Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Freedom

Mataku berat, sesekali pula aku menguap. Duh, entah nasib kelopak mataku. Mungkin sudah menghitam ala dandanan gotik---lolita versi kelam. Sungguh deh, aku benar-benar mengantuk. Tidur di sela-sela pelajaran kosong tidak membuat oksigenku di darahku bertambah, malah berkurang.

Akhir-akhir ini jadwalku padat. Sepadat-padatnya lekukan lemak di perutku. Sudah kelas 3, tapi aktivitasku di OSIS belum berkurang juga. Lepas jabatan pun masih empat bulan lagi. Terlebih akan ada classmeeting. Aku yang termasuk pengurus inti OSIS pasti akan disibukkan, terlebih statusku sebagai bendahara. Belum lagi aku mesti bangun pagi-pagi tuk menyiapkan bekal.

Kapan hidupku longgar, selonggar-longgarnya waktu para pengangguran? Apa aku harus jadi neet[1] dulu?

"... senpai[2]! Senpai!" Lamunanku membuyar seiring pandangan di depanku menjelas. "Senpai dari tadi melamun. Aku ingin mengembalikan catatan."

"O-ohh... iya, terima kasih ya, Kawanishi juga Shirabu," jawabku kikuk.

"Muka senpai pucat, sedang sakit?" tanya Shirabu serta-merta mencemaskan.

Aku menggeleng. "Hanya kurang tidur... mungkin? Tidak usah khawatir padaku. Kalian tidak masuk? Sebentar lagi, lho," terangku.

"Kok mungkin sih, senpai? Harusnya senpai yang dikhawatirkan. Pucat gitu, kalau sakit bagaimana?" Shirabu tidak berhenti mencemaskanku. Setter berponi tidak rata malah membujukku untuk ke UKS. Tumben sekali.

Kawanishi, bloker tengah di klub voli itu mendengkus. "Kalau senpai sakit nanti kita ditanyai macam-macam oleh Semi-senpai."

"Hah?" Mataku mengejap, bercampur bingung dan risau.

Kali ini Shirabu yang mendengus, seolah kebingunganku adalah hal yang bodoh. "Semua di klub voli tahu senpai menjalin hubungan dengan Semi-san[3]."

Mukaku kini dapat dikategorikan aneh. Sungguh, aku bahkan tidak bisa mendeskripsikannya. "Kalian sedang bergosip, ya?"

Disclaimer by Haruichi Furudate
Story by reeshizen

Warning
Typo(s), maybe OOC chara, reader insert, x reader, etc.

.

"Tidak mengambil keuntungan apapun dari fanfiksi ini. Semata-mata hanya untuk kesenangan belaka."

.

.

DLDR!

.

Happy reading!

.

.

.

Sumpah, deh. Baru kali ini aku mikir berulang kali sampai mondar-mandir hanya untuk pergi atau tidaknya ke taman belakang sekolah. Sebelumnya aku tak secemas ini. Kalau bukan ucapan Shirabu istirahat tadi, aku pasti akan datang lebih dulu di tempat yang sudah dijanjikanku dengan Eita.

Mampus. Dari mana mereka mendenganya bahwa aku tengah berpacaran dengan Semi Eita? Padahal belum juga sebulan dan aku jarang menampakkan diri di hadapan rekan-rekan seklub Eita. Malah mungkin belum pernah bertemu secara langsung, kecuali dua adik kelasku tadi serta beberapa teman Eita yang seangkatan denganku.

Bukannya aku ingin menyembunyikan hubunganku dengan Eita. Namun, kami memang tidak ingin mengumbarnya. Àku tidak mau membuat aktivitas Eita di klub terganggu serta aku juga ingin fokus belajar untuk ujian masuk. Jadi, kami rasa menutupi hubungan kami sudah keputusan yang tepat. Ya, setidaknya untuk sementara.

Ini bukan keputusan sepihak, lho. Eita sendiri tampak setuju-setuju saja. Meski risikonya kami bertemu sembunyi-sembunyi jika ingin. Kalau secara terang-terangan dan sering terpegok, bisa menimbulkan kecurigaan. Kadang aku menyelinap keluar asrama di malam hari hanya untuk berduaan dengan Eita sehabis ia latihan. Aku sering bersandar padanya karena begitu aku menyandar, ia sering mengusap kepalaku. Meski awalnya ia sempat kikuk dan kaku, tapi sekarang sudah terbiasa.

Kami kadang juga saling curhat. Aku sering mendengarkan Eita mengeluh bahwa posisinya sebagai setter utama diganti. Itu menyakitkan, aku sangat tahu. Aku hanya bisa memberi ucapan semangat padanya karena tidak ada yang bisa kulakukan lebih. Jika aku pelatihnya, akan aku kembalikkan Eita sebagai setter utama.

Balik ke topik! Aku sekarang sedang bingung. Apa yang mesti kulakukan? Kalau terlalu lama Eita pasti menungguku. Terlebih, bekalku ini makin tidak enak karena sudah mendingin. Bodoh amatlah, ketimbang membuat Eita menunggu, aku ambil risiko!

Dan benar saja ketika aku sampai di taman belakang sekolah, aku menyaksikan Eita yang sedang duduk menunggu. Lantas aku panggil namanya seraya meminta maaf.

"Lama sekali, habis dari mana?" tanyanya.

"Maaf ya, aku tadi sedang mikir. Omong-omong, dimakan dulu sudah dingin soalnya," cercaku sambil menyodorkan kotak bekal lumayan besar tersebut.

"Banyak sekali," ucapnya ketika membuka kotak bekal. "Bibi kantin tidak marah?" Ia mencemaskanku.

"Tidak, kok. Itu sebagian pakai bahan-bahanku yang aku simpan di kulkas asrama. Tenang kok, aku memasak di kantin grastis. Bibi kantin baik meminjamkan dapurnya padaku," jelasku sambil terkekeh menenangkan.

"Oh, baiklah. Tadi kaubilang sedang mikir, mikir apa memang?" Eita mulai memakan isi bekalnya.

Aku mendesah. "Kayanya makin ke sini sudah sulit."

Eita menelan makanannya. Sebelum memasukkan sesuap lagi, ia bertanya, "Sulit? Maksudmu?"

"Sulit ya, sulit... terutama hubungan ini." Tiba-tiba saja Eita tersedak, buatku panik dan langsung menyerahkan botol minum padanya. "Duh, kau kenapa, sih?"

Eita mengusap bibirnya sehabis menegak beberapa mililiter air. "M-maaf, habis kata-katamu seperti mau mengajakku untuk putus," sambarnya.

Aku tergelitik. Bisa-bisanya Eita berpikiran seperti itu. Gelak tawa aku keluarkan, Eita tampak tidak suka. Lihat, wajah yang suka terlihat marah itu tertekuk! Duh, aku malah mengakak.

"Kau bisa skeptis sih, sama aku. Jangan-jangan sudah tidak percaya sama aku? Duh, Eita."

"Kata-katamu tadi ambigu, tahu. Makanya aku salah paham. Aku hanya takut, itu saja."

Aku tertawa sekali lagi. "Aku ditakutkan sama kekasihku sendiri." Gemas, aku cubit pipi sebelah Eita dan menikmati ekspresinya yang tampak tidak suka sambil malu-malu. Aku menarik napas. "Maksudku, hubungan kita sudah tidak bisa dirahasiakan lagi. Makin ke sini makin sulit. Tadi saja dua adik kelas tim intimu itu bilang bahwa aku kekasihmu. Ya, memang, sih. Cuman kan, berarti mereka sudah tahu, toh."

"Hm...." Semi bergumam. "Tadi juga Tendou sempat meledekku tentang aku punya kekasih atau semacamnya. Aku kira dia hanya bercanda, tapi sepertinya tidak."

"Nah," ungkapku setuju. "Apa kita ungkapkan saja?"

"Kalau disembunyikan juga percuma. Mereka sepertinya menungguku untuk mengenalkanmu pada mereka."

"Wah," kataku tercengang. "Ya sudah, kapan lagi kalau bukan sekarang?"

***

Dan di sini aku. Berdiri dengan tatapan penuh intimidasi. Ini menyeramkan, sungguh. Aku tahu pemain voli di sekolahku tinggi-tinggi. Tengok saja Eita, tinggnya nyaris 180 sentimeter dan tinggiku hanya 160 sentimeter. Beda 20 senti, Bung! Tinggi Eita saja sudah buatku megap-megap karena aku merasa seperti kurcaci. Terlebih, rekan-rekan Eita tingginya banyak yang tidak wajar! Meski masih ada yang normal termasuk Shirabu.

Aku melirik Eita, meminta tolong padanya. Akan tetapi, Eita sendiri tampak kebingungan. Tercetak jelas di sana. Sepertinya ia bingung mesti memulai dari mana.

Sekonyong-konyong, Eita berdeham. "Seperti yang aku bilang, ini kekasihku. Kami sudah berpacaran kurang lebih sebulan."

"Doumou[4]," sapaku. Aku sudah memperkenalkan diri tadi, tidak perlu untuk kedua kalinya, kan? Dan lihat, mereka bahkan belum ada yang bereaksi. Harusnya mereka sudah tahu bukan?

"Sudah kuduga senpai memang kekasihnya," timpal Kawanishi. "Kalau begitu, aku minta pajaknya ya, senpai!" Tiba-tiba saja ia menerbitkan senyum. Sebuah senyum yang ada maunya. Setelah sesi perkenalan ini, akan kutoyor dia dengan tanganku.

"Sou, sou! Wakatoshi-kun ingin pajak juga, kan? Aku ingin ramen dengan tambahan gyoza!" seru Tendou, orang yang tukang sindir serta menyebalkan secara bersamaan.

Ushijima Wakatoshi yang disebut menimpali, "Tidak. Aku ingin mengucapkan selamat." Setelahnya ia mengucapkan selamat padaku juga Eita

Aku menyikut lengan Eita. Setelahnya kami menepi karena suara mereka timpang tindih hanya karena meminta pajak.

"Bagaimana ini? Bisa bangkrut aku jika benaran mentraktir mereka," ucapku cemas.

Eita menghela napas. "Mereka akan mengoceh kalau itu tidak terjadi. Tenang saja, akan aku urus."

"Ya ampun, meski aku kenal beberapa dari mereka, tetap saja menyebalkan."

Eita tertawa. "Maklumkan saja. Lama-lama kau sudah terbiasa, kok."

"Ya, memang sih. Tapi, aku tidak menyesal. Setidaknya aku tak perlu sembunyi-sembunyi lagi untuk bertemu denganmu." Aku tersenyum simpul.

Eita turut tersenyum. Ia mengacak-acak rambutku. Kami tidak perlu khawatir lagi bertingkah seperti ini di depan umum.

Mengungkapkan sebuah hubungan tak sesulit yang aku kira. Setelahnya aku lebih bebas bertemu Eita. Mungkin aku akan mimpi indah malam ini.[]

Footnote:
[1]: pengangguran, istilah di Jepang
[2]: panggilan untuk senior
[3]: panggilan sopan
[4]: translate: halo

OWARI

[A/N]

Ini gaje pliss😂

21 Juni 2018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro