Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Miserable

Hatiku tersentuh, terlebih melihat Eita pulang dengan kepala tertunduk. Kekalahan tim kami dalam turnamen bola voli prefektur memang sulit diprediksi. Aku tak bisa menyalahkan Eita juga kawan-kawannya karena mereka telah berlatih keras selama ini. Wajar, kerja keras mereka dibayar oleh kekalahan menuju nasional, siapa yang tak akan meneteskan air mata? Bahkan aku yang dari tadi bersorak riuh di tribune Akademi Shiratorizawa merasakan apa yang mereka rasakan, terutama Semi Eita.

Eita orang yang sangat perhatian, baik pada anggota tim voli maupun padaku. Makanya dia selalu dijuluki "Ibu" klub voli Shiratorizawa. Dia juga tidak protes kala posisi setter utama diganti oleh adik kelasnya dan kini beralih menjadi pinch serve. Eita itu berhati baik. Walau selera busananya sangat jelek, ia adalah orang terbaik bagiku.

Seleranya jelek, kadang juga tidak peka. Namun, sekalinya peduli sudah buat hati ini meleleh. Sudah berapa kali aku baper padanya. Padahal, aku hanya teman sekelasnya yang suka mengoceh.

Kalau lihat Eita bersedih, aku jadi terikut sedih. Ingin rasanya menghampiri Eita di seberang sana yang sedang menunduk berjamaah dengan para anggota, tapi apa daya kakiku berat dan tekadku kecil. Lalu seiring waktu, kerumuman tim voli Shiratorizawa pergi meninggalkan gimnasium Kota Sendai menuju asrama sekolah.

Kira-kira, kapan aku akan menemuinya lagi dengan tekad pengecut ini?

.

.

Disclaimer by Haruichi Furudate
Story by reeshizen

Warning
typo(s), maybe OOC chara, reader insert, x reader, etc.

R16+

.

"Tidak mengambil keuntungan komersial apapun. Semata-mata hanya untuk kesenangan belaka."

.

DLDR!

.

Happy reading!

.

.

Eita kelas 3, sama sepertiku. Setelah turnamen usai, maka dia berhenti melakukan kegiatan klub. Sudah pasti. Terlebih ia akan mengikuti ujian masuk. Ya, aku tidak mengkhawatirkannya karena ia telah mendapatkan sertifikat atlet dalam turnamen-turnamen sebelumnya, mungkin ia akan masuk universitas melalui jalur prestasi.

Nilai non-akademik juga akademik Eita selalu stabil. Meski nilai akademiknya tidak sebagus non-akademik, ia termasuk salah satu yang berpestasi dalam sekolah ini. Jelas, masuk Akademi Shiratorizawa saja ia dapat undangan karena permainan volinya di SMP bagus, otomatis ia masuk melalui jalur beasiswa olahraga. Memang sih, panutan sekali, beda denganku.

Masuk Shiratorizawa melalui tes saja sudah buat aku mabuk kepayang. Sekolah bagus, wajar. Terlebih menggunakan sistem asrama, yang mana kedisplinannya sangat ketat. Kadang aku pikir, aku telah salah memilih Shiratorizawa. Faktor keluarga yang mendesakku karena rasa gengsi yang tinggi. Ya sudah, aku tak punya pilihan lain. Dan ketika lolos, pelajaran di sini benar-benar berat. Aku mesti tekun belajar setiap malam dengan kantung mata hitam yang berlipat tiap harinya.

Kadang aku iri dengan Eita. Dia penuh prestasi terutama di bidang kesukaannya. Bidang kesukaanku? Tak punya. Aku ini seperti tidak punya pendirian, labil. Suka ini, dua bulan kemudian aku berhenti menekuninya. Makanya, kalau dibandingkan dengan Eita aku jauh sekali.

Eita itu pekerja keras. Aku suka memergokinya latihan sampai malam ketika anggota-anggota klub yang lain sudah pergi. Alasannya, ingin melatih servis. Ya, servis lompat memang senjata andalannya. Aku telah menyaksikannya di berbagai pertandingan, begitu ia servis, gerakannya seolah-olah melambat dalam pandanganku, penuh estetika, terlebih ketika servisnya memberikan poin pada timnya. Duh, servis yang indah.

Walaupun posisi setter utama bukan dirinya lagi, ia lapang dada menerima. Aku tahu, itu berat bagi Eita. Terlebih Eita sudah kelas 3, bagaimana tidak sedih posisi utamanya diganti pada saat itu? Aku tahu karena rekan-rekannya bercerita begitu pula yang Eita beritahukan padaku.

Meski begitu, aku tetap mendukung Eita dengan posisinya sekarang.

Ya, walau sudah kalah dari tim voli SMA Karasuno, aku masih mendukungnya. Bagiku, jalan Eita masih terbentang luas di sana. Setiap keputusan yang dia ambil, akan selalu kudukung.

Begitu seharusnya peranku sebagai kekasih Eita, tapi kalau menyapanya saja aku tidak berani, peranku jadi sia-sia.

Sudah seminggu ini aku belum menyapanya. Eita menyadarinya pasti. Aku bahkan beberapa kali melihatnya seperti ingin menyapaku, tapi aku mengacir lebih dulu. Memang payah, padahal aku kekasihnya.

Dan sekaranga aku tengah menghindar dari Eita yang berusaha mengejarku. Payah. Bisa-bisanya aku lari tanpa didasari alasan pasti. Aku berani bertaruh, Eita dibuat kebingungan akan tingkahku akhir-akhir ini.

Dia menyebut namaku dengan lantang di tengah koridor. Beberapa pasang mata tampak melihatku, bodoh lah, mending aku lari saja.

"Pacarnya Semisemi! Lari seperti dikejar setan, kenapa, sih?" Nah ini, salah satu orang yang paling menyebalkan bagiku. Si tukang menyindir, yang kadang kala selalu menyulut api lebih dulu, si Tendou-Tendou itu.

Di belakangnya tampak Ushijima, Ohira, Kawanishi, dan Yamagata. Apa ini? Aku seperti mau disidang saja karena postur tubuh mereka seperti raksasa.

"Ah, maaf mengganggu," ucapku yang memasang ancang-ancang pergi.

"Tunggu, tunggu, kau tidak bisa lari begitu, Ojouchan[1]!" seru bloker tengah itu seraya menelengkan kepala. Wajah jenaka yang dibuat Tendou ingin membuatku menampar gemas.

"Aku... adaurusanterdesak!" jawabku cepat nyaris tidak ada spasi. "Maaf, aku tidak bisa lama!" lanjutku sambil terburu-buru berlari. Bodoh amat lah, paling juga si Tendou itu akan menghadangku lagi di lain waktu.

***

Sudah berada di belakang gimnasium, Eita belum berhenti mengejar. Dasar atlet, staminanya pasti banyak. Aku saja sekarang sudah kelelahan. Mesti berlari ke mana lagi sekarang? Keluar sekolah? Yang ada aku akan ditegur nanti karena keluar tanpa izin. Ah, memang sekolaha berbasis asrama itu merepotkan. Tidak salah dulu menyesal masuk Shiratorizawa. Namun, kalau tidak masuk aku tidak akan ketemu Eita. Duh, jadi pusing.

"[Name], tunggu sebentar!" serunya yang aku abaikan. Aku tidak akan berhenti tahu! Ingin rasanya kubalas begitu, tapi sarafku terlalu lelah untuk menyuruh mulut mengungkapkan sesuatu.

Kakiku sepertinya sudah melemah. Lariku saja sudah gontai seperti ingin langsung merebahkan diri ke tanah. Akhirnya aku berhenti juga, tak ayal tanganku digenggam erat seolah-olah takut aku akan pergi lagi.

"Kenapa selalu menghindar, sih? Tendou sampai meledekku tadi," celetuknya setengah berteriak.

Aku tak menengok. "Karena aku ingin menghindar," jawabku konyol. Aku tak salah, kan? Ingin menghindar bukannya juga merupakan suatu alasan?

Eita menghela napas. "Kalau ada sesuatu cerita, dong. Kau bikin aku khawatir karena tidak pernah menyapaku lagi. Aku kira ada apa, tapi sepertinya kau marah padaku, ya?"

Aku tidak marah, tetapi bingung. Tidak peka juga, ya? Apa akhir-akhir ini ia ketularan Ushijima yang bermuka polos itu?

Ah, aku tidak kuat lagi. Langsung kubalikkan badan dan memeluknya erat, membenamkan wajahku pada dadanya. Enak ya, punya kekasih lebih tinggi, teruama kalau sedang berpelukan. Aku ini termasuk kekasih yang manja. Memeluk Eita seperti ini sudah biasa bagiku, ia sendiri tak menolak.

Eita balas memelukku. Tangannya mencengkeram erat punggungku. Ia memelukku lembut seraya membiarkan hangat mengalir ke perasaanku.

"Aku kangen. Apalagi ketika kau datang menyapaku. Kenapa kok, sekarang jarang?"

"A-aku merasa tidak cocok jadi kekasihmu."

Eita mengendurkan pelukan. "Kok, begitu?"

"Habis, saat turnamen kemarin aku ingin menghampirimu, tapi tekadku lenyap kalau lihat kau sedih. Aku harusnya menghiburmu, t-tapi malah tidak k-kulakukan," ucapku sesenggukan. Eita mengeratkan pelukannya lagi lalu mengelus rambutku, membuatku makin terbuai dalam pelukan.

"Kau datang saja sudah membuatku senang. Jangan menyalahkan dirimu karena tidak bisa menghiburku. Bukan salahmu, harusnya aku yang menyerahkan kemenangan padamu."

"Eita...."

Pandangan kami bertemu. Seolah tahu apa yang kami pikirkan satu sama lain, wajah kami mendekat, napas mulai menyentuh permukaan kulit satu sama lain hingga bibirku yang lembab saling bertaut dengan bibir Eita yang penuh kelembutan.

Lama, itu yang kurasakan, lima belas detik mungkin. Ciuman dengan Eita sudah sering aku lakukan, tapi aku tidak pernah bosan meski itu sudah berkali-kali.

Bibir kami saling lepas, perlahan. Kami terdiam, membiarkan waktu mengisi keheningan. Semuanya baik-baik saja sebelum sebuah dehaman menyeletuk saraf kami.

Saat kulihat, Pelatih Saitou serta Pelatih Washijou tengah berada di dekat kami, di belakang sana tampak anggota inti klub voli, termasuk anak kelas 3 turut menyaksikan.

"Sekolah bukan untuk tempat bermesraan," ujar Pelatih Saitou. Duh, rasanya jadi canggung. Aku melirik Eita dan melihat ekspresi datar yang berusaha dibuatnya. Sepertinya masih terlihat jelas olehku.

Di belakang sana, anggota klub voli tampak ternganga, kecuali Tendou yang tiba-tiba tertawa seraya berujar kesal tentang ia yang tak memiliki kekasih.

"Baik sensei[2]!" jawabku bersamaan dengan Eita. Sepertinya kami akan mendapat teguran, terlebih Pelatih Washijou tidak berbicara apapun, apakah ia sedang berhemat suara untuk meneriaki kami nantinya?

Entahlah, aku dan Eita tidak dapat menerka.[]

[1]: tuan putri/nona
[2]: panggilan untuk guru

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro