Bab 5 : Perburuan 2
California, 2016
Bau hangus menguar sepanjang Los Angeles, mengepulkan duka ketika pesawat plat merah milik Indonesia tergelincir di pesisir California. Hujan jarang jatuh di wilayah tandus. Kering yang menyesakkan penuh debu, kali ini dilengkapi bau kematian yang tidak mengenakkan. Sebanyak 657 penumpang beserta awak pesawat terbakar dalam sekejap.
Dalam satu kedipan mata, pesawat itu meledak dan menciut tertarik daya gravitasi. Musnah menjadi kepingan tidak terbentuk. Lebih janggal lagi, sosok pemuda duduk di salah satu sayap pesawat yang terbakar. Tak terluka, begitu santai tanpa mengaduh kepanasan. Matanya seperti kilatan elang pemburu, kembali kosong memandang langit. Di balik bayang asap dan api yang membara, persis sebelum sirene polisi muncul dengan suara rendah, dia menghilang bersama kepulan asap pekat.
Pemuda itu benci pada dirinya sendiri. Tatapannyalah penyebab segala sesuatu lenyap. Dia tidak mengerti kekuatan yang ada padanya. Keinginannya satu. Hidup sewajarnya seperti manusia lain. Tidak pernah terjebak dalam kekuatan supranatural yang dimiliki sejak lahir.
Ivander Carlos. Begitulah orang lain memanggilnya. Dia berperawakan kurus tinggi dengan rambut hitam legam. Parasnya tampan sekali. Salah satu kriteria sempurna para pencari bintang yang akan direkrut sebagai model di dunia industri hiburan, tetapi kesempurnaan fisik itu tidak mengubah keadaan.
Paras seperti dewa itu tidak berdampak apa-apa. Dia selalu menyendiri dan tidak terkesan untuk memiliki teman. Makhluk anti-sosial yang terkenal misterius. Salah satu mahasiswa Harvard di departemen Fisika. Setiap kali dosen memanggil nama Ivander, tidak satu pun manusia peduli pada kehadiran Ivander. Manusia normal pun tidak akan sadar, bahwa Ivander pernah berada di antara mereka.
Pria itu sedang menghabiskan musim panasnya di Amerika, melarikan diri dari kemelut pikiran yang jauh dari nalar. Sudah bertahun-tahun dia seperti ini. Merasa aneh pada dirinya sendiri.
Ivander mengatupkan bibir melihat sisa daging manusia yang terpanggang berceceran. Aroma darah yang hangus disertai jerit kesakitan terus menjalar ke udara kosong. Suara bising bersamaan puluhan mobil bala bantuan berlapis terparkir mendekat. Ada histeria baru atas kejadian mengerikan di depan manusia yang bermaksud memberi bantuan keselamatan.
Dia melihat siluet tidak asing yang terus mengejarnya. Ketakutan kembali merayap. Semenjak Ivander bangun di sebuah pantai, bencana yang terjadi di depan mata karena ketidaksengajaan. Setiap Ivander melihat sesuatu, ada saja masalah yang timbul. Tak heran dia takut pada sosok yang gigih memburunya di segala penjuru.
Melihat bayang putih yang selalu mengejarnya, di tengah revolusi dan kehidupan manusia yang terus berbenah, disertai kecerdasan buatan mendominasi semua aspek, Ivander lelah.
Dia melihat bagaimana Yugo menangkap seseorang yang memiliki kekuatan supranatural. Jika dia mengalami hal yang sama, diringkus oleh mata putih itu, tentu saja Ivander lebih takut menghancurkan lebih banyak kehidupan.
Ivander punya kekuatan luar biasa. Jika dia ditangkap—Ivander ngeri sendiri—bukankah kekuatannya bakal bertambah dua kali lipat?
Ivander hanya ingin tenang. Tetapi sejujurnya, Ivander suka berada di kerumunan manusia, untuk mengamati banyak perbedaan-perbedaan sekitarnya. Bagaimana bentuk rambut bisa lurus, kribo atau ikal, bagaimana warna kulit bisa coklat eksotis, albino dan hitam legam, bagaimana iris mata bisa biru cerah, hijau, cokelat dan abu-abu, serta bagaimana fisik orang bisa terpengaruh semata demografi tempat tinggal.
Hanya saja, perbedaannya terletak pada kekuatan Ivander yang bisa membunuh siapa saja. Ivander selalu mendatangi ahli nujum di mana pun dia mengetahui dan mendengar kekuatan supranatural mereka, lagi-lagi tanpa sengaja, Ivander menumpas semua mantra dan kekuatan dukun-dukun, termasuk dukun gadungan. Keinginan Ivander adalah mencabut matanya agar tidak mengacau lagi. Dia pernah bunuh diri, meloncat dari gunung, menenggelamkan diri di laut, termasuk metode-metode pembunuhan paling berbahaya lainnya. Tetapi mata pisau tumpul, tali putus, bumi longsor, laut susut dan menjadi tsunami di area lain. Bumi menolak si Bloodstone mati.
Ivander akan selalu terjebak untuk selamanya dalam ketidaktahuan atas siapa dirinya, jika terus menolak bantuan Yugo.
Di sisi lain, Yugo memicingkan mata hitamnya. Jika tidak dalam masa trans, tentu saja mata itu normal. Yugo jadi mudah membaur di tengah manusia. Rambut cokelatnya berkibar diterpa angin. Dia melangkah agar tak tertabrak ratusan orang yang berseliweran menyelamatkan korban. Warga sipil yang kebetulan menonton kejadian naas diperintahkan untuk mundur agar evakuasi menjadi lebih mudah.
Dia menyadari siapa dalang di balik jatuhnya pesawat itu. Tidak ada korban selamat. Mereka hangus terbakar. Seluruh petugas medis, polisi, intelijen, wartawan dan pemadam kebakaran berlarian mencari sesuatu yang hidup, tetapi aksi itu merupakan kesia-siaan. Mereka hanya mengumpulkan ceceran mayat untuk diidentifikasi.
"Senator LA menyatakan duka yang sedalam-dalamnya, atas kematian para korban. Kami belum bisa mengonfirmasi apapun sampai investigasi jatuhnya pesawat ini tuntas," papar pejabat lokal. Ekspresi bingung lebih tampak di wajah tirusnya. Ratusan kamera membidik wajah si petugas selaku juru bicara pemerintah.
Yugo menatap puing-puing berasap. Dia memejamkan mata, tampak berdoa. Namun, pikirannya sibuk mencari sesuatu yang baru saja hilang. Dia terlambat beberapa detik untuk menemukan sesuatu.
Anak itu harusnya lebih ketat kuawasi. Bodohnya aku, lengah melihatnya lepas kendali lagi. Mau sampai kapan kau lari, hah?
Hati Yugo diliputi sesal yang mendalam. Yugo jelas memikirkan Ivander. Pemuda yang sepersekian detik hilang sebelum kemunculan Yugo. Seperti halnya Ivander, Yugo juga hilang di balik bayang-bayang. Angin berembus pelan tanpa satu pun orang menyadari dua sosok misterius itu.
Kali ini Yugo butuh bantuan Valda. Sudah puluhan tahun mereka tidak saling kontak. Gema di jantung Yugo semakin bising. Dia sudah menyadari tiga jantung lain yang terbangun. Jejaknya tidak tampak ketika Yugo datang ke benua Amerika.
Seperti kata Gaia di lembah Gunung Ijen, tiga lainnya akan terbangun di tempat lain. Penantian panjang Yugo terbalas dengan menemukan dua orang yang langsung percaya Yugo beruntung bisa memberitahu satu per satu. Ringkas kata, tinggal tunggu waktu saja bahwa Ivander menjadi satu-satunya sosok yang harus diburu, jika ada satu lagi yang bisa percaya juga.
Ah, diburu? Kenapa Ivander menjadi sosok kriminal? Tidak, Ivander harus ditolong.
Yugo menggelengkan kepala, teringat oleh tiga sosok lain. Secara teknis, empat yang belum menelan kapsulnya, termasuk Cavan. Hanya Yugo, Valda dan satu lagi yang terjebak di tengah badai Grand Canyon waktu itu.
Tiga sosok Gemtoners terakhir membaur di antara kehidupan masyarakat. Yugo memantau keberadaan dua orang dari jauh. Sementara, satu anggota terakhir yang belum terendus apa kekuatannya.
Sudah saatnya dia mencari Valda untuk mengumpulkan formasi lengkap Gemstoners. Langit sudah gelisah dengan desingan kapal aneh dari Pluto. Tak lama lagi, pertempuran besar bakal menginvasi Bumi bila Yugo masih tenang-tenang saja.
Atas instruksi Yugo, Gaia mengirim pesan pada Valda untuk kembali ke Griya Aquamarine. Sampai hari ini, Valda masih berkeliaran, mencari kesenangannya sendiri.
Rupanya, Valda ada di Amerika juga, tepatnya di bagian negara lain. Tanpa buang tempo, Yugo menghilang di tengah pusaran asap hitam demi reuni tiga abad lamanya dengan sang penyembuh.
***
***
Mobil Lamborghini satu ini belum dikenalkan di dunia. Belum waktunya dia keluar, tetapi Valda Carya mampu mencuri mobil mewah itu. Dengan santainya, Valda keliling negara bagian. Mobil itu membelah Phoenix yang kering. Deru mobil yang halus memberi efek seperti musik. Jok mobil itu sangat empuk berlapiskan kulit domba pilihan. Sangat nyaman jadi tempat sandaran. Interior mobil ini terbilang eksklusif.
Valda menyeringai. Dia tampak bebas, meninggalkan debu membumbung di belakang mobil. Jalanan dilibas dengan kecepatan 220 km/ jam. Tentu saja, Valda sangat menyukai adu balap.
Aksi kali ini kurang seru. Dia agak bosan menatap lenggangnya jalanan. Kaktus berdiri menunggunya, tetapi Valda tidak berminat melirik ratusan kaktus yang tumbuh di sisi kiri dan kanan aspal. Asap tebal di balik gunung pun diabaikan.
Pikirannya kembali tertuju pada seseorang. Beberapa menit sebelumnya, Yugo menghubungi Valda lewat Gaia. Keduanya mengenal cukup lama. Hampir dua ratus tahun tanpa menua. Dunia sekarang berada dalam cengkeraman kecerdasan buatan, tetapi komunikasi antara Valda dan Yugo jauh lebih canggih. Disusun ratusan tahun sebelumnya. Bicara lewat ikatan telepati yang mereka miliki. Terselip di dada mereka dalam bentuk kepingan warna-warni.
Yugo menyuruh Valda segera memburu Ivander, biang keladi atas kematian naas di balik gunung itu. Suara radio yang memaparkan kondisi di Los Angeles terus berdesing di telinga Valda.
Itulah alasan Valda butuh mobil balap super cepat. Semuanya demi menemukan Ivander. Masih lekat dalam ingatannya, persis pertama kalinya Yugo menemui Valda di salah satu meja poker sehari sebelumnya. Valda sedang taruhan $ 10.000 bersama pria Afro-Amerika.
"Sebelum berbagai malapetaka muncul, kau harus menangkap Ivander," pesan Yugo penuh kehati-hatian. Dia tidak ingin siapapun mencuri dengar.
"Malapetaka apa, Bung? Ayolah, santai saja," kata Valda, sibuk dengan kartu poker. Pikirannya mulai terbagi. Agaknya kata-kata Yugo lebih penting dari pada puluhan dolar di depannya.
"Percayalah. Anak itu tak mengenal dirinya sendiri."
"Kau saja yang mencarinya." Valda mengerang puas. Lagi-lagi Valda menang taruhan.
"Aku harus mencari dua orang lagi."
"Dua orang siapa lagi?" tanya Valda keheranan, tangannya meraup lembaran dolar yang kini menjadi miliknya, tetapi tangan itu bergerak kaku. "Tidak cukupkah lima orang yang menjadi Gemstoners?"
"Ada tujuh dan aku tak tahu sisanya ada di mana."
"Kenapa kau tak menyuruh Gerald dan Quirin ikut mencari juga? Kenapa harus kita berdua yang mencari Gemstoners lain?" protes Valda. Kali ini dia menggiring Yugo ke bar. Dia memesan wiski untuk dua orang.
"Umurlah faktor utama kita sudah matang. Kita berdua yang mampu mengendalikan rasa sakit itu. Kau lihat, Quirin dan Gerald masih terlalu lemah menghadapi rasa sakitnya. Mereka tidak bisa mengontrol gangguan yang kapan saja datang. Ivander bahkan lari menghindariku terus menerus. Takut akan malapetaka yang terus terjadi di depan matanya. Dia takut membunuhku, padahal aku cukup kuat menangkal kekuatan Ivander," ungkap Yugo.
“Tidak. Kamu sangat payah. Mau bertarung denganku pun, aku akan menang sebanyak 10.000 ronde. Kamu tidak punya skor kemenangan,” ledek Valda.
“Setidaknya aku bisa mengamankan Cavan, Valda,” timpal Yugo tidak mau kalah.
“Ya. Dan salah satu dari anak rekrutan baru, si peramal, aku membimbingmu ke Grand Canyon,” sambung Valda. “Kalau bukan karenaku, kamu akan kesulitan melacaknya, Bung.”
“Ya, baiklah. Terima kasih atas kontribusimu kali ini, Valda.” Yugo enggan berdebat. Dia benci ada yang terus membalas semua ucapannya dengan kata-kata lain tidak penting. Baik Cavan dan Valda, sama-sama menjengkelkan. Yugo hanya berharap menemukan sosok tenang, yang langsung mengerti semua ucapannya tanpa harus silang pendapat.
Keduanya terdiam dalam lamunan panjang. Sampai akhirnya gelas ketiga Valda habis.
"Bantu aku menemukan yang lain sampai genap tujuh orang."
"Kalau Gemstoners genap menjadi tujuh, apa yang akan kamu lakukan?" cecar Valda. Salah satu matanya terpicing curiga.
"Kamu akan tahu nanti." Yugo melesat pergi. Meninggalkan teka-teki di benak Valda.
Dengan uang taruhan yang Valda dapatkan, malam itu dia habiskan untuk bersenang-senang. Sudah lama dia tidak berkunjung ke Vegas untuk main judi. Pemuda itu selalu menghilang di tengah hutan, melakukan penjelajahan untuk bicara dengan jerapah putih bergaris satu untuk penyembuhan pikiran dan membuat ramuan-ramuan aneh.
"Oh My God! Nikmati saja waktu di Bumi, kenapa harus berpusing ria dengan kehidupan tak pasti. Aiyoo.... Merepotkan saja. Padahal aku ingin ke Beruna dan menikmati keindahan pantai sana. Aih... Mengganggu acaraku saja untuk berlibur menikmati kemolekan para gadis," keluh Valda mengetuk setirnya.
Musik berdentam bising memenuhi telinga. Abaikan bahwa dia mengemudikan mobil melebihi batas kecepatan. Dia tak peduli kejar-kejaran dengan polisi. Sebab larangan manusia lebih asyik bagi Valda untuk dilanggar.
Helaan napas itu kembali keras. Valda menginjak pedal mobil. Deru Lhamborgini semakin nyaring, persis geraman cheetah membelah jalan. Dengan instingnya, Valda membelokkan mobil ke kiri. Dia tahu, di mana Ivander kali ini berdiri.
***
***
Secara perlahan, rasa sakit mengular ke seluruh sendi tubuh. Keringat dingin semakin menambah ngilu. Rasanya mau mati saja akibat serangan ngilu yang mendadak sekali kedatangannya. Pemuda bernama Gerald Storm kembali ingat pesan seseorang. Jauh hari, Gerald sudah diwanti-wanti bakal mengalaminya. Gejalanya persis seperti yang diucapkan seseorang. Gila sekali bagi Gerald tetap menahan sakitnya. Padahal pemuda itu lebih suka mati cepat dari pada berlama-lama kesakitan.
Dia tidak boleh kesakitan seperti ini jika tidak ingin melihat dunia bisa rata dengan tanah.
Mungkin ini lelucon konyol kalau Gerald tidak sengaja merobohkan jembatan di San Jose. Untunglah tidak ada korban mati yang melintasi jembatan itu. Gerald tak akan memaafkan dirinya sendiri kalau sampai ada nyawa terbunuh melalui tangannya. Dia akan menyerahkan diri di kantor kepolisian atas kemampuan hebatnya. Sayang sekali polisi akan mengoloknya berlagak jadi Superman, atau pasien rumah sakit jiwa yang kabur. Di zaman seperti ini, hanya anak-anak kecil yang percaya ada manusia super.
Tubuh Gerald menggigil kedinginan. Terik matahari yang menyengat, sama sekali tidak membantu. Tangannya mencengkeram salah satu tiang lampu. Dia menumpukan seluruh badannya ke tiang. Napasnya tersengal kepayahan. Tiang itu mendadak bengkok. Lampunya redup sebelum mati total atas ulah Gerald.
Tidak... Aku tidak boleh menyerah, tekad Gerald sembari memejamkan mata. Jangan berdiam diri hanya karena sakit ini. Kumohon, bangunlah Gerald Storm!
Gerald mengambil napas. Dia kembali melesat bagai kilat. Lari adalah satu-satunya cara bagi Gerald agar bebas dari rasa sakitnya. Sudah separuh kota dia lewati demi menahan rasa sakit membakar.
"Yugo Garret, di mana kau? Tolong bantu aku," bisik Gerald terus berlari.
Energinya menyedot semua benda terbang bersama Gerald. Dia ingin mengembalikan semua benda-benda itu ke tempatnya semula. Tetapi, Gerald terlalu payah untuk bersikap baik-baik saja. Dadanya terlalu sakit. Tujuannya adalah mencari Yugo.
Yugo janji bakal datang menemuinya kalau badan Gerald tidak enak. Tetapi Gerald bukan orang yang gampang menahan diri. Akhirnya Gerald lah yang pergi menemui Yugo untuk meminta pertolongan.
Yugo pernah bilang tinggal di sebuah apartemen biasa di Lower East Side. Tetapi tidak menjelaskan secara rinci di blok mana persisnya.
Magnet akan menuntunmu pergi, Gerald.
Gerald memejamkan mata, memilah kepingan kenangan demi kenangan pertemuannya dengan Yugo dua bulan yang lalu. Artinya dia harus pergi ke selatan atau utara sebagai acuan kutub medan magnet.
Ini bukan magnet biasa seperti yang kamu pelajari di sekolah. Ikuti saja langkahmu, kamu akan menemuiku lagi.
Gerald semakin bingung. Lower East Side ada di bagian timur. Mengikuti insting, Gerald berlari lagi, menempuh perjalanan hampir 3.000 mil jauhnya.
Sementara itu, selemparan batu dari tempat Gerald baru saja merobohkan jembatan , berkelok-kelok mengikuti ruas blok, begitu dekatnya Gerald dengan fragmen lain. Keduanya saling tidak tahu rahasia yang melingkupi seluruh tubuh mereka. Terdapat sosok lemah Quirin membaringkan tubuh pada bangsal kamar yang pengap. Meskipun bosan setengah mati, Quirin memilih tidur tanpa kenal waktu. Pikirannya terus berdesing. Tanpa diminta pun, kilasan pesawat terbakar terus menghantuinya. Sudah tiga hari dia dilanda mimpi buruk.
Rasa syok semakin menjadi. Siaran berita di TV satu jam lalu, benar-benar terjadi. Quirin tahu, kecelakaan itu tidak bisa dijelaskan secara logika. Ada unsur misterius yang membuat pesawat itu terbakar. Salah satu dari merekalah pelakunya. Quirin tahu, Ivander ada di sana. Tidak bergerak kecuali menatap pesawat itu.
Quirin sejak dulu memiliki visi penglihatan di masa depan. Dia mulanya panik dan mengira sinting. Berbagai psikiater yang ditemui memiliki jawaban yang sama. Terapi tidak pernah membuahkan hasil.
Visi itu semakin menjadi. Beberapa orang berkunjung pada Quirin, meminta ramalan atas hidup mereka. Tak pernah dalam bayangan Quirin untuk memiliki pekerjaan paling menguntungkan sebagai peramal.
Akhirnya Quirin pun menarik diri dari lingkungan. Dia benci kilasan masa depan. Terkadang menyenangkan. Terkadang ada tragedi mengerikan. Seperti jatuhnya pesawat Garuda Airlines. Tidak pernah ada kejutan kalau tahu lebih awal soal selubung takdir.
Kau harus berani, Quirin Carya. Ketakutanmu yang akan membuatmu lemah. Bertahanlah.
Suara Yugo menyeruak dalam pikirannya. Dulu sekali, Yugo muncul di depan Quirin. Menyelamatkannya saat pingsan. Dia mendadak demam tinggi. Sesudah itu Quirin tak ingat lagi.
Quirin pun menggapai ponsel. Jemarinya gemetar hebat. Dia harus meminta bantuan Yugo. Bagaimana pun caranya, Yugo harus ada di sisinya saat ini juga.
***
***
Suara tepukan tangan terus membahana. Anak-anak kecil melonjak kegirangan. Puas melihat api menyembur ke udara. Lais menikmati aksi pertunjukannya sendiri. Dia si anak api yang membara sedang pamer kekuatan. Kali ini, Lais menyundul bola api dengan lutut. Musik hiphop menjadi penunjang pertunjukan biar banyak perhatian tertuju pada Lais. Entah bagaimana, api itu menolak untuk membakar tubuhnya sejak dulu.
"Lagi, lagi!" pinta seorang gadis kecil begitu permainan berakhir.
"Lain kali saja, oke?" sahut Lais santai. Dia tertawa riang di depan anak-anak yang memohon Lais melakukan atraksi lagi. Ekspresi si gadis sendu. Siapa yang tidak luluh melihat kesedihan semacam itu?
Gadis kecil itu menunggu. Lais menarik kotak besar berisi alat pemanggang besar. Dia mencuci tangannya dengan hand sanitizer.
"Lapar?" tanya Lais mulai sibuk menata peralatannya. Iris mata hangat Lais menatap penuh perhatian ke arah gadis tersebut. Tidak lupa Lais mengolesi tangannya dengan minyak kelapa khusus.
Sebuah piring besar tersaji di meja. Setumpuk daging segar ditata sedemikian rupa di pemanggang daging. Lais menabur garam dan lada. Api mulai membumbung, siap melahap wajah tampannya. Suasana semakin riuh di antara para penonton. Anak Api pun meletakkan daging-daging yang matang. Lebih gaduhnya lagi, Lais memutarbalikkan daging tanpa capit khusus. Tangannya sendiri yang menyentuh daging panas secara langsung.
"Jangan takut. Tanganku tidak akan luka," kata Lais bangga. Dia merentangkan tangan yang baik-baik saja, walaupun baru menyentuh api. Lais meraup potongan daging yang matang, lalu menyerahkan ke salah satu penonton.
"Lezat!" Pria paruh baya, memiliki perut buncit luar biasa. Pelanggan itu menerima daging dan memekik senang.
"Betul! Silakan mampir ke toko daging kami. Kami menyediakan daging-daging lezat berkualitas tinggi," kata Lais semringah, menunjuk toko di belakangnya yang tak kalah ramai.
Lais adalah salah satu karyawan toko daging. Si manusia kebal api yang akhirnya menjadi maskot toko, agar banyak pengunjung toko yang datang. Dia bintang dari toko tempatnya bekerja setiap siang hari. Malamnya, Lais bekerja di restoran Asia, menjadi chef kejutan dengan mengolah masakan di depan pengunjung beruntung. Menyuguhkan aksi debus secara live seperti saat ini.
Di sisi lain, seseorang yang menikmati pertunjukan Lais menyeringai. Sudah malam dia menyadari ada yang tidak wajar dari tubuh Lais.
"Wah, di sini kau rupanya. Ketemu juga akhirnya," gumam pria itu menyesap rokoknya kuat-kuat.
Pria misterius itu akan menunda laporannya pada sang bos. Dia lebih suka jika pulang ke belahan tanah lain, dengan tangan Lais terikat dan siap dijagal.
Lais amat sangat berguna. Dia bermain dengan api. Tentu saja harga jual Lais sangat mahal.
Tinggal waktu saja Lais, pria keturunan imigran asal Indonesia tertangkap karena kekuatan tidak biasanya. Atasan pria perokok itu jelas meminta siapa saja yang punya kekuatan supranatural segera ditangkap, termasuk Lais.
***
***
Remaja tanggung itu memiliki wajah seputih susu, bibirnya senada peach ranum. Matanya lebar, sekali pun rasnya China. Jangkung dengan pinggang ramping. Badannya langsing tanpa repot diet. Dia tak ubahnya model yang eksis di majalah fashion. Cavan puas dengan bentuk fisiknya. Senyuman yang mengembang pada cermin berbingkai besi, mengindikasikan bahwa hidupnya teramat sempurna.
Cavan meminta pelayan di rumahnya untuk memindahkan cermin besi itu ada di dalam kamar. Sudah lama cermin itu ditempatkan di kamar kosong. Daripada tidak berguna, lebih baik dipajang di kamar Cavan. Akibatnya Gaia lupa memperbarui keamanannya secara berkala, sehingga cermin itu mulai aus.
Sepanjang hari Cavan bicara, bertemankan bayangannya sendiri. Dia bosan terkungkung di rumah, tanpa ada yang mengajaknya bicara. Sudah terlalu lama Cavan mengendap di dalam kamarnya atas perintah pemilik kastel besar beraroma laut ini.
Bayangan di cermin balas tersenyum. Kali ini mengedipkan sebelah mata dengan nakal. Cavan yang asli mematung kaku. Dia yakin tidak berkedip sama sekali.
Cavan heran pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin bayangan yang seharusnya mengikuti gerakannya bisa bergerak sendiri. Seakan si bayangan punya nyawanya sendiri. Dia membalikkan tubuh, ngeri akan penglihatannya.
Cavan merasa gila. Pastilah dia berhalusinasi. Ini efek kebosanan melanda akut. Dia melirik cincinnya, bersumpah bahwa dirinya tidak memutar cincin untuk mengeluarkan duplikat yang menguras energi.
"Tunggu!" teriak si bayangan, tangannya terjulur menabrak kaca. Cavan kembali menatap si bayangan, terkejut bukan main mendengar suara terendam dari balik kaca.
"Kau... Bisakah melepaskan aku?" tanya si bayangan, sorot matanya memelas. "Sudah dua puluh tahun aku terkurung dalam cermin ini."
Cavan semakin terguncang. Tidak percaya dengan kejadian aneh ini. Mana mungkin si bayangan terkurung sepanjang usianya. Ya, usia Cavan genap 20 tahun saat ini.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Cavan ragu-ragu.
"Pecahkan saja kacanya. Aku janji tidak akan melukaimu," ucap si bayangan dengan suara gusar. Si bayangan penuh harap menanti. tetapi Cavan masih belum bergeming.
"Tidak mau," tolak Cavan. Dia menggelengkan kepala dan mundur perlahan. Pemuda rupawan itu khawatir. Tak tahu, bagaimana si bayangan itu bertindak nantinya, meskipun si bayangan sudah janji tidak akan melakukan apapun.
Dia tidak boleh lengah dalam keadaan apapun.
"Kita sama-sama terkurung." Si bayangan menyeringai, seolah tahu apa yang ada di pikiran Cavan. "Kalau kau memecahkan cermin ini, aku akan membantumu kabur dari ruangan ini."
"Benarkah?" bisik Cavan. Matanya lekat mengamati wajah yang penuh gairah itu. Itu memang wajahnya, tetapi tak pernah Cavan melihat ekspresi ganjil di balik matanya yang agak keperakan. Terlihat tak wajar. Penuh tipu daya.
"Aku akan keluar menolongmu. Pecahkan saja sekarang." Si bayangan terus mendesak.
"Jika kau selamat, apa yang kau lakukan? Dan siapa kau?"
"Percaya padaku. Kau tak akan menyesal menyelamatkanku." Bayangan itu memohon.
Cavan mengerti rasanya terkurung. Dia iba melihat bayangan itu.
Tanpa berpikir dua kali, Cavan meraih vas bunga dan melempar ke cermin. Kaca itu perlahan retak dan jatuh ke lantai. Sebuah tangan semulus porselen terjulur keluar. Warnanya biru elektrik yang menyilaukan mata. Cavan menutupi wajahnya, tak sanggup menahan cahaya itu. Setelah cahaya menghilang, Cavan membuka matanya. Sosok di depannya sangat mirip sekali dengan Cavan. Tidak ada celanya sama sekali.
Dia agak berbeda dengan kembaran yang keluar dari cincin Cavan.
Kembaran Cavan berdiri di depannya. Tampak bangga mengamati fisiknya yang serupa dengan Cavan asli.
"Terima kasih telah membebaskanku. Sekarang, giliranmu yang pergi dari sini. Nah, ada sekat di antara dapur dan gudang. Itu adalah lorong rahasia, satu-satunya kesempatan bagimu. Tiga kotak lantai bagian kiri, kau harus mendorong bagian bawah."
"Lorong? Yang mana?" Telinga Cavan tergelitik. Dia heran dengan adanya sekat. Tidak ada lorong di dapur. Puluhan kali Cavan melewati dapur, tetapi tak ada sekat di sana. Selama ini Cavan mencari kesempatan kabur, tetapi sia-sia saja. Seluruh pintu kastel selalu dikunci.
"Kau tahu lukisan gunung?" Si bayangan berhenti sejenak. Cavan mengangguk. "Nah, di balik lukisan itu ada lorong. Ketuk dinding paling bawah. Pintunya akan terbuka untukmu."
Cavan bergeming. Ini sudah pasti tipuan. Halusinasi semata. Sudah terlalu sering bagi Cavan mengalami hal-hal aneh. Meskipun, si bayangannya sungguhan nyata. Ini pasti mimpi dari tidur siangnya.
"Aku tahu kamarmu selalu dikunci kecuali jam makan. Sebentar lagi Jeanne datang mengirim makan siangmu. Aku akan mengulur waktunya sampai kau sudah melewati lorong itu."
"Bagaimana mungkin kau tahu?" tanya Cavan.
"Oh, ayolah. Kita sudah bersama cukup lama. Aku tahu banyak rahasia tempat ini." Si bayangan mengejek. "Kuharap kita bertemu lagi. Lain kali, panggil aku Sotu."
Bayangan itu mengepulkan asap biru yang panas. Sotu sudah merebahkan diri di balik selimut. Sotu puas bisa mempengaruhi Cavan berkat sihir pertahanan Gaia memudar. Cavan pun berjalan tanpa suara ke balik pintu. Dia menunggu sampai pintu menjeblak terbuka.
Salah satu pelayan bertopi tinggi masuk dengan mendorong troli penuh makanan enak. Cavan telah kehilangan selera makanan. Menunya selalu sama sepanjang waktu.
"Waktunya makan siang, Tuan," sapa Jeanne riang.
Sotu bergerak enggan, persis yang dilakukan Cavan biasanya. Cavan pun menyelinap keluar. Dia mengendap dari dinding ke dinding. Bersembunyi setiap mendengar suara seseorang. Kewaspadaannya terus meningkat sampai tiba di depan lukisan gunung. Lukisannya agak aneh. Sebuah gunung kecokelatan dikelilingi ombak besar dan hantaman bola api dari langit. Lukisan memesona yang menggambarkan kiamat mengerikan.
Cavan pergi ke seberang lukisan. Menghitung letak kotak lantai keramik dan mendorong dinding paling bawah dengan kakinya. Sisi yang ditekan Cavan terdorong maju. Cavan menyelinap masuk dan mendorong kembali sekat ke posisi semula.
Suasana gelap total. Mempercayai instingnya, Cavan berlari secepatnya. Satu kilometer jauhnya, akhirnya lorong itu terdapat cahaya berpendar yang sangat lemah. Kaki Cavan sudah kaku dan panas. Dia tidak peduli lari bertelanjang kaki.
Tangga telah menunggunya di ujung lorong itu. Dia mendaki tangga panjang sampai akhirnya pintu menjeblak dengan sendirinya. Hampir saja dia terjungkal bila tidak menyentuh pinggiran pintu. Di depannya, satu senti ujung kakinya, terdapat tebing curam mengancam. Cavan bergeser ke samping kanan. Dia merasa seperti Alice yang baru keluar dari dunia bawah tanah. Penuh kebebasan. Meskipun bahaya menunggu di bawahnya.
Bagi Cavan, pelarian yang berbahaya ini lebih baik dibandingkan puluhan tahun dikurung tanpa tahu apa salahnya.
Lokal update
Done revisi
03 Agustus 2020
Update again, 21 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro