Chapter 10 : Api dan Angin
Aula di bawah tanah tampak sesak terutama bagi Yugo. Yugo masih kesal akibat perbuatan Sotu. Sudah satu jam Sotu berkeliaran di luar sana, sedang mencari Cavan. Yugo tidak pernah mempercayai Sotu. Malah, dia ingin mengirim Sotu secepatnya ke Merkurius.
Seluruh anggota duduk mengelilingi meja, harap-harap cemas menunggu keputusan Yugo selanjutnya.
"Kenapa aku merasa sesak napas?" gerutu Gerald mengusap dadanya.
"Mungkin Ivander sedang demam. Apa sudah waktunya dia menelan kapsulnya?" balas Quirin keheranan.
"Ya. Kuharap Ivander tidak demam sekarang. Jika tidak, aku harus menemukan Ivander untuk mengobati sakitnya." Yugo semakin resah.
Kenapa pula Cavan harus kabur di saat Ivander demam? Bakal merepotkan kalau dia diharuskan memilih salah satu sebagai prioritas. Kedua anggota yang belum minum kapsul itu sama-sama harus diperhatikan, atau semua anggota mati bersamaan.
"Ivander masih di Amerika, betul, kan?" Valda menjentikkan tangannya, bibirnya mengerucut. Dia sibuk berspekulasi. Kini sudah genap tujuh Gemstoners yang harus bergabung. Telah diketahui Valda bahwa Ivander dan Cavan adalah dua anggota terakhir yang sulit dikendalikan.
"Tidak. Ivander tidak demam," sanggah Quirin seraya menggelengkan kepala. Quirin belum menerima penglihatan, tentu saja spekulasi-spekulasi yang dipikirkan para anggota salah.
"Cavan!" cetus Yugo terlonjak menyadari sesak yang mereka alami. Sudah lima kali Yugo merasakan sesak itu. Anehnya kali ini, Yugo bagai melewatkan rasa sesak itu. Sesak di dada adalah tanda, bahwa anggota Gemstoners harus segera menelan kapsulnya. Selama 24 jam sejak demam, kapsul itu harus sudah ditelan, atau bila tidak, mereka bertujuh mati.
"Ayo kita cari dia!" kata Yugo buru-buru keluar dari aula. Dia memimpin paling depan, menerobos lorong pendek di dapur. Begitu sampai di seberang lukisan batu, Yugo mendorong dinding bata.
Tak ada apapun di sana. Tembok itu belum bergeming. Yugo pantang menyerah. Dia memaki dinding agar lekas terbuka. Diam. Detik demi detik berujung pada kesia-siaan.
"Dinding sialan! Sotu pasti punya jalan rahasia lain!" rutuknya semakin tak karuan. Yugo menendang tembok itu.
Ada celah gelap terbuka. Lais pertama kali mengambil inisiatif. Dia mendorong lebih jauh lagi. Terowongan menjeblak semakin lebar. Mereka semua masuk tanpa gentar. Dalam gelap ini mereka butuh api sebagai penerangan.
Ada percikan api begitu Lais memikirkan api. Api itu tumbuh di tangannya. Kehadiran si api berhasil mengejutkan anggota lain, mengira Lais hendak membunuh nyawanya sendiri.
"Matikan itu!" sergah Gerald panik. Api yang melesat di belakang Gerald bukannya mematikan api, justru berkobar semakin besar.
“Kamu juga diam!" bentak Quirin menarik tangan Gerald. Sadar gerakan Gerald memicu angin. "Ayo kita jalan."
Lais memimpin jalan mereka, sampai akhirnya dia mematikan api di tangan. Cahaya menerobos di celah-celah dedaunan. Ruangan ini seperti memiliki atap dedaunan hijau. Lais menduga, celah bersinar itu berasal dari cahaya matahari.
"WHUAAAA!"
Lais terlalu asyik mengamati atap, tak mengira bahwa di depannya, tebing terjal mengancam. Pemuda itu terlanjur jatuh, tangannya mencengkeram ujung lantai batu yang baru dia pijak.
"Lais, apa yang terjadi?" Gerald yang ada di belakang Lais merenggut tangan Lais. "Hati-hati, ada jurang."
"Biarkan aku membantu." Valda yang ada di barisan paling belakang mendesak mereka maju. "Ayo ke depan."
"Tidak ada jalan!" Quirin menahan langkahnya.
"Bagaimana dengan samping bibir pintu?" tanya Valda pantang menyerah.
"Ya, ada," timpal Gerald mengamati arah kiri. Tangannya mati rasa. Berat Lais bukan main. Hanya tangan Gerald satu-satunya harapan Lais. Bila tangan mereka licin, Lais bakal habis nyawanya.
"Geser ke samping, Quirin." perintah Yugo. Quirin melangkahi punggung Gerald. Dia bergeser ke jalan setapak di kiri bibir terowongan disusul Yugo.
Kali ini Valda memiliki akses yang lebih baik. Dia mencengkeram bebatuan dan menyalurkan sebagian kekuatannya dengan menyentuh pundak Gerald. Perlahan, bebatuan berderak nyaring. Tanah dan batu saling menggumpal, bergeser merapat di dekat kaki Lais.
Lais mendaki batu-batu yang disihir Valda. Dia memanjat tebing dan terengah-engah.
"Aku tahu kamu mulai menyukai tempat ini, tetapi paling tidak lihat di bawahmu juga!" dumel Valda menepuk telapak tangannya.
Quirin yang paling ujung depan bergeser pelan. Kelima orang itu menyusuri jalan setapak sampai tiba di depan pepohonan yang amat lebat. Ada tiga arah pelarian. Cavan telah melewati salah satu jalan itu.
"Kanan!" Valda mendeteksi tarikan jantungnya mengarah ke kiri.
"Itu Sotu. Kita lurus ke barat," bantah Yugo.
"Kenapa aku ingin pergi ke kiri?" tambah Gerald semakin memperumit keputusan kelompok itu.
"Kamu bilang duplikat Cavan memiliki daya magnet yang sama dengan aslinya. Mana yang benar?" Quirin mengingatkan. Ketenangan Sang Penglihat mempengaruhi anggota lain.
"Aku sudah bertahun-tahun mencari Cavan. Namun, Sotu selalu menipuku. Dia bisa berbentuk apa saja sesukanya. Hantu jahil tidak tahu diri. Sebaiknya kalian berkonsentrasi, di mana kalian benar-benar ingin pergi menemuinya." Yugo mengerutkan kening. Dia memijat pelipisnya, berkonsentrasi penuh dengan daya tarik jantung yang tertanam di dadanya sendiri. "Quirin, Lais, di mana kalian ingin pergi?" tanya Yugo menunggu.
Lais memilih kanan, sama halnya dengan Valda. Sementara Quirin bergabung bersama Gerald menuju kiri.
"Aku tidak ingin kalian berpencar." Yugo menggelengkan kepala. "Valda, lakukan pemindaian. Aku yakin pepohonan bisa memberi petunjuk untukmu."
Valda memejamkan mata. Berkonsentrasi untuk berkomunikasi dengan benda-benda di hutan. Dengan satu kali menjejakkan kaki, harum kayu dan air membuat suasana hutan semakin lembap. Angin mendesau di atas kepala para Gemstoners. Hutan ini agak sulit ditaklukkan. Tidak ada apapun di hutan ini, kecuali tiga titik berbeda yang berlarian. Salah satunya dikejar titik hitam.
"Salah satunya dikejar anak buah Hector. Sisanya berjalan lambat tak tentu arah. Satunya lagi, diam di sebuah rumah," lapor Valda.
"Bagus, Cavan tidak banyak memakai cincinnya. Kita sebaiknya pergi ke tempat di mana Cavan diam. Arah mana itu?" Yugo menarik napas lega.
"Kamu benar. Kita lurus saja." Valda membuka mata.
"Seberapa lama kita bisa menemuinya?" tanya Yugo lagi.
"Tiga menit berlari dalam kecepatan 320 km/ jam." Valda nyengir, tampak puas dengan keakuratan hasil pemindaiannya
Kelima Gemstoners melesat dengan kekuatan penuh menuju barat alias jalan lurus di depan mereka. Gerald yang paling cepat mendorong angin agar anggota lain menyamai kecepatan larinya.
"Diam!" Yugo tidak bergerak. Dia merasakan isapan dingin menarik rongga dadanya. Pemuda itu sadar, anak buah Hector berada di dekat mereka.
"Kehadiran keturunan Aquamarine menarik perhatiannya. Sebaiknya kita mundur," desis Yugo. Pemuda itu tidak mau salah satu dari anggota terekspos.
"Bos, rute ini paling cepat. Cavan sedang menunggumu," kata Valda. "Bila pasukan Hector menyerangmu, sementara Cavan dalam bahaya. Kira-kira mana yang jadi prioritasmu?" Valda menahan bahu Yugo. Dia melotot tak mau dibantah.
"Jadi menurutmu, semesta alam lebih penting dari pada kamu mati, Valda?" tepis Yugo tersinggung.
"Bos, bukan begitu maksudku. Kita bisa melawan pasukan Hector. Biar aku menahan pasukannya, jadi kamu bisa segera menyelamatkan Cavan." Valda semakin tidak nyaman dipelototi Yugo.
"Tidak. Itu tidak bisa. Kamu harus utuh. Hidup tanpa luka. Kita memutar jalan." Yugo bersikeras. Teringat bahwa dia tidak boleh membiarkan saudaranya terluka.
"Valda benar." Gerald mengangguk setuju pada pendapat Valda. "Aku akan membantu mencari Cavan. Sekarang, pergilah menemui Cavan. Bila kamu sudah selesai, segera kembali ke sini untuk membantu kami. Aku tidak yakin bagaimana caraku. Kita baik-baik saja."
Quirin ikut menyemangati. Dia mengedikkan bahu ke Yugo, berpisah dengan rombongan lain. "Ayo kita pergi."
Yugo keberatan. Tetapi dia tidak punya pilihan lain. Kelima orang itu akhirnya memisahkan diri. Lais dan Gerald bergabung dalam strategi yang sama. Membuat kobaran api untuk melawan musuh. Sementara Valda lebih menekankan kekuatan tanah. Mereka saling memunggungi, menanti serangan.
Walaupun Yugo tidak suka misi ini, mau tak mau dia harus pergi ke titik Cavan sedang menantinya. Bersama Quirin, keduanya melesat pergi berdasarkan petunjuk kecil Valda. Dia mempercayakan keakuratan Valda. Ketiga anggota bisa selamat, Yugo akui itulah keberuntungan. Sebuah keajaiban tidak terduga.
Gerald dan Lais memang petarung baik, tetapi paling tidak, mereka harus bertahan menghadapi tekanan yang terus membombardir dari Hector.
"Itu, ada rumah." Quirin menyentak dagunya.
Di malam yang gelap total, Quirin bisa melihat siluet tidak simetris sebuah bangunan bobrok. Dengan hati-hati, keduanya mendekat.
"Ya. Dia di sana. Mudah-mudahan dia yang asli," gumam Yugo penuh harap. Mereka mengamati beberapa saat. Ingin memastikan apakah ada seseorang di sana selain Cavan.
"Gus Yugo?" Suara berat dari dalam bangunan menyeruak. Pria itu perlahan muncul bertemankan nyala obor kecil. Roman mukanya penuh damba, walaupun sudah penuh keriput. Sosok bungkuk datang mencengkeram lengan Yugo. "Ya, kamu masih awet muda, Gus."
"Wayan," balas Yugo, tidak terkesan bertemu abdinya yang sudah hilang.
Ratusan tahun lalu, Wayan masih bocah yang melayani hidup Yugo secara sukarela setelah selamat dari terkaman serigala hutan. Setelah Yugo sembuh dari sakit panasnya, Yugo menghilang. Wayan yang menguasai ilmu moksa memilih bertapa di Alas Purwo. Saat dia terbangun, dunia berubah. Wayan menyerah mencari Yugo. Dia melanjutkan hidup dalam sisa penantian dijemput ajal dengan berkeluarga.
"Anda kembali, Gus." Wayan, pria tua itu tidak salah mengenali penyelamatnya. Dia tidak menyesal menyuruh cucu angkatnya, Lea segera pergi dari rumah ini. Wayan lebih suka tidak ada siapa pun yang tahu dengan sosok kuat nan mistis seperti Yugo.
Firasatnya sudah bilang, bahwa tuannya bakal kembali. Ratusan tahun menunggu Yugo kembali pun, Wayan tidak pernah melupakan wajah Yugo. Wajah itu masih sama persis dalam ingatan Wayan. Jangan lupakan bahwa Wayan menua, segan mati sampai berjumpa kembali dengan tuannya, persis setelah ingatannya yang dibekukan Gaia memudar.
Kehadiran Cavan sudah menjadi petunjuk besar Wayan. Setelah bertarung dengan serigala, Yugo memang jatuh sakit. Dia demam lebih lama dari Cavan. Merasakan kejang hebat. Sudah seharusnya Yugo mati bila demamnya lebih lama dari dua minggu, tetapi Yugo tak pernah mati. Wayan yakin, Yugo adalah bagian dari dewa hutan.
"Cepat, Gus. Dia sedang mencari Anda." Wayan membuka pintu lebar-lebar, mempersilahkan dua tamunya segera masuk. Wayan menunjuk ruang di mana Cavan masih berbaring menggigil di atas kasur busa tipis.
Jendela kamar Cavan masih terbuka. Udara berembus sangat dingin. Wayan memeluk tubuhnya sendiri, kedinginan tanpa mengenakan jaket pelapis. Langit masih pekat. Sebentar lagi hujan deras bakal mengguyur seisi hutan. Halaman belakang rumahnya sudah ambrol. Tak lama lagi, rumahnya bakal longsor bila hujan turun sehari semalam.
Anehnya, ada kepulan asap dan cahaya kemerahan dari balik pepohonan. Ini adalah kejadian tidak biasa. Barangkali ada orang membakar hutan. Wayan menduga orang itu petani nomaden. Wayan juga berharap, sawi emasnya tidak ikut terbakar.
"Sudah tiga hari dia sakit, Gus. Saya tidak banyak membantunya. Dia tidak memiliki obatnya, seperti yang Anda telan." Wayan masih bicara di belakang kedua Gemstoners.
Quirin menahan rasa terkejutnya. Jadi Yugo tidak sendirian ketika sakit. Wayan telah memasukkan kapsul wajik ke Yugo kala pemuda itu tidak bisa melakukan apa-apa. Anehnya kenapa hanya pada Yugo dan Cavan demamnya berlangsung lama? Bukankah lewat 24 jam, semua anggota bakal mati? Atau mungkin daya tahan anggota berbeda, jadi batas minimal tidak kunjung diobati adalah 24 jam.
Yugo menekuk lutut untuk duduk. Dia meraba kening Cavan sebentar. Lalu menelan kapsul warna kuning di bibir Cavan.
Kondisi Cavan berangsur membaik. Pemuda itu bisa duduk. Matanya tulus meminta maaf pada Yugo. Tidak enak hati telah merepotkan orang yang telah mengurungnya puluhan tahun.
"Maafkan aku." Cavan mengusap permukaan wajahnya dengan telapak tangan yang sama basahnya.
“Kamu masih kuat berjalan?" tanya Yugo mengabaikan permintaan maaf Cavan. Pikirannya kembali ke kepulan asap membumbung.
"Kemarilah." Quirin mengulurkan tangan, membantu Cavan tegak berdiri.
"Kita mau ke mana?" Cavan yang buta informasi apapun bertanya. Dia juga heran. Tidak biasanya Yugo membawa teman dalam perjalanannya.
Yugo terus mengabaikan Cavan. Kemarahannya terus naik setiap kali Cavan bertanya. Kaburnya pemuda itu menambah banyak masalah. Kehadiran pria botak bertato pendukung Hector selalu menggelisahkan bagi Yugo.
"Wayan, kali ini kita impas. Lupakan pertemuan ini." Yugo mengibaskan tangan pelan, seolah menyibak tirai tidak tampak.
Wayan bagai dihipnotis. Pandangan berbinarnya kali ini memudar. Matanya kosong.
"Baik, Gus." Suara Wayan bagai robot.
Yugo memegang tangan Cavan dan Quirin. Udara menelan keberadaan tiga sosok itu, meninggalkan Wayan seorang diri dengan wajah mengantuk.
💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎
Terima kasih untuk yang betah membaca novel fantasi saya ya. Jika berkenan, silakan untuk membagi cerita ini ke pembaca lain, biar sama-sama hype bareng.
💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎💎
Repost: Bondowoso, 15 Januari 2022
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro