Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10b

“Halo, mantan kakak iparku. Apa kabarmu?”

“Nadia, sama sekali tidak menyangka bisa melihatmu di sini.”

Nadia tertawa lirih, memamerkan deretan gigi yang putih. “Galaaa, kamu menghilang dari keluarga kami sangat lama. Pantas saja kalau banyak hal kamu tidak tahu.”

“Aku tidak menghilang,” jawab Gala cepat. “Tapi, sekarang bukan waktunya untuk bicara masalah pribadi. Silakan duduk, kita mulai pertemuan ini.”

“Aku ingin mengajakmu bicara, setelah ini,” ucap Nadia.

“Baik, setelah ini.”

Syera mendengarkan percakapan keduanya dalam diam. Ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu kerabat Gala. Kalau ia tidak salah dengar, wanita itu memanggil Gala dengan sebutan kakak ipar. Berarti, istri Gala adalah saudara wanita itu. Sebuah pertemuan komplit, selain bisnis juga reuni keluarga.

Selesai pertemuan, Gala menghampiri Syera dan menyerahkan dokumen ke tangan gadis itu. “Kita ke lounge dulu.”

“Mau apa, Tuan?” tanyanya spontan.

“Aku akan mengobrol dengan Nadia, kamu tunggu aku.”

“Ta-tapi, apa enak?” tanyanya takut-takut.

Gala menelengkan kepala lalu berdecak. Tangannya terulur untuk menyentuh pelan dahi Syera. “Kita duduk di meja yang terpisah.”

“Oh, yaa. Maaf, lupa.”

“Apa yang kamu, Syera?”

“Banyak Tuan, hanya saja kali ini memang lupa.”

Percakapan keduanya tak luput dari pandangan Nadia. Ia tahu kalau wanita berkacamata itu adalah sekretaris Gala, hanya saja sikap keduanya terlihat akrab dan sedikit berbeda untuk hubungan boss dan bawahan. Dugaannya makin kuat saat melihat Syera mengikutinya dan Gala ke lounge yang akan menjadi tempat mereka bicara.

“Kenapa kamu bawa sekretarismu? Biarkan dia pulang sendiri.”

Gala menggeleng. “Setelah kita bicara, kami akan pergi ke suatu tempat. Dia tidak akan mengganggu.”

“Boss yang baik. Terserah kamu saja, Gala.”

Mereka menempati meja di depan bartender, sementara Syera duduk sendirian dengan laptop terbuka di meja dekat kaca. Nadia mengguncang gelasnya pelan, mengamati laki-laki tampan di sampingnya.

“Kamu miliarder tapi sikapmu sama sekali tidak seperti orang kaya.”

“Maksudmu?”

“Kebanyakan orang kaya akan punya asisten lebih dari tiga, belum lagi pengawal. Kamu? Hanya berdua saja dengan sekretaris cupu itu.”

“Aku punya beberapa asisten dan mereka berada di kantor masing-masing. Soal pengawal? Aakn tidak nyaman kalau ke mana-mana kamu diikuti orang.”

“Ckckck, dari dulu kamu tidak berubah Gala. Berapa lama kita tidak bertemu? Lima tahun?”

“Lebih mungkin.”

“Dan kamu masih menduda, apa kamu begitu mencintai Nuala sampai tidak bisa melupakannya meski kalian sudah bertahun-tahun berpisah? Kakakku bahkan sudah berganti suami tiga kali.”

Gala tidak menjawab, menyesap minuman dengan pikiran dipenuhi tentang seorang wanita amat cantik, yang dulu adalah primadona sekolah. Wanita pertama yang ia cintai, dan juga ibu dari anaknya.

“Kamu tinggal di kota ini sekarang?” tanya Gala mengalihkan perhatian Nadia dari soal pribadinya.

“Iya, aku tinggal di kota ini dan memegang sebagian bisnis orang tua. Mamaku bilang, Ettan jarang berkunjung. Kenapa?”

“Sibuk untuk ujian.”

“Oh, kalau begitu bilang padanya, Auntynya ini ingin bertemu.”

“Tentu saja, nanti aku sampaikan juga ke Ettan.”

Nadia menggeser duduknya, tangannya dengan berani terulur ke arah lengan Gala dan membelai lembut. Beberapa tahun tidak bertemu, laki-laki di sampingnya tidak berubah dari terakhir mereka bertatap muka. Bahkan kini terlihat jauh lebih tampan, matang, dan mapan.

“Apa kamu tahu kalau aku masih sendiri?”

Gala memiringkan wajah, menatap jemari Nadia yang bergerilya di lengannya. “Tidak tahu,” jawabnya jujur.

Nadia mengulum senyum, jemarinya kini bergerak ke arah pundak Gala. “Aku masih sendiri, karena memang tidak menemukan laki-laki yang cocok untuk diajak serius.”

“Mungkin suatu hari nanti, jodoh siapa yang tahu?” ucap Gala diplomatis.

“Benar katamu, jodoh siapa yang tahu? Bagaimana kalau kita mencoba tentang hubungan kita. Toh kita sudah saling kenal, aku rasa lebih mudah untuk ke depannya.”

Gala yang kebingungan, menangkan jari Nadia dan menyingkirkan dari lengannya. “Maksudmu apa?”

Dengan berani Nadia membelai paha Gala dan berbisik. “Jangan pura-pura bodoh Gala. Aku menginginkanmu, bahkan dari dulu. Kenapa kita tidak coba menjalin hubungan? Akan bagus juga untuk bisnis kita, selain itu keluarga akan bahagia. Aku yakin, Ettan akan menerimaku sebagai calon mamanya.”

Gala terdiam, memikirkan ucapan Nadia. Ia sama sekali tidak menyangka, di pertemuan pertama mereka setelah sekian lama tidak berjumpa, Nadia meminta hal aneh yang pernah ia dengar. Bagaimana mungkin, ia bisa menjalin hubungan dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Ia tetap terdiam, sampai Nadia pamit pergi.

“Tuan, bisa kita kembali ke kantor sekarang?”

Teguran Syera membuyarkan lamunannya. Ia menoleh ke arah sang sekretaris yang berdiri di belakangnya. Dibandingkan dengan Nadia yang terlihat glamor dan kaya, Syera memang hanya gadis berpenampilan sederhana. Namun, justru itu yang membuat Syera berbeda.

“Syera, kamu pernah jatuh cinta?” Entah kenapa ia menanyakan hal itu dan menunggu jawaban Syera dengan ketenangan yang dipaksakan.

Syera terperangah, dan terdiam di tempatnya lalu menggeleng malu. “Tidak ada waktu, Tuan.”

“Maksudmu?”

“Saya tidak ada waktu untuk jatuh cinta. Karena harus bekerja.”

Jawaban Syera tanpa sadar membuat Gala tersenyum simpul. Perasaan gembira diam-diam merayap di relung hatinya. “Ayo, kita ke kantor!”

Syera mengiringi langkah bossnya dengan bingung. Ia tidak mengerti kenapa Gala mendadak bertanya soal cinta. Ia menyimpan keheranannya rapat di hati karena tahu tidak semua pertanyaan membutuhkan jawaban.

**

Quenara melihat catatannya dengan wajah berbinar. Setelah mengajar teman-teman Ettan, sedikit demi sedikit ia berhasil mengumpulkan uang. Diperlukan tiga kali pertemuan lagi, maka ia akan mampu melunasi pembayaran uang sekolah.

Sampai hari ini, sang kakak belum menanyakan soal uang ujian dan ia pun tidak mengatakannya. Selama ia bisa berusaha, Quenara ingin membayar sendiri uang sekolahnya.

Dari sudut matanya, ia melihat Delano bergandengan masuk bersama Angela, Jeni dan teman-temannya yang lain. Mengabaikan rasa nyeri setiap kali mengingat betapa dulu ia pernah menjadi bagian dari mereka, Quenara menunduk di atas catatannya. Saat ini ia berharap, kantin ramai pengunjung dan ia tidak perlu mendengar tawa mereka.

Delano makin hari bersikap makin memuakkan dengan mempertontonkan kemesraan yang berlebihan dengan Angela. Ia tidak keberatan dan juga tidak cemburu mantan kekasihnya punya pacar baru, jika bukan cemooh dari murid di seantero sekolah.

“Kasihan, tukang selingkuh dapatnya cowok miskin.”

“Lagian, udah punya cowok kaya raya dan tampan malah disia-siakan.”

“Karena bad boy lebih menggoda.”

Perkataan yang sama dan berulang, ia bosan setengah mati saat mendengarnya tapi nyatanya makin hari cemooh makin banyak, seiring dengan Delano yang lengket dengan Angela. Dunia sekolah makin hari makin menyebalkan, pikir Quenara muram.

“Sedang meratapi diri?”

“Karena apa?” Quenara bertanya pada Ettan yang mengenyakkan diri di depannya.

“Entahlah, mungkin karena cowok mantan cowok lo!”

Ettan mengedikkan bahu ke arah Delano kemudian tersenyum menggoda ke arah Quenara.

“Apaan sih lo!” Quenara yang gemas, mencubit punggung tangan pemuda itu dan membuat Ettan meringis. “Gue nggak ada rasa lagi sama si reseh itu!”

“Iya, deh. Gue percaya. Lo udah kenyang?” Delano menunjuk piring Quenara yang masih tersisa setengah.

“Belum, ini mau gue habisin. Sayang makanan dibuang-buang.”

Meja yang ditempati Quenara menjadi ramai setelah teman-teman Ettan ikut bergabung. Perlahan tapi pasti, Quenara merasa nyaman berada dekat dengan mereka. Ia tahu, sebagian teman Ettan adalah anak-anak orang kaya, tapi tidak ada satu pun yang menonjolka kekayaan orang tuanya seperti halnya Delano dan Jeni. Itulah yang membuatnya nyaman berteman dengan mereka. Terutama Ettan.

Quenara menilai, sikap Ettan padanya berbanding terbalik dengan julukan bad boy yang melekat pada diri pemuda itu. Sepanjang ia bergaul dengan Ettan, sama sekali tidak ada sikap buruk yang ditunjukkan pemuda itu padanya. Itulah yang membuatnya penasaran, bagaimana julukan bad boy berawal.

“Jadi gini.” Boby yang menjawab saat ia menanyakan masalah itu pada Ettan. “Pernah suatu hari ada anak baru, dibuly oleh para kakak kelas. Karena bulian itu membuat sang anak baru stress dan sempat terpikir untuk pindah sekolah. Suatu hari, saat si anak baru sedang dipukuli, Ettan datang. Seorang diri menghajar para kakak kelas hingga babak belur. Saat para kakak kelas tidak terima, mereka mengancam akan memanggil bantuan lebih banyak. Ettan mendatangi mereka satu per satu di kelas dan menantang duel. Hampir setiap hari, dia terlibat pertarungan.” Bobby menepuk pundak Ettan dengan bangga. “Sampai akhirnya para pembuli itu tidak lagi datang.”

Quenara menyipit menatap Ettan yang minum dengan sikap tak peduli lalu pada Boby yang tersenyum. “Anak baru itu lo?”

Boby menepuk dadanya. “Yes, gue!”

“Lo banyak omong!” tegur Ettan, menyingkirkan tangan Boby dari pundaknya. “Sana, jauh-jauh! Jijik gue dipeluk sama lo!”

Boby mencebik, bersikap pura-pura merajuk. “Oh, sayangku. Kamu menolakku?”

“Coba panggil sayang lagi, gue bikin muka lo babak belur!”

“Sayangku, Ettan!”

Quenara tertawa saat melihat Boby terjungkal dari kursinya karena didorong Ettan. Ia bisa melihat keakraban di antara mereka dan sedikit banyak mengerti kenapa Ettan sangat dihormati teman-temannya. Rupanya, pemuda itu punya sifat baik yang suka melindungi. Dilihat lagi, Ettan sebenarnya berwajah tampan yang tidak kalah dengan Delano. Hanya saja, pemuda itu menyembunyikannya di balik rambutnya yang panjang dan penampilan yang sedikit urakan.

“Jangan pandang gue lama-lama, nanti lo jatuh cinta.”

“Apa?” Quenara mengerjap.

“Lo, dari tadi melotot ke arah gue.”

Detik itu juga Quenara menunduk malu, karena tanpa sadar menatap Ettan tak berkedip.

“Hai, Ettan!”

Semua yang ada di meja terdiam kaku, saat melihat kedatangan Jeni. Gadis itu melambai dan tersenyum ke arah Ettan. Mereka saling pandang, bahkan Quenara pun shock dengan apa yang dilihatnya.

“Ettan, mau kue? Tadi gue bikin di rumah.” Jeni mengulurkan kotak warna pink berpita ke arah Ettan yang melihatnya dengan pandangan dingin.

Tanpa kata, Ettan bangkit dari kursi. Menatap Jeni sekilas lalu berucap pada Quenara. “Ayo, kita ke taman!”

Quenara mengangguk dan menjejeri langkah Ettan, diiringi oleh teman-temannya yang lain. Terdengar panggilan Jeni pada Ettan dan diabaikan oleh pemuda itu.

“Kenapa Jeni berubah gitu sama lo?” tanya Boby heran.

“Nggak tahu!” jawab Ettan singkat.

“Nggak  mungkin lo nggak tahu, Ettan. Jeni itu orangnya nggak gampang buat sok akrab sama orang lain.” Kali ini Quenara yang bertanya.

Ettan mengangkat bahu. “Entah, lagi kesurupan mungkin.”

“Hah!”

Semua tidak percaya dengan jawaban Ettan yang tidak masuk akal.

“Orang kalau kesurupan suka beda.” Ettan melanjutkan ucapannya. Menatap Quenara sambil tersenyum. “Ngomong-ngomong, sepulang sekolah kita makan sushi. Boby ulang tahun, dia mau traktir!”

“Hei, gue nggak ulang tahun!” sahut Boby cepat.

“Anggap aja lo juga kesurupan jadi traktir kita,” jawab Ettan sekenannya.

“Yang kesurupan itu Jeni bukan gue!”

Percuma Boby memprotes, tidak ada yang mendengarnya. Prospek akan makan sushi sepulang sekolah membuat mereka bersemangat dan mengabaikan keberatan yang diutarakan Boby.

Boby yang malang, pikir Quenara dengan mulut mengulum senyum. Melihat bagaimana pemuda itu akhirnya menyerah dan bersedia mentraktir mereka. Benak Quenara bertanya-tanya tentang Jeni dan apa yang membuat sikap gadis itu pada Ettan berubah. Ada sesuatu yang terjadi di antara mereka, dan ia tidak tahu apa.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro