikiran Syera. Wanita yang penampilannya sangat anggun dan elegan, mampu membuat siapa saja terbius bahkan dirinya yang sesama wanita. Merapikan meja, ia berdiri dan bersiap menerima tamu.
“Selamat datang, Nona. Mari, saya antarkan ke ruangan Tuan Gala.”
Syera menyambut Nadia di pintu depan dan mengiringi langkah anggun wanita itu.
“Kenapa bukan Gala yang menyambutku?” tanya Nadia angkuh.
“Mungkin beliau sedang sibuk.”
“Benarkah? Sebegitu sibuknya sampai menyuruh sekretarisnya menyambutku? Kakak ipar macam apa dia?”
Syera terdiam, memikirkan ucapan Nadia. Wanita itu menyebut Gala kakak ipar, berarti hubungan mereka amat dekat. Bukankah Gala itu duda? Berarti kakaknya Nadia adalah mantan istri sang direktur? Lebih dekat dari yang ia duga ternyata.
“Galaa, Sayang. Kamu sibuk apa sampai tidak menyambutku?”
Gala bangkit dari meja, menghampiri Nadia. “Selamat datang di kantorku.” Ia menunjuk sofa dan mengenyakkan diri di sana. “Senang sekali Nona Besar Nadia mengunjungi kantorku.”
“Itu karen aku tidak datang menemuiku. Padahal, Papa dan Mama mengharapkan kamu datang ke rumah.”
“Nanti, tunggu waktu longgar aku akan ke rumah bawa anakku.”
Syera menutup pintu, membiarkan dua orang itu bicara. Ia bergegas ke dapur dan menyeduh teh tanpa gula untuk Nadia serta seteko kecil kopi hitam.
“Kantormu besar sekali,” ucap Nadia. “kamu hebat, jadi papa tunggal dan seorang CEO yang berhasil.”
“Semua karena keberuntungan. Yang pasti tidak sebesar perusahaan kalian.”
“Jangan merendah, Gala. Orang tuaku juga sangat menyukaimu, meski awalnya dulu menentang pernikahanmu dengan kakakku karena kalian masih sangat muda. Umur berapa kalian menikah dulu? Delapan belas tahun?”
“Iya, sebuah pernikahan singkat.”
“Demi anak kalian. Sekarang, kamu bukan hanya punya perusahaan besar tapi juga berhasil mendidik Ettan menjadi pemuda keren dan hebat. Apa dia ingin kuliah ke Amerika dan tinggal bersama mamanya?”
Gala mendongak, saat pintu membuka dan Syera masuk dengan nampan di tangan. “Entahlah, tapi setahuku dia ingin kuliah arsitektur ke London.”
“Kamu kesepian kalau anakmu pergi.” Nadia tersenyum manis. “Apa tidak minat menikah lagi?”
“Nadia, itu terlalu pribadi,” tegur Gala.
Syera berusaha menahan agar tangannya tidak gemetar saat meletakkan minuman di atas meja. Ia mendengarkan dalam diam, pembicaraan rahasia antara Gala dan Nadia dengan perasaan campur aduk. Merasa tidak enak hati karena takut dianggap mencuri dengar.
“Silakan Tuan, Nona.” Ia meneggakkan tubuh dan bergegas ke pintu saat terdengar Nadia tertawa lirih.
“Hei, aku berniat mendaftar kalau kamu mencari istri. Pernikahan kita akan menjadi cerita turun ranjang paling keren.”
“Nadiaa.”
“Aku serius Gala.”
Menutup pintu di belakangnya, Syera membayangkan sebuah pernikahan besar dan mewah antara Gala dan Nadia. Semangatnya merosot seketika, entah kenapa bayangan tentang pernikahan mereka terasa menyakitkan hati. Bukankah normal seandainya Gala menikah? Lalu, apa salah dengan dirinya? Menghela napas panjang, Syera menepuk dadanya perlahan. Mencoba mengurai sesak yang melanda tiba-tiba.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro