14 Mandi Bertiga
Lari pagi bersama Fatih di luar ekspektasiku. Dia berlari cepat dalam rute tidak beraturan. Menabrak pengguna jogging track dan jatuh ke dalam semak taman yang tumbuh di sepanjang sisi jogging track. Aku kewalahan mengikuti Fatih. Aku tidak menyesali keputusanku mengajak Fatih olahraga di area taman apartemen namun aku menyesali ketidaksiapanku sebagai ayah mengikuti ritme gerak malaikat kecilku. Rasa-rasanya aku kalah telak dibanding the hippo.
Sejam kami memutari taman. Wrong explanation. Sebenarnya sejam aku berlari mengejar Fatih dan berulang kali membantunya bangkit dari jatuh. Aku bukan papa yang over protective. Fatih anak laki-laki, jatuh dan luka adalah cara terbaik dia belajar akibat perbuatannya sendiri. Aku mempelajarinya dari ucapan mamanya Fatih saat menasihati rusa kecilku di rumah Sunter kala itu.
Aku akui sedikit-banyak aku belajar bagaimana mendidik Fatih dari perempuan menyebalkan itu. Namun terkadang aku tidak setuju cara dia mendidik Fatih terlalu keras. Fatih masih bayi dua tahunan. Kedisplinan bukan poin utama pelajaran hidupnya. Bayiku butuh ruang lebih mengeksplorasi diri apalagi dengan keterbatasannya memverbalkan pemikirannya. Bayiku butuh media lain menyalurkan ide dan kreatifitasnya.
Kami kembali ke unit apartemen dalam kondisi lelah. Badanku lelah melebihi olahraga pagi yang rutin aku kerjakan. Aku butuh air dingin untuk menetralisir panas badanku serta sabun untuk melunturkan lengket keringat. Fatih pun sama.
Masuk ke dalam unit, aroma masakan menyambut kami. Aroma manis dan gurih. Fatih melompat turun dari gendonganku. Dia melepas sepatunya cepat lalu melemparnya asal. Aku rapikan sepatunya ke dalam rak sepatu berbentuk lemari manipulatif yang khusus aku siapkan dekat pintu masuk.
"Gimana lari paginya? Seru?" Pertanyaan sapaan yang diucapkan the hippo pada Fatih di dapur.
"Mayu. Batih upa."
Aku mengikuti Fatih duduk di kursi meja makan. Mamanya Fatih menata makanan berupa donat polos dan satu nampan berisi aneka selai.
"Nggak mandi dulu baru makan?" Tanyanya padaku.
"Makan dulu. Saya lapar." Tenagaku rasanya lenyap sejam bersama rusa kecil. Aku butuh asupan energi untuk memulihkan badanku.
"Keringetan, bau. Mandi dulu sana. Sekalian mandiin Fatih." Tangan the hippo mengibas di depan hidungnya. Meledek sekali, orang habis olahraga wajar berkeringat dan bau.
Wait, did she ask me to wash Fatih? Mandi bersama rusa kecil akan menjadi seri lanjutan penyedotan energi pagi. Aku sudah lelah.
"Mandi sana!"
"Fatih mandi sama kamu saja," tawarku.
"Aku juga belom mandi sih." Dia mengetuk-ngetuk dagunya menggunakan telunjuk. "Mandi bareng bertiga aja ya."
WHAT?? MANDI BERTIGA??
"Sebaiknya kamu mandi bersama Fatih. Saya mandi setelah kamu," usulku. Aku tidak ingin berada dalam satu ruangan tanpa penutup badan bersama the hippo. Sungguh itu hal yang paling aku hindari.
"Kenapa nggak mau? Karna bareng aku? Kirain bakal usaha buat kebahagiaan Fatih?" Mata menudingnya tersorot ke arahku. Perempuan satu ini sedang memainkan permainan apa? Dia sengaja menjebakku dalam acara mandi bersama?
"Sebaiknya kita-"
"Fatih mau mandi ama mama dan papa?" Dia memotong ucapanku dengan pertanyaan ke Fatih.
"MAUU!!" Jelas Fatih akan jawab demikian. Aku berakhir hanya bisa mengusap wajah dengan telapak tangan kiriku. Berharap aku kuat mengikuti permainan the hippo.
Bathtub sudah aku isi air dalam suhu ruang. Fatih masuk sudah tanpa pakaian. Dia berteriak heboh sambil memeluk leherku. Aku mengangkatnya ke bathtub. Dia tertawa riang saat aku masukan cairan sabunnya yang menghasilkan banyak gelembung. Giliran aku menanggalkan semua baju dan celanaku, meletakan baju kotor dalam keranjang lalu bergabung bersama Fatih yang senang meniup bubble di tangannya.
Sepuluh menit menunggu, the hippo tidak muncul. Hatiku lega. Barangkali dia berubah pikiran tidak ingin ikut mandi bersama. Aku menikmati air dingin yang menyegarkan badanku dan mengikuti Fatih meniup gelembung sabun ke udara.
"Udah main airnya? Bilas yuk!"
Kepalaku memutar ke asal suara feminim itu. Hell!! That stupid hippo stands near us less fabric. Dia pikir apa saat masuk telanjang bulat begitu.
"Fatih saja." Aku menuntun Fatih tanpa melihat perempuan itu. Untung bayiku menurut saja saat aku arahkan keluar bathtub.
Mereka berdua masuk ke balik shower curtain. Suara semprotan air terdengar diiringi tawa mereka berdua. Aku memilih merendam lebih dalam badanku sampai tersisa hidung ke atas yang masih muncul di atas air. Melihat perempuan itu telanjang sebenarnya bukan hal baru. Namun efeknya masih sebesar waktu kami melakukan senggama pertama kali. Masih besar potensi yang timbul pada area private-ku.
"Kamu nggak bilas?"
Saking terkejutnya mendengar suara feminim itu aku sampai menghirup air ke dalam hidung. Membuatku terbatuk dan perih di sekitar rongga pernapasan. Aku buru-buru keluar dari bathtub dan jalan melewatinya menuju shower. Perkara belakangan dia melihat area tegangku. Aku butuh air dingin menyegarkan kepalaku yang pusing mendadak.
"Aku ama Fatih keluar duluan ya. Kalo udah selesai bilas, baju kerjanya aku siapin di atas kasur."
Kemudian aku dengar suara pintu kamar mandi terbuka dan tertutup. Baru aku bisa bernapas lega. Ini gila. Perempuan itu masih membawa dampak buruk bagiku. Dengan mudah dia merontokan tembok pembatasan yang aku ciptakan. Melucuti semua usahaku menjauhinya.
Bagaimana aku akan bertahan satu apartemen bersamanya?
Aku bertahan agak lama membilas badanku. Ada alasan privasi yang berkenaan urusan pria yang harus aku lemahkan. Dan aku memerlukan air dingin yang banyak. Sesuai ucapan the hippo pakaian kerja sudah tersedia di atas ranjang. Aku mengenakan pilihan pakaiannya. Kebanyakan kemeja kerjaku adalah warna gelap dan pucat. Mudah berbaur dengan celana slimfit hitam yang aku koleksi. Pakaian kerja pria memang monoton tapi aku mensyukurinya. Waktu yang sempit tidak menjadi kendala karena aku bukan seorang fashion addict dan pria metropolis yang butuh waktu lama berdandan. Hanya sedikit semprotan parfum dan mengenakan jam tangan, sudah cukup.
"Papa mamam," kata Fatih sambil mencomot satu donat dari piring saji.
Aku segera duduk di sisinya. Membelai kepalanya lalu ikut mencomot satu donat yang sudah diolesi selai kacang.
"Nanti pulang jam berapa?" Tanya mamanya Fatih.
"Sekitar jam tujuh," jawabku di sela kunyahan.
"Jam tujuh sampe rumah ato jam tujuh dari kantor?"
"Ada apa?"
"Aku mau buat makan malam spesial. Aku udah siapin dari pagi bahan-bahannya. Nggak enak kalo yang aku masakin nggak makan malam."
"Kamu mau masak apa?"
"Kasih tau nggak ya??"
Aku diam tidak menimpali ocehan konyolnya. Menghadapi perempuan dengan kemampuan mulut berkoar sehebat mamanya Fatih adalah diam dan menunggu sampai semua ocehannya selesai.
"Aku mau bikin sup ayam jagung kesukaan kamu. Mana enak kalo yang aku masakin nggak makan. Ini tuh masakan sebagai ucapan terima kasih udah nerima aku dan Fatih di apartemen kamu."
"Siapa yang bilang saya terima kamu?"
Bibir the hippo mengerucut dan matanya menatapku tidak suka. Aku hanya berusaha jujur. Aku memang tidak menerimanya di sini. Masalahnya dia sepaket dengan Fatih. Jika aku ingin bersama Fatih maka aku terpaksa menerima kehadirannya.
"Aku bayar deh biar Bapak Gemmy yang terhormat pemilik unit apartemen ini bisa legowo menerima kehadiran hayati yang begini."
"Bayar pakai apa? Kamu tidak bekerja."
Dia berdecak sambil membuang muka. Lalu balik melihatku sudah memasang wajah manis. Pintar sekali biji kedelai bodoh ini memainkan peran.
"Aku emang nggak kerja tapi aku bisa bayar pake yang lain." Dia tersenyum lebar.
"Yang lain?"
"Aku bakal bayar hak-hak papanya Fatih sebagai suami sampai puas." Dia mengerling genit padaku.
Firasatku menyebut sesuatu sedang dia rencanakan dan aku tidak akan menyukainya. Semoga bukan apa yang paling aku hindari.
###
04/11/2017
Apdet kelima 🎉🎉🎉
Pecah telor eike, sist!!
Yang ngarep cecintaan mama en papanya Fatih. Syusyahhh itu. Mereka azah masih kayak meong ama gukguk.
Ini apdet kelar ngetik, terima azah yg ada yess
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro